BAB I PENDAHULUAN. dampak kemajuan teknologi dan informasi, serta perubahan gaya hidup yang

dokumen-dokumen yang mirip
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kekerasan tersebut akan terjadi kembali yaitu karena ketergantungan secara

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 36 Tahun : 2015

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

BUPATI POLEWALI MANDAR

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 23 TAHUN 2004 (23/2004) TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

HAK ASASI MANUSIA. by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONFLIK SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BAB I PENDAHULUAN. bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. 1 Anak adalah bagian

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia saat ini banyak menghadapi tantangan dari berbagai macam realitas dan persoalan hidup. Keadaan ini tidak terlepas dari dampak kemajuan teknologi dan informasi, serta perubahan gaya hidup yang berakibat beban ekonomi menjadi semakin tinggi. Tingginya beban ekonomi sering memicu kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri di dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan oleh suami dapat berpengaruh buruk pada hubungan perkawinan dan menciderai keutuhan rumah tangga. Perkawinan bertujuan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai bagi setiap individu dalam rumah tangga. Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. K. Watjik Saleh (1980:15) dalam Hukum Perkawinan Indonesia, menyampaikan bahwa perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Selanjutnya 1

2 dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Tujuan dari perkawinan tersebut merupakan dambaan setiap orang, namun tidak akan terwujud apabila ada kekerasan yang dialami individu dalam lingkup rumah tangga. Komnas Perempuan, (2004:1) menyampaikan bahwa kekerasan terhadap isteri di lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami menjadi perhatian di seluruh dunia, karena itu dibentuk hukum internasional yaitu Konvensi Penghapusan Kekerasan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau disebut dengan CEDAW (Convention of the Elimination of All Forms Discrimination Against Womens) pada tahun 1979 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1993, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Wina, menghasilkan terobosan bagi perjuangan menghapus kekerasan terhadap perempuan dengan memperkenalkan ke masyarakat dunia bahwa hak asasi perempuan integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang sifatnya universal. Negara Republik Indonesia berpandangan bahwa segala bentukkekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan tersebut berdasarkan dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berikut perubahannya, menentukan bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

3 kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Kekerasan adalah kejahatan kemanusian dan merupakan ketidakadilan, Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Segala bentuk kekerasan dan tindak diskriminasi merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan sehingga dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165), tertulis bahwa: Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan bahwa: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Negara Republik Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Kovensi Mengenai Penghapusan Kekerasan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

4 (Konvensi Perempuan), sehingga konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Perempuan, Negara Republik Indonesia menyetujui pernyataan : 1. mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya; dan 2. bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat,tanpa ditundatunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap Wanita. CEDAW, ditindaklanjuti dengan pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat, sehingga dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut ditetapkan pada tanggal 22 September 2004 oleh Presiden Republik Indonesia yang saat itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri. Meutia Hatta Swasono, (2004:2) menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai landasan hukum bagi upaya-upaya pencegahan dan penindakan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar korban adalah tertuju pada diri perempuan dan termasuk anak-anak. Angka kekerasan terhadap perempuan dilingkup rumah tangga sampai dengan tahun 2013 masih tinggi, yaitu 919 kasus dari bulan Januari sampai

5 Maret 2013, data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (Antaranews.com, Selasa, 28 Mei 2013, http://www.antara news.com/berita/377079/25-persen-perempuan-jadi-korban-kdrt). Tingginya laporan kasus kekerasan tersebut seperti fenomena puncak gunung es yang tampak di lautan, artinya bahwa angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terungkap, dilaporkan hanyalah sedikit dibandingkan dengan kejadian senyatanya, jadi hanya menunjukkan puncak gunung es dari persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Fenomena ini muncul karena perempuan korban kekerasan masih banyak yang enggan atau tidak dapat melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. Data laporan kasus kekerasan yang disampaikan oleh Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan berdasarkan data yang dihimpun, pada tahun 2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat KPPPA berdasar pada data Kepolisian sebanyak 143.586 kasus. Pada tahun 2010 kasus KDRT berjumlah 105.103 kasus. Pada tahun 2011, kasus KDRT sebanyak 119.107 (Republika Online, Sabtu, 28 April 2012, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/ 27/ m34tjt-kasus-kdrt-meningkat). Data yang disampaikan oleh KPPPA sama dengan data dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2011. Komnas Perempuan menyampaikan informasi data kasus kekerasan

