BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Lanjutan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] LANJUTAN

Kuliah ke 5 BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13]

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13] Lanjutan

BAB VIII PENATAAN RUANG KAWASAN REKLAMASI PANTAI [15]

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

PEDOMAN PENATAAN RUANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB 5 RTRW KABUPATEN

ARAHAN PENGEMBANGAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA (Studi Kasus : Kota Garut, Jawa Barat)

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Click to edit Master title style

PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA TATA RUANG WI LAYAH KABUPATEN MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Rangkuman tentang Muatan. Rencana Rinci

MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Diktat Perencanaan Infrastruktur Kota

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pikir Studi...

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dian Mayasari, 2013

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI. Laporan Akhir

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab VI TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA TIDORE KEPULAUAN. 6.1 Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Tidore Kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Penataan Kota dan Permukiman

Bab VII Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI TAHUN

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

ANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

PENJELASAN A T A S PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN WONOSOBO TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN. Modul tinjauan umum manajemen bencana, UNDRO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

Transkripsi:

PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. Kuliah ke 10 BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Lanjutan 7.4. Penentuan pola ruang Polaruang kawasan merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu kawasan yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. a. Pendekatan dan prinsip dasar penentuan polaruang Pendekatan penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dilakukan melalui: 1) Pendekatan kajian geologi; 2) pendekatan aspek fisik dan social ekonomi; 3) pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi; dan

4) rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan. Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi adalah: 1) rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung. 2) rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya. b. Tipologi kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan Tipologi kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan terdiri atas dua kawasan yaitu: 1) Perkotaan: a) permukiman i. kerentanan tinggi (ktp): konstruksi bangunan beton tidak bertulang dengan kepadatan bangunan tinggi (>60unit/Ha) dans edang(30 60unit/Ha). konstruksi bangunan beton bertulang dengan kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/ha).

ii. kerentanan sedang(ksp): konstruksi bangunan beton bertulang dengan kepadatan bangunan sedang (30 60 unit/ha) dan rendah (< 30 unit/ semi permanen dengan kepadatan bangunan tinggi(>60unit/ Ha) dan sedang(30 60unit/Ha). Konstruksi bangunan tradisional dengan kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/ha) iii. Kerentanan rendah(krp): konstruksi bangunan semi permanen dengan kepadatan bangunan rendah (< 30 unit/ha). konstruksi tradisional dengan kepadatan sedang (30 60 unit/ha) dan rendah (< 30 unit/ha). b) Perdagangan dan perkantoran i. Kerentanan tinggi (ktk) konstruksi bangunan tidak tahan gempa dengan kepadatan bangunan tinggi (KDB > 70; KLB > 200). ii. kerentanan sedang (ksk) konstruksi bangunan tahan gempa dengan kepadatan bangunan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) dan rendah (< 50; KLB <100). konstruksi bangunan tidak tahan gempa dengan kepadatan bangunan tinggi (KDB>70; KLB>200), sedang (KDB=50-70; KLB=100-200), dan rendah (<50;KLB<100). iii. Kerentanan rendah (krk): Konstruksi bangunan tahan gempa dengan kepadatan bangunan sedang (KDB = 50-70; KLB =100-200). c) industri i. kerentanan tinggi (kti)

konstruksi bangunan tidak tahan gempa dengan skala industri besar ii. kerentanan sedang(ksi): konstruksi bangunan tahan gempa dengan skala industri besar, sedang. konstruksibangunantidaktahangempadenganskalaindust ri sedang dan kecil. iii. kerentananrendah(kri): konstruksi bangunan tahan gempa dengan skala industri kecil. 2) Perdesaan: a) permukiman i. kerentanan tinggi (ktp) konstruksi bangunan beton tak bertulang dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar. konstruksi bangunan beton bertulang dengan pola permukiman mengelompok. ii. kerentanan sedang (ksp): konstruksi bangunan beton bertulang dengan pola permukiman menyebar. konstruksi bangunan semi permanen dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar. konstruksi bangunan tradisional dengan pola permukiman mengelompok. iii. kerentananrendah(krp): konstruksi bangunan tradisional dengan pola permukiman menyebar.

