BAB I PENDAHULUAN. tersebut mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap seksualitas dan

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB I PENDAHULUAN. tentang kesehatan reproduksi ini penting untuk. diberikan kepada remaja, melihat semakin meningkatnya kasus-kasus remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan hasil pengembangan yang telah di bahas pada bab sebelumnya, penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah Kota Gorontalo atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada masa remaja umumnya anak telah mulai menemukan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menuntut. masyarakat untuk bersaing dengan apa yang dimilikinya di era

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

I. PENDAHULUAN Path-UNFPA journal. Volume Sarwono SW Psikologi Remaja. Jakarta: CV. Rajawali. 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan tahap kehidupan seseorang mencapai proses

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas manusia, hal ini. tidak lepas dari dua komponen yaitu siswa dan guru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. yang mereka tinggali sekarang ini contohnya dari segi sosial, budaya, ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. saat usia remaja terjadi peningkatan hormon-hormon seksual. Peristiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

BAB I PENDAHULUAN. habis-habisnya mengenai misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktivitas seksual remaja juga cenderung meningkat baik dari segi kuanitas

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan transisi dalam moralitas (Suhud & Tallutondok., 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyebaran arus informasi yang tidak terbatas dan dibatasi menyebabkan

BAB I PENDAHULAN. Kasus kenakalan remaja semakin menunjukkan trend yang sangat. kelompok, tawuran pelajar, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian,

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. baik fisik, psikologis, intelektual maupun sosial. Baik buruknya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan kelompok remaja tidak dapat diabaikan begitu saja. World Health

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Aspek biopsikososial higiene...irmatri Ariyani, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman, dan keterampilan dalam proses belajar mengajar. Dalam kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001)

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB 1 : PENDAHULUAN. sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad 21, dunia mengalami perubahan-perubahan pesat di bidang sosial, ekonomi, politik, dan komunikasi yang diikuti oleh perubahanperubahan dalam hal norma sosial dan perubahan seksual. Proses perubahan tersebut mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap seksualitas dan membentuk perilaku seksual. Pergeseran nilai-nilai terhadap perilaku seksual antara dahulu dengan saat ini merupakan dampak perubahan yang terlihat jelas dan nyata. Dahulu Indonesia sebagai bangsa Timur, yang sangat teguh memandang seksualitas sebagai hal yang tabu dan sakral. Sementara, bangsa Barat memandang dan mengekspresikan seksualitas demikian terbuka dan menganggap hal tersebut sebagai salah satu Hak Asasi Manusia. Namun demikian, saat ini perbedaan nilai-nilai perlahan-lahan mulai tampak kabur sebagai dampak globalisasi informasi dari segala penjuru dunia yang dapat diakses dengan cepat dan mudah. Individu yang terkena dampak globalisasi tersebut meliputi semua lapisan baik orang tua, dewasa, anak-anak, dan terutama pada remaja. Kenyataannya, kemudahan dalam memperoleh informasi tidak selalu berdampak positif bagi masyarakat. Informasi yang disediakan oleh media seringkali tidak lengkap bahkan banyak yang menyesatkan. Surat kabar sebagai 1

