Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Keselamatan dan Keamanan Barang Dalam Kapal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN TERHADAP KERUSAKAN BARANG YANG DIANGKUT DALAM TRANSPORTASI LAUT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM DARAT

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT AKIBAT KETERLAMBATAN PENGIRIMAN BARANG. Suwardi, SH., MH. 1

I. PENDAHULUAN. berlaku pada manusia tetapi juga pada benda atau barang. Perpindahan barang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan manusia.peranan itu makin menentukan sehubungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

BAB I PENDAHULUAN. dari sarana pengangkutnya. Hal tersebut akan mempengaruhi lancar tidaknya. dapat dipastikan proses perdagangan akan terhambat.

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

HUKUM PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan salah satu jenis kegiatan pengangkutan. Dalam. membawa atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dalam kamus

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan pada khususnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB III PRAKTEK TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP KERUSAKAN DAN KEHILANGAN BARANG. A. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kerusakan Dan Kehilangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB I PENDAHULUAN. pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut 2. Kedudukan pengirim dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan tekhnologi dan peningkatan taraf hidup manusia yang. semakin lama semakin berkembang. Manusia cenderung untuk memenuhi

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari bidang kegiatan transportasi atau

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2005

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mencapai tujuan dan menciptakan maupun menaikan utilitas atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

JURNAL TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. KERETA API INDONESIA TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG AKIBAT KECELAKAAN KERETA API. Diajukan Oleh :

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETERLAMBATAN PENGANGKUTAN AIR PADA KM DORRI PUTRA

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

PENGATURAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB KARENA KESALAHAN APABILA TERJADI EVENEMENT PADA PENGANGKUTAN DARAT

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP PENGANGKUTAN TERNAKMELALUI KAPAL LAUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN JASA PENGIRIMAN BARANG MELALUI LAUT. Andriyanto Adhi Nugroho ABSTRACT

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MENGGUNAKAN KAPAL PETI KEMAS MELALUI LAUT (STUDI KASUS PT. MERATUS LINE CABANG PADANG)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANANAKHODA MENURUT UNDANG UNDANGNOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pelabuhan adalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JAMBI FAKULTAS HUKUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN MULTIMODA. pengangkutan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan lebih efektif dan

BAB I PENDAHULUAN. Dikatakan sangat vital karena sebagai suatu penunjang penting dalam maju

KEWAJIBAN PERDATA AIR ASIA TERHADAP KORBAN KECELAKAAN PESAWAT QZ8501

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG TANPA TIKET (ILLEGAL) DALAM PENGANGKUTAN DARAT DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di era globalisasi sekarang ini. mengakibatkan kerugian pada konsumen.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. garis khatulistiwa, oleh karenanya angkutan laut sangat dibutuhkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. bidang transportasi dalam penyediaan sarana transportasi. Pemerintah juga melakukan. peningkatan pembangunan di bidang perhubungan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Pengangkutan dapat dilakukan melalui darat, laut

BAB I PENDAHULUAN. telah diperjanjikan dan berlaku sebagai undang-undang. Persetujuan atau

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

AKIBAT HUKUM PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN BARANG OLEH PENGANGKUT DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT)

2016, No Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention For The Safety of Life at Sea, 1974; 6. Peratur

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN PERANAN PENTING PENGANKUTAN LAUT. Disusun oleh : YASIR ADI PRATAMA (E1A012096) KELAS B

BAB I PENDAHULUAN. itu perkembangan mobilitas yang disebabkan oleh kepentingan maupun keperluan

BAB I PENDAHULUAN. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA

Transkripsi:

Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Keselamatan dan Keamanan Barang Dalam Kapal Dekie GG Kasenda STIH Tambun Bungai Palangka Raya Email : dekie.kasenda@gmail.com Abstract : Transportation is a very important field of activity in public life Indonesia. he importance of transport for the people of Indonesia are caused by several factors, among others, the geographical situation of Indonesia which consists of thousands of small and large, the waters that comprise the bulk of the sea, rivers and lakes that allows transport is made by land, water and air to reach all areas of Indonesia. he responsibility of the carrier to the safety and security of goods in the ship, has been strictly regulated in Article 40 and Article 41 of Law No. 17 Year 2008 on the voyage. The responsibility of the carrier may be incurred as a result of the operation of the ship, destroyed, lost or damaged goods or delays in transportation of passengers and / or freight. If the transport company that can prove that the loss was not caused by his fault, transport companies may be exempted from some or all of its responsibilities. Keywords : Responsibility, Carrier, Ship Pendahuluan Perkembangan dunia perdagangan dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari sarana pengangkutan. Faktor sarana pengangkutan tersebut akan mempengaruhi lancar tidaknya perdagangan. Jika sarana pengangkutan sangat memadai, maka perdagangan pun akan berjalan dengan lancar, sedangkan jika sarana pengangkutannya sangat minim sudah dapat dipastikan proses perdagangan akan terhambat. Menurut Soekardono, perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik pada mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang/orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (penerima, pengirim, atau penumpang} berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut. 1 Pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah 1 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1996), hlm. 8 34

Indonesia. Hal lain juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanan pembangunan yang berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan di berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan. 2 Pengangkutan dilakukan karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada tempat asalnya. Setiap penyelenggaraan pengangkutan, baik darat, laut dan udara memiliki risiko. Oleh karena itu, pengangkut dibebani kewajiban untuk menjaga keselamatan barang maupun penumpang yang diangkut selama perjalanan. Salah satu pengangkutan yang memiliki risiko tinggi adalah pengangkutan melalui laut. Oleh karena itu dalam pengangkutan melalui laut pihak pengangkut dibebani tanggung jawab. Mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dalam Pasal 40 Undang-Undng Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (selanjutnya ditulis UU Pelayaran), yang menyebutkan : 1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 7 2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang tlah disepakati. Dengan dibebani tanggung jawab bagi pengangkut, maka pihak pengangkut dalam pengangkutan melalui laut wajib menjaga keselamatan dan keamanan barang dalam kapal selama dalam pelayaran. Mengingat risiko yang besar dalam pelayaran melalui laut, maka dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, terdapat prinsip-prinsip tanggung jawab yang mendasarinya. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab bergantung pada keadaan tertentu. Tanggung jawab dalam pengangkutan barang menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga yang berarti bahwa tanggung jawab pengangkut dapat dihindarkan bila pengangkut dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya ditulis KUHD) yang menyatakan bahwa pengangkut menanggung segala kerugian yang terjadi kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian terebut diakibatkan karena cacat pada barang itu sendiri, keadaan yang memaksa, atau karena kesalahan atau kealpaan si pengirim atau ekspeditur. 35

Dalam hal pengangkutan melalui laut (air), maka sebagai sarana angkutnya adalah kapal, adapun pengertian kapal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 309 KUH Dagang yaitu : Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun, dari macam apapun juga. Selain itu pengertian kapal juga diatur dalam Pasal 1 angka 36 UU Pelayaran, yaitu : Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Setiap kapal yang melakukan pelayaran harus laik laut, kelaiklautan kapal merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pemenuhan pelayanan yang handal dan aman selama suatu kapal melakukan pelayaran baik itu nasional maupun internasional. Adapun yang dimaksud dengan kelaiklautan kapal diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Pelayaran, yaitu : Kelaiklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu. Pada pengakutan laut, kapal sebagai alat angkutnya merupakan faktor yang utama dalam menyelenggarakan pengangkutan. Untuk dapat menyelenggarakan pengangkutan yang aman dan selamat, maka kapal yang bersangkutan harus dalam kondisi yang laik/layak laut. Dengan demikian, kelaiklautan kapal tersebut harus sangat diperhatikan oleh pengangkut, karena mengingat banyaknya kasus kecelakaan kapal yang terjadi akhir-akhir ini. Tanggung jawab Pengangkut Terhadap Keselamatan dan Keamanan Barang Dalam Kapal Arti penting dalam suatu pengangkutan dapat lebih dengan jelas dirasakan oleh masyarakat dalam hal menyangkut kehidupan sehari-hari, misalnya dalam pengadaan dan penyediaan bahan pokok, bahan bakar minyak dan lainnya, dimana bila angkutan macet maka seketika itu juga masyarakat akan merasakannya, karena pada dasarnya pengangkutan itu merupakan jembatan penghubung antara produsen dan konsumen. Diantara berbagai jenis angkutan adalah pengangkutan melalui laut dimana dengan kapal sebagai alat angkutnya, Indonesia yang merupakan negara maritim, artinya wilayah Indonesia terdiri dari rangkaian pulaupulau yang dipisahkan oleh laut maupun selat. Untuk menjaga kelangsungan atau keberadaan perusahaaan pengangkutan melalui laut dengan kapal sebagai alat angkutnya, maka pengangkut dibebani dengan tanggung jawab tertentu terhadap barang muatan yang diterimanya dari pengirim sampai 36

