Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat I. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat AGRO INOVASI

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN OBAT

AGRIBISNIS TANAMAN OBAT

BAHAN OBAT ALAM SUMBER PENDAPATAN PEMBANGUNAN. Nurkhasanah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

I. PENDAHULUAN. Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman yang

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RIMPANG KUNYIT, ALTERNATIF INSEKTISDA ALAMI. Oleh : Ni Made Ayu Natih Widhiarini SMK Negeri 3 Denpasar

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

2015 PROFIL LIPID MENCIT HIPERLIPIDEMIA SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

PENDAHULUAN. Masyarakat kita sudah sejak lama mengenal tanaman obat. Saat ini

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PISANG

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS USAHATANI KENCUR (Kaempferia galanga L.) (Studi Kasus di Desa Madura Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap) Abstrak

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

terhadap masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional sangat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya yaitu menggunakan ramuan-ramuan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang mayoritas masyarakatnya bermata

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Tahun Bawang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan ekonomi daerah di era otonomi sekarang ini, setiap

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

AGRIBISNIS BAWANG MERAH

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010 sebagai inspirator dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan yang misi dan sasarannya antara lain 1) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat impor, dan perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan penggunaan cara pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Pada pembukaan Seminar Obat Alami Cina-Indonesia tanggal 8 Desember 2003, secara eksplisit Presiden RI menekankan perlunya perhatian khusus yang sungguhsungguh untuk mengembangkan obat alami di Indonesia yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Diharapkan jamu yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari tanaman obat, bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di negara lain. Revitalisasi Pertanian juga telah ditetapkan sebagai prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2005-2010 di Bidang Ekonomi. Revitalisasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan sektor pertanian telah menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas. Tanpa usaha agribisnis atau investasi yang memadai dalam agroindustri, tidak mungkin revitalisasi pertanian dapat dilaksanakan. Dalam kerangka demikian, pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Trend global masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan back to nature dan meninggalkan rokok, menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia sendiri. Nilai pasar tanaman obat, termasuk rimpang- 1). Depkes (2003) 1

rimpangan, di dalam negeri relatif tinggi dan menunjukkan kecenderungan meningkat dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi obat berbasis bahan baku alami, termasuk semakin maraknya penggalian potensi bahan obat dari tanaman baru, seperti purwoceng. Sebuah perusahaan distributor food suplement ex impor di Indonesia telah membuktikan meningkatnya penjualan produk yang mereka pasarkan sebesar 100% per tahun dengan omset milyaran rupiah sejak tahun 2001. Berdasarkan klaim khasiat yang dimilikinya, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan, telah dipilih lima komoditas tanaman obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk menunjang program revitalisasi pembangunan pertanian, melalui peningkatan nilai tambah komoditas tanaman obat. Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap PDB nasional, masyarakat petani dan industri. Sedangkan purwoceng merupakan tanaman obat potensial yang dapat dikembangkan untuk komplemen dan substitusi impor ginseng, sehingga dapat menghemat devisa. 2 II. KONDISI SAAT INI Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, yang juga telah memanfaatkan pasar Indonesia. Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dll di dunia pada tahun 2000 mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun 2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern hanya 3% per tahun. Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea output dari obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai 1,2 milyar USD, dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Di Indonesia volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai 150 juta USD, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai jamu. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta) justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya. Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai 26,06 juta USD dan tahun 2001 890,24 juta USD. Negara pengimpor 3

