BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang. sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran

mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) terdiri dari

FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENETEPAN PERATURAN DESA DI DESA TUMALUNTUNG SATU KECAMATAN TARERAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN

PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015)

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

KINERJA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN PEMERINTAHAN. Oleh EARLITA KOROMPIS ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

BAB II LANDASAN TEORI

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG. PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Desa menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang. Pemerintahan Daerah, merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang

I. PENDAHULUAN. Dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, berkaitan Undang-Undang. tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22/1999) direvisi menjadi Undang-

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 12 TAHUN 2002 BANTUAN PEMERINTAH DAERAH KEPADA DESA BUPATI BANGKA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

B A B I P E N D A H U L U A N

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara FISIP UPN veteran Jawa Timur

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia saat ini di dasarkan pada Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dalam Bab ini dirikan kesimpulan dan rekomendasi yang dirumuskan dari

I. PENDAHULUAN. demikian besar dan luasnya, maka dibutuhkan strategi pemerintahan yang mantap.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KERJASAMA ANTAR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

I. PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

TENTANG TATA PEMERINTAHAN DESA BUPATI DOMPU,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN REMBANG TAHUN 2007 NOMOR 52, TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NOMOR 63 PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 16/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2000 SERI D NOMOR SERI 6

BAB I PENDAHULUAN. Desa memasuki babak baru ketika pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 akan segera

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 4 Tahun : 2006 Seri : E

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR : 14 TAHUN 2000

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KERJA SAMA DESA

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 24 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Nomor 10 Tahun Tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 05 Tahun : 2010 Seri : E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 8 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 2 Tahun 2007 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2007

SAMBUTAN KEPALA DESA

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB V PENUTUP. Adapun kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai

FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI WAHANA DEMOKRASI DI DESA LOPANA KECAMATAN AMURANG BARAT. Oleh JEINE JOSEPHUS ABSTRAK

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 19 TAHUN 2001 PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 19 TAHUN 2001 PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTADAT DAN LEMBAGA ADAT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Desa adalah unit lembaga terkecil pemerintahan di Negara Kesatuan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program pemerintah ditingkat atasnya. Desa juga merupakan arena penggalangan partisipasi politik yang secra langsung dalam rangka pertumbuhan demokrasi. Selain itu desa yang juga merupakan organisasi lokal yang terendah dalam ketatanegaraan di Indonesia memiliki ciri-ciri dan sifat asal-usul yang unik dalam mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Desa sebagai organisasi pemerintahan yang terendah, setiap program pemerintah dari tingkat pusat sampai kabupaten, berakhir di desa. Selain itu dengan wewenang dan hak-hak yang dimiliki, sangatlah memungkinkan desa untuk membuat program dan peraturan sendiri dalam mengatur hubungan antar warga dalam mewujudkan partisipasi masyrakat dalam pembangunan desa (Sutoro Eko 2004). Lahirnya Undang undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah membawa nuansa baru bagi penyelenggaraan pemerintah di daerah dan desa. Hadirnya undang-undang tersebut tersebut membuat pemerintah daerah dan desa memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan secara demokratis dan partisipatif dalam batas-batas kewenangannya. Nilai demokratis dan partisipasi akan memberi ruang yang lebih leluasa kepada warga masyarakat dalam menentukan pilihan dan mengekspersikan diri secara rasional. Pergeseran politk 1

