BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok merupakan masalah penting sekarang ini. Rokok bagi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh hasil bahwa nilai F=96,7, sementara itu nilai F tabel = 3,68, maka nilai

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

II. TINJAUAN PUSTAKA. medan magnetik dan medan listrik. Kedua medan ini bergetar dalam arah

TINJAUAN PUSTAKA Tauge

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Senyawa 2-Methoxyethanol (2-ME) tergolong senyawa ptalate ester (ester

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

TINJAUAN PUSTAKA. Kurang lebih 1500 tahun lalu, beberapa kesukuan di Amerika

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan

I. PENDAHULUAN. Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Kingdom : Plantae. Divisi : Spermatophyta. Class : Dicotyledoneae. Ordo : Cistales. Famili : Caricaceae. Genus : Carica. Spesies : Carica papayal.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditunjukkan oleh adanya keinginan untuk. untuk mengembangkan budidaya dan produksi tanaman obat (Supriadi dkk,

Buah pepaya kaya akan antioksidan β-karoten, vitamin C dan flavonoid. Selain itu buah pepaya juga mengandung karpoina, suatu alkaloid yang dapat

POTENSI EKSTRAK DAUN DAN TANGKAI DAUN PEGAGAN (Centella asiatica) PADA PENURUNAN MOTILITAS SPERMATOZOA MENCIT (Mus muscullus)

BAB I PENDAHULUAN. kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

FISIOLOGI FUNGSI ORGAN REPRODUKSI LAKI-LAKI. Dr. Akmarawita Kadir., M.Kes., AIFO

BAB I PENDAHULUAN. 2001) dan menurut infomasi tahun 2007 laju pertumbuhan penduduk sudah

BAB V PEMBAHASAN. asap rokok serta ekstrak akuades biji sirsak (KP 1, KP 2 dan KP 3 ). KN yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Radikal Bebas dan Reactive Oxygen Species (ROS)

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik

BAB V PEMBAHASAN. untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman sambiloto telah lama terkenal digunakan sebagai obat, menurut Widyawati (2007) sambil oto dapat memberikan efek hepatoprotektif, efek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Blustru/Mentimun Aceh (Luffa aegyptica Roxb.)

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 2

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam yang ada di bumi juga telah di jelaskan dalam. firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut:

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA RADIKAL BEBAS DAN REACTIVE OXYGEN SPECIES (ROS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang mana asam glutamat-d hanya dapat digunakan oleh organisme tingkat

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen rokok terbesar di dunia,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

I. PENDAHULUAN. spermatozoa merupakan bagian dari sistem reproduksi yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. makanan tersebut menghasilkan rasa yang lezat dan membuat orang yang

1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam

BAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) merupakan tanaman berupa pohon

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsumsi alkohol telah menjadi bagian dari peradaban manusia selama

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. jumlah banyak akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat merusak sel yang pada

kontrasepsi untuk kaum pria supaya kaum pria memiliki alternatif penggunaan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Berdasarkan fakta di atas,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistem reproduksi pria terdiri dari duktus genitalis, kelenjar-kelenjar

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMONAL PRIA. dr. Yandri Naldi

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8 m. Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1m-1.000m dari permukaan laut dan pada suhu udara 22 C- 26 C (Santoso, 1991). Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan (Warisno, 2003). Menurut Tjitrosoepomo (2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya L.) berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Dicotyledoneae Ordo : Cistales Famili : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica papaya L. Nama lokal : Pepaya Tanaman pepaya merupakan salah satu sumber protein nabati. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari hampir seluruh penduduk di bumi ini (Kalie, 1988 dalam Amir, 1992). Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya antara lain kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Rika, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno, 2003).