tanaman obat asal Indonesia antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong dan Jepang. Trend penjualan tanaman obat yang di ekspor cukup fluktuatif. Neraca perdagangan internasional tanaman obat Indonesia adalah positif pada kurun waktu 1996-2001, dengan nilai surplus eskpor tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 400,48 juta USD. Komoditas jahe, temulawak, kunyit, kencur dan purwoceng, sampai saat ini, kontribusinya terhadap ekspor simplisia masih kecil, mengingat kebutuhan dalam negeri atas komoditas tersebut masih cukup tinggi. Sebagian IOT bahkan masih mengimpor bahan baku dari luar negeri, terutama temulawak, kunyit, kencur dan jahe. Padahal, potensi lahan dan sumberdaya manusia yang ada di dalam negeri cukup memadai untuk membangun industri hulu sampai hilir (pengembangan produk) untuk keempat komoditas tersebut. Hal ini terjadi karena nilai jual bahan baku tanpa olah di tingkat petani sangat rendah, sehingga kurang menarik minat untuk mengusahakan komoditas tersebut secara intensif. Pada saat ini, harga rimpang temulawak yang wajar di tingkat petani adalah Rp. 1.500,-/kg, kunyit Rp. 1.000,-/kg, kencur Rp. 5.000,-/kg dan jahe Rp. 2.500,-. Investasi di sektor hulu akan menarik minat apabila nilai jual hasil produk pertanian tanaman obat bisa ditingkatkan, dengan mengoptimalkan industri hilir melalui diversifikasi produk. Industri obat tradisional kelompok menengah/besar (IOT), 97% berada di P. Jawa (DKI Jaya, Jabar, Jateng dan Jatim), demikian pula kelompok industri kecil (IKOT) 73% berada di P. Jawa dan hanya 23% diluar Jawa. Laju pertumbuhan IOT (6,40%/tahun) lebih tinggi dari laju pertumbuhan IKOT (1,8%/tahun) menunjukkan bahwa animo investor terhadap industri berbasis tanaman obat untuk perusahaan menengah dan besar lebih tinggi. Hal itu juga terlihat dari produksi obat tradisional, yang berkembang ternyata produk-produk industri besar seperti Air Mancur, Martina Berto, Sido Muncul, Nyonya Meneer, Borobudur, Mustika Ratu, dan lain-lain. A. Usaha Pertanian Primer Luas lahan pertanian tanaman obat di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 14.333 ha, dan luas tanam temulawak, kunyit, kencur serta jahe mencapai 48,35% dari luas total areal tersebut. Lokasinya 4 menyebar di seluruh propinsi Indonesia, dengan sentra produksi utama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk temulawak, kunyit dan kencur (Gambar 1), sedangkan areal pengembangan jahe selain di ketiga propinsi tersebut, juga di Sumater Utara. Luas areal dan produksi temulawak, kunyit, kencur dan jahe tahun 2002-2003 seperti tercantum, pada Tabel 1. Tabel 1. Luas areal, produksi dan serapan temulawak, kunyit, kencur dan jahe tahun 2002-2003 Serapan Luas areal (ha) Produksi (ton) No. Komoditas (ton) 2002 2003 2002 2003 2003 1. Temulawak 673,32 684,49 7.173,57 11.761,98 9.495,00 2. Kunyit 881,64 1.894,21 23.993,02 30.707,45 12.520,00 3. Kencur 1290,26 1.811,60 12.848,18 19.527,11 19.334,00 4. Jahe 2.220,00 2.540,00 110.700,00 112.300,00 47.149,16 Jumlah 5.065,22 6.930,30 - - Sumber:Ditjen BP Hortikultura (2004); Balittro (2003). Untuk keempat komoditas tersebut, terjadi peningkatan produktivitas per tahun masing-masing temulawak 11%, kunyit 28%, kencur 52% dan jahe 2,3%. Sedangkan serapan yang terdiri atas IOT/IKOT dan farmasi mencapai rata-rata 63%, ekspor 14%, serta untuk konsumsi rumah tangga 23%. Dalam kurun waktu 6 tahun (2005-2010), diperkirakan akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dari keempat komoditas tersebut, terutama jahe. Hal ini berarti membuka peluang untuk intensifikasi dan/atau perluasan areal tanam temulawak, kunyit, kencur dan jahe seluas 10-15% dari areal yang tersedia saat ini. B. Usaha Agribisnis Hulu Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya, antara lain cara budidaya sesuai GAP (Good Agricultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi, disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SPO yang dibakukan, 5

serta belum menggunakan bibit unggul. Meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung, namun sampai saat ini belum ada standar benih bermutu yang berasal dari varietas yang sudah dilepas. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah melepas 1 varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 20-40 ton/ha dan 3 varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi 10-16 ton/ha, yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional. C. Usaha Agribisnis Hilir Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi), merupakan salah satu aspek usaha berdayasaing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81-280 kali (Tabel 2). Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpangrimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi. Tabel 2. Harga berbagai jenis produk temulawak, kunyit, kencur dan jahe untuk IOT/IKOT dan industri farmasi Harga (Rp/kg)* Rasio harga (x 100%) Usaha agribisnis hilir tanaman obat yang telah berkembang adalah industri jamu, sedangkan industri farmasi (fitofarmaka) dalam tahap rintisan. Industri jamu yang diawali dengan jamu gendong, cukup pesat perkembangannya. Pemakaian tanaman obat untuk industri jamu (IOT/IKOT) dan farmasi pada tahun 2002 dan 2003 disajikan pada Tabel 3. Porsi serapan untuk temulawak mencapai 49,69%, kunyit 12,75%, kencur 13,45%, jahe 24,11% dan purwoceng 0,002%. Sedangkan pada tahun 2003 untuk temulawak 10,74%, kunyit 14,14%, kencur 21,85%, jahe 53,25% dan purwoceng 0,1%. Selain IKOT dan IOT, industri obat tradisional juga mencakup industri jamu racikan dan jamu gendong yang setiap tahun terus berkembang. Perkembangan IKOT/IOT sepuluh tahun terkahir (1993-2003) seperti pada Gambar 1. Jumlah 1200 1000 800 600 400 200 0 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Gambar 1.Perkembangan IKOT/IOT di Indonesia tahun 1993-2003. IOT IKOT TOTAL No. Komoditas Rimpang Segar Simplisia Kering Ekstrak Simplisia Ekstrak 1. Temulawak 1.500 15.000 174.000 1 : 10 1 : 116 2. Kunyit 1.000 15.000 280.000 1 : 15 1 : 280 3. Kencur 5.000 40.000 800.000 1 : 8 1 : 90 4. Jahe 2.500 17.500 202.000 1 : 7 1 : 80,8 Keterangan : *Berdasarkan harga jual pada beberapa pedagang komoditas tanaman obat Tahun 2004 6 7