contohnya, hanya sekitar 30 % surat kabar di Indonesia yang hingga kini dinilai layak disebut surat kabar dengan berita yang kredibel dan professional. Hal ini menunjukan masih banyak surat kabar yang memuat berita asal-asalan dan isinya malah dapat menyesatkan pembacanya (Kedaulatan Rakyat, 9 Februari 2007). Tidak terkecuali informasi seputar masalah seks yang banyak disediakan oleh media. Banyak media membahas masalah seks namun hanya setengahsetengah atau tidak lengkap. Akibatnya banyak terjadi penyimpangan. Beberapa contohnya adalah adanya seks bebas, aborsi, kehamilan tidak diinginkan dan penyakit seks menular. Dari data yang ada, kebanyakan pelaku atau penderitanya adalah remaja. Sekitar 30% remaja di Indonesia melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan 50% penderita AIDS adalah remaja atau pemuda (Kedaulatan Rakyat, 18 Januari 2007). Sedangkan untuk kasus aborsi disebutkan sekitar 1,3 juta remaja melakukan aborsi tiap tahunnya (Gatra, 15 maret 2001). Hal yang hampir sama juga terjadi pada KTD (kehamilan tidak diinginkan), dimana sekitar 1 juta orang mengalami KTD dan sebagian diantaranya adalah remaja putri (www.kespro.com/2004-04-14/artikel/hdh:4151). Penyimpangan masalah seks sangat rentan terjadi di kalangan remaja. Hal ini dimungkinkan karena pada masa ini remaja berada pada potensi seksual yang aktif terkait dengan dorongan seksual yang dipengaruhi oleh hormon. Selain itu para remaja juga tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Mu tadin, 10 Juli 2002). Sebagai kompensasinya, para remaja ini berusaha mencari tahu tentang masalah seksual dengan berbagai cara. Dari hasil 2

survey yang dilakukan oleh lembaga survei sinovate research yang dilakukan sejak September 2004 di empat kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan dengan responden berusia 15 sampai 24 tahun terungkap bahwa 65% informasi tentang seks remaja peroleh dari teman dan 35% sisanya dari film porno (Modul Kespro Remaja, BKKBN, 2008: 1). Banyaknya kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan aborsi yang terjadi pada remaja, merupakan indikator bahwa sebagian besar remaja tidak mengetahui mengenai reproduksi sehat. Padahal informasi mengenai reproduksi sehat sangatlah penting. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2008: 55-57) faktorfaktor penyebab perilaku seksual remaja yaitu karena meningkatnya libido seksualitas, penundaan usia perkawinan, tabu-larangan, kurangnya informasi tentang seks, dan pergaulan yang makin bebas. Pemahaman yang benar di kalangan siswa mengenai reproduksi sehat, akan menghindarkan siswa dari penyakit seperti PMS (Penyakit Menular Seksual), aborsi dan HIV/AIDS. Dampak dari aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan perempuan terutama jika dilakukan secara tidak aman yaitu oleh tenaga yang tidak terlatih. Sebab utama kematian perempuan yang melakukan aborsi adalah pendarahan yang terus-menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi. Selain itu aborsi juga berdampak pada kondisi psikologis remaja. Perasan sedih karena kehilangan bayi, beban batin akibat timbulnya perasan bersalah dan penyesalan dapat mengakibatkan depresi pada remaja. 3

Memasuki masa remaja, seseorang mengalami pertumbuhan fisik dan pematangan seksual yang disebut dengan pubertas. Sepanjang kehidupan manusia, pubertas merupakan periode pertumbuhan fisik yang paling drastis setelah perkembangan pada masa bayi, dan paling membutuhkan penyesuian diri. Selain perubahan fisik, pada diri remaja juga terjadi perubahan-perubahan menyangkut perubahan psikis, sosial, dan moral dan berlangsung sekitar usia 11 tahun sampai 24 tahun (Sarlito Wirawan Sarwono, 2008: 18). Pada saat ini remaja mulai berfungsi secara seksual dengan sepenuhnya. Perkembangan seksualitas dipengaruh terhadap dorongan seksual remaja. Seseorang remaja merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks. Dorongan seksual atau libido pada masa remaja menjadi sangat tinggi. Sebenarnya dari kecil seseorang anak telah memiliki libido, hanya libidonya berbeda dengan seorang remaja. Hurlock (2002: 226) mengatakan bahwa minat terhadap seks pada usia remaja semakin meningkat. Meningkatnya minat terhadap seks menyebabkan para remaja atau siswa selalu berusaha untuk mencari berbagai informasi mengenai seks. Informasi yang mereka dapatkan biasanya lebih banyak dari teman sebaya, situs-situs porno, atau majalah-majalah yang isinya mengenai seputar seks. Tingginya kebutuhan remaja saat ini akan informasi reproduksi sehat, dapat dilihat dari banyaknya remaja yang selalu mencari informasi terbaru tentang seks. Hal ini dapat diartikan bahwa kebutuhan remaja akan informasi reproduksi sehat merupakan kebutuhan pokok yang identik dengan kebutuhan dasar lainnya. 4