2.1.1 Aplikasi Biji Pepaya Biji buah pepaya hanya dibuang begitu saja setelah pepaya diambil buahnya. Padahal, apabila biji pepaya diolah untuk diambil minyaknya akan sangat menguntungkan (Yuniwati dan Purwanti, 2008). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing gelang, gangguan pencernaan, diare, penyakit kulit, kontrasepsi pria, bahan baku obat masuk angin dan sebagai sumber untuk mendapatkan minyak dengan kandungan asam-asam lemak tertentu (Warisno, 2003). Menurut Chinoy (1985), ekstrak biji pepaya dapat menurunkan motilitas spermatozoa dan laju fertilisasi pada tikus albino jantan. Dikatakan setelah penyuntikan selama 60 hari, motilitas spermatozoa dan laju fertilisasi menurun hingga 0%. Efek tersebut bersifat sementara dan akan kembali normal setelah tiga bulan kemudian. Di samping itu ekstrak biji pepaya tersebut dapat sebagai pengatur fertilitas atau kesuburan secara postestikuler pada tikus jantan, karena ekstrak tersebut memiliki efek membunuh sperma (spermisidal) terhadap spermatozoa matang di epididimis. Demikian pula halnya suspensi bubuk biji pepaya dalam air dengan dosis 20 mg/ ekor yang diberikan secara oral pada tikus jantan selama 8 minggu, menunjukkan penurunan kemampuan menghamili tikus-tikus betina sebesar 40 kali (Farnsworth et al., 1982 dalam Amir 1992). 2.1.2 Kandungan Aktif Biji Pepaya Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman ini ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Dalam biji pepaya mengandung senyawa-senyawa steroid. Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah pepaya (Satriasa dan Pangkahila, 2010). Kandungannya berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati dan Purwanti, 2008). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan saponin (Warisno, 2003). Zat-zat aktif yang terkandung dalam biji pepaya tersebut bisa berefek sitotoksik, anti androgen atau berefek estrogenik (Lohiya et al., 2002 dalam Satriyasa, 2007). Alkaloid salah satunya yang terkandung dalam biji pepaya

dapat berefek sitotoksik. Efek sitotoksik tersebut akan menyebabkan gangguan metabolisme sel spermatogenik (Arsyad, 1999 dalam Satriyasa dan Pangkahila, 2010). Biji pepaya jangan sekali-kali termakan oleh orang yang sedang hamil muda karena dapat mengakibatkan keguguran. Orang yang keguguran akibat memakan biji pepaya ini biasanya sulit hamil kembali karena adanya pengeringan rahim akibat masuknya enzim proteolitik seperti papain, chymopapain A, chymopapain B, dan peptidase pepaya. Di samping mengandung enzim proteolitik, biji pepaya juga mengandung senyawa kimia yang lain seperti: lemak majemuk 25 %, lemak 26 %, protein 24,3 %, 17 % serat, karbohidrat 15,5 %, abu 8,8 %, dan air 8,2 % (Kloppenburg-Versteegh, 1915 dalam Amir 1992). 2.2 Testosteron Undekanoat Testosteron Undekanoat (17-hydroksil-4-androsten-3-one 17- undecanoat) terdiri dari bahan yang mudah dicerna, suatu alifatik, ester asam lemak testosteron yang sebagiannya diarsorbsi lewat usus yang mengandung sistem limfatikus setelah pemberian secara oral (Kamische et al., 2002 dalam Ilyas, 2008). Testosteron Undekanoat merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisasi esternya. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisasi TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk komplek hormon-reseptor. Komplek hormon-reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA (Ilyas, 2008). Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara injeksi secara intramuskular, selain itu ada juga TU dalam bentuk powder yang kadang-kadang dibungkus dengan kapsul. Testosteron undekanoat (Gambar 2.1) dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17β. TU ini merupakan steroid dengan 19 atom karbon dengan rumus kimia C19H28O2, serta nama kimianya adalah 17 betahydroxyandrost-4-en-3-one (Goodman and Gilman,1980).

O O C-(CH 2 ) 9-CH 3 O Gambar 2.1 Rumus bangun testosteron undekanoat (TU) (Goodman and Gilman, 1980). 2.3 Fisiologi Reproduksi Mencit Jantan Sistem reproduksi mencit jantan terdiri dari sepasang testis yang dibungkus skrotum, epididimis dan vas deferens, kelenjar aseksoris, uretra dan penis. Pada awal pembentukan sampai menjelang kelahiran, testis mencit berada dalam rongga abdomen, kemudian testis tersebut turun dan masuk ke dalam skrotum setelah beberapa hari dilahirkan (Rugh, 1968). Turunnya testis ke dalam skrotum, dimaksudkan agar suhu sekitar testis tersebut lebih rendah dari suhu rongga abdomen. Suhu testis mamalia berkisar antara 1 C - 8 C lebih rendah daripada suhu rongga abdomen. Pada mencit suhu testis 28,5 C dan suhu rongga abdomen 37,1 C (Harrison dan Weiner, 1948 dalam Amir, 1992). Testis terbentuk dari lengkungan-lengkungan tubulus seminiferus yang bergelung yang dindingnya merupakan tempat pembentukan spermatozoa dari sel-sel germinativum primitif (spermatogenesis). Kedua ujung setiap lengkungan disalurkan ke dalam jaringan duktus dikepala epididimis (Ganong, 2002). Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki (4m sampai 6m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian caput, korpus dan kauda epididimis (Rugh, 1968). Dari tubula seminiferus testis, sperma lewat ke dalam saluran mengulir pada epididimis. Selama perjalanan ini, sperma menjadi motil dan mendapatkan kemampuan untuk membuahi (Campbell et al., 2004).

2.4 Spermatozoa Mencit Spermatozoa pada umumnya memiliki empat bagian utama, yaitu kepala, akrosom, bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi genetik (Sherwood, 2001). Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 (122,6 mikron). Kualitas spermatozoa meliputi beberapa aspek, yaitu motilitas spermatozoa yang dapat dibagi menjadi tiga kriteria (motilitas baik, motilitas kurang baik dan tidak motil), morfologi spermatozoa meliputi bentuknya (normal atau abnormal, abnormalitas dapat terjadi pada kepala, midpiece atau ekor), konsentrasi atau jumlah spermatozoa dan viabilitas (daya hidup) spermatozoa (Arsyad dan Hayati 1994 dalam Asfahani et al., 2010). 2.4.1 Viabilitas Spermatozoa Viabilitas adalah kemampuan spermatozoa untuk bertahan hidup setelah dikeluarkan dari organ reproduksi jantan. Kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar antara 1-2 menit (Effendy, 1997 dalam Hidayaturrahmah, 2007). Penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit (Rustidja, 1985 dalam Hidayaturrahmah, 2007). Menurut Yatim (1994), menyatakan bahwa viabilitas diukur dengan melihat % motil maju/ml setelah jangka waktu tertentu. Makin lama semen yang tersimpan makin sedikit yang motil. Penurunan motilitas normal adalah : a. 2-3 jam sudah ejakulasi 50-60% spermatozoa motil maju/ml b. 7 jam sudah ejakulasi : < 50% spermatozoa motil maju/ml Jika setelah 3 jam yang motil kurang dari 50% menandakan adanya gangguan atau kelainan dalam genitalia. Spermatozoa yang motilitasnya rendah disebut asthenozoospermia.