Tabel 3. Serapan simplisia temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk IKOT/IOT dan farmasi tahun 2002 8 No. Komoditas Serapan (ton) (%) 1. Temulawak 324.832 (49,69) 2. Kunyit 83.371 (12,75) 3. Kencur 87.959 4. Jahe 157.599 5. Purwoceng 15,47 Sumber: BPOM (2003) Jumlah 653.776,47 D. Pasar dan Harga 1. Penggunaan domestik Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk kebutuhan konsumsi, IOT dan IKOT serta industri farmasi disajikan pada Tabel 4. Temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebagian besar (+ 90%) digunakan untuk keperluan domestik. Hampir semua komoditas, sebagian besar pasokan digunakan untuk IKOT dan IOT, sedangkan penggunaan dalam industri farmasi masih terbatas. Hal ini disebabkan masih sedikit produk industri obat yang sudah melalui uji pra-klinik atau uji klinik. Tabel 4. Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk konsumsi, IKOT dan IOT serta industri farmasi tahun 2002 No Komoditas Penggunaan (ton) Konsumsi IOT IKOT Farmasi Total 1. Temulawak 2.033,70 3.244,01 4.217,21 2.341,10 11.836,02 (17,18%) (27,41%) (35,63%) (19,78%) 2. Kunyit 4.187,46 2.408,84 3.131,49 502,00 10.229,79 (40,93%) (23,55%) (30,61%) (4,91%) 3. Kencur 5.987,71 2.340,31 3.042,40 2.815,00 15.640,83 (38,28%) (14,96%) (19,45%) (27,31%) 4. Jahe 21.641,16 4.197,01 5.456,11-31.294,28 (69,15%) (13,41%) (17,44%) 5. Purwoceng - 6,90 8,97 3.928,00 3.943,87 Sumber Balittro (2003) (13,45) (24,11) (0,002) (100) 2. Ekspor dan impor Kebutuhan ekspor serta pasokan impor temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti pada Tabel 5. Kebutuhan ekspor jahe, kunyit dan kencur, cukup berarti, namun impor jahe juga cukup besar (127 ton). Pada tahun 2004 dan awal tahun 2005, harga jahe putih besar melonjak sampai Rp. 20.000 /kg, karena terjadi kelangkaan pasokan di dalam negeri. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kegagalan panen di berbagai daerah akibat serangan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum), yang sampai saat ini belum ditemukan teknik pengendaliannya. Tabel 5. Ekspor dan impor komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng tahun 2002 No. Komoditas Ekspor (ton) Impor (ton) 1. Temulawak - - 2. Kunyit 2.791,64-3. Kencur 7.983,62-4. Jahe 15.854,88 126,00 5. Purwoceng - - Sumber: Balittro (2003). 3. Perkembangan harga Perkembangan harga domestik dan ekspor komoditas tanaman obat hanya tersedia untuk jahe, seperti terlihat pada Gambar 2 dan 3. Harga/kg (Rp.) 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun Gambar 2.Perkembangan harga komoditi jahe di dalam negeri tahun 1993-2002. 9