Keingintahuan yang tinggi pada remaja tentang masalah seks juga terjadi pada siswa kelas X di SMA Negeri 6 Yogyakarta. Berdasarkan hasil prasurvey awal yang diberikan pada 34 siswa, terdapat 94% siswa yang menyatakan membutuhkan modul tentang reproduksi sehat dengan alasan materi reproduksi sehat yang sudah diberikan oleh pihak sekolah masih belum cukup dan terbatas, untuk itulah diperlukan suatu tambahan materi tentang reproduksi sehat. Sedangkan 6% siswa menyatakan tidak membutuhkan modul tentang reproduksi sehat dengan alasan materi tentang reproduksi sehat sudah sering diberikan oleh guru mata pelajaran biologi, agama dan olahraga, meskipun materi tersebut disampaikan dalam bentuk yang sederhana. Selain itu siswa beranggapan bahwa modul memuat materi cukup banyak sehingga membutuhkan waktu lebih banyak untuk memahami isi dalam modul. Informasi mengenai reproduksi sehat di sekolah memang selama ini sudah terselip di beberapa mata pelajaran yaitu biologi, penjaskes, dan agama. Pada pelajaran biologi ada pembahasan mengenai pembuahan yaitu pertemuan antara sperma dan sel telur yang dapat mengakibatkan kehamilan. Namun, demikian materi tersebut hanya terbatas pada bagaimana proses pembuahan itu terjadi, sehingga siswa merasa materi yang disampaikan kurang representatif. Berdasarkan hasil prasurvey awal terhadap 34 siswa dapat diketahui bahwa 14% dari siswa (terutama laki-laki) mempunyai koleksi film porno baik dalam bentuk CD atau tersimpan dalam komputernya masing-masing. Menonton film porno dan membeli majalah orang dewasa adalah pilihan untuk memenuhi 5

rasa keingintahuan mereka seputar masalah seks. Hal ini didukung dengan mudahnya memperoleh film tersebut. Internet adalah media yang banyak menyediakan situs-situs film porno. Selain itu hampir di setiap persewaan film juga menyediakan film porno, remaja juga sangat mudah memperoleh majalah dewasa yang berisi gambar-gambar porno karena banyak dijual di toko buku. Selain itu, dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan beberapa siswa menguatkan fakta di atas bahwa menonton film porno adalah hal yang wajar, dan sebaliknya bagi mereka yang belum menonton film porno dianggap aneh. Bahkan tak jarang remaja saling bertukar info mengenai film porno, dengan dalih pendidikan seks untuk membenarkan tindakan mereka. Fakta di atas tentu sangat memprihatinkan mengingat para remaja tersebut membutuhkan informasi yang sistematis dan menyeluruh tentang masalah seks terkait dengan perkembangan mereka. Dalam pemberian pemahaman mengenai reproduksi sehat kepada siswa, pihak sekolah adalah pihak yang berkompeten disamping orang tua siswa. Idealnya pengetahuan mengenai reproduksi sehat dimasukan ke dalam kurikulum dan dijadikan sebagai mata pelajaran sendiri. Tetapi hal tersebut masih menjadi wacana sampai saat ini karena terbentur kebijakan yang diambil pemerintah. Reproduksi sendiri adalah proses melanjutkan keturunan pada manusia. Kesehatan reproduksi adalah keadaan jasmani, psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi (ICPD, 1994). Sedangkan reproduksi sehat adalah perilaku individu yang berkaitan dengan 6

