BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan dalam dua bentuk yang berbeda, baik. secara fisik maupun psikis, yang kemudian diberi sebutan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Disusun oleh : PUJI YATMI J

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULAN. Kasus kenakalan remaja semakin menunjukkan trend yang sangat. kelompok, tawuran pelajar, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

DAN LINGKUNGAN PERGAULAN DENGAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA S1 KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikatakan masa yang paling menyenangkan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMAN 8 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan. Bahkan hubungan seksual yang sewajarnya dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah normanorma,

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara. dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beragam suku dan sebagian besar suku yang menghuni kabupaten Merangin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya zaman, dan pengaruh budaya barat merubah pola pikir

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA (Studi literatur dari hasil-hasil penelitian kuantitatif)

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB I. Seks dan Problematikanya. A. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktivitas seksual remaja juga cenderung meningkat baik dari segi kuanitas

BAB I PENDAHULUAN. saat usia remaja terjadi peningkatan hormon-hormon seksual. Peristiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini sikap permisif tersebut lebih ditunjukkan secara terbuka dikarenakan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses kehidupannya manusia melewati tahap-tahap perkembangan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat sesuai dengan Visi Indonesia Sehat

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan secara fisik, kematangan

Transkripsi:

BABI PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia diciptakan Tuhan dalam dua bentuk yang berbeda, baik secara fisik maupun psikis, yang kemudian diberi sebutan sebagai laki-laki dan perempuan. Tapi dalam perbedaannya, tetap ada kesamaan diantara mereka, yang salah satunya adalah menjalin hubungan yang akrab dengan oranglain, baik itu sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Hubungan akrab yang terjalin dengan sesama jenis, hanya akan mencapai tingkat persahabatan saja, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat muncul hubungan lain diluar persahabatan dan persaudaraan. Hal ini berbeda dengan hubungan akrab yang terjalin dengan lawan jenis, dimana hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada tingkat persahabatan saja, tetapi dapat berkembang ke tingkat hubungan yang lebih dalam seperti pacaran. Pacaran merupakan masa penjajagan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana di masa itu terdapat pengenalan kepribadian satu sama lain, pengenalan kebiasaan dan sifat-sifat yang berbeda untuk kemudian saling menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengarahkannya dalam mencapai tuj uan bersama. Pacaran didasari oleh rasa saling menghormati antara satu dengan yang lain, namun seringkali cinta yang didasari oleh rasa hormat tersebut menyimpang menjadi sebuah cinta buta. Cinta dengan rasa hormat berubah menjadi

2 cinta dengan nafsu, dimana seseorang meminta bukti cinta dari pasangannya melalui suatu hubungan intim antara laki-laki dan perempuan yang hanya dilakukan oleh suami istri. Kalau salah satu dari pasangan ini tidak setuju akan bukti cinta ini, maka akan dikatakan "kuno" sehingga dari mereka akan melakukan hal tersebut supaya mereka tidak dikatakan kuno. Sehingga setelah kej a dian tersebut akan ban yak timbul pennasalahan, an tara lain ketakutan jika ditinggal oleh pasangan, terutama terjadi pada wanita, kehamilan di luar nikah, aborsi, penyakit menular seksual. Dokter Raditya, (2002, remaja butuh pengetahuan soal kesehatan reproduksi, par.6 /SUARA PEMBARUAN DAILY) mengatakan bahwa kebutuhan dan jenis resiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri-ciri berbeda dari anak-anak atau orang dewasa. Jenis resiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual, kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Hubungan di atas dikatakan sebagai premarital seks atau perilaku seksual di luar nikah. Victor (1982: 245) mengemukakan premarital intercourse sebagai hubungan seksual antara seseorang yang dilakukan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Menurut Gunarsa (2000:91 ), kematangan organ-organ seks secara biofisiologis ini, diikuti dengan kemampuan untuk melakukan hubungan seks dan sekaligus munculnya dorongan (hasrat) untuk melakukan