Seperti terlihat pada Gambar 2, harga domestik jahe sampai tahun 1999 mengalami kenaikan yang tajam, dengan rata-rata kenaikan 60% per tahun. Namun pada tahun 1999, setelah krisis ekonomi terjadi penurunan dari Rp. 3.845 /kg pada tahun 1999 menjadi Rp. 2.525 /kg pada tahun 2002. Sedangkan ekspor jahe segar Indonesia tahun 2001 (Gambar 3) mencapai 8.150 ton dengan nilai US$ 3.623.000 atau US$ 444,54 /ton, mengalami penurunan volume pada tahun 2002 (7.471 ton) tetapi harganya mengalami kenaikan (US$539,29 /ton). E. Infrastruktur dan Kelembagaan Sentra produksi tanaman obat, terutama yang dibudidayakan, seperti temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebagian besar terdapat di pedesaan P. Jawa, dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani 10 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Nilai impor (USD) Nilai ekspor (USD) 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun Volume impor (ton) Volume ekspor (ton) Gambar 3. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor jahe Indonesia di pasar dunia tahun 1993-2002 Nilai ekspor (USD) Nilai impor (USD) sampai saat ini belum dapat dipulihkan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat belum banyak berfungsi, sementara itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat. Kebijakan yang ditempuh saat ini masih bersifat umum, seperti pengembangan dan perbaikan jalan bersamaan dengan pembangunan desa dan kewilayahan, juga pengembangan kelompok tani dan lembaga penyuluhan lainnya. Di beberapa desa di Kabupaten Boyolali, sebagai salah satu sentra produksi tanaman obat rimpang-rimpangan di Jawa Tengah, usaha perbaikan jalan desa dilakukan petani tanaman obat secara swadaya. F. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi Nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah di dalam perdagangan komoditas tanaman obat. Akibatnya minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah. Rendahnya peran tanaman obat khususnya dan industri obat tradisional umumnya dalam menghasilkan devisa dan PDB di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) belum adanya dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan industri tanaman obat Indonesia sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan prime mover perekonomian nasional; (2) belum adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; (4) peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat. 11

III. PROSPEK, POTENSI DAN ARAH PENGEMBANGAN Temulawak Kunyit Kencur A. Prospek Pasar dan Pesaing Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2-3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun 2003. Data lain menyatakan, walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar (Tabel 6). Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nlainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia. Jahe Purwoceng Tabel 6.Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam Tahun Sumber: LIPI (2003). Permintaan (Rp. trilyun ) Obat Modern Pangsa pasar (%) Obat bahan Alam Permintaan (Rp. trilyun ) Pangsa pasar (%) 2003 17 89,5 2 10,5 2010 37 84,0 7,2 16,0 B. Potensi Lahan Selain sumberdaya hayati, sumber daya lahan dan sumber daya manusia merupakan modal dasar yang penting di dalam pengembangan komoditas pertanian. Pada tahun 2002, luas lahan pengembangan temulawak, kunyit, dan kencur di P. Jawa, masingmasing mencapai 6.733 ha, 8.816 ha dan 12.900 ha. Sedangkan jahe yang dikembangkan di P. Jawa dan Sumatera (Sumatera Utara khususnya) luas areal pengembangannya pada tahun 2002 mencapai 22.542 ha (Gambar 4). Gambar 4. Peta areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng di P. Jawa dan Sumatera Utara. Potensi lahan untuk pengembangan temulawak dan kunyit di P. Jawa, masih terbuka luas dengan memanfaatkan areal di bawah tegakan, pada ketinggian 50-800 m dpl., curah hujan 1.500-4.000 mm/tahun, di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan untuk kencur, potensi lahan pengembangan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, terbatas pada areal terbuka atau sedikit ternaungi (30%) pada ketinggian 50-600 m dpl., tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson). Pengembangan 12 13

jahe dalam kurun waktu 5 tahun ke depan masih memungkinkan untuk dilakukan di P. Jawa dengan memilih lahan baru yang bebas penyakit layu bakteri, pada ketinggian 300-900 m dpl., temperatur rata-rata tahunan 25-30º C, jumlah bulan basah (> 100 mm/bl) 7-9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2.500-4.000 mm, intensitas cahaya matahari 70-100% atau agak ternaungi sampai terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, ph tanah 6,8-7,4. Pada lahan dengan ph rendah dapat diberikan kapur pertanian (kaptan) 1-3 ton/ha atau dolomit 0,5-2 ton/ha untuk meningkatkan ph tanah. Kesesuaian agroekosistem untuk masing-masing tanaman obat unggulan disajikan pada Tabel 7. Akibat berkembangnya penyakit layu bakteri tular tanah ataupun yang terbawa bibit di P. Jawa, maka perluasan areal pengembangan jahe diarahkan ke luar P. Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi dengan kondisi agroklimat yang sesuai. Selain itu, meluasnya penyebaran penyakit layu bakteri yang masih dicari teknik pengendaliannya, perlu dipacu dengan dukungan penelitian untuk memperoleh bahan tanaman unggul tahan penyakit layu bakteri. Tabel 7.Kesesuaian agroekosistem untuk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng di Indonesia Suhu Tingkat udara naungan Jumlah bulan basah/tahun Jumlah curah hujan/tahun (mm) Elevasi (m. dpl.) Tipe iklim Jenis tanah Ko moditas (%) (C o ) 1.500-4.000 5-9 26-30 0-30 A,B,C 100-1.500 Temulawak Latosol, Andosol, Podsolik 2.000-4.000 6-9 25-30 0-30 A,B,C 240-1.200 Kunyit Latosol, Aluvial, Regosol A,B,C 50-600 2.500-4.000 5-9 26-30 0-30 Kencur Latosol, Andosol, Regosol 2.500-4.000 6-9 25-30 0-30 A,B,C 300-900 Jahe Latosol, Andosol, Regosol > 4.000 7-9 15-21 30-40 Purwoceng Andosol A,B 1.800-2.100 14 15

