BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. bagian terkecil dari struktur pemerintahan yang ada di dalam struktur

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR : 01 TAHUN PEDOMAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDes) TAHUN ANGGARAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem sentralisasi ke desentralisasi menjadi salah satu wujud pemberian tanggungjawab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menciptakan pemerintahan Indonesia yang maju maka harus dimulai

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan ( SAP ) yang telah diterima secara umum.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. dana, menentukan arah, tujuan dan target penggunaan anggaran.

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BUPATI REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini,

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

BAB I PENDAHULUAN. langsung dengan masyarakat menjadi salah satu fokus utama dalam. pembangunan pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Pada Pasal 4 ayat 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas yang dihasilkan dari suatu sistem informasi. Informasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Otonomi Daerah di Pemerintahan Indonesia, sehingga setiap

BAB 1 LATARBELAKANG. adanya era reformasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BAB IV BENTUK LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KOTA BANJAR TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PINRANG NOMOR : 6 TAHUN 2008

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

PENGELOLAAN PENDAPATAN ASLI DESA (Studi Kasus di Desa Ngombakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Tahun 2014)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Indenosia tersebar di desa-desa seluruh Indonesia. diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi. menjadi suatu fenomena yang umumnya sering terjadi.

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BAB 1 PENDAHULUAN. dibangku perkuliahan. Magang termasuk salah satu persyaratan kuliah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah saat ini sedang mengupayakan peningkatan pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan suatu kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini mencerminkan adanya respon rakyat yang sangat tinggi akan permintaan

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR : 01 TAHUN 2011 TENTANG. PEDOMAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDes) TAHUN ANGGARAN 2011

BAB I PENDAHULUAN. bidang ilmu akuntansi yang mengkhususkan dalam pencatatan dan pelaporan

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang telah di amandemen menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik unik dalam struktur formal kelembagaan pemerintahan Negara

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. tradisionalis, dan kolot (Furqaini,Astri:2011). Undang-Undang No. 32 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan, peraturan perundang-undangan, pengelolaan keuangan, dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam

DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMERINTAHAN DESA KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI DANA DESA DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. transaksi-transaksi, dan pelaporan kinerja pemerintahan oleh pihak-pihak yang

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah

5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI,

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara.tata kelola pemerintahan yang baik (Good

SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 8 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI KABUPATEN BLORA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 10 Tahun : 2013

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan desa secara hukum diakui dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi termasuk di bidang keuangan negara. Semangat reformasi keuangan ini telah menjadi sebuah kewajiban dalam menjalankan tata kelola keuangan di Indonesia. Semangat ini muncul sebagai sebuah keharusan untuk menciptakan sistem keuangan yang transparan dan akuntabel. Pada sistem pemerintahan, usaha untuk mencapai tujuan tersebut didukung dengan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya kepada pemerintah daerah (Warisno, 2009:1). Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem keuangan pemerintah daerah. Implementasi perundang-undangan ini kemudian dikeluarkan aturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri dalam negeri (permendagri). Paket peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengawal pengelolaan keuangan daerah yang banyak mengalami perubahan dan perbaikan seiring semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah (Warisno, 2009:2). Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 mendefinisikan otonomi daerah sebagai hak, kewenangan, kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya 1

2 yang dimiliki sesuai kepentingan, prioritas dan potensi daerah tersebut (Warisno, 2009:1). Pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang tersirat dalam perundangan tersebut adalah pencerminan proses demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah (Thesaurianto, 2007:18). Ia menambahkan bahwa otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Salah satu asas otonomi daerah adalah asas desentralisasi. Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintah dari pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan daerah. Desentralisasi mengisyaratkan adanya penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumber daya, keuangan dan tanggung jawab baik pada bidang politik, administratif dan keuangan (Eko, 2007:1). Ia menambahkan bahwa secara teoretis, tujuan desentralisasi adalah menciptakan pemerintahan yang efektif, efisien, good governance dan membangun demokrasi lokal yang tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi juga berarti membawa negara lebih dekat pada rakyat (Hadenius dalam Eko, 2007:1). Perwujudan sistem manajemen keuangan pemerintah yang transparan dan akuntabel sangat perlu didukung oleh penyelenggaraan yang merata sampai pada tingkat pemerintahan terendah. Sesuai dengan pengertian asas desentralisasi, pemerintah desa sebagai pemerintahan tingkat terendah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Pada sistem tata pemerintahan di Indonesia, menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 1 ayat 1 dan 2, pemerintah terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah (gubernur, bupati atau walikota,