diserahkannya barang tersebut kepada penerima. Kapal sebagai alat angkutan melalui laut, haruslah dalam keadaan laik laut, hal ini dalam pelayarannya dapat memberikan rasa aman, dalam memberikan kelaiklautan sebuah kapal dapat dilakukan melalui pemeriksaan dan pengujian yang dibuktikan dengan sertifikat keselamatan kapal. Inilah yang disebut layak laut (seaworthy). Pengangkutan laut merupakan salah satu bentuk pengangkutan yang sangat penting dan mempunyai peran yang sangat menonjol karena dilihat dari banyaknya keuntungan yang salah satunya adalah biaya angkutan yang sangat murah jika dibandingkan dengan menggunakan angkutan darat maupun udara. Pada pengangkutan laut, kapal merupakan faktor yang utama dalam menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan dapat diciptakan melalui perjanjian, dimana perjanjian merupakan hubungan perdata yang didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak untuk menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya masing-masing. Hak dan kewajiban para pihak tertuang dalam suatu perjanjian kerja baik secara tertulis maupun lisan. Suatu perjanjian pengangkutan selain harus mengatur secara jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan pengangkutan, artinya para pihak dalam mengambil kesepakatan harus dilandasi proses tawar menawar yang seimbang. Pada dasarnya setiap orang atau badan hukum diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian yang merupakan bagian dari hak-hak kebebasan dasar manusia, namun perlu mulai ada pembatasan untuk menentukan batas-batas dari kebebasan tersebut. Haruslah diingat bahwa manusia adalah makhluk sosial dan bahwa hukum perdata tidak hanya bertujuan melindungi perorangan saja akan tetapi untuk melindungi masyarakat pada umumnya. Pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Sehingga kebebasan yang ada sifatnya tidak mutlak melainkan ada batasannya, melainkan tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dalam pengangkutan barang melalui laut melibatkan para pihak antara lain : 3 1. Pengangkut, adalah barang siapa yang baik dengan perjanjian carter menutur waktu atau carter menurut perjalanan maupun dengan perjanjian jenis lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang yang seluruhnya atau sebagian melalui laut; 2. Pemilik barang, adalah mereka yang secara yuridis berkedudukan sebagai pemilik barang yang akan atau sudah dikapalkan lewat suatu perjanjian pengangkutan laut; 3 Jordan Eerton, Hukum Maritim, (Surabaya: Bhakti Samudera Surabaya, 2002), hlml. 95 37