C. Arah Pengembangan Arah pengembangan tanaman obat ditujukan untuk kosmetika, industri rumah tangga, jamu gendong, dan ekspor dengan memperhatikan peluang pasar, potensi areal pengembangan, teknologi yang tersedia, kondisi saat ini dan permasalahan yang ada. Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia, belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Survei menunjukkan bahwa keuntungan bersih yang diperoleh seorang bakul jamu gendong berkisar Rp. 50.000-75.000,- per hari. Adalah fakta bahwa sebagian besar IOT memperoleh bahan baku di samping berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor, dengan alasan bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman obat adalah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah seperti terlihat pada pohon industri temu-temuan dan purwoceng yang disajikan pada Gambar 5 dan 6. 1. Usaha pertanian primer Areal pengembangan tanaman obat sampai tahun 2010 masih diarahkan ke lokasi di mana industri obat tradisional berkembang, yaitu di Pulau Jawa, dengan target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, 1.527 ha kunyit, 3.270 ha kencur, 7.124 ha jahe dan 154 ha purwoceng. Target produksi sampai tahun 2010 dengan asumsi produktivitas per tahun rata-rata 7-8 ton/ha, maka produksi temulawak diperkirakan mencapai 14.020 ton, kunyit 15.426 ton, kencur 26.290 ton, jahe 63.967 ton dan purwoceng 850 ton. Kecuali ada permintaan khusus, setelah 2010 areal pengembangan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat diperluas ke luar P. Jawa yang ketersediaan lahannya lebih luas. Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe Nama komoditas Industri Benih Usaha Agribisnis Hulu Budidaya On-farm Usaha Pertanian Primer Rimpang Segar Simplisia Usaha Agribisnis Hilir/ Diversifikasi Produk Pati Minyak* Ekstrak* Produk jadi Makanan/ Minuman Kosmetika Farmasi,IKOT,IOT Produk jadi Makanan Instan* Padat* Bedak* Lulur* Tablet ** Kapsul** Sirup** Jenis Produk Jadi Sirup* Gambar 5. Pohon industri temulawak, kunyit, kencur dan jahe Keterangan : * : Teknologi tersedia,dapat dilakukan di tingkat IOT dan IKOT ** : Potensi & prospektif, fitofarmaka, memerlukan investasi alih teknologi & biaya riset 16 17

18 Purwoceng Nama komoditas Industri Benih Budidaya On-farm Bagian yang digunakan Herba Simplisia Ekstrak* Produk jadi IKOT IOT Farmasi Industri Tablet/ Kapsul* Sirup** Jamu Seduh* Pil* Sirup* Produk Jadi Gambar 6. Pohon industri Purwoceng Keterangan : * : Teknologi tersedia,dapat dilakukan di tingkat IOT dan IKOT ** : Potensi & prospektif, fitofarmaka, memerlukan investasi alih teknologi & biaya riset Teknologi budidaya dan pasca panen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng, telah tersedia. Namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses didalam pengalihan teknologi kepada petani, memerlukan investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi teknologi tersebut. Oleh karena itu arah pengembangan industri tanaman obat temulawak, kunyit, kencur difokuskan pada pemanfaatan varietas/klon unggul, sosialisasi dan pelatihan teknologi serta bantuan investasi permodalan. Sedangkan untuk jahe arah pengembangan industri di sektor hulu, difokuskan kepada investasi di bidang penelitian untuk menghasilkan varietas unggul tahan penyakit. Klaim industri obat tradisional atas ketidaksesuaian standar kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku, merupakan implikasi dari lemahnya adopsi teknologi dan permodalan di tingkat petani, serta lemahnya kelembagaan petani tanaman obat. Oleh karena itu pengembangan diarahkan untuk pemecahan masalah tersebut, melalui investasi di dalam alih teknologi, melalui pelatihan dan pendidikan terhadap petani tanaman obat dan IKOT yang terlibat dalam proses pasca panen primer di sektor hulu. 2. Usaha agribisnis hulu Produksi rata-rata yang dicapai oleh petani untuk komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng hanya mencapai 60% dari usaha pertanian primer yang mengacu kepada SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang dibakukan. Dilain pihak, untuk mencapai kontinuitas produksi diperlukan jaminan akan ketersediaan bahan baku. Dengan mengacu kepada SPO budidaya yang dibakukan, telah dihasilkan teknologi hulu berupa bahan tanaman unggul hasil penelitian BALITTRO. Rata-rata produktivitas varietas unggul temulawak 20-40 ton/ha, kadar minyak atsiri (6,2-10,6%), kadar kurkumin (2,0-3,3%); kunyit 7-20 ton/ha, kadar kurkumin (8-11%); kencur 12-16 ton/ha, kadar minyak atsiri (2,6-6,2%), kadar sari larut dalam air (16-23%), kadar sari larut dalam etanol (5-9,5%); dan potensi produksi jahe putih besar 20-40 ton/ha. Teknologi budidaya yang tersedia meliputi jarak tanam, pemupukan dan polatanam, pasca panen primer (teknik pemanenan, pengirisan, pengeringan dan ekstraksi), 19

