BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

dokumen-dokumen yang mirip
Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

BAB - III PEMBAHASAN. secara luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Pembukaan pasar ini

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu yang mencakup banyak bidang atau multidimensi yang melewati batas-batas

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

MODEL KEPEMIMPINAN DAN PROFIL PEMIMPIN AGRIBISNIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

Dhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

: Institute Of Southeast Asian Studies

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. para pemimpin yang mampu membawa China hingga masa dimana sektor

BAB I PENDAHULUAN. krisis keuangan dunia secara relatif mulus. Perlambatan pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa

PENDAHULUAN Latar Belakang

perdagangan, industri, pertania

PENERAPAN STANDAR NASONAL INDONESIA (SNI) TERHADAP PRODUK IMPOR DALAM RANGKA PERJANJIAN ASIANCHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) SKRIPSI

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. artikan sebagai kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI

ii Ekonomi Internasional

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

PEMASARAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN INDIVIDU TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

INSTRUMEN INTERNASIONAL DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan

APBN TAHUN 2008 PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN

IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Perjanjian Internasional Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional selanjutnya disingkat UUPI merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang- Undang Dasar 1945, di mana Pasal 11 itu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Perjanjian internasional yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, summary record, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Prof. Mochtar Kusumaatmadja (1978:109) mengatakan bahwa secara yuridis semua istilah tersebut tidak mempunyai arti tertentu, dengan perkataan lain semuanya merupakan perjanjian internasional dalam arti perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangasa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. 6

Pasal 1 butir 1 UUPI tertulis bahwa yang dimaksud perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dengan demikian pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja tidak jauh berbeda dengan yang tertera dalam UUPI. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut. Namun I Wayan Parthiana memberikan pengertian berbeda antara perjanjian internasional dengan persetujuan (agreement). Perjanjian internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subjek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional (Parthiana, 2002:12). Sedangkan persetujuan (agreement) adalah perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih bersifat teknis dan administratif yang ruang lingkupnya lebih kecil. Sama dengan Parthiana, Syahmin (1985:7) juga berpendapat bahwa Agreement dalam bahasa Indonesia lazim diterjemahkan dengan persetujuan. Pada hakikatnya agreement adalah suatu terminologi 7

dipakai untuk suatu bidang atau scope yang lebih sempit dibandingkan dengan treaty atau convention. Dan dalam prakteknya agreement sering dilakukan oleh Kepala Negara. Hal tersebut sangat penting dijelaskan karena akan sangat berkaitan dengan topik pembahasan makalah ini. 2.2 Pengesahan Perjanjian Internasional Pengesahan suatu perjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia didasarkan pada Pasal 9 ayat (2) UUPI yaitu perjanjian internasional disahkan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden (sesuai Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Pasal 10 UUPI menetapkan bahwa perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : 1. Masalah politik, pertahanan dan keamanan negara; 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI 3. Kedualatan atau hak berdaulat negara 4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup 5. Pembentukan kaidah hukum baru 6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Sedangkan pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan Peraturan Presiden. 8

Dalam kaitan dengan ACFTA dalam makalah ini, ternyata perjanjian ACFTA itu dikategorikan sebagai agreement (persetujuan) yang dilakukan dengan Peraturan Presiden. 2.3 Tinjauan Menurut Hukum Perikatan Pasal 1313 BW perjanjian adalah suatu persetujuan yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal 1313 BW ini lebih menitikberatkan perhatiannya pada persetujuan (overeenkomst) dan sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan. Perikatan (verbintenis) lebih cenderung digunakan untuk perutangan. Untuk itu maka Satrio (2001:2) menamakan perikatan untuk verbintenis, perjanjian atau persetujuan sebagai overeenkomst. Sehingga Satrio mengatakan bahwa perikatan dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak, di mana satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Bab II Buku III berjudul Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian menurut Satrio kedua istilah itu adalah sama. Artinya, kata kontrak tidak diartikan sebagai sehari-hari yang kita kenal, di mana ada anggapan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Dari pembahasan di atas dapat ditarik garis lurus yang signifikan antara perikatan dengan perjanjian internasional. Sama-sama mengandung hak dan kewajiban, hanya saja perikatan bersifat keperdataan yang subjek hukumnya adalah orang perorang atau badan hukum. Sedangkan perjanjian 9

internasional subjek hukumnya adalah institusi negara, organisasi internasional atau subjek-subjek hukum lainnya. Tetapi yang jelas secara teoritis harus diakui secara universal bahwa syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah : sepakat, kecakapan menurut hukum, adanya hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Asas ini juga dilakukan oleh negara ketika mengadakan perjanjian dengan negara lain, bahkan pada Bagian III Konvensi Wina Tahun 1969 Pasal 26 memuat asas pacta sunt servanda yang mengandung arti bahwa setiap perjanjian adalah mengikat bagi para peserta dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik (Syahmin, 1985:34-35) Asas pacta sunt servanda ini oleh Sefriani (2010:49) dimasukkan dalam kelompok prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab (General Principles Recognized Civilized Nations) bahwa prinsip hukum umum itu tidak hanya terbatas pada hukum internasional tetapi juga digunakan dalam hukum perdata, hukum acara, hukum pidana, hukum lingkungan dan lain-lain yang diterima dalam praktik negara-negara nasional. Selain asas pacta sunt servanda, dikenal pula prinsip itikad baik (good faith), prinsip res judicata, nullum delictum nulla poena lege poenali, nebis in idem, good governance, clean governance, dan lain-lain. 2.4 Kesepakatan-Kesepakatan Perdagangan Bebas Internasional Perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara-negara untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian dan perdagangan dimulai pada 10

Putaran Uruguay. Putaran Uruguay dapat di anggap sebagai tonggak sejarah karena sejak GATT (General Agreement On Tarif and Trade) yang didirikan pada tahun 1994, baru pertama kali diikuti oleh sebanyak 120 negara (termasuk Indonesia) mencapai komitmen politik untuk memasukkan komoditi pertanian, tekstil, dan jasa serta barang manufaktur dalam kesepakatan multilateral ditandatangani tanggal 15 April 1994 di Marakesh (Maroko). Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan multilateral tersebut maka pada tanggal 1 Januari 1995 telah didirikan sebuah lembaga dunia baru bernama WTO (World Trade Organization) yang menggantikan fungsi GATT. Adapun secara garis besar inti ketentuan WTO bertujuan mengatur empat bidang yakni: Pertama, kegiatan perdagangan internasional yang meliputi produk manufaktur, tekstil, garmen, dan produksi pertanian. Kedua, kegiatan jasa-jasa yang terkait dengan perdagangan (GATT) seperti antara lain jasa keuangan, asuransi, angkutan, turisme, telekomunikasi, dan konstruksi. Dan ketiga, aspek sosial yang berkaitan dengan perdagangan bebas. Berdirinya WTO telah memberikan konsekuensi bagi Indonesia sebagai salah satu di antara 125 negara yang ikut menandatangani perjanjian WTO dan telah meratifikasinya melalui UU No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994. Dengan ratifikasi ini maka seluruh ketentuan dalam WTO wajib dilaksanakan oleh Indonesia. Pelaksanaan ketentuan WTO tersebut dilakukan dengan menyesuaikan seluruh ketentuan yang berlaku di bidang perdagangan/perekonomian dengan ketentuan-ketentuan WTO tersebut. 11

Artinya Indonesia harus melakukan harmonisasi atau minimal berupaya agar peraturan perundangan-undangan di bidang tersebut konsisten dengan ketentuan-ketentuan WTO. Secara umum ketentuan WTO bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan yang dapat mempengaruhi arus lalu lintas barang, modal, informasi teknologi, dan jasa bisnis, dan tujuan lain WTO adalah meningkatkan akses pasar seluas-luasnya ke berbagai pelosok dunia. (http://www.smecda.com). Prinsip-prinsip WTO ternyata juga dipakai sebagai landasan kerjasama ekonomi di tingkat regional seperti APEC dan di tingkat sub-regional seperti AFTA. Sebagai anggota APEC dan ASEAN, maka Indonesia secara otomatis juga harus melaksanakan berbagai ketentuan yang diberlakukan di kedua organisasi internasional tersebut. Pada tahun 1992 lahir kesepakatan AFTA ( Asean Free Trade Agreement) yang bertujuan untuk mencapai perluasan dan kesatuan dalam mekanisme terhadap barang dan jasa pasar. Mekanisme untuk melaksanakan AFTA adalah menyangkut tingkat tarif efektif yang sama. Di belahan dunia lainnya, negara-negara juga saling mengadakan kerjasama di bidang ekonomi dan keuangan misalnya Masyarakat Eropa (European Community), NAFTA (North America Free Trade Area) kerjasama ekonomi di antara negara-negara Amerika Serikat, Panama dan lain-lain di kawasan Amerika Utara. 12