3 hubungan tersebut. Dorongan atau hasrat 1m mempunyai ciri kenikmatan bilamana dilakukan dan karena itu dorongan tersebut berkecenderungan untuk dilakukan. Dorongan seks karena itu disebut sebagai dorongan dengan prinsip kenikmatan (pleasure principle). Hubungan seks diluar tujuan dan fungsi itu hanya didasarkan pada prinsip kenikmatan (bagi yang menikmatinya) atau prinsip lain dengan tujuan tersamar atau terselubung (misalnya karena dendam), pelarian (kesal hati), ekonomi (sex exploitation) dan petualangan (misalnya pada remaja dengan keinginan yang besar untuk mencoba). Dorongan atau hasrat melakukan hubungan seks, se1alu muncul jauh lebih awal daripada kesempatan untuk melakukan secara bebas. Inilah yang terjadi pada remaja dengan gejolak hasrat seksnya yang besar padahal ia be1um menikah dan karena itu1ah muncul berbagai masalah. Bertahun-tahun lagi harus menunggu sampai kesempatan untuk benarbenar boleh melakukan tiba. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa ini tahap kematangan mereka serta sosia1 belum dicapai sehingga remaja harus menghadapi tekanan emosi, psikologi dan sosial yang kerap saling bertentangan. Masa remaja dikatakan G. S Hall ( 1844-1924 ), (Sarwono, 1994:23) sebagai mas a topan/badai (Strum and Drang), yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Termasuk pula didalamnya ada1ah pertentangan nilai-nilai dalam hubungan seks

4 pranikah. Dalam nilai-nilai moral tersebut hubungan seks pranikah masih dianggap immoral, apalagi kita berada pada sebuah negara yang beragama dan memiliki adat ketimuran. Menurut Roper, (dalam Victor, 1980 : 246) dalam survei lapangannya menemukan 40% remaja putri bersikap mempertimbangkan hubungan seks pranikah (premarital sexual intercourse) sebagai sesuatu yang immoral. Survey diatas didukung pula oleh survey yang dilakukan pada mahasiswa Yankelovich tahun 1974, dimana 29 % mahasiswi menghargai hubungan seksual pranikah, dan mayoritas wanita yang belum menikah mempertimbangkan "kegadisan" sebagai hal moral yang penting sekali, dan beberapa pria menginginkan sebagai keharusan bahwa wanita yang akan mereka nikahi masih "gadis". Hal ini berubah sejak tahun 1970-an (Victor, 1980 : 247) bahwa cinta lebih penting daripada "kegadisan" seorang wanita, sehingga terjadi pertambahan jumlah pasangan yang telah bertunangan melakukan hubungan seks pranikah dengan adanya rasa saling mencintai. Kemudian hal ini menjadi perilaku seksua1 yang semakin permisif (serba boleh) yang dilakukan bagi mereka yang benar-benar saling mencintai dan tidak ada komitmen atau yang mengharuskan untuk menikah suatu saat meskipun pada pasangan yang telah bertunangan sekalipun (Victor, 1980 : 248).

5 Menurut data Pusat Penelitian Kependudukan dan Pembangunan Unair (Suara Indonesia, 9 Oktober 1999),dari penelitian seorang dokter pada anak SMP terungkap bahwa 10% remaja putri pernah melakukan hubungan seksual sedangkan pad a remaja pria hanya 5, 7 %. 3% remaja putri tidak peduli akan keperawanan dan 17,83 % remaja putra tidak peduli keperawanan. Sebanyak 43% remaja putra pernah nonton blue film dan 26% melihat kartu porno, sedang 15% remaja putri nonton blue film dan 13,57 % melihat kartu porno. Para remaja itu 60% melakukan hubungan seksual dalam kamar dirumahnya sedang 40% Iainnya di Iosmen. Peran orangtua dalam hal ini sangat penting dalam mencegah terjadinya perilaku yang menyimpang terutama masalah seksual yang banyak menimpa para remaja. Apalagi para orangtua yang memiliki anak usia remaja yang berkisar 14 atau 15 tahun, dimana anak-anak pria mulai mempunyai rasa tertarik terhadap anak-anak wanita dan sebaliknya. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya daripada tidak tahu sama sekali. Boyke (kumpulan artikel Psikologi,138) mengatakan bahwa 10-12% remaja di Jakarta, memiliki pengetahuan seksualitas sangat kurang dan menurut survey yang dilakukan oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia), tentang pendidikan seks membuktikan, pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan, yang berarti pula mengurangi