fungsi dan proses reproduksi termasuk perilaku yang sehat. Salah satu penunjang terciptanya reproduksi sehat adalah pendidikan seks. Pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia (Modul Kespro Remaja, PKBI DIY, 2008: 11). Berdasarkan fenomena di atas dapat diketahui bahwa siswa benar-benar membutuhkan modul reproduksi sehat yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Untuk itulah diperlukan suatu materi reproduksi sehat yang relevan bagi siswa. Tujuannya agar mereka mendapatkan informasi yang tepat, sehingga dapat mengerti dan mampu berperilaku sesuai dengan standar norma yang berlaku dimasyarakat. Oleh karena itu pentingnya materi reproduksi sehat disampaikan kepada para siswa. Peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah sebagai salah satu komponen pelayanan dasar, yaitu bertugas memberikan dukungan perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karier, dan akademik peserta didik. Guru BK di sekolah juga diharapkan dapat memberikan bantuan kepada peserta didik dalam perencanaan individual, pemberian pelayanan responsif, dan pengembangan dukungan sistem (Depdiknas, 2008: 198). Melalui layanan bimbingan dan konseling, siswa dapat memperoleh bimbingan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi. Efektivitas layanan bimbingan pribadi secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian siswa. Pelaksanaan layanan bimbingan pribadi baik secara individu maupun 7

kelompok diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman diri siswa seutuhnya dan memberi kematangan kepribadian siswa. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru BK, hambatan yang muncul selama ini di sekolah yaitu keterbatasan waktu pemberian bimbingan secara klasikal oleh guru BK juga menjadi hambatan dalam optimalisasi pemberian bimbingan. Guru BK di SMA Negeri 6 Yogyakarta hanya memiliki jadwal satu kali pertemuan dalam satu minggu untuk melaksanakan bimbingan secara klasikal untuk tiap kelas. Namun pada kenyataannya, jadwal guru BK untuk melaksanakan bimbingan secara klasikal ini sering digunakan oleh lembagalembaga dari luar sekolah untuk menawarkan program-program lembaga tersebut kepada siswa. Selain itu, hambatan lain muncul tatkala siswa kurang begitu menganggap penting adanya bimbingan dan konseling di sekolah. Sikap siswa ada yang negatif dalam menerima layanan bimbingan. Sikap negatif tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap kurang antusias dalam menerima bimbingan klasikal, tidak mengikuti jadwal bimbingan dan konseling. Adanya sikap siswa yang kurang begitu menganggap penting adanya bimbingan dan konseling, maka pemberian layanan kurang berjalan dengan optimal. Hal ini masih ditambah dengan ketiadaan perangkat lain seperti modul, ataupun media lain. Berbagai hambatan di atas menunjukkan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling pribadi di SMA Negeri 6 Yogyakarta mengalami kendala dan belum bisa mencapai hasil yang optimal. Melihat persoalan di atas, maka guru BK dituntut memiliki kreativitas dalam memberikan bimbingan pada siswa agar 8

mencapai hasil yang optimal. Guru BK dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memberikan bimbingan, selama ini metode yang digunakan oleh guru BK di SMA Negeri 6 Yogyakarta dalam menyampaikan materi tentang layanan bimbingan dan konseling bidang pribadi hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga membuat para siswa menjadi bosan dan jenuh. Usaha yang dapat dilakukan untuk membuat layanan bimbingan menjadi menarik adalah memanfaatkan berbagai media yang dapat digunakan sebagai sarana dalam pemberian layanan bimbingan misalnya dalam memberikan layanan bimbingan pribadi dapat menggunakan modul atau pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan materi layanan bimbingan pribadi yang disampaikan guru BK. Media merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses pemberian bimbingan. Penggunaan media bimbingan sangat dianjurkan agar proses bimbingan antara guru BK dan siswa dapat berjalan dengan baik, tidak membosankan serta dapat merangsang keaktifan, minat dan kreativitas siswa. Hal tersebut mendorong peneliti untuk memanfaatkan teknologi dalam layanan bimbingan dan konseling dan secara spesifik diarahkan pada pembuatan modul. Modul merupakan salah satu media atau alat bantu belajar yang memungkinkan siswa mempelajarinya sendiri dirumah. Modul dalam pengembangan ini adalah sebagai media penyampaian informasi. Hal ini dapat membantu siswa untuk lebih mengetahui masalah reproduksi sehat. Selain itu dengan adanya modul dapat mengatasi keterbatasan jam masuk kelas bagi guru pembimbing (Nana Sujana dan Ahmad Rifai i, 2007: 133). 9