3 dan perangkat daerah). Selanjutnya pada Pasal 200 ayat 1 berbunyi: dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan tingkat desa bukanlah merupakan bagian/perangkat dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, melainkan pemerintah desa memiliki otonomi tersendiri untuk mengelola pemerintahannya. Undang-undang ini mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa. Otonomi desa memberikan kesempatan kepada desa untuk tumbuh dan berkembang di mana desa merupakan unit terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat. Day (1904 dalam Nurcholis, 2011:19) menjelaskan bahwa desa mempunyai otonomi di bidang bisnis, peradilan penduduk, kepolisian dan tawar menawar masalah pajak dengan penguasa diatasnya. Ndhara (1991 dalam Nurcholis, 2011:21) menjelaskan bahwa desa yang otonom adalah desa yang merupakan subjek hukum, artinya dapat melakukan tindakan-tindakan hukum. Desa merupakan istitusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2003:4). Istilah desa sering kali identik dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis dan kolot (Furqani, 2010:1). Secara administratif pemerintahan desa lebih diposisikan sebagai objek kekuasaan. Secara sistem pemerintahan negara Indonesia, pemerintahan desa merupakan subsistem yang terlemah. Secara politis selama ini desa hanya dijadikan tempat pengumpulan suara pada waktu pemilu, setelah itu dilupakan. Sedangkan secara ekonomis, desa dipandang sebagai sumber bahan baku dan tenaga kerja yang murah (Wasistiono, 2009). Keberadaan desa dalam yuridiksi formal diakui dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini, definisi desa

4 yaitu desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian di atas, negara mengakui desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya. Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh (Furqani, 2010:1). Desa berfungsi sebagai pelindung tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal, yang pada masa sekarang semakin diniscayakan oleh gagasan-gagasan pemerintahan modern dengan citra glamour pembangunan yang bernuansa kapitalistik dan hedonistik (Tjanra, 2007). Data jumlah desa di Indonesia adalah 65.189 desa (Ditjen Administrasi dan Kependudukan Depdagri, 2007). Artinya bahwa wilayah NKRI sekitar 80% berupa pemerintahan desa. Kedudukan desa sangat penting baik sebagai alat untuk mencapai pembangunan nasional ataupun sebagai lembaga yang memperkuat struktur pemerintahan negara Indonesia (Nurcholis, 2011:2). Desa menjadi garda terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari pemerintah (Wisakti, 2008:1). Pemerintah desa juga memiliki hak otonomi dalam mengelola keuangannya sendiri. Adanya hak otonomi desa dalam pengelolaan keuangan desa tersebut menjadi pedoman sebuah desa dapat mengelola keuangannya secara mandiri. Akan tetapi, pada kenyataannya masih sedikit desa yang menyadari keistimewaan dan memanfaatkan otonomi keuangan sebaik-baiknya (Furqani, 2010:3). Banyak desa yang masih tergantung pada pendanaan pusat maupun daerah. Ketergantungan pemerintahan desa kepada pemerintah

5 kabupaten yang demikian mengakar membentuk suatu budaya ketergantungan struktural (Maryunani, 2006). Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik (PKKOD, 2009). Maryunani (2006) menggambarkan berbagai kendala dan permasalahan desentralisasi dan otonomi daerah pada tataran pemerintahan desa, antara lain: (a) terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional; (b) terbatasnya sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar (eksternal); (c) belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara efektif; (d) belum terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas; dan (e) kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Wisakti (2008:2) menjelaskan bahwa sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Wasistiono (dalam Wisakti, 2008:2) menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa autonomy indentik dengan auto money, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan pemerintah desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri menambah beban tanggung jawab dan kewajiban desa namun demikian penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan (Subroto, 2009:2).

6 Pertanggungjawaban yang dimaksud diantaranya adalah pertanggungjawaban dalam pengelolaan anggaran desa. Pengelolaan keuangan desa secara umum mengacu pada Permendagri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Menurut peraturan ini, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Keuangan desa dikelola berdasarkan azasazas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Ketentuan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, dan permendagri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa mengamanatkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memberikan otonomi kepada pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya terutama dalam hal pengelolaan keuangan desa. Kaitannya dengan pemerintahan desa, dalam hal ini pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Sinjai, pemerintah kabupaten telah menerbitkan peraturan daerah (perda) dan peraturan bupati (perbup) sebagai petunjuk teknis pelaksanaan. Adapun peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa adalah Perda nomor 5 tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa, Perda nomor 8 tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, Perda nomor 9 tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Perda nomor 10 tahun 2007 tentang Sumber Kekayaan dan Pendapatan Desa dan Perbup nomor 9 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan dan Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) Kab. Sinjai. Pada Perbup nomor 9