b) Perkantoran dan perdagangan (pusat desa) i. Kerentanan tinggi (ktpd): konstruksi bangunan beton bertulang dan beton tidak bertulang. ii. kerentanan sedang (kspd): konstruksi bangunan semi permanen. iii. kerentanan rendah (krpd): konstruksi bangunan tradisional. c) lahan usaha, tingkat kerentanan lahan usaha ditentukan oleh jenis lahan usaha pertanian yang mempunyai karakteristik berbeda: i. kerentanan tinggi (ktlh) untuk jenis usaha sawah yang beririgasi ii. kerentanan sedang (kslh) untuk jenis usaha ladang. iii. Kerentanan rendah (krlh) untukjenis perkebunan.

d) Pariwisata, khususnya wisata/atraksi ekologis dengan jenis atraksi sebagai berikut: i. Wisata/Atraksi Geofisik ( puncak gunung berapi), dengan jenis atraksi fenomena vulkanis dengan semburan lahar panas dan dingin, keragaman flora fauna, sosio sistem yang khas dan bernuansa vulkan (wg). ii. Wisata/Atraksi Biotis yang meliputi: ekosistem hutan alam tropika pengunungan (Tropical Mountain Forest) yang mempunyai struktur tajuk yang bernuansa vulkan; model suksesi alami dari hutan alam tropika pegunungan yang dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunung berapi. Selain itu juga dapat berupa atraksi seperti: track- ing, air terjun, dan lain-lain (wb) iii. Wisata/Atraksi Abiotis, yaitu berbagai atraksi yang sangat berinteraksi dengan kawasan vulkan tersebut, seperti petualangan dan ke pencinta alaman atauwisata dengan minat khusus (wa) iv. Wisata/Atraksi Sosio-Kultural, kondisi alam dan masyarakat yang percaya akan supranatural telah membentuk budaya yang khas (ws) v. Wisata/Atraksi Agro-Kultural, seperti agrowisata, hutan rakyat dan berbagai macam pola agroforestry (wak) c. Pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi di daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan tingkat risiko bencana dijelaskan seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. 19

Tabel 1 Peruntukan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi berdasarkan tipologi kawasan Peruntukan Ruang Tipologi A Tipologi B Tipologi C Kota Desa Kota Desa Kota Desa Keterangan: Tidak layak untuk dibangun Dapat dibangun dengan syarat 20

Tabel 2 Persyaratan peruntukan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi Tipologi A B C Perkotaan Dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: hutan kota, industri, pariwisata, permukiman,perdagangan danperkantoran. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: hutankota, industri, permukiman, perdagangan dan perkantoran Ditentukansebagai kawasanlindung Penentuan Pola Ruang Perdesaan Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya danberbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, pariwisata, permukiman, perdagangandan perkantoran. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya danberbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, pariwisata, permukiman, perdagangandan perkantoran Ditentukan sebagai kawasan lindung dan masih dapat dimanfaatkan sebagaikawasan pariwisataterbatas Persyaratan Peruntukan Ruang Perkotaan Perdesaan KTp, KTk, KTi, KSp, KSk, Ksi, ws KSp, KRp, KSk, KRk, Ksi, Kri KTp, KSp, KTpd, KTlh, KSlh, KRlh, hutan produksi maupun hutan rakyat, pertambangan rakyat (batu dan pasir), ws, wak KSp, KRp, KSpd, KRpd, KTlh, KSlh, KRlh, pertambangan rakyat (batu dan pasir), hutan rakyat, wb, wa wg 21

d. Pola ruang kawasan rawan gempabumi Penentuan polaruang kawasan rawan gempa bumi didaerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan tingkat risiko bencana dijelaskan seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Peruntukan ruang kawasan rawan gempa bumi berdasarkan tipologi kawasan Peruntukan Ruang Hutan Produksi Hutan Kota Hutan Rakyat Pertanian Sawah Tiplologi A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pertanian Semusim Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan I Industri Pariwisata Permukiman Perdagangan dan Perkantoran Tidak layakuntukdibangun Dapat dibangun dengansyarat