Alasan peneliti mengunakan pengembangan modul karena modul merupakan salah satu cara yang efektif untuk menumbuhkan minat siswa untuk belajar tentang reproduksi sehat. Selain itu tampilan gambar dalam sebuah modul dapat menarik perhatian siswa dan mempermudah siswa dalam memahami isi materi dalam modul. Siswa juga dapat belajar mandiri meskipun tidak disampaikan secara langsung oleh narasumber. Modul dapat membuat siswa belajar secara mandiri, tetapi guru BK tetap harus membimbing siswa dalam memahami isi materi yang ada didalam modul supaya siswa tidak menyalahgunakan isi materi yang ada didalam modul tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan pengembangan modul dengan judul Pengembangan Modul Bimbingan Pribadi Tentang Reproduksi Sehat Bagi Siswa Kelas X SMA Negeri 6 Yogyakarta. 10

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Informasi seputar masalah reproduksi sehat yang kurang tepat dan lengkap yang banyak disediakan oleh media menimbulkan banyak dampak negatif, sebagai contoh banyaknya seks bebas, aborsi, kehamilan tidak diinginkan dan penyakit seks menular 2. Tingginya kebutuhan remaja akan informasi tentang masalah reproduksi sehat 3. Materi reproduksi sehat yang disampaikan di sekolah belum cukup bagi siswa 4. Keterbatasan waktu pemberian layanan bimbingan secara klasikal oleh guru BK dan jadwal guru BK untuk memberikan bimbingan secara klasikal sering digunakan oleh lembaga dari luar sekolah 5. Belum tersedianya modul yang memuat materi mengenai reproduksi sehat dilembaga pendidikan formal khususnya di SMA Negeri 6 Yogyakarta. C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi masalah berdasarkan belum adanya modul reproduksi sehat. Oleh karena itu peneliti membatasi masalah pada pengembangan modul reproduksi sehat, bagi siswa kelas X SMA Negeri 6 Yogyakarta. 11

D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : belum tersedianya modul reproduksi sehat yang baik dan layak bagi siswa, oleh karena itu pengadaan modul reproduksi sehat sangat diperlukan untuk membantu guru BK dalam memberikan layanan bimbingan pribadi mengenai reproduksi sehat di SMA N 6 Yogyakarta. E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pengembangan yang dilakukan ini adalah untuk menghasilkan produk berupa modul reproduksi sehat yang baik dan layak bagi siswa kelas X SMA Negeri 6 Yogyakarta. F. Spesifikasi Produk Produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut: 1. Produk pengembangan yang dibuat oleh peneliti berupa modul yang berisi materi reproduksi sehat, modul reproduksi sehat ini dibuat berdasarkan komponen-komponen modul bimbingan yaitu adanya halaman judul, petunjuk penggunaan modul, kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, glosarium, materi modul, rangkuman, evaluasi dan daftar pustaka. Komponen-komponen modul bimbingan pribadi yang digunakan peneliti dalam membuat modul reproduksi 12

sehat yang baik dan layak bagi siswa kelas X SMA Negeri 6 Yogyakarta yaitu sebagai berikut : a. Jenis huruf yang digunakan yaitu verdana b. Ukuran huruf yang digunakan yaitu 12 poin inci c. Ukuran cover modul 19cmx23cm d. Cover modul menggunakan kertas kuwarto e. Dalam mencetak atau menyampaikan isi materi modul, peneliti menggunakan kertas yang berukuran 215x297 mm (A4S) dengan ketebalan kertas 80g/m² 2. Modul ini bersifat sebagai layanan informasi bimbingan konseling dalam bidang bimbingan pribadi. 13

