Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil peneletian ini diharapkan bisa menjadi. sumber referensi dalam melakukan peneletian lainnya yang sejenis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

APBD KABUPATEN GARUT TAHUN ANGGARAN ) Target dan Realisasi Pendapatan

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pelaksanaan otonomi daerah

REPUBLIK INDONESIA SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( REALISASI APBD 2012 ) PERHATIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. administrasi dan fungsi Pemerintah di daerah yang dilaksanakan oleh

BAB II LANDASAN TEORI. keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

RINCIAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

REPUBLIK INDONESIA SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH PROVINSI ( APBD 2013 ) PERHATIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( REALISASI APBD 2014 )

USULAN SCOPING LAPORAN EITI 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( APBD 2015 )

1. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Anggaran Anggaran Setelah

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan

BAB II KAJIAN TEORI. pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi. rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TANGGAL 13 SEPTEMBER 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BONTANG TAHUN ANGGARAN 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PENDAPATAN PER-SKPD SEBELUM DAN SESUDAH P-APBD TA 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pusat menerbitkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi

Transkripsi:

APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih, 2003). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD memiliki fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa Perda tentang APBD menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan berarti bahwa APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan, sedangkan fungsi pengawasan terlihat dari digunakannya APBD sebagai standar dalam penilaian penyelenggaraan pemerintahan daerah (Nordiawan, 2007). Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Selanjutnya, Pemerintah Daerah bersama-sama dengan DPRD akan menyusun Arah

dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memuat petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sasaran yang dimuat dalam APBD harus sesuai dengan fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan, dan perkiraan biaya kegiatan yang bersangkutan. APBD harus memuat bagian pendapatan yang digunakan untuk membiayai biaya administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/investasi. Apabila sasaran tersebut dimuat. APBD tersebut akan dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat daerah. APBD memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1) Rencana kegiatan suatu daerah 2) Adanya sumber penerimaan 3) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka 4) Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. b. Struktur APBD Karakteristik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di era prareformasi berbeda dengan era reformasi. Di era prareformasi, APBD disusun oleh DPRD bersama-sama dengan Kepala Daerah dengan menggunakan pendekatan tradisional. Dalam pendekatan tradisional, anggaran disusun berdasarkan jenis penerimaan dan jenis pengeluaran.

Tujuan pendekatan ini adalah untuk melakukan pengendalian atas pengeluaran. Di era reformasi, peraturan-peraturan daerah mengisyaratkan laporan keuangan yang makin informatif. APBD dibagi menjadi tiga bagian yaitu penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan bagian yang tidak ada ketika era prareformasi. APBD merupakan satu kesatuan (Darise, 2008) yang terdiri dari: 1. Pendapatan daerah 2. Belanja daerah 3. Pembiayaan daerah Selisih antara anggaran pendapatan dengan anggaran belanja daerah mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD. Surplus anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah. Defisit anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, digunakan untuk pembayaran pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/daerah, transfer ke dana cadangan dan sisa lebih tahun anggaran berjalan. Pemanfaatan surplus disebut sebagai pengeluaran pembiayaan. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sebagai pembiayaan untuk menutup defisit tersebut diantaranya bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran lalu, penggunaan cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman

atau penerimaan piutang. Langkah-langkah untuk menutupi defisit disebut penerimaan pembiayaan. 2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan PNB/PDB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur penduduk terjadi atau tidak (Arsyad, 2005). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang (Sirojuzilam, 2010). Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan. Hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh masyarakat mulai dari lapisan atas sampai bawah. Masyarakat dapat menikmati hasil tersebut secara langsung maupun melalui campur tangan pemerintah. Untuk melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun dapat digambarkan melalui penyajian PDRB atas harga konsumen secara berkala, yaitu pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian. Sebaliknya apabila negatif menunjukkan

terjadinya penurunan. Pertumbuhan biasanya disertai dengan proses sumber daya dan dana negara. Terdapat perbedaan antara pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi terjadi dalam bentuk: (a) peningkatan dalam pendapatan per kapita masyarakat, yaitu tingkat pertumbuhan PNB melebihi tingkat pertumbuhan penduduk dan (b) pertumbuhan PNB tersebut dibarengi dengan perombakan dan modernisasi dalam struktur ekonominya dari yang sebelumnya bercorak tradisional. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan dalam PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil daripada tingkat pertambahan penduduk dan apakah perubahan dalam struktur ekonomi (dan struktur masyarakat dan kelembagaan yang menyertainya) berlangsung atau tidak (Kamaluddin, 1998). 3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipisahkan menjadi empat jenis yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain PAD (Halim, 2001). Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipungut berdasarkan peraturan daerah. Sumber-sumber PAD antara lain: a. Pajak daerah

Pajak adalah iuran yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak yang dikelola atau dipungut oleh pemerintah daerah teknis terdiri dari empat jenis yaitu: 1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 2. Pajak bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 3. Pajak bahan bakar bermotor, dan 4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri dari: 1. Pajak hotel 2. Pajak restoran 3. Pajak hiburan 4. Pajak reklame 5. Pajak penerangan jalan 6. Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian 7. Pajak parkir

Besarnya tarif, untuk pajak provinsi ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam PP No. 65 Tahun 2001. Besarnya tarif definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU. b. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan secara khusus dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu 1. Retribusi jasa umum Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 2. Retribusi jasa usaha Retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial, karena jasa tersebut dapat disediakan oleh swasta, meliputi pelayanan dengan memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal. 3. Retribusi perizinan tertentu

Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam memberikan izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu untuk melindungi kepentingan umum, dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu dipaparkan sebagai berikut. Retribusi Jasa Umum Tabel 2.1 Jenis-jenis Retribusi Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perizinan Tertentu 1. Retribusi Pelayanan Kesehatan; 2. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan; 3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil; 4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5. Retribusi 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 3. Retribusi Tempat Pelelangan; 4. Retribusi Terminal; 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir; 6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa; 7. Retribusi Penyedotan Kakus; 8. Retribusi Rumah Potong Hewan; 9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; 10. Retribusi Tempat 1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 3. Retribusi Izin Gangguan; 4. Retribusi Izin Trayek

Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 10. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan. Rekreasi dan Olah Raga; 11. Retribusi Penyeberangan di Atas Air; 12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 13. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Sumber: www.djpk.depkeu.go.id c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sumber penerimaan daerah ini terdiri dari: 1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd 2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/bumn 3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarak d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan mencakup: 1. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan 2. Hasil pemanfaatan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan 3. Jasa giro 4. Bunga deposito 5. Penerimaan atas tuntutan ganti rugi 6. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah serta keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. 7. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan 8. Pendapatan denda pajak dan denda retribusi 9. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan 10. Pendapatan dari pengendalian 11. Fasilitas sosial dan fasilitas umum 12. Pendapatan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 13. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. 4. Dana Perimbangan

Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005, dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah. Dana perimbangan terdapat pada RKA dan DPA SKPD Badan Pengelola Keuangan dan tidak terdapat di SKPD yang lain. Dana perimbangan terdiri dari: a. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil terdiri dari dana bagi hasil bersumber dari pajak dan dana bagi hasil sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah meliputi 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9% untuk biaya

pemungutan. Sedangkan 10% bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebesar 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota, dan sebesar 35% dibagikan sebagai intensif kepada daerah kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. 2. Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dana bagi hasil dari penerimaan BPHTP sebesar 80% dengan rincian 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota. 3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi

antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dimana 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi. Dana bagi hasil sumber daya alam berasal dari: 1. Kehutanan Penerimaan dari sektor kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 60% untuk daerah. Sedangkan penerimaan yang berasal dari dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk daerah. 2. Pertambangan umum Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. 3. Perikanan Dana bagi hasil dari penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk seluruh kabupaten/kota. 4. Pertambangan minyak bumi

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu pemerintah dan 15,5% untuk daerah. Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 5. Pertambangan gas bumi Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk

pemerintah dan 30,5% untuk daerah.dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah sebesar 30% dibagi dengan imbangan 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, dan 12% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi bersangkutan. Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 6. Pertambangan panas bumi Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi 20% untuk pemerintah dan 80 % untuk daerah. Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan imbangan 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. b. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Fungsi DAU adalah sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Menurut Yuwono, dkk (2008), Dana Alokasi Umum digunakan untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah, proporsi yang diberikan kepada daerah minimal sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari penerimaan dalam negeri neto. Sedangkan menurut Wijaya (2007) mengungkapkan bahwa dana alokasi umum menekankan aspek pemerataan dan keadilan dimana formula dan perhitungannya ditentukan oleh undang-undang. Penggunaan Dana Alokasi Umum ditetapkan oleh daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Dana Alokasi Umum (DAU) suatu daerah ditentukan oleh besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah

(fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya tinggi tetapi kebutuhan fiskalnya rendah akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang memiliki potensi fiskal yang rendah, tetapi kebutuhan fiskalnya tinggi akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sesuai dengan Undang- Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah: 1. Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Fungsi Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Secara khusus, fungsi DAK adalah untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. 5. Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal terdiri dari : 1. Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / pembelian / pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari dua belas bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan, pembangunan / pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik Lainya Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pegadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan terhadap

fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria balanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah. B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan anggaran belanja modal dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.2 Hasil Penelitian Terdahulu Peneliti (tahun) Irma Syafitri (2009) Lily Habriani Rangkuti (2010) Judul Penelitian Variabel Kesimpulan Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Langsung di Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Dependen = Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Independen = Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Khusus Dependen = Belanja Langsung Independen = Pajak Daerah, Retribusi Daerah Secara parsial, hanya Pendapatan Asli Daerah yang berpengaruh secara signifikan positif terhadap belanja modal. Secara simultan, PDRB, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara signifikan positif terhadap belanja modal. Secara parsial hanya lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang berpengaruh signifikan terhadap belanja langsung. Secara simultan, PAD (pajak daerah,

Agave Sianturi (2010) Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Sumber : data diolah oleh penulis, 2011 Dependen = Belanja Modal Independen = Pajak Daerah, Retribusi Daerah retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah) berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung Secara parsial, Pajak Daerah memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan, pajak daerah dan retribusi daerah memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap Belanja Modal. C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah yang penting. Kerangka konseptual menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat secara teoritis. Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertumbuhan Ekonomi (X 1 )

Pendapatan Asli Daerah (X 2 ) Alokasi Belanja Modal (Y) Dana Perimbangan (X 3 ) Gambar 2.1 Kerangka konseptual Belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari empat jenis yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain PAD. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil. 2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoritis dan kerangka konseptual yang tekah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan berpengaruh signifikan secara parsial maupun simultan terhadap pengalokasian belanja modal pada pemerintahan kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. BAB III