6 terhadap perempuan yang ditangani oleh 393 lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan yang tersebar di 30 Provinsi. CATAHU Komnas PerempuanTahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat 119.107 kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan sepanjang tahun 2011. Kasus kekerasan di dalam rumah tangga(kdrt) masih menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh lembaga pengada layanan113.878 kasus (95,61%). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,(2012:4) dalam CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2011, menyampaikan bahwa kasus kekerasan di Indonesia, dari jumlah kasus yaitu 113.878 kasus di lingkup domestik, lebih dari 97% atau 110.468 kasus adalah kekerasan terhadap isteri, teridentifikasi bahwa di dalam lingkup domestik, kekerasan psikis paling banyak dialami 103.691 kasus, berturut-turut jenis kekerasan ekonomi 3.222 kasus, kekerasan fisik 2.790 kasus, serta kekerasan seksual 1.398 kasus. Dari angka kasus tersebut di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan mencapai 3.996 kasus, hal ini disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Tumbu Saraswati. (Aloysius Budi Kurniawan: Kompas.com,http://travel.kompas.com /read/2012/10/04/20573173/kasus.kdrt.di.yogyakarta. Masih.Tinggi,Kamis, 4 Oktober 2012). Data angka kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak di Kabupaten Gunungkidul yang dilaporkan pada Forum Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA) Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2010 sampai dengan 2012 tercatat sebanyak 162 kasus.

7 Rifka Annisa, (2009:33) menyampaikan bahwa kecenderungan laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga diselesaikan secara mediasi dan damai atau kekeluargaan pada tingkat penyidikan di Kepolisian. Ada anggapan kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan karena merupakan delik aduan. Selain itu aparat penegak hukum juga berpegang pada tujuan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Rifka Annisa, (2009:38-39) dalam Pemantauan Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Enam Propinsi Di Indonesia dalam Tabel 6 Data Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Status Penanganannya, disampaikan bahwa jumlah total kasus adalah 519 kasus yang dicabut ada 108 kasus. Dari data tersebut, laporan kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri cenderung dicabut laporannya oleh isteri meskipun ada kemungkinan akan terjadi kasus kekerasan yang sama atau kasus berulang. Pada fase ini belum ada upaya yang dilakukan oleh polisi sebagai aparat penegak hukum untuk melakukan intervensi kepada suami sebagai pelaku kekerasan. Sebagai upaya untuk menghentikan kekerasan salah satunya adalah dengan intervensi kepada suami sebagai pelaku kekerasan untuk melakukan konseling perubahan perilaku, dan ini merupakan persoalan yang akan diteliti oleh penulis. Laporan atau aduan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

8 dikategorikan sebagai delik biasa dan delik aduan. Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum, delik adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Teguh Prasetyo, (2010:57) menyampaikan bahwa delik biasa adalah tindak pidana yang penuntutannya tidak dilakukan atas dasar adanya pengaduan sehingga disebut delik bukan aduan atau delik pokok, sedangkan delik aduan yang disebut juga dengan klachdelict adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pegaduan dari pihak yang berkepentingan atau yang terkena tindak pidana tersebut. Terdapat dua jenis delik aduan yaitu delik aduan absolut, yang penuntutannya hanya berdasarkan pegaduan dan delik aduan relatif disini karena adanya relatif antara pelaku dengan korban. Pemahaman masyarakat dan penegak hukum tentang perbedaan delik aduan dengan delik biasa yang masih belum sama terkait dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, merupakan salah satu penyebab kasus-kasus kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami banyak yang dicabut, meskipun kekerasan itu adalah delik biasa dan tidak dapat dicabut aduan atau laporannya oleh korban. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri yang diproses sampai ke persidangan hingga mendapatkan putusan, sampai saat ini putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum

9 menerapkan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Hasil pemantauan Rifka Annisa, (2009:61) dalam Pemantauan Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Enam Propinsi Di Indonesia, dikemukakan bahwa belum pernah ada hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban megikuti konseling bagi pelaku, walaupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah diatur, sedangkan dalam pengamatan penulis dalam pra penelitian di Kabupaten Gunungkidul, belum ada hakim Pengadilan Negeri Wonosari yang menjatuhkan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pidana tambahan berupa konseling bagi pelaku sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai arti yang sangat penting karena merupakan salah satu bentuk intervensi terhadap suami sebagai pelaku kekerasan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dalam rangka memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Berdasarkan uraian di atas, penulis menyusun tesis yang berjudul Pidana Tambahan Berupa Konseling Perubahan Perilaku Bagi Suami sebagai pelaku kekerasan Terhadap Isteri Dalam Rumah TanggaDi Kabupaten Gunungkidul.

10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami mencabut laporan/aduannya atau tidak dilanjutkan ke tahap persidangan meskipun ada kecenderungan kekerasan tersebut akan terjadi kembali? 2. Mengapa hakim belum menerapkan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga? C. Batasan Masalah Dalam penelitian tesis ini batasan masalah yang pertama adalah mengenai pencabutan aduan atau laporan dariisteri sebagai korban kekerasan oleh suaminya dalam lingkup rumah tangga, kekerasan tersebut yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Batasan masalah yang kedua adalah pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang belum diterapkan oleh hakim.

11 D. Batasan Konsep Batasan konsep yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Pidana tambahan, menurut Kamus Hukum Belanda Indonesia (2002:64) dalam bahasa Belanda disebut dengan bijkomende straf, Andi Hamzah, (2008:121) menyampaikan bahwa pidana tambahan adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan disamping pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP; yaitu terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pidana tambahan berupa : a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku dan, b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. 2. Konseling menurut Elli Nurhayati, (2002:1-2) adalah sebuah proses interaksi dua orang (atau lebih) yaitu antara konselor atau orang yang memberikan konseling dengan klien atau konseli atau orang yang memiliki persoalan, melalui metode wawancara dengan bersifat terarah, terkendali, terbatas dan ada kontraknya, bertujuan memecahkan masalah atau mencari solusi, untuk menemukan jati diri dan kekuatan

12 dalam memecahkan masalahnya. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2012:725) yang dimaksud dengan konseling adalah pemberian bimbingan oleh yang ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologis dan sebagainya, atau pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah. 3. Perubahan perilaku suami sebagai pelaku kekerasan menurut Nur Hasyim,(2010:31-33) adalah suatu keadaan berubahnya perilaku suami sebagai pelaku kekerasan, menjadi tidak lagi melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Perubahan perilaku tersebut diantaranya ditandai dengan adanya kesadaran mengenai konsep kelelakian, merumuskan konsep baru tentang laki-laki, dan mulai melakukan perubahan perilaku bahwa tindakan kekerasan adalah melanggar hukum, dan pelaku sungguh menyesali perbuatannya, pelaku dapat menunjukkan sikap menghormati terhadap perempuan, anak dan orang lain serta dapat mengendalikan diri/emosi mengelola marah, sehingga dapat masuk/ reintegrasi pada lingkungan keluarga dan mewujudkan keutuhan rumah tangga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2012:1514,1056) yang dimaksud dengan perubahan adalah hal (keadaan) berubah, sedangkan yang dimaksud dengan perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan, sehingga dapat diartikan perubahan perilaku adalah