Tabel 4 Persyaratan peruntukan ruang kawasan rawan gempabumi Tipologi A B Perkotaan Dapat dikembangkan menjadi kawasanbudi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: hutan kota, permukiman, perdagangan dan perkantoran,industri, pariwisata. Dapat dikembangkan menjadi kawasanbudi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya, dan dengan mempertimbangkan karakteristikalam. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: hutan kota, permukiman, industri, perdagangan dan perkantoran,pariwisata Penentuan Pola Ruang Perdesaan Dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan:kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, permukiman, perdagangan dan perkantoran, serta pariwisata. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjang lainnya dengan mempertimbangkan karakteristikalam. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: permukiman, perdagangan dan perkantoran, pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan,pertambangan, kehutanan,pariwisata Persyaratan Peruntukan Ruang Perkotaan Perdesaan Ktp, Ksp, Krp, Ksk, Krk, Ksp, Krp, Kspd, Krpd, Ktlh, Ksi, Kri, ws Kslh, Krlh, hutan produksi, hutan rakyat, pertambangan rakyat (batu dan pasir), wak Ksp, Krp, Ksk, Krk, Ksi, Kri, ws Ksp, Krp, Krpd, Kspd,Ktlh, Kslh, Krlh, hutanproduksi, hutan rakyat, pertambangan rakyat (batu dan pasir),wak 23

24 Tipologi C D E Perkotaan Dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: hutankota, permukiman, perdagangan dan perkantoran, industri, pariwisata Tidak dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan adalahhutan kota Tidak berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya,mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangattinggi. Kegiatan tidak dapat dikembangkan mengingat intensitas gempa yangtinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunamimerusak. Penentuan Pola Ruang Perdesaan Dapat dikembangkanmenjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan: permukiman, perdagangan danperkantoran, pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan,pariwisata Tidak dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Jenis kegiatan yangdapat dikembangkan adalah pariwisataalam Tidak berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya,mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangattinggi. Kegiatan tidak dapat dikembangkan mengingat intensitas gempa yangtinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunamimerusak. Persyaratan Peruntukan Ruang Perkotaan Perdesaan Krp, Krk, Kri, ws Krp, Krpd, Kspd, Ktlh, Kslh, Krlh, hutan produksi, hutan rakyat, wak wa, ws

Tipologi F Perkotaan Ditetapkan sebagaikawasan lindung dan tidak dapat dikembangkan sebagai kawasan budi daya mengingat risiko yang tinggi bila terjadigempa. Penentuan Pola Ruang Perdesaan Ditetapkan sebagai kawasan lindung dan tidak dapat dikembangkan sebagai kawasan budi dayamengingat risiko yang tinggi bila terjadi gempa. Persyaratan Peruntukan Ruang Perkotaan Perdesaan 25

7.5. Struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan social ekonomi masyarakat dikawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional. Dasar penentuan struktur ruang Penataan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan rawan gempa bumi lebih dititik beratkan kepada upaya memelihara dan meningkatkan kualitas ruang melalui upaya peningkatan kelestarian dan keseimbangan lingkungan dengan lebih memperhatikan azas pembangunan berkelanjutan. Kegiatankegiatan sosial ekonomi pada zona-zona dalam kawasan berpotensi bencana lebih bersifat lokal (zonewide), sehingga penataan ruangnya lebih diprioritaskan pada pengembangan system internal kawasan/zona yang bersangkutan dengan tetap mempertahankan hubungan fungsional dengan system wilayah kabupaten/kota dan/atau provinsi. Sistem internal kawasan/zona dalam hal ini adalah struktur ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingka tinternal kawasan/zona yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam menentukan struktur ruang pada masing-masing zona berpotensi bencana harus didasarkan kepada beberapa pertimbangan sebagai berikut: a. Sistem internal kawasan/zona harus dipandang juga sebagai sub-sistem dari system wilayah kabupaten/kota dan/atau provinsi, sehingga struktur ruang kawasan/zona berpotensi bencana mempunyai hubungan fungsional dengan struktur ruang wilayah kabupaten/kota dan/atau provinsi. Dengan demikian dalam penentuannya harus mengacu rencana struktur ruang pada hirarki rencana tata ruang yang lebih tinggi. b. Harus dijaga kesesuaiannya dengan fungsi kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruangnya. c. Melarang kegiatan pemanfaatan ruang yang berdampak tinggi pada fungsi lindung dan merelokasi kegiatan-kegiatan budi daya yang tidak memenuhi persyaratan. d. Memperhatikan criteria tingkat kerawanan/tingkat risiko serta mengupayakan rekayasa untuk mengeliminir faktor-faktor penyebab tingginya kerawanan/ risiko.