Keberadaan kesepakatan tersebut semuanya mendorong terjadinya perdagangan bebas, baik dalam skala global atau regional. Hal ini berarti negara-negara dapat meningkatkan kompetisi di dalam negeri, yang berarti pula dapat juga membuka kesempatan untuk berekspansi usaha ke negeri lain. Indonesia telah memiliki komitmen untuk ikut serta dalam perdagangan bebas, bahkan mempeloporinya, oleh karena itu tentunya Indonesia harus mentaati perjanjian internasional yang telah disepakati sebagai itikad baik menerapkan asas pacta sunt servanda. 2.5 Proses Terjadinya ACFTA Pada tahun 2001, pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Dalam prosesnya, negosiasi tersebut akan berlanjut melalui tahapantahapan. Satu tahun berikutnya, yaitu tahun 2002, pemimpin ASEAN dan China siap menandatangani kerangka perjanjian Comprehensive Economic Cooperation (CEC), yang didalamnya terdapat pula diskusi mengenai Free Trade Area (FTA). Tidak diragukan lagi bahwa proposal yang ditawarkan oleh China sangat menarik karena China dan ASEAN sama-sama melihat kemungkinan besar akan adanya pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan dengan perjanjian tersebut. Inisiatif untuk bekerjasama dalam pengembangan ekonomi datang dari China (Dewitari,dkk 2009). 13

Perkembangan ekonomi China tampaknya tidak terbendung untuk menjadi perekonomian terbesar di dunia dalam dua atau tiga dekade ke depan. Harga produk yang murah dan jenis produk yang bervariasi serta dukungan penuh pemerintah China membuat produk negara lain sangat sulit untuk bersaing. Pemerintah Amerika Serikat pun pada mulanya berupaya melindungi perekonomian dalam negerinya dan berusaha menekan China, antara lain membiarkan dollar menguat. Dalam perkembangannya, AS harus realistis bahwa China tidak dapat lagi ditekan dan lebih baik bekerjasama dalam memulihkan perekonomian dunia dari krisis global (Kompas, 3 Februari 2010). Kerangka Persetujuan CEC berisi tiga elemen yaitu liberalisasi, fasilitas dan kerjasama ekonomi. Elemen liberalisasi meliputi barang perdagangan, servis atau jasa dan investasi. ACFTA dirancang oleh para kepala negara atau pemerintahan ASEAN dan China pada pertemuan puncak ASEAN dan Republik Rakyat China 6 November 2001 lalu. Inisiatif tersebut selanjutnya dikukuhkan menjadi Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan RRC yang ditandatangani di Pnom Penh, Kamboja tanggal 4 November 2004. Kemudian pada tanggal 6 Oktober protokol perubahan persetujuan tersebut ditandatangani oleh menteri-menteri Ekonomi ASEAN-RRC (Suara Merdeka 26 Januari 2010). 14

2.6 Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA Perjanjian Perdagangan Bebas Intra-ASEAN dalam skema Common Effective Preferential Tarif- ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) dimulai sejak tahun 1992. Kemudian dalam rangka pembentukan ASEAN Economic Community pada 2015, dibentuk ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Dan untuk keseluruhan program kerjasama tersebut maka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) ditandatangan i pada 29 November 2004. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perjanjian perdagangan bebas tidak dapat dicegah ataupun dibatalkan walaupun sektor industri manufaktur mengaku belum cukup siap (Kompas, 9 April 2010). Namun, lazimnya di dalam kesepakatan perjanjian perdagangan bebas terdapat klausul-klausul yang memberi kesempatan para pihak memodifikasi dan penundaan konsesi sementara dalam rangka memperbaiki posisi daya saingnya. Pemerintah bertugas untuk mendorong bagi perusahaan yang dapat memenangi persaingan, dan memberikan jalan keluar serta alternatif bagi perusahaan yang kalah bersaing dan pekerjanya menganggur (Kompas 3 Februari 2010). Pemerintah perlu memberikan stimulus berupa insentif fiskal untuk mendukung industri, yaitu tarif pajaknya bisa diturunkan atau ditanggung pemerintah. Pemerintah juga dapat memberikan anggaran belanja berupa pemberian subsidi kepada pelaku usaha atau memberikan subsidi bunga 15

kepada industri yang rentan terkena dampak negatif FTA (Suara Merdeka, 21 Januari 2010). Upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah memotong pajak untuk industri dalam negeri, memerangi pungutan liar terhadap industri, serta memberikan bantuan dan subsidi yang lebih besar kepada pengusaha, khususnya pengusaha industri kecil menengah agar bisa mempertahankan dan mengembangkan usaha. Pemerintah juga harus mendorong gerakan cinta produk dalam negeri. Hal itu sangat penting karena potensi konsumsi kita sangat besar. Apabila diarahkan pada produkproduk lokal maka akan membantu industri dan perekonomian pada umumnya. Hal ini harus didukung dengan kreasi, inovasi dan perbaikan mutu produk lokal supaya bisa menjadi prioritas konsumen dalam negeri. 16