2.4.2 Morfologi Spermatozoa Spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek ( middle piece ) dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 (122,6 mikron) (Rugh, 1968). Gambar 2.2 Morfologi spermatozoa mencit. (a) spermatozoa normal, (b) pengait salah membengkok, (c) sperma melipat, (d) kepala terjepit, (e) pengait pendek, (f) kesalahan ekor sebagai alat tambahan, (g) tidak ada penggait, (h) sperma berekor ganda dengan kepala tidak berbentuk, (i) kepala tidak berbentuk. Perbesaran 800x (Wyrobek and Bruce, 1975). Bentuk spermatozoa abnormal dapat diklasifikasikan bentuk kepala dan ekornya (Gambar 2.2). Kelainan yang sering terjadi adalah pada tingkat spermatid yang terjadi selama proses spermiogenesis, biasanya seperti gangguan pembentukan ekor, kondensasi inti baik sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi. Menurut Washington et al. (1983), bahwasannya bentuk sperma abnormal pada mencit terdiri dari bentuk kepala seperti pisang, bentuk kepala tidak beraturan (amorphous), bentuk kepala terlalu membengkok dan lipatan-lipatan ekor abnormal. Semakin banyak sperma dengan bentuk abnormal, akan semakin kecil kesuburan (fertilitas). Sebagai contoh, fertilitas menjadi sangat kecil jika bentuk sperma abnormal lebih dari 8 hingga 10%. 2.4.3 Motilitas Spermatozoa Motilitas adalah gerak maju ke depan dari spermatozoa secara progresif. Motilitas sperma berperan penting dalam suksesnya proses konsepsi, terutama dalam menembus

lendir serviks (Saputri, 2007). Ada orang yang spermatozoanya lemah sekali gerak majunya, disebut astenozoospermia, sedangkan jika semua sperma diperiksa nampak mati, tak bergerak disebut necrozoospermia. Menurut Hidayaturrahmah (2007), pengamatan untuk waktu motilitas spermatozoa dilakukan dengan mencatat waktu dalam satuan detik pada 2 jenis motilitas: fast progressive (pergerakan spermatozoa yang bergerak sangat cepat dengan arah maju kedepan) dan motilitas slow progressive (pergerakan spermatozoa yang bergerak cepat dengan arah maju kedepan). 2.5 Spermatogenesis Spermatogenesis adalah serangkaian proses perkembangan dan pematangan sel-sel germinal di bagian epitel tubulus seminiferus testis, mulai dari perkembangan spermatogonia dan akhirnya menjadi spermatozoa yang terletak di dekat lumen (Amir, 1992). Proses spermatogenesis merupakan siklus yang rumit dan teratur dalam pembentukan spermatozoa. Proses normal spermatogenesis diatur oleh sistem hormon (FSH, LH dan Testosteron), yang pengendaliannya melalui proses hipotalamushipofisis-testis (Adimunca dan Sutyarso, 1997). Sel germinal Primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan, dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan diproduksi dan masih berada didaerah ekstra gonad. Pada hari ke 9 dan 10 kehamilan sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari 11 dan 12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Tidak berapa lama setelah kelahiran, sel tampak lebih besar yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada spermatogonia dalam testis mencit sepanjang hidupnya. Ada tiga jenis spermatogonia: tipe A, tipe intermediet dan tipe B (Rugh, 1968). Menurut Sherwood (2001), secara umum spermatogenesis mencakup tiga tahapan utama yaitu proliferasi mitotik, miosis dan pengemasan, dapat di uraikan sebagai berikut :

a). Proliferasi mitotik Spermatogonia yang terletak dilapisan paling luar tubulus secara terus menerus membelah secara mitosis, dengan semua sel baru membawa empat puluh enam kromosom yang identik dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinu sel-sel germinativum baru. Setelah pembelahan mitosis spermatogonia salah satu sel anak tetap berada di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak berdiferensiasi, dengan demikian mempertahankan lapisan sel germinativum. Sementara itu, sel anak lainnya mulai bergerak kearah lumen sementara mengalami berbagai tahapan lainnya yang diperlukan untuk membentuk sperma. Sel anak yang menghasilkan sperma membelah diri secara mitosis dua kali untuk membentuk empat spermatosit primer yang identik. Setelah pembelahan mitosis yang terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi. b). Meiosis dan pengemasan Selama miosis, setiap spermatosit primer (dengan empat puluh enam kromosom ganda) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan dua puluh tiga kromosom ganda) selama pembelahan miosis pertama, yang akhirnya menghasilkan empat spermatid (masing-masing dengan dua puluh tiga kromosom tunggal) sebagai hasil pembelahan miosis kedua. Setelah tahapan spermatogenesis ini tidak lagi terjadi pembelahan sel. Setiap spermatid mengalami modifikasi menjadi sebuah spermatozoa. Setelah meiosis, secara struktural spermatid masih mirip dengan spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali jumlah kromosomnya. Pembentukan spermatozoa yang dapat bergerak dan bersifat sangat spesifik dari spermatid memerlukan remodeling ekstensif atau pengemasan (packaging). 2.6 Hormon Pada Jantan 2.6.1 Testosteron Testosteron adalah suatu hormon steroid yang berasal dari molekul prekursor kolesterol, seperti halnya hormon seks wanita estrogen dan progesteron. Sel-sel Leydig mengandung enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang diperlukan untuk