serta pasca panen sekunder (teknik pembuatan sirup, kapsul dan minuman kesehatan). Sesuai dengan arah pengembangan tanaman obat dan target yang akan dicapai, pada tahun 2010 kebutuhan bibit dan luas areal yang dibutuhkan untuk pengadaan bibit temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Kebutuhan bibit dan luas lahan pengusahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010 No Keterangan : *angka dalam kurung menunjukkan luas lahan (ha) 20 Komoditas Kebutuhan bibit (ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1. Temulawak 3.390,0 3.570,0 3.594,0 (240) (255) (260) 2. Kunyit 4.080,0 4.170,0 4.284,0 (290) (300) (310) 3. Kencur 5.800,0 5.940,0 6.090,0 (580) (594) (609) 4. Jahe 18.900,0 19.380,0 19.845,0 (1.350) (1.380) (1.415) 5. Purwoceng* 10,4 (1,5) 3. Usaha agribisnis hilir 10,8 (1,55) 11,2 (1,6) 3.645,0 (266) 4.380,0 (318) 6.240,0 (624) 20.340,0 (1.450) 11,6 (1,65) 3.735,0 3.828,0 (273) (280) 4.470,0 (326) 6.380,0 (624) 20.850,0 (1.486) 12,0 (1,7) 4.580,0 (334) 6.540,0 (656) 21.372,0 (1.523) 12,3 (1,75) Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Badan POM RI, telah mengelompokkan obat bahan alam Indonesia menjadi tiga kelompok yaitu : (a) Jamu (khasiat dibuktikan secara empiris), (b) Obat herbal terstandar (khasiat dibuktikan dengan uji pra-klinik, (c) Fitofarmaka (khasiat dibuktikan dengan uji klinik). Sampai dengan tahun 2005, baru terdaftar dua merek produk komersial fitofarmaka yang mengandung kunyit, satu produk mengandung temulawak, satu produk mengandung jahe. Sedangkan produk herbal terstandar yang mengandung kunyit, enam merek, temulawak satu merek, kencur dua merek dan jahe dua merek. Selain pengembangan produk turunan berupa produk jadi, pengembangan industri hilir temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat dilakukan dengan diversifikasi produk dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu simplisia atau ekstrak. Berdasar manfaat, kandungan fitokimia dan khasiatnya terhadap penyakit yang dewasa ini menjadi trend masyarakat moderen (penyakit degeneratif, penurunan imunitas dan vitalitas tubuh), 5 tanaman obat (temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng) mempunyai prospek besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat unggulan nasional. Penyakit degeneratif merupakan penyebab kematian manusia tertinggi (penyakit jantung, hipertensi, kanker). Pengobatan secara moderen cukup mahal namun belum menjamin kesembuhan, selain itu juga banyak pengaruh sampingnya. Oleh karena itu, tanaman obat menjadi alternatif pengobatan yang potensial. Temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah kelompok tanaman rimpang-rimpangan (Zingiberaceae), yang digunakan dalam hampir semua produk obat tradisional (jamu) serta paling banyak diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit. Untuk meningkatkan nilai tambah dari keempat komoditas tersebut, diperlukan terobosan di dalam pengembangan produk (product diversification and development), dari produk primer (rimpang segar) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak, minyak) dan produk tertier (produk jadi hasil formulasi) berupa suplemen makanan dan minuman dalam bentuk cair (sirup), padat (pil, kapsul) dan formula obat herbal terstandar, fitofarmaka dan kosmetika. Dengan demikian prospek pasar dan peluang pengembangan keempat jenis tanaman tersebut masih terbuka. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan nasional, tergolong komoditas multifungsi. Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrizol dan pati didalam rimpang temulawak memungkinkan penggunaan yang luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit (anti kolesterol, antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dll). Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati (Hepato-protector), rimpang temulawak bisa dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar. 21