2 desentralisasi ini membawa pengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintah desa dengan kehadiran lembaga lokal ditingkat desa dimana salah satu institusinya adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai wadah penyalur aspirasi masyarakat. Berkaitan dengan otonomi desa yang berperspektif demokratisasi, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, telah menempatkan Badan Perwakilan Desa pada posisi yang stategis untuk menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini keberhasilan otonomi desa sangat ditentukan oleh ssejauh mana masyarakat desa dapat mengekspresikan kebutuhanya dan berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berlangsun di desanya (Suhartono 2003). Dalam UU No 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi dengan UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pasal mengenai BPD membawa harapan besar bagi demokrasi ditingkat desa. Gagasan pembentukan BPD menjadi penting karena, pertama, bahwa dengan hadirnya BPD berarti mulai diakui suatu pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif dimana pada masa Orde baru kedua fungsi itu disatukan. Kedua, dengan adanya BPD aspirasi masyarakat desa diharapkan mudah tersalurkan. Sebelum adanya undang undang No 22 tahun 1999 sudah ada undang undang sebelumnya yaitu undang undang N 5 tahun 1979 yang juga mengatur tentang desa. Dalam Undang-undang ini juga mengatur tentang lembaga desa yang berfungsi mengatur aspirasi masyarakat yaitu Lembaga Musyawara Desa (LMD). LMD merupakan wada permusyawaratan/permufakatan dari pemuka

3 pemuka masyarakat yang ada di desa. Jika menilik dari sistem pemerintahaan desa yang merupakan wujud dari pemerintahan yang terkecil dalam sebuah Negara maka LMD merupakan wujud dari Dewan Perwakilan Desa., akan tetapi pada kenyataanya, LMD ini hanya merupakan suatu wadah tempat melakukan musyawarah para aparat desa dan beberapa tokoh masyarakat yang ditunjuk langsung oleh kepala desa untuk duduk dalam keanggotaan LMD (Dwypayana:2003) Dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Kabupaten. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau yang sering disingkat BPD atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, BPD adalah unsur lembaga dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Peran BPD sangat penting, karena sebagai unsur lembaga yang paling dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan dibentuknya BPD diharapkan dapat terwujudnya suatu proses demokrasi yang baik dimulai dari sistem pemerintahan terkecil yaitu desa.

4 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dibentuk ditiap-tiap desa di seluruh Indonesia yang pembentukannya di latar belakangi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan fungsi dari lembaga ini yakni sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta menjalankan fungsi pengawasan, maka diharapkan dengan efektifnya pelaksanaan fungsi tersebut dapat diwujudkan keseimbangan kekuatan antara elemen masyarakat yang direpresentasikan oleh BPD dengan pemerintah desa. Di level desa perlu dibangun good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yang memungkinkan keterlibatan seluruh elemen desa yang direpresentasikan melalui kelembagaan BPD dalam setiap urusan publik, penyelenggaraan pemerintahan serta merumuskan kepentingan desa. Tentunya ini dapat terwujud apabila BPD memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat tidak hanya terhadap pemerintah desa tetapi juga terhadap pemerintah supra desa. Pelaksanaan fungsi BPD di Desa Rumpuk yang menjadi ukuran dalam menilai kinerja organisasi tersebut meskipun dinilai baik, namun terlepas dari penilaian masyarakat tersebut ternyata masih ditemukan sejumlah fakta yang apabila dikaitkan dengan indikator-indikator kinerja organisasi menunjukkan bahwa ada beberapa indikator kinerja yang belum terpenuhi dalam struktur keanggotaan BPD di Desa Rumpuk yaitu masih adanya sejumlah elemen masyarakat yang belum terwakili dalam struktur keanggotaan lembaga tersebut. Fungsi pengawasan dari BPD dinilai sebagai fungsi yang paling gencar

5 dilaksanakan dibandingkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang lain yaitu menetapkan peraturan desa dan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dimana merupakan fungsi yang paling minim dalam hal penerapan dan pelaksanaannya. Masih terdapatnya pelaksanaan fungsi dari BPD yang dinilai masih minim, tentu tidak dapat dilepaskan dari sejumlah faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi tersebut yaitu faktor pendorong dan penghambat. Salah satu faktor pendorong yang cukup berpengaruh dalam pelaksanaan fungsi tersebut adalah pengalaman individu yang dimiliki oleh anggota BPD perihal pelaksanaan fungsinya, seperti pengalaman kegiatan organisasi kemasyarakatan, dan adapun salah satu faktor-faktor yang dapat menghambat yaitu kurangnya sarana dan prasarana. Mengutip pendapat yang menyorot tentang kinerja Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menyatakan bahwa : berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kemampuan para anggota Lembaga Musyawarah Desa masih terbatas sehingga dengan keterbatasan itu para anggota Lembaga Musyawarah Desa belum memahami, mengkaji dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam undang-undang, maupun yang telah ditetapkan dalam berbagai peraturan pelaksanaannya. Identik dengan masalah yang melingkupi Lembaga Permusyawaratan Desa, kondisi itu juga masih terjadi pada pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), apalagi dengan nuansa yang lebih dinamis, dimana Badan Permusyawaratan Desa semakin dituntut untuk dapat berperan secara aktif