13 keadaan berubahnya tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak terdapat definisi perubahan perilaku suami sebagai pelaku kekerasan, hanya saja dalam penjelasan Pasal 50 huruf b menyebutkan tentang maksud dari penetapan konseling bagi pelaku adalah untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku danmenjaga keutuhan rumah tangga. 4. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 5. Suami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2012:1343) adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan (isteri). 6. Isteri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2012:552) adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami. 7. Pelaku kekerasan adalah pelaku kekerasan yang berada di lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

14 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi: suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan mereka (suami, isteri, dan anak) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Namun dalam penelitian ini pelaku kekerasan khusus pada suami. Suami sebagai pelaku kekerasan adalah suami yang melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga terhadap isteri. 8. Rumah tangga, menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalahsuami, isteri, dan anak; dan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan mereka karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut yang dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

15 E. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada tesis yang membahas pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga. Beberapa tesis dari para penulis lainnya yang memiliki kaitan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah : 1. Heriyono, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, Program Studi Magister Kenotariatan, tesis dengan judul: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Permasalahan adalah : a. Bagaimanakah konsep kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian menurut Undang-Undang Nomor1Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam; b. Bagaimanakah proses pembuktian dalam perkara perceraian dengan alasanadanya kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama; c. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumahtangga. 2. Sri Maryani,Pascasarjana Universitas Atmajaya Yogyakarta, Program Studi Magister Ilmu Hukum, tesis dengan judul: Efektifitas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Dalam Upaya Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

16 Permasalahan adalah bagaimanakah efektifitas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam mewujudkan tujuan yaitu untuk mencegah terjadinya kekerasan, melindungi korban kekerasan, menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga. 3. Ni Putu Trisna Dewi,Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Program Studi Ilmu Hukum, tesis dengan judul : Analisis Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004). Permasalahan adalah bagaimanakah kebijakan formulatif terhadap tindak pidana dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dari ketiga contoh tesis diatas memiliki permasalahan yang berbeda dengan penulis, walaupun tema sentral penulisan sama yaitu tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan akademis atau teoretis terhadap upaya pengkajian dan pengembangan Ilmu Hukum khususnya Hukum Pidana (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

17 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan praktis sebagai bahan masukkan bagi hakim dalam rangka penegakan hukum untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pemberian pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga demi mewujudkan tujuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Hasil penelitian ini juga sebagai bahan bagi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. G. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji alasan isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, yang dilakukan oleh suami, mencabut laporan/aduannya atau tidak dilanjutkan ke tahap persidangan, meskipun ada kencenderungan kekerasan tersebut akan terjadi kembali. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji, alasan hakim belum menerapkan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga.

18 H. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bagian pendahuluan dari penulisan ini berupa latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, batasan konsep, keaslian penelitian, manfaat penelitian dan tujuan penelitian, sistematika penulisan. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Bagian tinjauan pustaka, mendiskripsikan tentang pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga yaitu mengenai hukum pidana, delik biasa dan delik aduan, laporan dan pengaduan, pidana pokok dan pidana tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan mendiskripsikan tentang suami dan isteri, kekerasan dalam rumah tangga dan landasan teori yaitu teori struktural fungsional, teori konflik dan teori pemidanaan yaitu teori relatif. BAB III: METODE PENELITIAN Bagian metode penelitian ini memaparkan mengenai jenis penelitian, pendekatan, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan proses berfikir.

19 BAB IV : HASIL PENELITIAN Bagian hasil penelitian menguraikan tentang : A. Alasan isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, yang dilakukan oleh suami mencabut laporan/aduannya atau tidak dilanjutkan ke tahap persidangan, meskipun ada kencenderungan kekerasan tersebut akan terjadi kembali dan B. Alasan hakim belum menerapkan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian penutup dari penulisan yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan atas jawaban mengapa isteri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, yang dilakukan oleh suami mencabut laporan/aduannya atau tidak dilanjutkan ke tahap persidangan, meskipun ada kencenderungan kekerasan tersebut akan terjadi kembali dan kesimpulan atas jawaban mengapa hakim, belum menerapkan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga. Saran yang terkait dengan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku bagi suami sebagai pelaku kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga.