B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

ABSTRAK. A. Latar belakang masalah

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN YANG BERLATAR BELAKANG ETNIS BATAK DAN ETNIS JAWA. Mia Retno Prabowo Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

dalam suatu hubungan yaitu pernikahan. Pada kenyataannya tidak semua pasangan pernikahan berasal dari latar belakang yang sama, salah satunya adalah p

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yang digunakan, subjek penelitian, metode pengumpulan data, alat

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 3 METODE PENELITIAN. kualitatif., artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif.

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2012), metode penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif, yaitu suatu jenis penelitian yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai jika didekati dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB III METODE PENELITIAN. pengamatan fenomena sosial yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

BAB III METODE PENELITIAN. bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. duka cita dan strategi coping stres pada wanita dewasa awal atas kematian ayah,

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Iskandar (2009), penelitian kualitatif digunakan untuk

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. komunitas, atau bahkan suatu bangsa (Poerwandari 2011). tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB III METODE PENELITIAN. Permasalah penelitian yang ingin dijabarkan disini adalah mengenai

BAB II LANDASAN TEORI

Kecerdasan Emosi Pada Pemain Biola Remaja Putra. Disusun Oleh : NPM : Jurusan : Psikologi

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

Gambaran 26konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan penelitian kualitatif fenomenologis.

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

3. METODE PENELITIAN

dibakukan berdasarkan pengukuran tertentu. Dalam pendekatan kualitatif dilakukan pemahaman

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. adat ( kebiasaan ), tujuan gaya hidup dan semacamnya.

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Metode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

Hubungan Religiusitas dengan Kepuasan Pernikahan pada Individu yang Menikah Melalui Ta aruf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan

BAB III METODE PENELITIAN

PEDOMAN WAWANCARA. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB III METODE PENELITIAN. yang dialami individu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Herdiansyah. sehingga mampu mengembangkan pola dan relasi makna.

BAB I PENDAHULUAN. dari perkembangan dewasa muda (Hurlock, 1990). Mereka menginginkan agar

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB III METODE PENELITIAN. Moeloeng, 2005:4) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

Transkripsi:

Nama : Joko Adhi Prasetyo NPM : 10501162 Fakultas : Psikologi Tgl. Sidang : 17 Februari 2007 Judul Skripsi : Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Pada Wanita Suku Batak yang Menikah dengan Pria Suku Jawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada. Mereka tersebar di Kepulauan Nusantara yang berjumlah sekitar 13.677 pulau. Mereka dikelompokkan pada sekitar 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan menggunakan bahasa komunikasi yang berbeda-beda yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa. Semua dengan segala aneka warna kebudayaan sendiri-sendiri yang masing-masing dapat dibedakan. Indonesia sebagai negara yang multi-etnik dengan derajat keberagaman yang tinggi mempunyai peluang yang besar dalam berlangsungnya perkawinan antar-etnik atau beda budaya. Salah satu dampak dari bertemunya individu-individu dengan berbagai latar belakang etnik adalah memungkinkan terjadinya perkawinan antar etnik atau beda budaya. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan dalam hubungan antar kelompok etnik, dimana ada sekelompok individu yang ingin mempertahankan identitas kelompoknya namun ada juga individu yang memilih untuk melakukan integrasi sosial yang lebih luas, misalnya melalui perkawinan antar etnik atau beda budaya. Perkawinan antar etnik atau beda budaya adalah perkawinan antar individu dari kelompok etnik yang berbeda dan dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Perbedaan budaya yang dimaksud berkaitan dengan nilai-nilai, keyakinan, adat istiadat, tradisi, dan gaya hidup. Melalui perkawinan campur, individu dari latar belakang etnik yang berbeda dapat saling membantu dalam memperkenalkan tradisi yang berlangsung dalam kelompok etniknya (Duvall & Miller 1985). Jika seorang wanita suku Batak menikah dengan pria suku Jawa, maka disamping menghadapi penyesuaian perkawinan ia juga harus menghadapi perbedaan-perbedaan karena menyatunya dua suku yang berbeda. Perbedaan ini memungkinkan terjadinya benturan-benturan karena perbedaan nilai, sikap, dan kebiasaan baik dalam hubungan dengan suaminya juga hubungan dengan keluarga pihak suami. Adanya perbedaan atau karena tuntutan yang baru tersebut maka membuat pasangan harus mampu menyesuaikan diri. Salah satu prinsip penting dari penyesuaian diri yang baik adalah membuat tujuan yang realistis dan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Haber & Runyon (1984) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik dan harus dimiliki oleh seseorang, yaitu memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas atau kenyataan, mampu mengatasi atau menangani stres dan kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu untuk mengekspresikan perasaan, dan yang terakhir memiliki hubungan interpersonal yang baik.

Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang penyesuaian dirinya baik atau akurat adalah mereka yang dengan keterbatasan, kemampuan serta kepribadiannya untuk bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang matang, efisien, bermanfaat dan memuaskan. Selain itu, ia dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang berasal dari dalam diri maupun lingkungannya. Dengan demikian, agar individu dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka ia harus memiliki beberapa karakteristik penyesuian diri diatas. Sedangkan individu yang penyesuaian dirinya tidak baik atau tidak akurat adalah mereka yang tidak mampu mengatasi konflik yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan frustrasi pada dirinya. Selain beberapa karakteristik di atas, menurut Burgess & Locke (1971) terdapat juga beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam perkawinan, yaitu karakteristik pribadi, latar-belakang budaya, partisipasi sosial, pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, usia saat menikah, pendidikan, penyesuaian terhadap keluarga, tingkah laku seksual, dan jumlah anak. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa penyesuaian diri di dalam perkawinan tidak terlepas dari kesediaan masing-masing individu untuk bisa memahami pasangannya dalam berbagai cara. Tetapi kepribadian, kesediaan berempati, latar-belakang individu dan berkomunikasi yang baik juga merupakan syarat yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melihat gambaran penyesuaian diri dalam perkawinan wanita Batak yang menikah dengan pria suku Jawa. B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran penyesuaian diri dalam perkawinan pada wanita suku Batak yang menikah dengan pria suku Jawa? 2. Mengapa penyesuaian diri dalam perkawinan pada wanita suku Batak yang menikah dengan pria suku Jawa terbentuk demikian? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam perkawinan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan wanita suku Batak yang menikah dengan pria suku Jawa. 2. Untuk mengetahui secara mendalam mengapa penyesuaian diri dalam perkawinan wanita suku Batak yang menikah dengan pria suku Jawa terbentuk demikian. D. Manfaat Penelitian Adapun menfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Praktis Memberikan informasi dan gambaran tentang penyesuaian diri dalam perkawinan pada pasangan suami-istri yang berbeda budaya sehingga secara tidak langsung dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penyesuaian perkawinan dengan latar belakang budaya yang berbeda. 2. Manfaat Teoritis Memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Lintas Budaya dan diharapkan dapat digunakan sebagai

referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan pada pasangan suami-istri yang berbeda budaya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Sebelum membahas teori tentang penyesuaian diri dalam perkawinan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai penyesuaian diri secara umum. Hal ini dikarenakan penyesuaian diri merupakan bagian dari penyesuaian perkawinan. Atwater (1983) mengemukan salah satu konsep tentang penyesuaian yaitu penyesuaian diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila diperhatikan lebih lanjut, tampaknya ada tiga elemen di dalam proses penyesuaian diri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Atwater (1983). Ketiga elemen tersebut adalah diri seseorang (ourselves), orang lain (others) dan perubahan (changes). Ketiga elemen ini merupakan unsur yang ada dalam setiap proses adaptasi. Selain itu, Lazarus (1976) mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat dilihat melalui dua perspektif, antara lain : a. Penyesuaian sebagai hasil (Adjustment as an achievement). Di sini penyesuaian menyangkut kemampuan, hasil, atau status akhir. Dalam pandangan ini, seseorang dikategorikan mampu menyesuaikan diri dengan baik (adjusted) atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik (maladjusted). (Haber & Runyon 1984). b. Penyesuaian sebagai proses (Adjustment as a process). Di sini penyesuaian dipandang sebagai proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu perubahan yang dialami seseorang dalam hidupnya sebagai suatu proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Locke (dalam Scanzoni & Scanzoni 1976) mendefinisikan penyesuaian diri dalam perkawinan sebagai suatu kepuasan yang akan dirasakan pasangan bila pasangan dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan masalah dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Selain itu, Atwater & Duffy (1999) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dalam perkawinan adalah perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan. Laswell & Laswell (1987) mengatakan bahwa penyesuaian diri dalam perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses yang terus-menerus terjadi. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dalam perkawinan adalah perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan yang ditandai dengan adanya persetujuan antara suami-istri pada hal-hal yang penting dalam perkawinan, seperti adanya minat dan aktivitas yang

dilakukan bersama, saling mengungkapkan kasih sayang serta saling percaya di mana pasangan tersebut merasa cocok satu sama lain dan hubungan di antara keduanya dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. 2. Karakteristik Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Menurut Haber & Runyon (1984) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki oleh seseorang, yaitu : a. Memiliki Persepsi yang Akurat terhadap Realitas atau Kenyataan (Accurate Perception of Reality) Persepsi yang dimiliki individu biasanya diwarnai dengan keinginan dan motivasinya. Hanya pada saat-saat tertentu individu dapat melihat dan mendengar apa yang benar-benar dilihat dan didengar. Sehubungan dengan persepsi yang akurat terhadap kenyataan, aspek yang terpenting adalah kemampuan individu untuk mengenali konsekuensi dari tindakannya dan mengarahkan tingkah lakunya. b. Mampu Mengatasi atau Menangani Stres dan Kecemasan (Ability to Cope with Stress and Anxiety) Di dalam kehidupan, individu sering menghadapi berbagai macam masalah. Masalah-masalah tersebut ada yang dapat diatasi, namun ada juga yang tidak berhasil ditangani dengan baik. Masalah yang tidak terselesaikan akan menimbulkan rasa kecewa, stres, kecemasan bahkan rasa tidak bahagia dalam diri individu. c. Memiliki Citra Diri yang Positif (A Positive Self Image) Banyak psikolog sepakat bahwa persepsi diri seseorang itu merupakan indikator dari kualitas penyesuaian dirinya. d. Mampu untuk Mengekspresikan Perasaan (Ability to Express Feeling) Penyesuaian diri yang sehat dilandasi dengan kontrol diri yang baik, yaitu tidak mengontrol diri secara berlebihan namun juga bukan berarti lepas kontrol sama sekali. e. Memiliki Hubungan Interpersonal yang Baik (Good Interpersonal Relation) Orang yang penyesuaian dirinya efektif, mampu untuk mencapai tingkat keakraban (intimacy) yang cocok dalam hubungan sosialnya. Mereka biasanya kompeten dan selalu merasa nyaman ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, mereka pun akan membuat orang lain merasa nyaman ketika ia ada bersamanya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah mereka yang dengan keterbatasan, kemampuan serta kepribadiannya untuk bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang matang, efisien, bermanfaat dan memuaskan. Dengan demikian, agar individu dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka ia harus memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas, mampu mengatasi kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Sedangkan individu yang memiliki penyesuaian diri yang tidak baik adalah mereka yang tidak mampu mengatasi konflik yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan frustrasi pada dirinya.

3. Area Penyesuaian Diri dalam Perkawinan John, Sutton & Webster (1970) menyatakan bahwa ada beberapa area penyesuaian pada suatu perkawinan, yaitu : a. Kepribadian dan Kemampuan untuk Saling Menyesuaikan Diri dengan Pasangan (Personality-Getting Along with Each Other). Hal ini menyangkut kemampuan untuk saling menyesuaikan diri terhadap pribadi serta kebiasaan-kebiasaan pasangannya. b. Pembagian Peran (Roles). Suami-istri harus membicarakan peran-peran yang berkaitan dengan tugasnya sebagai suami-istri. c. Pendapatan Keluarga (Family Income). Pada area ini, pasangan suami-istri harus melakukan penyesuaian terhadap pengelolaan pendapatan atau sumber keuangan keluarga termasuk pemakaiannya. d. Rekreasi atau Kegiatan Waktu Luang (Recreation). Kesesuaian antara suami dan istri mengenai pemakaian waktu bagi keluarga untuk berekreasi atau bersenang-senang bersama keluarga. 4. Kriteria Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Burgess & Locke (1960) membatasi kriteria penyesuaian dalam perkawinan yang ditandai oleh hal-hal berikut : a. Adanya kesesuaian pendapat antara suami dan istri dalam hal-hal yang dapat menjadi permasalahan berat/ besar. b. Adanya minat dan kegiatan bersama. c. Adanya pengungkapan kasih sayang dan rasa saling percaya. d. Memiliki sedikit keluhan. e. Tidak banyak memiliki perasaan kesepian, sedih, marah dan semacamnya. Menurut tokoh tersebut, terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut mengindikasikan dan menunjukkan adanya penyesuaian perkawinan. Semakin banyak tanda-tanda tersebut ditemukan dalam sebuah perkawinan berarti semakin tinggi tingkat penyesuaian di antara pasangan tersebut. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Burgess & Locke (1971) mengungkapkan 9 faktor dasar yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu : a. Karakteristik Pribadi. Persamaan karakteristik pribadi antar pasangan suami-istri sangat berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. b. Latar-Belakang Budaya. Persamaan latar-belakang budaya adalah suatu hal yang menguntungkan bagi suami-istri. c. Partisipasi Sosial. Kepuasan perkawinan sangat berhubungan dengan jumlah orang yang dekat dengan pasangan suami-istri. d. Pengalaman Berhubungan dengan Lawan Jenis.

Masa pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang mudah, sedangkan keterbatasan waktu berhubungan akan berdampak pada kesulitan penyesuaian perkawinan. e. Usia Saat Menikah. Usia adalah faktor yang turut menentukan keberhasilan penyesuaian perkawinan. f. Pendidikan. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah. g. Penyesuaian Terhadap Keluarga. Seorang pria atau wanita yang menikah tidak hanya menikahi pasangannya saja tetapi juga menikah dengan keluarga pasangannya. h. Tingkah Laku Seksual. Penyesuaian perkawinan juga berhubungan dengan persamaan nilai dan harapan pasangan suami-istri dalam masalah seks. i. Jumlah Anak. Karena setiap pasangan suami-istri memiliki perbedaan tentang jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan latar-belakang yang ada pada pasangan suami-istri. 6. Tahap Tahap Perkawinan. Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994) menyatakan bahwa ada tiga tahap yang dilalui pasangan suami-istri dalam usaha membangun pernikahan mereka, yaitu : a. Fase Blending yang terjadi pada tahun pertama. Suami dan istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa mereka saling tergantung sehingga perbuatan seseorang akan mempunyai konsekuensi terhadap yang lain. b. Fase Nesting yang terjadi antara tahun kedua dan ketiga. Suami dan istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai timbul konflik-konflik dalam pernikahan. c. Fase Maintaining biasanya dimulai setelah tahun keempat. Pada fase ini tradisi sudah mulai terbentuk dan konflik yang muncul pada fase sebelumnya biasanya sudah mulai dapat teratasi. Kualitas dari pernikahan itu pun sudah mulai terlihat. B. Gambaran Etnis Batak dan Jawa 1. Etnis Batak a. Masyarakat Batak Yang disebut sebagai wilayah Batak, biasa disebut tano (tanah) Batak, yaitu daerah sekitar Danau Toba di Sumatera bagian Utara ditambah bagian Selatan dan Tenggara Aceh, atau antara 0,5-3,5 Lintang Utara dan 97,5-100 Bujur Timur dengan luas wilayah ± 50.000 km² (Joustra dalam Purba dan Purba 1997).

Bangso Batak dipecah-pecah menjadi Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Dairi, Batak Angkola-Mandailing, dan Batak Nias (Malau 2000). b. Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Batak Nilai budaya Batak mencakup segala aspek kehidupan orang Batak. Harahap (1987) mengelompokkannya menjadi tujuh nilai yang dapat dianggap sebagai nilai utama, yaitu : a) Kekerabatan. Nilai kekerabatan berada di tempat yang paling utama. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu. b) Agama. Ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, seperti Angkola-Mandailing, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada wilayah yang penganutnya berimbang, seperti wilayah Batak Simalungun. c) Hugabeon. Nilai budaya hugabeon bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu, dan baik-baik. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap jika belum mempunyai anak, terlebih lagi anak laki-laki. d) Hamoraon. Adapun nilai kehormatan menurut adat Batak terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan materil yang ada pada diri seseorang. e) Uhum dan Ugari. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan pada ugari (habit) serta dengan padan (janji). Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang Batak yang sempurna. f) Pengayoman. Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak. g) Marsisarian. Artinya saling mengerti, menghargai, dan membantu. Prinsip ini merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik atau pertikaian. 2. Etnis Jawa a. Masyarakat Jawa Etnis Jawa tinggal di Pulau Jawa yang termasuk Kepulauan Sunda Besar di Kepulauan Indonesia. Pulau ini panjangnya ± 1.100 km, sedangkan lebarnya ± 120 km. Luas Pulau Jawa adalah 132.187 km². Daerah suku bangsa Jawa adalah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Menurut Malik (dalam Indriyani 2002) batasan yang disebut sebagai orang Jawa adalah orang-orang yang berasal dari etnis bangsa Jawa, dalam arti ia merupakan anak dari pasangan suami-istri Jawa. Apabila ia telah menikah, maka istri atau suaminya tersebut juga berasal dari etnis bangsa Jawa.

b. Nilai Nilai Budaya Masyarakat Jawa Bagi masyarakat Jawa terdapat dua nilai yang dianggap sebagai kaidah dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kaidah pertama disebut dengan nilai kerukunan, sedangkan kaidah yang kedua disebut sebagai nilai penghormatan. Kedua nilai ini merupakan kerangka normatif yang menentukan segala bentuk interaksi dalam masyarakat Jawa (Suseno 2001). Adapun penjelasan dari kedua nilai tersebut adalah : a) Nilai Kerukunan. Nilai kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tenteram. b) Nilai Penghormatan. Menurut prinsip ini setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat pada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif disini berupa studi kasus. Studi kasus adalah studi yang mempelajari fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi. Kasus ini dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa (Poerwandari 1998). Menurut Poerwandari (1998) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu : a. Studi Kasus Instrinsik. Penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori-teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan. b. Studi Kasus Instrumental. Penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan atau memperhalus teori. c. Studi Kasus Kolektif. Suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena atau populasi dengan lebih mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus yang baik didalam kasus maupun antar kasus, studi kasus ini sering juga disebut studi kasus majemuk atau studi kasus komparatif. B. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek Subjek penelitian adalah seorang wanita dari suku Batak yang telah menikah dengan pria suku Jawa selama ± 2 tahun. Alasan mengapa mengambil subjek yang telah menikah selama ± 2 tahun adalah karena usia perkawinan yang terjadi antara

tahun kedua dan ketiga termasuk dalam fase Nesting, yaitu dimana suami dan istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai timbul konflik-konflik dalam pernikahan (Kurdek & Smith 1994). 2. Jumlah Subjek Tidak ada aturan tertentu mengenai jumlah subjek dalam penelitian kualitatif. Subjek tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, tujuan penelitian, kredibilitas dan manfaat penelitian serta apa yang dapat dilakukan peneliti dengan waktu dan sumber yang terbatas (Patton 1990). Jadi, dalam penelitian ini subjek berjumlah satu orang. C. Tahap - Tahap Penelitian Adapun tahap-tahap dalam penelitian kualitatif ini terbagi atas dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan. 1. Tahap Persiapan : a. Membuat pedoman wawancara. b. Meminta pembimbing untuk menilai dan memberikan masukan terhadap pedoman wawancara yang telah disusun oleh peneliti. c. Peneliti menghubungi responden untuk menentukan waktu dan tempat wawancara. 2. Tahap Pelaksanaan : a. Menemui subjek di tempat dan waktu yang telah disepakati sebelumnya. b. Menjelaskan tujuan penelitian dan menekankan bahwa identitas subjek akan dirahasiakan. c. Mengisi identitas subjek. d. Menanyakan kesediaan subjek untuk menggunakan alat perekam selama proses wawancara berlangsung. e. Mulai mengajukan pertanyaan yang ada di dalam pedoman wawancara. D. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini teknik yang digunakan adalah teknik penelitian kualitatif dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. 1. Pengertian Metode Observasi Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Tujuan dari observasi menurut Poerwandari (1998) adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual dan teliti. Ada dua jenis observasi menurut Ritandiyono (1998), yaitu : a. Observasi Naturalis. Observasi naturalis adalah kegiatan mengamati dan mencatat secara teliti kejadian-kejadian yang muncul secara alami tanpa adanya manipulasi. b. Observasi Sosiometri. Merupakan bentuk observasi khusus dan berharga. Anggota-anggota suatu kelompok saling mengamati, merekam reaksi-reaksi mereka antara satu dengan

yang lain dengan cara tertentu yang memungkinkan peneliti menaksir status sosiometri kelompok. Dalam melakukan penelitian ini jenis observasi yang digunakan adalah observasi naturalis. 2. Pengertian Metode Wawancara Menurut Sarwono (1984) wawancara adalah tanya jawab antara si pemeriksa dan orang yang diperiksa. Maksudnya adalah agar orang yang diperiksa itu mengemukakan isi hatinya, pandangan-pandangannya, pendapatnya dan lain-lain sehingga pemeriksa dapat lebih mengenalnya. Wawancara yang baik memerlukan latihan yang banyak, karena sangat tidak mudah untuk membuka pintu hati seseorang dalam waktu singkat yang tersedia dalam suatu wawancara. Ada beberapa macam wawancara (Sarwono 1984), antara lain : a. Wawancara bebas, ciri khas wawancara ini adalah pertanyaan dan jawaban diberikan sebebas-bebasnya oleh pemeriksa atau yang diperiksa. b. Wawancara terarah, ciri khas dari wawancara ini adalah sudah ada beberapa fokus yang harus diikuti oleh si pemeriksa dalam mengadakan wawancara. c. Wawancara terbuka, ciri khas dari wawancara ini adalah pertanyaan-pertanyaan sudah ditentukan sebelumnya tetapi jawaban dapat diberikan bebas dan tidak terikat. d. Wawancara tertutup, ciri khas dari wawancara ini adalah pertanyaan-pertanyaan sudah ditentukan sebelumya dan kemungkinan-kemungkinan jawaban juga sudah disediakan, sehingga orang yang diperiksa tinggal memilih antara kemungkinan jawaban itu, misal antara ya dan tidak atau setuju dan tidak setuju. Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka. E. Alat Bantu Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu yang terdiri dari : 1. Pedoman Wawancara. 2. Alat Perekam. 3. Pedoman Observasi. 4. Alat Tulis. F. Keabsahan dan Keajegan Yin (1994) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian kualitatif. Empat hal tersebut adalah : 1. Keabsahan Konstruk (Construct Validity). Keabsahan konstruk berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang terukur benarbenar merupakan variabel yang ingin diukur. 2. Keabsahan Internal (Internal Validity). Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat 3. Keabsahan Eksternal (External Validity). Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memiliki sifat

tidak ada kesimpulan akhir yang pasti, penelitian kualitatif tetap dapat dikatakan memiliki keabsahan eksternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut memiliki konteks yang sama. 4. Keajegan (Reliability). Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama sekali lagi. Dalam meningkatkan keajegan dalam penelitian ini, maka peneliti akan melakukannya dengan cara membuat desain penelitian sebaik mungkin serta menerapkan konsep triangulasi terhadap data-data yang telah diperoleh, dan memakai pedoman wawancara yang paling cocok dalam menggambarkan penyesuaian diri dalam perkawinan wanita suku Batak yang menikah dengan pria suku Jawa. G. Teknik Analisis Data Adapun proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan teknik data kualitatif yang diajukan oleh Marshall dan Rossman. Menurut Marshall & Rossman (1995) dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah : 1. Mengorganisasikan Data. Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth interview), yang mana data direkam dengan tape recorder dan alat tulis. 2. Pengelompokkan Berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. 3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan teori sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. 4. Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data. Berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitan tersebut, penulis perlu mencari suatu alternatif penjelasan lain tentang kesimpulan yang telah didapat. 5. Menulis Hasil Penelitian. Dalam penelitian ini penulisan yang dipakai adalah presentasi data yang didapat, yaitu penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan tiap-tiap subjek. 1. Identitas Subjek Nama Usia Jenis Kelamin Agama Suku Bangsa Pendidikan BAB IV HASIL DAN ANALISIS A. Pelaksanaan dan Hasil : S : 26 tahun : Perempuan : Islam : Batak : D III

Pekerjaan Usia Perkawinan Alamat : Pegawai Negeri Sipil : 2 tahun : Jl. Kruing V / 310 Rt. 09/ 006 - Depok Timur B. Analisis Kasus a. Rangkuman Biografi Subjek Pertama (Istri) Waktu Tahun Kejadian/ Peristiwa Penghayatan Subjek/ Interpretasi 1996 Saat kelas satu SMA subjek Subjek merasa senang sekali dan berkenalan dengan pasangannya berharap hari-harinya akan semakin yang sekarang dan mulai indah dengan cerita yang mereka berpacaran. ciptakan berdua. 1996 Oleh pasangannya subjek diperkenalkan kepada ibunya. 1998 Pasangan subjek pindah sekolah ke luar kota. 1999 Subjek dan pasangannya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan kembali tinggal di kota yang sama. 2002 Subjek menyelesaikan pendidikan D-III. 2002 Subjek dan pasangannya bertunangan. 2003 Subjek resmi bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda DKI Jakarta. 2004 Pasangan subjek menyelesaikan pendidikan S 1. Subjek sangat senang karena bisa berkenalan dan bertemu dengan orang tua dari pasangannya. Subjek berharap hubungan subjek dengan pasangannya mendapatkan respon yang positif dari orang tua pasangannya. Saat pasangan subjek pindah sekolah subjek merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan pasangannya. Tetapi walaupun berbeda kota dan sekolah, subjek tetap menjalin komunikasi dengan pasangannya. Subjek merasa senang karena pada akhirnya bisa kembali tinggal di kota yang sama dan dekat dengan pasangannya. Subjek dan pasangannya sudah mulai untuk berpikir tentang rencana masa depan. Subjek merasa senang, akhirnya pendidikan D-III jurusan Teknik Informatika telah selesai. Subjek merasa senang sekali. Ia dan pasangannya sudah resmi diikat. Mereka berencana akan segera menikah bila pasangannya telah menyelesaikan pendidikannya di preguruan tinggi. Subjek merasa senang karena sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri. Subjek merasa senang karena pendidikan pasangannya telah selesai. 2004 Subjek dan pasangannya Subjek merasa senang dan bahagia,

