BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

dokumen-dokumen yang mirip
Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa SMP

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

2014 PENGARUH CTL DAN DI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap proses pembelajaran harus sesuai dengan tujuan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini pesatnya kemajuan teknologi informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (BSNP,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Circle either yes or no for each design to indicate whether the garden bed can be made with 32 centimeters timber?

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari tidak dipungkiri selalu digunakan aplikasi matematika. Saat

BAB I PENDAHULUAN. dituntut memiliki daya nalar kreatif dan keterampilan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Amam, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan keterampilan intelektual. Matematika juga merupakan ilmu yang

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evy Aryani Sadikin, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis. Menurut Maulana

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu dalam dunia pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan kemampuan untuk memperoleh informasi, memilih informasi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu yang universal, berada di semua penjuru

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir terjadi di setiap negara, bahkan negara kita Indonesia. Dari pandangan awal bahwa matematika sebagai ilmu pengetahuan yang ketat dan terstruktur secara rapi ke pandangan bahwa matematika adalah aktivitas kehidupan manusia (Turmudi, 2009:3). Pandangan tersebut memberi dampak yang sangat luar biasa hebat, para ahli matematika di seluruh dunia berlomba-lomba menghasilkan karya dalam rangka memberi kontribusi dalam paradigma matematika di era globalisasi sekarang ini. Menurut De Lange hal ini juga berpengaruh terhadap cara bagaimana matematika dipelajari dan dikembangkan, yaitu dari penyampaian rumus-rumus, definisi, aturan, hukum, konsep, prosedur dan algoritma, yang dikenal sebagai ready-made mathematics menjadi penyampaian konsep-konsep matematika melalui konteks yang bermakna dan yang lebih berguna bagi siswa (Turmudi, 2009:3). Dalam Kurikulum 2006 telah disampaikan bahwa tujuan umum pendidikan matematika adalah membangun siswa-siswa yang diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dalam tahap pencapaian tujuan di atas, maka Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menganjurkan bahwa penyampaian konsep-konsep matematika dalam pembelajaran harus dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Namun kenyataan yang terjadi di lapangan masih belum sejalan dengan apa yang diharapkan dalam tujuan umum pendidikan matematika di atas. Masih banyak guru yang tidak memulai pembelajaran dengan pengenalan masalah terlebih dahulu dan langsung kepada konsep matematika yang sebagian besar abstrak dan sulit dipahami siswa. Depdiknas (2007:205) menyatakan bahwa ada yang kurang sesuai dengan proses pendidikan yang terjadi selama ini di sekolah, yaitu:

3 1. Kondisi pertama sebelum sekolah: (a) Anak lincah, (b) Selalu belajar apa yang diinginkan dengan gembira dan riang, (c) Menggunakan segala sesuatu yang terdapat di sekitar yang menarik perhatiannya, (d) Anak membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya lewat pengalaman nyata sehari-hari. 2. Kondisi kedua setelah sekolah: (a) Anak dipaksa belajar dengan cara guru, (b) Suasana tegang, (c) Seringkali tidak bermakna, (d) Seringkali siswa belajar sesuatu yang tidak menarik perhatiannya, (e) Telah terjadi penjinakan terhadap anak, (f) Makin tinggi kelas anak, makin kurang inisiatif dan keberaniannya bertanya/mengemukakan pendapatnya. Depdiknas (2007: 189-190) juga menggambarkan kondisi empiris yang seringkali membuat kita kecewa pada proses belajar mengajar di sekolah, apalagi jika dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Hal ini disebabkan (a) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang sangat baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahami materi ajar tersebut. Contohnya, siswa mampu menghafal rumus luas segitiga, akan tetapi mereka tidak mampu memecahkan berbagai soal tentang luas segitiga; (b) Sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan digunakan atau dimanfaatkan. Misalnya siswa sedang belajar luas segitiga tetapi mereka tidak mengerti apa manfaat luas segitiga itu dalam kehidupan sehari-hari; (c) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan, yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak atau metode ceramah; (d) Padahal sebagai siswa sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep

4 yang berhubungan dengan tempat kerja atau masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja. Kondisi empiris yang diungkapkan Depdiknas tersebut secara tidak langsung menyebabkan kemampuan matematis siswa menjadi lemah. Wahyudin (1999:22) mengatakan bahwa salah satu penyebab siswa lemah dalam matematika adalah kurang memiliki kemampuan untuk memahami (kemampuan pemahaman) untuk mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksiomatik, definisi, kaidah dan teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan. Dari studi yang dilakukan Priatna (2003) mengenai kemampuan pemahaman konsep, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan pemahaman konsep berupa pemahaman instrumental dan relasional masih rendah yaitu sekitar 50% dari skor ideal. Pentingnya kemampuan pemahaman matematis merupakan hal yang menjadi suatu keharusan. Hal ini disampaikan pula oleh Sumarmo (2004) bahwa visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kebutuhan masa kini, mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep/prinsip matematika yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika serta masalah ilmu pengetahuan lainnya. Namun sebagian besar siswa masih belum mampu menyelesaikan masalah matematika dikarenakan kemampuan pemahamannya belum berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini diungkapkan oleh Abdi (Hendriana, 2009:5) bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya. Sebagian besar siswa merasa kesulitan dalam memahami dan menyerap