mengarahkan kolesterol mengikuti jalur yang menghasilkan testosteron. Setelah dihasilkannya, sebagian testosteron disekresikan ke dalam darah untuk di angkut terutama dengan terikat ke protein plasma, ke jaringan sasaran. Sebagian testosteron yang baru diproduksi mengalir ke lumen tubulus seminiferus, tempat hormon ini memainkan peranan penting dalam spermatogenesis (Sheerwood, 2001). Menurut Nalbandov (1990), bahwa fungsi testosteron ada 3 yaitu : a). Mempertahankan sifat kelamin primer dan sekunder. b). Mempertahankan proses spermatogenesis untuk memproduksi spermatozoa dalam keadaan cukup. c). Menjamin maturasi spermatozoa agar mampu mengadakan fertilisasi. 2.6.2 Gonadotropin Testis dikontrol oleh dua hormon gonadotropik yang disekresikan oleh hipofisis anterior; Luteinuizing Hormon (LH) dan Folikel Stimulating Hormon (FSH). LH bekerja pada sel Leydig untuk mengatur sekresi testosteron, sehingga pada jantan hormon ini juga memiliki nama Interstitial-Cell-Stimulating Hormon (ICSH). FSH bekerja pada tubulus seminiferus, terutama di sel Sertoli untuk meningkatkan spermatogenesis. Sebaliknya sekresi LH dan FSH dari hipofisis anterior dirangsang oleh sebuah hormon hipotalamus, Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) (Sheerwood, 2001). Testosteron menghambat sekresi LH dengan bekerja secara langsung pada hipofisis anterior dan dengan menghambat GnRH dari hipotalamus. Sebagai respon terhadap LH, sebagian testosteron yang disekresi dari sel Leydig membasahi epitel seminiferus dan memberikan sel Sertoli konsentrasi lokal androgen yang tinggi yang penting untuk spermatogenesis normal. Dalam kenyataanya bahwa androgen dapat mempertahankan spermatogenesis pada jantan. Pada pemeriksaan histologis testis menunjukkan bahwa LH mamalia hanya mampu menstimulasi sel-sel Leydig yang sudah berdiferensiasi, yang ternyata sel-sel tersebut kemudian segera mengalami kelelahan (Nalbandov, 1990). Efek akhir testosteron yang diberikan sistemik secara umum adalah penurunan hitung sperma. Terapi testosteron pernah dianjurkan sebagai salah satu kontrasepsi pria (Ganong, 2002).