G. Pentingnya Pengembangan Hasil pengembangan materi reproduksi sehat ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritik maupun secara praktis bagi pihak-pihak yang membutuhkan. 1. Secara Teoritis a. Hasil pengembangan modul reproduksi sehat ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan reproduksi sehat secara umum b. Hasil pengembangan modul reproduksi sehat ini mampu memberikan gambaran bagi pengembangan selanjutnya. 2. Secara Praktis a. Bagi Pembimbing, yaitu dapat menggunakan manfaat dari hasil produk pengembangan modul dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling terutama bidang bimbingan pribadi. b. Bagi Siswa, yaitu adanya pemahaman bagi siswa akan pentingnya layanan bimbingan dan konseling terutama bimbingan pribadi. 14

H. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan 1. Asumsi Pengembangan Kebiasaan belajar yang dilakukan seorang siswa pastilah tidak sama dengan siswa yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara agar kebutuhan siswa untuk mengenal pertumbuhan dan perkembangan remaja, sistem reproduksi, perkembangan seksualitas remaja dan resiko perilaku seksual remaja dapat terpenuhi di sekolah melalui bimbingan pribadi. Dalam proses bimbingan di sekolah, media bimbingan penting digunakan untuk merangsang minat atau motivasi memahami diri sendiri oleh siswa. Karena siswa perlu variasi bimbingan agar tidak bosan dalam proses bimbingan, yang biasanya hanya diterangkan dengan metode ceramah. Maka dari itu peneliti merasa pengembangan ini perlu karena penggunaan media dalam proses bimbingan merupakan unsur penting. Media bimbingan memungkinkan menumbuhkan dan menambah motivasi siswa dalam mengikuti bimbingan, merangsang siswa untuk aktif dan mengatasi perbedaan kemampuan siswa dalam belajar. Melalui media pembelajaran, khususnya modul bimbingan pribadi diharapkan bimbingan yang berlangsung dapat lebih memudahkan siswa untuk mempelajari materi yang disampaikan dan bimbingan lebih menarik bagi siswa. Modul memang menuntut sikap kemandirian siswa di dalam proses bimbingan dan di sini guru hanya sebagai fasilitator saja. 15

2. Keterbatasan Pengembangan Dalam pengembangan ini, peneliti memiliki keterbatasan pengembangan, yaitu peneliti melakukan sembilan langkah yang dikemukakan oleh Brog and Gall yaitu sebagai berikut : penelitian dan pengumpulan informasi data, perencanaan, pengembangan produk awal dan pertimbangan ahli, uji lapangan awal, merevisi hasil uji lapangan awal, uji lapangan utama, penyempurnaan produk hasil uji lapangan utama, uji lapangan operasional, revisi produk akhir. Sedangkan diseminasi dan implementasi tidak dilakukan karena keterbatasan peneliti dalam hal kemampuan, waktu dan biaya. Keterbatasan pengembangan yang lain adalah pengembangan masih sangat sederhana hanya sampai penilaian kelayakan media yang dikembangkan, belum menerapkan prinsip-prinsip desain pesan secara maksimal dan gambar pendukung yang digunakan pada modul belum sesuai dengan kondisi siswa SMA. Adapun materi yang ditampilkan menggunakan bahasa yang tidak formal dengan sapaan kepada siswa sebagai pengguna. 16

I. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan tentang apa yang dimaksudkan dalam penelitian ini, maka penulis memberi definisi operasional sebagai berikut: 1. Modul adalah suatu unit program pengajaran yang memiliki karakteristik antara lain berbentuk unit pengajaran terkecil yang lengkap, berisi rangkaian kegiatan belajar yang dirancang secara sistematik, berisi tujuan belajar yang dirumuskan secara jelas dan khusus sehingga memungkinkan siswa dapat belajar mandiri 2. Reproduksi sehat adalah perilaku individu yang berkaitan dengan fungsi dan proses reproduksi termasuk perilaku seksual yang sehat 3. Modul reproduksi sehat adalah suatu unit program terkecil berisi rangkaian kegiatan belajar yang didesain secara khusus agar memungkinkan siswa dapat belajar mandiri dalam mencapai tujuan reproduksi sehat 4. Pengembangan modul reproduksi sehat adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu program layanan bimbingan pribadi dalam bentuk modul mengenai reproduksi sehat, disusun secara lengkap dan sistematis dengan tujuan yang dirumuskan dengan jelas. 17