3. Pengirim, adalah mereka yang bertindak selaku pengirim milik cargo owner untuk dikapalkan melalui perjanjian pengangkutan laut; 4. Perusahaan bongkar muat, adalah mereka yang melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemuatan atau pembongkaran barang ke atau dari atas kapal; 5. Penerima, adalah mereka yang berkedudukan sebagai penerima barang muatan yang tercantum dalam konosemen di pelabuhan bongkar. Dalam pelaksanaan pengangkutan, maka kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang mulai diterimanya dari pengirim sampai diserahkannya kepada penerima. Dari kewajiban ini timbul tanggung jawab pengangkut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata yang mengatur bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga. Jadi, jika dalam pelaksanaan pengangkutan, pengangkut tidak melakukan kewajibannya maka pengangkut harus membayar ganti rugi, hal ini merupakan tanggung jawab pengangkut. Tanggung jawab merupakan suatu risiko yang jelas harus ditanggung oleh pengangkut yang merupakan konsekuensi dari suatu perjanjian pengangkutan yang telah diadakan antara pengangkut dengan penumpang atau pemilik barang atau pengirim barang. Mengenai tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan perairan atau melalui laut dapat ditemui dalam Pasal 40 UU Pelayaran, yang menyatakan : (1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah ang dinyatakan dalam dokumen muatan dan.atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati. Tanggung jawab pengangkut ini diperjelas kembali dalam Pasal 41 UU Pelayaran, yang menyebutkan : (1) Tanggung jawab sebagaimana dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa : a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; b. Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diamgkut; atau d. Kerugian pihak ketiga. (2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud 38

pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tangguung jawabnya. (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab yang timbul bagi pengangkut berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU Pelayaran menentukan bahwa tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa musnah, hilang atau rusaknya barang maupun keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut. Namun menurut ketentuan Pasal 41 ayat (2) UU Pelayaran jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan tersebut dapat dibebaskan dari sebagian atau seluruh tanggung jawabnya. Dalam hal pengasuransian tanggung jawab pengangkut sebagaimana yang disyaratkan Pasal 41 ayat (3) UU Pelayaran, apabila hal ini tidak dilakukan oleh pengangkut, maka menurut Pasal 292 UU Pelayaran, yaitu, Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam pelaksanaan pengangkutan barang atau muatan melalui laut, di mana untuk mengurangi risiko tanggung jawab terhadap kerugian apabila terjadi suatu yang tidak diinginkan maka muatan tersebut harus diasuransikan dan hal ini sudah diatur dalam UU Pelayaran, akan tetapi dalam pelaksanaannya apabila nilai kerusakan barang yang diangkut kurang dari 1% maka masih tanggung jawab pengangkut, sedangkan apabila nilai kerusakan barang lebih dari 1% maka klaim atau pembebananya dialihkan kepada pihak Asuransi. Dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, terdapat prinsipprinsip tanggung jawab yang mendasarinya. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab bergantung pada keadaan tertentu. Dalam pengangkutan barang melalui laut dikenal adanya prinsip-prinsip tanggung jawab terhadap pengangkut, yaitu : 1. Prinsip Presumption of liability, artinya suatu prinsip jika terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan kehilangan, kerusakan, tidak diterimanya barang dan lain-lainnya, maka yang pertama-tama diduga bertanggung jawab adalah pengangkut, yang berarti memberikan beban pembuktian pada pengangkut. Pada pokoknya pengangkut diberikan kesempatan untuk membuktikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu : 39