menikah. akhirnya kisah perjalanan cinta subjek dan pasangannya berakhir dengan indah dalam sebuah pernikahan. 2004 Subjek tinggal di rumah orang tua pasangannya. Setelah menikah subjek tinggal di rumah mertua. Subjek melakukan adaptasi terhadap kehidupan barunya sebagai seorang istri dan seorang menantu. Subjek melakukan adaptasi sebaik mungkin. 2006 Subjek pindah ke rumah sendiri. Subjek merasa senang karena telah memiliki tempat tinggal sendiri dan hanya ditempati oleh subjek dan pasangannya. Subjek dan pasangannya kini bisa merasakan kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. b. Gambaran Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Pada Wanita Suku Batak yang Menikah dengan Pria Suku Jawa a) Memiliki Persepsi yang Akurat terhadap Realitas dan Kenyataan Subjek memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas dan kenyataan. Terhadap pendapatan keluarga, ia merasa sudah cukup dengan penghasilan yang didapat oleh suaminya dan subjek sendiri tiap bulannya. Hal tersebut diatas sesuai dengan teori dari Haber & Runyon (1984) yang mengatakan bahwa seseorang yang penyesuaian dirinya baik adalah seseorang yang persepsinya akurat terhadap realitas dan kenyataan. b) Mampu Mengatasi atau Menangani Stres dan Kecemasan Subjek juga mampu untuk mengatasi stres dan kecemasan yang muncul dalam rumah tangganya. Cara mengatasi stres atau kecemasan tersebut biasanya subjek bercerita kepada ibu mertuanya atau menginap dirumah ibu mertuanya. Hal ini sesuai dengan teori dari Haber & Runyon (1984) yang mengatakan bahwa seseorang yang penyesuaian dirinya baik adalah seseorang yang mampu mengatasi stres dan kecemasan yang ada dalam dirinya. c) Memiliki Citra Diri yang Positif Subjek juga memiliki citra diri yang positif. Subjek cukup mampu untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda DKI Jakarta dan sekaligus menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya. Hal ini sesuai dengan teori dari Haber & Runyon (1984) yang mengatakan bahwa seseorang yang penyesuaian dirinya baik adalah seseorang yang memiliki citra diri yang positif. d) Mampu Untuk Mengekspresikan Perasaan Subjek juga mampu untuk mengekspresikan perasaannya. Bila sedang ada masalah, kepada pasangannya biasanya ia mengekspresikan perasaannya lewat sebuah surat. Subjek juga mampu mengekspresikan perasaannya terhadap ibu mertuanya.

Hal ini sesuai dengan teori dari Haber & Runyon (1984) yang mengatakan bahwa seseorang yang penyesuaian dirinya baik adalah seseorang yang mampu untuk mengekspresikan perasaannya. e) Memiliki Hubungan Interpersonal yang Baik Hubungan subjek dengan pasangannya saat ini baik-baik saja. Kepada keluarga subjek sendiri hubungan subjek dan kelurganya saat ini baik-baik saja, subjek juga memiliki hubungan yang baik terhadap keluarga pasangannya. Hal ini sesuai dengan teori dari Haber & Runyon (1984) yang mengatakan bahwa seseorang yang penyesuaian dirinya baik adalah seseorang yang memiliki hubungan interpersonal yang baik. c. Mengapa Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Pada Wanita Suku Batak yang Menikah dengan Pria Suku Jawa Terbentuk Demikian Salah satu faktor yang mendukung terciptanya adaptasi yang baik antara subjek dan pasangannya adalah lamanya mereka tinggal di kota yang sama, yaitu kota Depok. Keduanya lahir dan dibesarkan di kota Depok. Begitu juga orang tua masingmasing yang sudah puluhan tahun tinggal di kota Depok. Persamaan keduanya ini yang membuat penyesuaian diri dalam perkawinan berbeda latar-belakang budaya dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori Landis (1970) yang menyatakan bahwa latar-belakang masing-masing individu berpengaruh terhadap penyesuaian perkawinan. Semakin mirip latar-belakang pasangan suami-istri maka semakin mudah penyesuaian perkawinan terbentuk. Faktor lain yang membuat subjek dan pasangannya dapat melakukan proses penyesuaian diri dengan baik adalah pengalaman berhubungan dengan pasangan. Subjek dan suami menjalani masa pacaran selama sembilan tahun dan pertunangan dua tahun sebelum pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Ini sesuai dengan teori Hurlock (1991) yang menyatakan bahwa masa pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang mudah. Faktor usia saat menikah juga membantu subjek dan pasangannya dalam melakukan penyesuaian diri dalam perkawinan. Subjek dan pasangannya saat menikah berada di usia yang matang, yaitu sama-sama berusia 24 tahun. Hal ini sesuai dengan teori dari Burgess & Locke (1971) yang menyatakan bahwa usia saat menikah adalah faktor yang turut menentukan keberhasilan penyesuaian perkawinan, dimana usia seperti itu adalah usia-usia yang matang. Faktor terakhir yang membantu subjek dalam memudahkan proses penyesuaian diri dalam perkawinan terhadap pasangannya adalah faktor pendidikan. Saat menikah pendidikan terakhir subjek adalah D-III jurusan Teknik Informatika, sedangkan pasangan subjek pendidikan terakhirnya adalah S-1 jurusan Teknik Industri. Ini sesuai dengan teori dari Burgess & Locke (1971) yang menyatakan bahwa individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Gambaran Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Pada Wanita Suku Batak yang Menikah dengan Pria Suku Jawa Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, penyesuaian diri yang dimiliki oleh subjek secara umum adalah baik. Hal ini ditandai oleh : a. Subjek memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas dan kenyataan. Subjek merasa sudah cukup dengan pendapatan keluarga yang diperoleh dari suaminya maupun subjek sendiri tiap bulannya. Subjek juga tidak mengalami kesulitan ketika berhubungan dengan pihak keluarga pasangannya maupun keluarga subjek sendiri. b. Mampu mengatasi dan menangani stres atau kecemasan. Stres yang muncul biasanya diakibatkan karena suami subjek terlambat pulang atau sesekali tidak pulang. Cara mengatasi stres atau kecemasan tersebut biasanya subjek bercerita kepada ibu mertuanya atau menginap dirumah ibu mertuanya. c. Memiliki citra diri yang positif. Subjek cukup mampu untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda DKI Jakarta dan sekaligus menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya. d. Mampu untuk mengekspresikan perasaan. Subjek juga mampu untuk mengekspresikan perasaannya. Bila sedang ada masalah, kepada pasangannya biasanya ia mengekspresikan perasaannya lewat sebuah surat. Subjek juga mampu mengekspresikan perasaannya terhadap ibu mertuanya, biasanya lewat telepon atau berkunjung ke rumah ibu mertuanya. e. Memiliki hubungan interpersonal yang baik. Hubungan subjek dengan pasangannya saat ini baik-baik saja. Kepada keluarga subjek sendiri hubungan subjek dan kelurganya saat ini baik-baik saja, subjek juga memiliki hubungan yang baik terhadap keluarga pasangannya. 2. Mengapa Penyesuaian Diri dalam Perkawinan Pada Wanita Suku Batak yang Menikah dengan Pria Suku Jawa Terbentuk Demikian Terdapat beberapa faktor yang membuat proses penyesuaian diri dalam perkawinan subjek dan pasangannya tercipta dengan baik. Faktor-faktor tersebut antara lain : a. Faktor latar-belakang budaya. Salah satu faktor yang mendukung terciptanya adaptasi yang baik antara subjek dan pasangannya adalah lamanya mereka tinggal di kota yang sama, yaitu kota Depok. Begitu juga orang tua masing-masing yang sudah puluhan tahun tinggal di kota Depok. b. Pengalaman berhubungan dengan pasangan. Faktor lain yang membuat subjek dan pasangannya dapat melakukan proses penyesuaian diri dengan baik adalah pengalaman berhubungan dengan pasangan. Subjek dan suami menjalani masa pacaran selama sembilan tahun. Masa pacaran yang cukup lama ini membantu subjek dan pasangannya dalam melakukan penyesuaian satu sama lain. c. Usia saat menikah.