Meskipun di pasaran beredar obat kimia dengan bahan aktif sintetis laktulosa, fosfolipid dan chelidonin yang bersifat koleritikum, tetapi karena harga yang mahal dan adanya efek samping dari obatobatan tersebut, maka peluang pasar untuk produk industri farmasi/minuman kesehatan dan produk IOT/IKOT berbahan baku temulawak terbuka luas (Gambar 5). Produk fitofarmaka berupa bahan jadi berbentuk tablet/kaplet untuk menanggulangi gangguan hati (hepato-protektor) diproduksi dengan bahan baku utama ekstrak temulawak dengan bahan tambahan Amprotab, Mg-stearat, Nepagin, Aerasil dan Kolidon 90. Kunyit (Curcuma domestica), dengan kandungan utama kurkumin dan minyak atsiri, berfungsi untuk pengobatan hepatitis, antioksidan, gangguan pencernaan, anti mikroba (broad spectrum), anti kolesterol, anti HIV, anti tumor (menginduksi apostosis), menghambat perkembangan sel tumor payudara (hormone dependent and independent), menghambat ploriferasi sel tumor pada usus besar (dose-dependent), anti invasi, anti rheumatoid arthritis (rematik), mempunyai prospek yang cerah pada sektor industri hilir (Gambar 5) dalam berbagai bentuk (ekstrak, minyak, pati, makanan/minuman, kosmetika, produk farmasi dan IKOT/IOT). Produk farmasi berbahan baku kunyit, mampu bersaing dengan berbagai obat paten, misalnya untuk peradangan sendi (arthritisrheumatoid) atau osteo-arthritis berbahan aktif natrium deklofenak, piroksikam, dan fenil butason dengan harga yang relatif mahal atau suplemen makanan (Vitamin-plus) dalam bentuk kapsul. Produk bahan jadi dari ekstrak kunyit berupa suplemen makanan dalam bentuk kapsul (Vitamin-plus) pasar dan industrinya sudah berkembang. Suplemen makanan dibuat dari bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin E, Lesitin, Amprotab, Mg-stearat, Nepagin dan Kolidon 90. Kencur (Kaempferia galanga) di dunia kesehatan digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan, saluran pernafasan dan campuran ramuan afrodisiak, juga digunakan untuk industri kosmetika berbasis bahan alam, sehingga sangat potensial dikembangkan di sektor hilir dalam bentuk ekstrak, minyak dan suplemen makanan/minuman (Gambar 5). 22 Dewasa ini perusahaan kosmetika, berlomba-lomba memproduksi jenis produk perawatan wajah dan kulit berbahan baku alami, terutama untuk pemutih. Bahan sintetis untuk pemutih kulit seperti AHA (Alpha Hydroxy Acid), banyak Pertanaman Kencur menimbulkan efek samping (iritasi dan bersifat karsinogenik), membuka peluang penggunaan bahan alami. Turunan minyak atsiri dari rimpang kencur etil-para metoksi sinamat (EPMS) merupakan sumber bahan baku potensial untuk pemutih dan tabir surya pada kosmetika. Produk herbal terstandar dari rimpang segar kencur dengan potensi pasar luas dewasa ini adalah minuman kesehatan beras kencur. Produk jadi minuman beras kencur terbuat dari bahan utama rimpang segar kencur dengan bahan tambahan pati/tepung beras, gula kelapa, asam jawa, asam benzoat. Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis komoditas tanaman obat yang tergolong tinggi permintaannya baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar rimpang jahe digunakan untuk bahan baku makanan (asinan jahe, permen jahe) dan minuman (instan jahe). Fungsi utama jahe di dalam pengobatan tradisional adalah untuk mengeluarkan angin, pengobatan rematik, menghangatkan tenggorokan dan campuran ramuan afrodisiak. Hampir tidak ada obat fitofarmaka yang diproduksi di dalam negeri menggunakan bahan baku utamanya jahe, kecuali sebagai bahan tambahan untuk produk obat tertentu, sebagian besar simplisia jahe digunakan oleh IOT dan IKOT sebagai bahan baku jamu. Jenis produk jadi yang prospektif dikembangkan dengan bahan baku utama jahe adalah herbal terstandar untuk obat batuk dan minuman kesehatan (instan jahe). Selain itu, kandungan gingerol dan shogaol yang tinggi terutama pada jahe merah, potensial dikembangkan sebagai obat fitofarmaka untuk penyembuhan kanker dengan dukungan penelitian yang kuat. Produk jadi minuman 23