2.7 Vitamin E 2.7.1 Sifat Kimia Vitamin E Vitamin E pertama sekali ditemukan tahun 1922 dan merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol (α, β, γ, δ) dan 4 tokotrienol (α, β, γ, δ). Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai grup metal pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidak jenuhan rantai cabang. Bentuk paling aktif dan paling penting adalah α- tokoferol untuk aktivitas biologi tubuh, sehingga aktivitas vitamin E diukur sebagai α- tokoferol (Burton, 1994). Gambar 2.3 Struktur bangun vitamin E (α- tokoferol) (Sulistyowati, 2006) 2.7.2 Manfaat Vitamin E Manfaat paling besar dari vitamin E adalah kemampuannya sebagai antioksidan. Vitamin E berkolaborasi dengan oksigen menghancurkan radikal bebas. Secara umum, manfaat dari vitamin E antara lain mencegah penyakit hati, mengurangi kelelahan, membantu memperlambat penuaan karena oksidasi, mensuplai oksigen ke darah, menguatkan dinding pembuluh kapiler darah dan juga membantu mencegah sterilitas (Iswara, 2009). Vitamin ini berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lemak di dalam membran (Sulistyowati, 2006). Vitamin E termasuk vitamin yang esensial untuk kehidupan sehari-hari, penting untuk kinerja seksual. Dalam jaringan, vitamin E menekan terjadinya oksidasi asam lemak tidak jenuh, sehingga membantu dan mempertahankan fungsi membran sel. Sumber vitamin E adalah kacang-kacangan, minyak nabati, alpukat dan lain sebagainya. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan kegagalan menghasilkan anak (Anggraini, 2006).

2.7.3 Vitamin E Sebagai Antioksidan Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif (Iswara, 2009). Vitamin E telah lama dikenal sebagai senyawa antioksidan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa vitamin E bisa membantu mencegah tersumbatnya arteri koronaria, kanker, mempercepat konduksi saraf, mencegah katarak, menurunkan risiko arthritis, diabetes, infertilitas pria dan wanita. Vitamin E, terutama tokoferol bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai (chainbreaking anti-oxidants) yang mencegah terjadinya tahap propagasi pada aktivitas radikal dengan cara kelompok hidroksil pada cincin kromanol bereaksi dengan radikal peroksil yang membentuk hidroperoksil dan tokoferoksil (Youngson, 2005). Vitamin E merupakan antioksidan nonenzimatik yang melindungi membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas. Vitamin ini mampu mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan hidrogen ke dalam reaksi yang mampu mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak dan selanjutnya melindungi sel dari kerusakan (Hariyatmi, 2004). Vitamin ini berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel yang akan melindungi asam lemak jenuh dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas (Iswara, 2009). Maka, oleh karena itu, α-tokoferol ini mampu sebagai pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Haryatmi, 2004). Tubuh mengandung sejumlah enzim antioksidan yang penting. Enzim antioksidan yang paling menarik adalah Dismutase Superoksida (biasa disebut SOD), selain itu tubuh juga memiliki dua enzim lain, yaitu katalase dan glutathione peroksida yang memecah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Setiap sel di

dalam tubuh mengandung instruksi untuk membuat enzim-enzim ini. Antioksidan dapat dibagi menjadi beberapa golongan: (i) antioksidan enzimatik dan non enzimatik; (ii) antioksidan pencegah dan pemecah rantai; (iii) antioksidan eksogen dan endogen; dan (iv) antioksidan lipofilik dan hidrofilik. Contoh antioksidan enzimatik: superoksida dismutase (SOD), glutathion peroksidase (GSPx), dan katalase; antioksidan non enzimatik: vitamin C, vitamin E, dan β-karoten; antioksidan pencegah: SOD, GSPx, dan sistein; antioksidan pemutus rantai: vitamin E, vitamin C, dan β-karoten; antioksidan eksogen: vitamin E dan vitamin C; antioksidan endogen: SOD, GSPx; antioksidan hidrofilik: SOD, katalase, GSPx, dan vitamin C. Antioksidan digunakan sebagai pembuang radikal bebas yang akan melindungi spermatozoa (Anggraini, 2006). 2.7.4 Senyawa Radikal Bebas dan Reaktive Oxygen Spesies (ROS) Pada awalnya senyawa radikal bebas diketahui hanya dibentuk oleh sel netrofil dan makrofag yaitu ketika tubuh terinvasi mikroorganisme. Efek negatif senyawa radikal bebas dapat diredam oleh antioksidan baik yang berupa zat gizi seperti vitamin A,C,E maupun antioksidan non gizi seperti flavonoid (Winarsi, 2007). Radikal bebas bisa terbentuk di dalam sel tubuh dengan berbagai cara. Radiasi yang kuat, termasuk sinar ultraviolet, sinar-x, sinar gamma dari bahan radioaktif, adalah sumber yang ampuh. Radiasi seperti ini memecah ikatan diantara atom sehingga terjadi berbagai radikal dengan elektron tunggal yang siap menimbulkan reaksi kerusakan berantai. Radikal bebas berperan dalam proses perjalanan berbagai penyakit (Anggraini, 2006). Mitokondria dan plasma adalah tempat produksi radikal bebas dalam tubuh. Proses produksi ini melibatkan kompleks enzim. Radikal bebas menyebabkan kerusakan DNA dan akhirnya apoptosis sel sperma (Hafiz, 2006). Stress oksidatif merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kerusakan seluler yang diinduksi oleh Reaktive Oxygen Species (ROS). Motilitas spermatozoa yang turun disebabkan oleh kerusakan membran spermatozoa yang kaya lemak tak jenuh oleh ROS. ROS mampu meningkatkan jumlah lipid peroksidase yang akan menyebabkan hilangnya ATP intraseluler. Hilangnya ATP ini