Faktor usia saat menikah juga membantu subjek dan pasangannya dalam melakukan penyesuaian diri dalam perkawinan. Subjek dan pasangannya saat menikah berada di usia yang matang, yaitu sama-sama berusia 24 tahun. d. Pendidikan. Faktor terakhir yang membantu subjek dalam memudahkan proses penyesuaian diri dalam perkawinan terhadap pasangannya adalah faktor pendidikan. Saat menikah pendidikan terakhir subjek adalah D-III, sedangkan pasangan subjek pendidikan terakhirnya adalah S-1. B. Saran Dari hasil penelitian tentang gambaran penyesuaian diri dalam perkawinan pada wanita suku batak yang menikah dengan pria suku jawa, maka saran yang diajukan peneliti terhadap penelitian ini adalah : 1. Bagi pasangan yang menikah dengan perbedaan latar-belakang dan budaya, perbedaan budaya yang tercipta hendakya tidak dijadikan suatu masalah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 2. Bagi keluarga, agar tetap menjaga kebersamaan dan hubungan yang erat ini dengan cara tetap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. 3. Bagi psikolog atau konselor perkawinan, hasil penelitian ini agar dapat dijadikan pertimbangan dalam menghadapi perkawinan, khususnya perkawinan antar budaya. 4. Bagi masyarakat, agar tidak lagi memandang perbedaan latar-belakang dan budaya sebagai suatu masalah dalam melakukan suatu perkawinan. 5. Untuk penelitian selanjutnya, agar lebih dapat mengembangkan topik yang telah ada ini dengan menggunakan teori dari Burgess & Locke (1960) atau melakukan penelitian perkawinan beda budaya lain yang tidak sama dengan penelitian ini dan membandingkan gambaran penyesuaian dirinya. DAFTAR PUSTAKA Burgess, E.W. & Locke, H.J. (1971). The Family (4 th ed). Canada : Van Nostrand Reinhold Co. Haber, A. & Runyon, R. 1984. Psychology of Adjusment. Homewood, IL : The Dorsey Press. Koentjaraningrat. 1981. Manusia & Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat. Lasswell, M. & Lasswell, T. 1987. Marriage and the Family. Los Angeles, CA : Woodsworth Publishing Co. Poerwandari, E,K. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta : Universitas Indonesia.