kesehatan instan jahe, terbuat dari bahan utama rimpang segar jahe dengan bahan tambahan tepung gula dan bahan aditif. Salah satu produk yang mempunyai prospek pasar tinggi adalah suplemen minuman untuk meningkatkan vitalitas tubuh (afrodisiak) yang berbahan baku impor dari Korea (ginseng), dengan harga bahan baku cukup tinggi (Rp. 190 000,-/kg). Selain itu, trend meningkatkan vitalitas tubuh para pria juga dilakukan dengan mengonsumsi obat paten impor (Viagra) yang berbahan aktif Sildenafil Sitrat, dengan harga sangat mahal dan berefek negatif terhadap jantung (hipertensi), kehilangan penglihatan sementara dan mata bengkak. Indonesia memiliki purwoceng, tanaman obat asli yang potensial sebagai komplemen untuk afrodisiak dan substitusi ginseng Korea serta Viagra. Hasil penelitian BALITTRO menunjukkan, akar dan daun purwoceng mengandung steroid (stigmasterol dan sitosterol), turunan kumarin (psoralen dan scopoletin) serta vitamin E. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) sangat prospektif untuk dijadikan sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh (steroid). Selain itu, kandungan vitamin E di dalam herba purwoceng, dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika yang berfungsi untuk peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita. Namun, karena status kelangkaan (endangered species) tanaman ini di habitat endemiknya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, purwoceng tidak dapat didaftarkan sebagai bahan baku obat. Pengembangan industri di sektor hilir (produksi simplisia, ekstrak, suplemen minuman), perlu didukung dengan pengembangan sektor hulu dan tengah (industri benih, teknologi budidaya dan pasca panen primer), sehingga status kelangkaan tana- 24 Pertanaman Purwoceng man ini bisa dihapus, juga di sektor hilir (industri simplisia, ekstrak, dan obat herbal terstandar) untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani dan komoditas tersebut (Gambar 6). Produk jadi ramuan afrodisiak dalam bentuk minuman kesehatan dari purwoceng, terbuat dari bahan utama simplisia kering purwoceng dengan bahan tambahan simplisia kering jahe, secang dan bahan adirif. Dengan mengembangkan lima komoditas tersebut di atas, harapan Indonesia menjadi eksportir kelas dunia untuk produk obat berbasis bahan alam dapat terpenuhi serta dapat menekan impor obat dan bahan baku obat konvensional yang mencapai 160 juta USD per tahun. 25

IV. TUJUAN DAN SASARAN V. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM A. Tujuan Tujuan yang akan dicapai dalam pengembangan tanaman obat ke depan adalah mengoptimalkan agroindustri hulu hingga hilir sehingga dapat menarik minat investor, didukung oleh sistem dan infrastruktur yang akan menjadikan tanaman obat sebagai pipilhan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. 1. Membangun infrastruktur, kelembagaan, dan dukungan kebijakan. 2. Mengoptimalkan agroindustri hulu berupa intensifikasi dan ekstensifikasi areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. 3. Meningkatkan nilai tambah dan menyediakan bahan baku terstandar temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. 4. Meningkatkan pendapatan petani dari nilai tambah produk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. 5. Menambah dan menghasilkan devisa. B. Sasaran Sasaran pengembangan komoditas tanaman obat yang ingin dicapai pada periode 2005-2010 adalah : 1. Terbangunnya infrastruktur yang baik dengan dukungan kebijakan yang kondusif di sentra-sentra agribisnis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng 2. Terbangunnya agroindustri berbasis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng 3. Terpenuhinya 60% kebutuhan bahan baku terstandar tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk industri obat berbahan baku alami di dalam negeri. 4. Tercapainya peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan nilai tambah produk olahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebesar 50%. 5. Terwujudnya penghematan devisa negara untuk impor obatobatan sebesar 50%, dan pemasukan devisa sebesar 20 milyar USD pada tahun 2010. 26 A. Kebijakan Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan Kebijakan Nasional dan Keputusan Politik pemerintah pada level paling atas yaitu Presiden RI dan jajaran birokrasi di bawahnya, yang didukung penuh oleh DPR dan seluruh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindak lanjuti oleh masing-masing pihak terkait, yaitu: Badan POM, Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI, Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020. B. Strategi Guna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategi Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari Program Nasional tersebut, yang meliputi: (1) Penetapan komoditas tanaman obat unggulan, (2) Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, (3) Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan, (4) Penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk industri pengolahannya, (5) Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, (6) Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, (7) Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, (8) Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat. Road map agribisnis tanaman obat sebagai panduan dan arah kebijakan sampai tahun 2010 disajikan pada Gambar 7. 27