6 tertularnya penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas. Dalam pemberian pendidikan seks, orangtualah sebagai orang yang paling tepat untuk memberikan bimbingan kepada anak-anaknya dibidang seksual (Abineno,2000 : 35). Paat (kumpulan artikel Psikologi, him 144) mengatakan bahwa penyampaian materi pendidikan seks dirumah sebaiknya dilakukan oleh kedua orangtua, akan lebih baik jika diberikan sebelum usia 10 tahun dan bisa diberikan secara bergantian, peran ibu sangat penting. Hal ini bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik diberikan oleh orangtua sendiri. Pendidikan seks diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara anak dan orangtua. Melihat kenyataan tersebut, keluarga sangat membutuhkan pihak lain dalam menyampaikan informasi tentang pendidikan seksual. Pihak lain yang cukup kompeten untuk menambah dan melengkapi pengetahuan orangtua, dan menjadi perantara antara orangtua dan anak adalah sekolah. Killander (Wirawan, 1986, h.4, peranan sekolah dalam pendidikan seks, sebuah tinjauan teoritis) menjelaskan peran sekolah sebagai lembaga yang mempunyai situasi kondusif serta edukatif tempat berlangsungnya proses pendidikan demi kedewasaan anak didik. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga, dimana anak mendapatkan kasih sayang, pendidikan dan perlindungan.

7 Menurut Gunarsa (2000:98) kesulitan yang timbul adalah apabila pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks sangat minim baik teoritis dan objektif jauh dibanding dengan pengetahuan anak menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan informasi tentang masalah seks pada anak. Dalam hal demikian jelas orangtua harus mampu mengimbangi pengetahuan anak, karena itu orangtua acapkali perlu belajar antara lain bisa melalui bacaan atau kursus atau konsultasi dengan ahli yang memang mengetahui hal tersebut. Karena pendidikan seks tidak hanya diberikan satu kali, melainkan berkali-kali, maka peranan orangtua sebagai sumber informasi dan pendidikan mengenai pendidikan seks akan lebih banyak manfaatnya. 1.2 BAT ASAN MASALAH Dari uraian di atas, meskipun banyak faktor yang mempengaruhi sikap remaja, tapi yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks yang dapat mempengaruhi sikap remaja terhadap premarital intercourse. Untuk mengetahui sikap tersebut, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya korelasi pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks dengan sikap remaja terhadap premarital intercourse.

8 Agar wilayah penelitian menjadi jelas, maka yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah orangtua dan remaja yang mengikuti kegiatan karangtaruna di des a Banjar kemantren R W.III, kecamatan Buduran, kabupaten Sidoarjo. 1.3 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka masalah yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada korelasi antara pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks dengan sikap remaja terhadap premarital intercourse (hubungan seksual sebelum menikah)? " 1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui ada tidaknya korelasi antara pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks dengan sikap remaja terhadap premarital intercourse (hubungan seksual sebelum menikah). 1.5 MANF AA T PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

9 I. Manfaat Praktis a. Bagi subyek/rernaja : Sebagai bahan inforrnasi apakah ada kaitan antara sikap rernaja terhadap premarital intercourse dengan pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks b. Bagi orangtua Sebagai rnasukan bagi orangtua dalarn rnernbirnbing dan mernberikan informasi tentang pendidikan seks pada anak sejak dini dan rnenganggap seks bukan suatu hal yang tabu lagi, sehingga anak bersikap negatif/permisifterhadap premarital intercourse. 2. Manfaat Teoritik Hasil penelitian diharapkan dapat rnernberikan tarnbahan informasi yang lebih rnendalam tentang pengetahuan orangtua tentang pendidikan seks dan sikap rernaja dalarn rnenyikapi premarital intercourse dalam Psikologi Perkembangan, Psikologi Keluarga dan Psikologi Pendidikan.