5 konsep-konsep matematika yang diberikan oleh guru. Hal ini berkaitan dengan cara mengajar guru di kelas yang tidak membuat siswa merasa senang dan simpatik terhadap matematika, pendekatan yang digunakan guru juga cenderung monoton dan tidak bervariasi. Turmudi (2009:13) juga menyatakan bahwa pembelajaran matematika yang selama ini disampaikan kepada siswa hanya bersifat informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat kemelekatannya juga dapat dikatakan rendah. Kegiatan belajar seperti ini cenderung membuat siswa hanya meniru dan menghafal apa yang disampaikan guru tanpa adanya pemahaman, sehingga pada saat siswa diberi suatu permasalahan lain dan kondisi lain di luar konteks yang diajarkan, siswa tidak mampu menyelesaikannya karena merasa bingung dan tidak paham. Berdasarkan pendapat dan hasil temuan dari beberapa ahli yang menyatakan tentang rendahnya kemampuan pemahaman matematik, maka perlu adanya suatu tindakan yang mengarah kepada peningkatan kemampuan pemahaman dalam bermatematik sehingga tujuan, visi dan misi pengembangan pembelajaran matematika dapat terwujud. Selain kemampuan pemahaman, kemampuan penalaran dalam pembelajaran matematika juga penting untuk diperhatikan. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi belajar siswa yang tinggi (Suryadi, 2005).

6 Sebagai subjek belajar, siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran, siswa kurang aktif dan cenderung meniru atau mengcopy apa yang disampaikan guru tanpa ada eksplorasi dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Kemampuan penalaran yang seharusnya dijadikan landasan dalam proses pembelajaran menjadi tidak ada dan belajar menjadi tidak bermakna. Pada proses pembelajaran di sekolah yang selama ini terjadi, guru juga biasanya hanya mengutamakan penekanan terhadap aspek doing tetapi kurang menekankan pada aspek thinking. Apa yang diajarkan di ruang kelas lebih banyak berkaitan dengan masalah keterampilan manipulatif atau berkaitan dengan bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi kurang berkaitan dengan mengapa demikian dan apa implikasinya (Prabawa, 2009:7). Ini mengindikasikan bahwa basis dari pembelajaran matematika di kelas hanya berupa hafalan saja bukannya penalaran sebagai basis pemahaman. Akibatnya pengembangan kemampuan penalaran siswa menjadi terhambat dan kurang berkembang. Menurut Prabawa (2009:7) proses pembelajaran yang kurang menekankan pada aspek thinking akan membentuk siswa yang cenderung mengoptimalkan dirinya dengan menerima saja apa yang diajarkan oleh guru. Tidak ada proses bernalar dan melatih berpikir secara logis dan terurut dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi. Hal ini akan berakibat pada fiksasi fungsional tentang makna belajar yang keliru tertanam dalam diri siswa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses berpikir tingkat tinggi siswa. Selanjutnya kemampuan penalaran siswa akan sulit dibentuk, karena semua aspek proses pembelajaran

7 teutama aspek thinking lebih banyak di ambil alih oleh guru. Inilah yang berakibat lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa kita. Namun kenyataan pada saat ini, kegiatan pembelajaran kurang menekankan terhadap aspek penalaran sehingga hasil belajarpun belum optimal. Seperti yang diungkapkan oleh Ruseffendi (Nurlaelah, 2009) bahwa siswa masih menggangap matematika sebagai ilmu yang sukar dan ruwet akibatnya hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah. Salah satu indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah hasil analisis TIMSS tahun 2007 (Sugianti, 2009:1) bahwa ratarata skor matematika siswa Indonesia untuk setiap kemampuan yang diteliti yaitu kemampuan pengetahuan, penerapan, dan penalaran masih di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional, untuk kemampuan penalaran berada pada rangking 36 dari 48 negara. Wardhani dan Rumiati (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran siswa-siswi Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan oleh laporan hasil studi PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun 2003 terbitan tahun 2006 oleh Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas. Dari hasil studi PISA dan TIMSS tahun 2006 tersebut dilaporkan bahwa siswa siswi Indonesia masih lemah dalam kemampuan pemahaman matematik. Salah satunya pada kemampuan ruang dan bentuk terkait konten geometri.