6 menjalankan fungsinya dalam rangka peran partisipatif lembaga dalam membangun desa. Peran partisipatif tersebut akan terhambat secara kolektif, apabila kemampuan sumber daya anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sangat rendah dan atau konteks pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di arahkan kepada tujuan dan maksud tertentu, demi kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Karena begitu kompleksnya fungsi dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sehingga untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan fungsinya, perlu kiranya dikenali beberapa faktor penghambat yang sering terjadi dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai suatu lembaga yaitu antara lain : (1) Dari aspek hubungan dalam organisasi pemerintahan Desa, (2) Komunikasi dan kerjasama organisasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan (3) dari Aspek kemampuan individual anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Desa Rumpuk Kecamatan Mantup, merupakan salah satu wilayah Desa yang secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur. Di lihat dari segi geografisnya, wilayah Desa Rumpuk sangat dekat dengan Ibu kota Kabupaten Lamongan. Kondisi ini menyebabkan Desa Rumpuk harus dapat memposisikan diri secara administrasi dan struktural untuk dapat mengikuti dinamisasi perkembangan wilayah desadesa yang ada disekitarnya. Dinamisasi pertumbuhan pembangunan di Desa Rumpuk, seluruh komponen dalam struktur Pemerintahan Desa (Kepala Desa dan aparaturnya beserta BPD) dituntut untuk dapat berinisiatif secara aktif dalam rangka pemikiran

7 perkembangan dan pertumbuhan Desa Rumpuk. Perkembangan dan pertumbuhan Desa Rumpuk sangat di dukung oleh tingkat kemampuan Pemerintah Desa untuk meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, tingkat perekonomian dan pendapatan masyarakat Desa, pertumbuhan produksi dan hasil usaha masyarakat. Untuk kesemua itu, diperlukan tatanan peraturan yang bersifat mengikat. Dalam arti bahwa ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat Desa Rumpuk tumbuh dan berkembang berdasarkan aspirasi dan dinamika masyarakat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu bentuk struktur kelembagaan BPD sebagai perumus, dan pengayom dalam ketentuan peraturan desa, dimana hal ini harus didukung oleh koordinasi structural intern kelembagaan, kemampuan individu yang berupa kecakapan dalam merumuskan aspirasi masyarakat ke dalam peraturan desa yang bersifat mengikat. Pelaksanaan fungsi BPD di Desa Rumpuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor tersebut dapat saja menjadi faktor Pendorong dan penghambat pelaksanaan fungsi. Faktor tersebut dapat saja bersumber dari individu pengurus BPD yang berupa tingkat pendidikan dan pengalaman, hubungan organisasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan lembaga lain yang ada di desa, dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi BPD, sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan fungsi. Dikalangan masyarakat Desa Rumpuk, masih terdapat perbedaan pandangan terhadap realisasi fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal ini menyebabkan realisasi pelaksanaan fungsi badan tersebut masih sering disalah artikan atau tidak dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat, karena kurangnya