mengakibatkan kerusakan aksonema (tubulus sentral tidak ada, mikrotubulus luar berkurang atau tidak ada sama sekali), menurunkan viabilitas, dan meningkatkan efek morfologi midpiece spermatozoa sehingga menurunkan kapasitasi, reaksi akrosom, dan menghambat motilitas. Oleh karena itu digunakanlah antioksidan sebagai pembuang radikal bebas yang akan melindungi spermatozoa (Anggraini, 2006). 2.7.5 Peranan Vitamin E Terhadap Fertilitas Epididimis merupakan jaringan komplek yang secara anatomi dan histologi dipisahkan menjadi 4 bagian kelompok yang berbeda, yaitu segmen awal, caput, korpus dan cauda epididimis. Keempat bagian tersebut responsif terhadap faktor umur. Beberapa perubahan terkait dengan umur misalnya akumulasi lipofuscin yang distribusinya diubah menjadi sistem antioksidan. Penurunan ekpresi gen dipengaruhi oleh pertahanan antioksidan. Kemungkinan stres oksidatif berperan dalam penuaan epididimis. Stres oksidatif yang berkepanjangan berdampak pada proses penuaan epididimis dan kerusakan yang semakin meluas (Dhiyaulhaq et al., 2010). Vitamin E berfungsi sebagai faktor anti kemandulan dan penting untuk pembentukan dan kesehatan jaringan tulang (Anggraini, 2006). Vitamin E merupakan kelompok lipid yang mudah larut dalam lemak, dapat memutuskan rantai ikatan radikal bebas terutama α-tokoferol. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang mencegah perkembangan lebih lanjut reaksi radikal bebas dan selanjutnya melindungi sel dari kerusakan. Vitamin E berperan penting dalam melawan lipid peroksidasi, radikal bebas menyerang asam lemak yang menyebabkan kerusakan struktural pada membran dan hasilnya terbentuk malondialdehyde dan 4- hidroxy, 2-nonenal (4-HNE). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, membuktikan defisiensi vitamin E menyebabkan korpus epididimis mengalami peningkatan 4-HNE. Difesiensi vitamin E pada jaringan juga berdampak meningkatnya immunoreactivity dalam sitoplasma sepanjang epididimis (Dhiyaulhaq et al., 2010). Vitamin E tidak menyebabkan racun, efek racun seperti pengurangan berat badan juga tidak terjadi. Tingkat kesuburan dapat dipulihkan kembali (aktivitas antifertilitas reversible) dalam waktu 4-6 minggu. Dalam kondisi ini, bahan aktifnya stabil terhadap panas. Pengamatan yang sama juga terjadi pada mencit (Sukrasno dan Tim Lentera, 2004).