8 Sebagai ilustrasi disajikan soal PISA 2000 sebagai berikut: Perhatikan gambar kubus di samping! Gambar 1.1 Kubus 3 3 Jika kubus besar tersebut kemudian dipotong menjadi tiga bagian dari arah yang berbeda dan menghasilkan banyak kubus kecil seperti gambar di samping. Berapa banyak kubus kecil yang dihasilkan? Dari soal pemahaman di atas, hanya 33,4% siswa Indonesia yang menjawab benar dan sisanya 58,79% menjawab salah. Selanjutnya, siswa kita masih lemah dalam mengerjakan soal yang menuntut kemampuan penalaran. Salah satunya pada penalaran bilangan seperti pada soal TIMSS 2003 berikut. Perhatikan tiga gambar berikut. Gambar 1.2 Soal Aspek Penalaran pada TIMSS 2003

9 A. Lengkapilah tabel dibawah ini Bangun Banyaknya segitiga kecil 1 2 2 8 3 4 B. Jika diteruskan sampai gambar ke-7, berapakah banyaknya segitiga kecil pada gambar ke-7? Laporan hasil studi TIMSS 2003 tersebut menyebutkan bahwa untuk pertanyaan A ternyata hanya 23,6% saja siswa Indonesia yang menjawab dengan benar, sementara 76,4% menjawab salah. Sementara untuk pertanyaan B, hanya 14,8% yang menjawab benar dan 85,2% menjawab salah. Jawaban terhadap kedua soal PISA dan TIMSS di atas merupakan salah satu contoh yang menunjukkan masih rendahnya kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa-siswi Indonesia. Selain dari dua soal yang telah dipaparkan tersebut, masih terdapat soal-soal TIMSS dan PISA terkait kemampuan pemahaman dan penalaran yang di setiap tahunnya dari siswa Indonesia hanya sebagain kecil yang mampu menjawab dengan benar. Tiga hasil studi internasional menyatakan kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional.

10 Adapun tiga studi internasional itu antara lain PIRLS 2006, PISA 2006 dan TIMSS 2007. Selanjutnya Mullis (2012) menyampaikan laporan hasil studi TIMSS 2011 yang menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran siswa-siswi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kemampuan siswa-siswi dari negara-negara lain. Diantaranya pada rata-rata skor kemampuan pengetahuan, penerapan dan penalaran masih di bawah rata-rata skor matematika siswa-siswi dari negara-negara lain yaitu rangking 38 dari 42 negara. Untuk aspek pemahaman terkait konten aljabar, hanya 18,1% dari siswa Indonesia yang dapat menjawab benar, 81,9% menjawab salah. Demikian juga halnya untuk aspek penalaran terkait konten geometri dimana hanya 11,5% siswa Indonesia yang menjawab benar dan sisanya sebesar 88,5% menjawab salah. Laporan hasil studi TIMSS tersebut menggambarkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa Indonesia secara umum dapat dikatakan lemah. Oleh karena itu, aspek kemampuan penalaran sangat penting untuk diperhatikan dalam meningkatkan kualitas hasil belajar matematika siswa. Pengembangan kemampuan pemahaman dan penalaran selama proses belajar dititikberatkan pada kemampuan menghubungkan antara konsep matematika dan fenomena nyata yang ada disekitar. Konsep berpikir yang menekankan pada hubungan antara matematika dan fenomena nyata yang ada disekitar menurut (Carreira, 2001:67) antara lain adalah methaporical thinking. Methaporical thinking memiliki metafora sebagai konsep dasar dalam berpikir. Akibatnya dari sejumlah konsep matematika yang dipelajari berdasarkan

11 pengalaman yang dimiliki siswa dapat dengan mudah membangun sebuah model matematika dengan interpretasi yang akurat (Hendriana, 2009:6). Diperlukan adanya proses yang integratif antara model matematika dan aplikasinya sehingga konsep berpikir matematik siswa dapat diimbangi dan diberi gambaran secara konkret dalam memudahkan menguasai konsep matematik. Bote (Kilic, 2010:1) menyatakan bahwa dengan metafora, ide-ide baik dari diri sendiri ataupun orang lain dapat dirangsang sehingga memunculkan hubungan-hubungan yang mungkin tidak dapat dibuat dengan pertanyaanpertanyaan secara langsung. Dengan kata lain, melalui metaphorical thinking, siswa secara tidak langsung diberi kesempatan berperan serta dalam pembelajaran dengan merangsang ide-ide atau pemikiran-pemikiran siswa dalam menghubungkan konsep matematika yang abstrak dengan fenomena nyata yang ada disekitar. Selain kemampuan pemahaman dan penalaran yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini, respon siswa terhadap matematika dan pembelajaran yang disampaikan oleh guru juga merupakan suatu hal yang penting dan sangat berpengaruh terhadap terlaksana dan berhasilnya suatu pembelajaran. Poerwadarminta (1984:944) mengungkapkan bahwa sikap adalah perbuatan berdasarkan pendirian (pendapat dan keyakinan). Pada saat siswa memiliki keyakinan dan pendapat yang positif terhadap matematika dan pembelajaran yang diberikan, secara tidak langsung siswa akan mengembangkan sikap positif di seluruh aktivitas pembelajarannya.