8 pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi yang diemban oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal pokok yang menjadi perdebatan adalah adanya pandangan yang sempit dan keliru yaitu bahwa BPD hanya bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dari Kepala Desa. Sementara tugas dan kewajiban BPD yang harus dilakukan sangat kompleks di antaranya adalah : 1. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa, 2. Mengayomi adat istiadat, 3. Merumuskan rencana pembangunan desa bersama dengan pemerintah desa, 4. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat, 5. Mengawasi atas kebijakan yang dijalankan pemerintah desa, 6. Melaksanakan peraturan desa, 7. Menyetujui anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), 8. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, 9. Membentuk panitia pemilihan kepala desa. Adanya keinginan untuk mengetahui persepsi masyarakat, dilakukan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditujukan untuk lebih meningkatkan kinerja dan kualitas sebagai wadah pengayom, legislasi dan menampung aspirasi masyarakat di desa. Pelaksanaan fungsi pengayoman adat oleh BPD dapat berjalan dengan baik jika adanya peran dari BPD dan juga kesadaran masyarakat yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai sosial yang harus tetap dijaga dan dipatuhi seperti

9 mengedepankan nilai-nilai sosial musyawarah dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul di dalam masyarakat akan menghasilkan jalan keluar yang dapat memuaskan hasil yang diterima. Fungsi BPD dalam Pemerintahan Desa sangat penting, salah satunya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Usulan atau masukan untuk rancangan suatu Peraturan Desa dapat datang dari masyarakat dan disampaikan melalui BPD. Inisiatif juga bisa datang dari Kepala Desa. Usulan-usulan tersebut dilakukan pemeriksaan oleh BPD apakah usulan tersebut mencakup semua keperluan warga desa atau masalah tersebut datangnya hanya dari satu golongan tertentu untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Berkenaan dengan hal di atas, BPD harus tanggap terhadap kondisi sosial masyarakat, setiap keputusan yang dihasilkan diharapkan mampu membawa sebuah perubahan yang bersifat positif bagi semua warga desa. Inisiatif dalam pembuatan Peraturan Desa baik yang datangnya dari anggota BPD maupun dari Kepala Desa terlebih dahulu dituangkan dalam rancangan Peraturan Desa. Rancangan yang datang dari Kepala Desa diserahkan kepada BPD untuk dibahas dalam rapat BPD untuk mendapatkan persetujuan dari anggota BPD, demikian juga sebaliknya apabila rancangan Peraturan Desa datang dari BPD maka harus dimintakan persetujuan Kepala Desa. Setelah mendapatkan persetujuan bersama, maka rancangan tersebut diserahkan kepada Desa untuk dijadikan sebuah Peraturan Desa. BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa berpedoman kepada kebijakan yang telah disepakati bersama yaitu

10 program kerja, APBDes serta berbagai peraturan perundang undangan yang berlaku. Konsisten dalam melakukan pengawasan terhadap bagaimana suatu program pemerintah, fungsi pemerintahan, peraturan dan keputusan yang telah ditetapkan bersama akan mengurangi adanya penyelewengan atas kewenangan dan keuangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Tujuan dilakukan pengawasan yaitu agar pelaksanaan suatu kegiatan dapat berjalan dan mencapai hasil sebagaimana yang telah direncanakan atau diprogramkan sebelumnya. Di Desa Rumpuk, fungsi BPD belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya persepsi masyarakat yang menganggap BPD tidak menjalankan fungsinya yakni fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan program yang telah disepakati, sehingga banyak program yang dijalankan oleh kepala desa sering terjadi penyelewengan. Begitu juga dengan Aspirasi masyarakat yang ditampung dan disalurkan BPD belum representatif. Berdasarkan pemikiran di atas penulis tertarik untuk melakukan kajian khusus mengenai persepsi masyarakat tentang pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam suatu judul penelitian yaitu: Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Rumpuk Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

11 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Rumpuk? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Rumpuk? 1.3. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Rumpuk. 2. Untuk mengetahui faktor - faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Rumpuk. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Akademik Sebagai bahan referensi dan bahan pembanding dalam pembahasan dan pengkajian ilmu pengetahuan khususnya mengenai persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi BPD demi kemajuan dan penyempurnaan kelembagaan Desa di Desa Rumpuk dan bagi peneliti lain yang berminat pada topik yang sama meskipun lokasi yang berbeda.

12 2. Manfaat Praktis Bagi Pemerintah Desa khususnya di Desa Rumpuk dalam rangka meningkatkan pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa demi kemajuan Sistem Pemerintahan Desa.