a. Pengangkut telah berusaha sekuat tenaga untuk mencegah dan menghindari peristiwa, hal ini apabila pengangkut dapat membuktikan adanya keadaan darurat atau ada suatu kejadian yang tidak dapat dihindarkan lagi (overmacht/ force majeur), maka pengangkut tidak wajib memberi ganti rugi, sebaliknya apabila pengangkut tidak dapat b. Dengan adanya tanggung jawab yang terbatas, risiko dapat diketahui besar kecilnya, maka dapat dialihkan pada pihak lain dalam hal ini asuransi. Tanggung jawab dalam pengangkutan barang menganut prinsip tanggungjawab berdasarkan atas praduga yang berarti bahwa tanggung jawab pengangkut dapat dihindarkan bila pengangkut dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah. Hal ini seusiai dengan Pasal 91 KUHD yang menyatakan bahwa pengangkut menanggung segala kerugian yang terjadi kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut diakibatkan karena cacat pada barang itu sendiri, keadaan yang memaksa, atau karena kesalahan atau kealpaan si pengirim atau ekspeditur. Begitu pula halnya prinsip tanggung jawab yang diterapkan pada UU Pelayaran ini adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan atas asas praduga bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle). Hal ini tercantum di dalam ketentuan Pasal 41 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2008 yang menentukan bahwa Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya. Dalam prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Namun jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul itu bukan kesalahannya, maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar sebagian atau seluruh ganti kerugian tersebut. Beban pembuktian pada prinsip tanggung jawab atas praduga ini berada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut. Berdasarkan prinsip tanggung jawab atas asas praduga ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle) dan memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa tidak sampainya pengiriman atau rusaknya barang karena adanya badai tersebut adalah bukan kesalahanya. 4 Kewajiban pengangkut adalah mengangkut barang sampai tempat tujuan dengan selamat, tetapi apabila barang tidak selamat atau muncul suatu kerugian dalam pelaksanaan 4 Suwardi, Tanggung Jawab Pengangkut Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang, Jurnal Fakultas Hukum Volume XX No. 20 April 2011. 40

pengangkutan tersebut, pengangkut dapat lepas dari tanggung jawab apabila dia dapat membuktikan bahwa kerugian yang muncul itu bukan akibat dari kesalahannya. Pengusaha angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pengangkutan. Ganti rugi yang harus diberikan meliputi biaya yaitu segala pengeluaran/perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh pengirim, rugi yaitu kerugian yang terjadi karena kerusakan barang-barang kepunyaan pengirim yang diakibatkan oleh kesalahan pengangkut, dan bunga yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan/dihitung oleh pengirim. Besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita, pengirim barang. Jadi besar ataupun kecil kerugian yang diderita merupakan tanggung jawab pengangkut untuk menggantinya. Pengangkut dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi apabila kerugian yang terjadi bukan karena perbuatan wanprestasi (kesalahan) pengangkut melainkan kerugian tersebut terjadi karena adanya keadaan memaksa (overmacht) yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan piak yang bersangkutan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi, yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang menyebabkan kesukaran dalam pelaksanaan kontrak dan yang menyebabkan terhalangnya pemenuhan perikatan. 5 Sesuai dengan persyaratan berlayar, kalaiklautan kapal merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pemenuhan pelayanan yang handal dan aman selama suatu kapal melakukan pelayaran baik itu naisonal maupun internasional. Kapal yang disediakan oleh pengangkut harus memenuhi syarat keselamatan agar dapat sampai di tempat tujuan dengan selamat. Selain persyaratan kelaikan kapal, tersebut supaya kapal mendapat Surat Persetujuan keselamatan kapal seperti pelampung, baju renang dan lain-lain, dan juga keadaan cuaca tidak membahayakan pelayaran berdasarkan ramalan cuaca yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Apabila dihubungkan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, maka hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 34 UU Pelayaran, yang menyebutkan : Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Dalam pengangkutan barang, keterlambatan dan kerugian pihak ke 5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hlm. 52 41

tiga dalam UU Perlayaraan menganut prinsip pertanggungjawaban pengangkut berdasarkan atas praduga, di mana si pengangkutlah yang menndapat beban untuk membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan timbul karena kesalahannya, bila ia ingin dibebaskan dari sebagian atau seluruh tanggung jawabnya atas kerugian tersebut. Penutup Tanggung jawab pengangkut terhadap keselamatan dan kemanan barang dalam kapal, telah diatur secara tegas dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Tanggung jawab pengangkut dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa musnah, hilang atau rusaknya barang maupun keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut. Jika perusahaan angkutan yang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan dapat dibebaskan dari sebagian atau seluruh tanggung jawabnya. DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998 Jordan Eerton, Hukum Maritim, Surabaya: Bhakti Samudera Surabaya, 2002 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1996 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1985 Suwardi, Tanggung Jawab Pengangkut Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang, Jurnal Fakultas Hukum Volume XX No. 20 April 2011 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 42