12 Menurut Callahan (Bargeson, 2000) siswa mengembangkan sikap positif terhadap matematika ketika mereka melihat matematika sebagai sesuatu yang berguna dan menarik. Dengan demikian, siswa akan berusaha mempelajari matematika dengan kemampuan yang mereka miliki apabila sudah didasari rasa senang dan tertarik terhadap matematika. Rasa senang dan ketertarikan tersebut harus dikembangkan oleh guru dalam proses belajar di kelas sehingga siswa akan memiliki sikap positif terhadap matematika yang pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kemampuan dan hasil belajar. Tidak hanya sekedar keinginan namun paling tidak siswa melihat kegunaan matematika itu sendiri, melihat keunikannya, tantangannya dan proses yang dilalui membuat mereka ingin terus mempelajari. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ruseffendi (Bani, 2011:7) bahwa untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, pembelajaran harus menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan ditunjukkan kegunaannya. Menurut Suhandri (2011: 10) respon positif dari siswa memungkinkan pembelajaran akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. Respon positif akan terjadi manakala guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak ada paksaan dan tekanan dalam pembelajaran, sehingga siswa bebas bertanya, mengemukakan pendapat, berdiskusi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, sikap siswa sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pembelajaran dan menjadi sangat penting karena berkorelasi positif dengan prestasi belajar.

13 Berdasarkan seluruh uraian di atas, terlihat bahwa kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan penalaran siswa tersebut menentukan keberhasilan belajar matematika yang erat kaitannya dengan metafora-metafora yang dapat mengkonseptualisasikan konsep yang abstrak dan tidak terbawa ke konsep yang konkret dan lebih dikenal. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa dan memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematik. Dengan menggunakan metaphorical thinking proses belajar siswa menjadi lebih bermakna (meaningful learning) karena ia dapat melihat, membentuk dan memetakan konsep matematika ke konsep pengalaman ataupun sebaliknya. Pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking juga pernah dilakukan oleh Hendriana (2009). Hendriana menyimpulkan bahwa pendekatan metaphorical thinking dapat meningkatkan kemampuan pemahaman, komunikasi serta kepercayaan diri siswa SMP lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa (konvensional). Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan Afrilianto (2012) bahwa kemampuan pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis siswa SMP dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh peningkatan pembelajaran dengan pendekatan yang sama tetapi terhadap kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa sesuai dengan

14 latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemahaman dalam penelitian ini berbeda dengan pemahaman pada penelitian yang dilakukan oleh Hendriana sebelumnya dalam hal indikator pembelajarannya, dimana pada penelitian ini memuat indikator-indikator pembelajaran yang berkaitan erat dengan pendekatan metaphorical thinking yang digunakan. Dengan demikian berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang lebih spesifik dengan judul Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMP. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa (konvensional)? 2. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)? 3. Bagaimana sikap (respon) siswa terhadap matematika dan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking yang digunakan?

15 C. Tujuan Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk: 1. Menelaah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). 2. Menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). 3. Mendeskripsikan pandangan (sikap) siswa terhadap matematika dan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking yang digunakan. D. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi semua pihak, terutama bagi siswa, guru, peneliti sendiri, dan para peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi siswa Siswa mampu mengembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan penalaran matematis untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking. 2. Bagi guru

16 Pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk variasi yang lebih menarik dalam pembelajaran matematika. 3. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya. E. Definisi Operasional 1. Pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep abstrak menjadi lebih konkret dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan. 2. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan dan menarik kesimpulan dari informasi yang didapatkan. Adapun indikatorindikator yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pemahaman konsep dari Skemp yaitu: (a) Pemahaman instrumental adalah pemahaman konsep yang masih saling terpisah antara satu konsep dengan konsep lainnya dan baru mampu menerapkan konsep tersebut pada perhitungan sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmis; (b) Pemahaman relasional adalah kemampuan mengaitkan beberapa konsep yang saling berhubungan. 3. Kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan memberikan atau menambahkan, mengidentifikasi dan mengkonstruksi alasan logis dari

17 serangkaian informasi atau kasus yang diperlukan untuk menyelesaikan soal matematik. Adapun indikator-indikator yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan penalaran konsep dari Sumarmo yaitu: (a) Membuat kesimpulan yang logis; (b) Memperkirakan jawaban dan proses solusi; dan (c) Memberikan penjelasan terhadap model, fakta, sifat hubungan atau pola yang ada.