e. Mengacu pada beberapa peraturan dan pedoman terkait bidang penataan ruang serta peraturan dan pedoman yang terkait lingkungan dan sumber daya alam. f. Menghormati hak yang dimiliki orang sesuai peraturan perundangundangan. g. Memperhatikan aspek aktifitas manusia yang telah ada sebelumnya (existingcondition) dan dampak yang ditimbulkannya. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi Pada dasarnya rencana struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawang empa bumi adalah penentuan susunan pusat-pusat hunian dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi pada kawasan rawan bencana berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas. Susunan pusat-pusat hunian dan sistem jaringan prasarana dan sarana pendukungnya pada setiap kawasan akan berbeda tergantung dari variasi tingkat kerawanan/tingkat risikonya dan skala/tingkat pelayanannya. Karena itu dalam perencanaan struktur ruangnya harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, tingkat kerawanan, fungsi kawasan, dan tingkat pelayanan dari unsurunsur pembentuk struktur tersebut. Beberapa ketentuan agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktur ruangnya dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5 Arahan struktur ruang kawasan rawan letusan gunungberapi Unsur Pembentuk Struktur Ruang Tipologi A Tipologi B Tipologi C Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pusat Hunian Jaringan Air Bersih Drainase Sewerage Sistem Pembuangan Sampah Jaringan Transportasi Lokal Jaringan Telekomunikasi Jaringan Listrik Jaringan Energi Keterangan: Tidak layak untuk dibangun Dapat dibangun dengan syarat

Tabel 6 Arahan struktur ruang kawasan rawan gempa bumi Unsur Pembentuk Struktur Ruang Tipologi A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pusat Hunian Jaringan Air Bersih Drainase Sewerage Sistem Pembuangan Sampah Jaringan Transportasi Lokal Jaringan Telekomunikasi Jaringan Listrik Jaringan Energi Keterangan: Tidak layak untuk dibangun Dapat dibangun dengan syarat

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL DAFTAR PUSTAKA [1] UU-RI no 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana [2] BNPB : BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA [3] International federation of Red Cross and Red Cresent Societies, http://www.jhsph.edu/research/centers-and-institutes/center-for-refugeeand-disasterresponse/publications_tools/publications/_crdr_icrc_public_health_ Guide_Book/Chapter_1_Disaster_Definitions.pdf [4] International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/aboutdisasters/what-is-a-disaster/ [5] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyususnan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota [6] Endro Sambodo, 1984, Apakah Ring of Fire? https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/19/ring-of-fireapakah-itu/ [7] Disaster Management Notes and Questions, file:///c:/users/ken%20martina/documents/data/diktat%20mitig ASI%20BENCANA/Disaster_Management_Notes_and_Questions.pdf [8] Safer homes, stronger communities: a Handbook for reconstructing after natural disaster: Disaster Type and Impact, http://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/files/disaster_types_and- Impacts.pdf [9] F. Batuk, B Sengezer, O Emem, Relation between disaster management, urban planning and NSDI, http://www.isprs.org/proceedings/xxxvii/congress/8_pdf/2_wg- VIII-2/53.pdf [10] Hilman Sawargana. Kearifan Lokal SMONG Penyelamat bencana tsunami di Pulau Simeueu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. http://www.pusdiklat-geologi.esdm.go.id/ [11] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Rawan Bencana Longsor. 1

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL [12] Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/ 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Rawan Bencana Longsor. [11] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Rawan Bencana Longsor [12] Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/ 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Rawan Bencana Longsor. [13] Pedoman Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://www.pen ataanruang.net/taru/upload/nspk/pedoman/pengendalian_pr_kaw_rbb anjir.pdf [14] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 21 / PRT / M / 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Gempa Bumi. 2