7 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan dan Pengelolaan Alokasi Dana Desa menjelaskan bahwa dalam rangka penguatan otonomi desa guna mendukung pelaksanaan otonomi desa, desa memerlukan anggaran guna membiayai kegiatannya. Akan tetapi, situasi dan kondisi keuangan yang dimiliki oleh pemerintah desa sebagian besar belum memungkinkan untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Pada umumnya, 66 desa yang ada di wilayah Kabupaten Sinjai masih sangat memerlukan bantuan keuangan guna menunjang dan memperlancar penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa. Bantuan keuangan yang merupakan dana perimbangan dari pemerintah daerah ini diharapkan membantu keuangan pemerintah desa disamping mengandalkan pendapatan asli desa (PADesa) masing-masing desa. Pada tahun anggaran 2011 Kabupaten Sinjai mengalokasikan dana desa sebesar Rp2.814.155.000, sedangkan untuk tahun anggaran 2012 jumlah alokasi dana desa sebesar Rp7.749.355.000 yang digunakan oleh pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanan dan upaya pemberdayaan masyarakat desa. Adanya alokasi dana dari kabupaten menimbulkan kewajiban bagi pemerintah desa di Kabupaten Sinjai untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Pertanggungjawaban penggunaan alokasi dana desa (ADD) terintegrasi dengan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) dilaporkan oleh pemerintah desa secara berkala. Bentuk pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban APBDesa. Monitoring pelaksanaan APBDesa mewajibkan kepada pemerintah desa/kepala desa untuk melakukan pencatatan dan melaporkannya secara berkala (setiap bulan) dan setiap akhir periode dalam laporan realisasi APBDesa (Permendagri 37/2007, pasal 23 ayat 1 dan 2).

8 Kewajiban untuk melaporkan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa ini menuntut kepala desa dan perangkat desa untuk mampu menginterpretasikan peraturan-peraturan yang mengikat dalam proses pertanggungjawaban tersebut. Salah seorang staff subbagian pemerintah desa pada Kantor Daerah Kabupaten Sinjai mengatakan sebagian besar pemerintah desa masih kurang memahami proses pertanggungjawaban ini. Hal ini ditandai dengan masih adanya beberapa desa yang masih terkendala pada penyajian laporan dan waktu pelaporan. Dampaknya, perencanaan pemerintahan desa terhambat karena tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh pelaksanaan kegiatan memerlukan pendanaan. Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelola keuangan desa memiliki kewenangan menetapkan bendahara desa untuk melaksanakan penatausahaan keuangan desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh kepala desa untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayarkan, dan mempertanggungjawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa (Permendagri 37/2007, pasal 3). Penelitian terdahulu berkaitan dengan pengelolaan dana desa yaitu Subroto (2009) menyatakan dalam hasil penelitiannya mengenai akuntabilitas pengelolaan dana desa menunjukkan bahwa untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan alokasi dana desa, sudah menampakkan adanya pengelolaan yang akuntabel dan transparan. Sedangkan, dalam pertanggungjawaban dilihat secara hasil fisik sudah menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dan transparan, namun dari sisi administrasi masih diperlukan adanya pembinaan lebih lanjut, karena belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.

9 Furqani (2010) menyatakan dalam hasil penelitiannya tentang pengelolaan keuangan desa dalam mewujudkan good governance bahwa dari penelitian pengelolaan keuangan di Desa Kalimo ok Kabupaten Sumenep, transparansi terjadi hanya jika direncanakan sendiri. Tidak semua proses pengelolaan keuangan dipertanggungjawabkan, karena ada beberapa proses yang tidak sesuai permendagri nomor 37 tahun 2007. Akutabilitas sangat rendah karena tidak adanya keterlibatan antara masyarakat dan BPD (Badan Permusyarawatan Desa). Penelitian ini juga membahas mengenai pengelolaan dana desa dan penyajian laporan pertanggungjawaban keuangan desa. Tetapi, penelitian ini memfokuskan pada peran bendahara pada pengelolaan keuangan desa. Interpretasi bendahara terhadap penatausahaan keuangan menjadi fokus penelitian ini. Pada tahap inilah bendahara desa berperan langsung dalam pengelolaan keuangan desa. Besarnya peran bendahara dalam penatausahaan keuangan desa menuntutnya untuk memiliki keahlian dan kemampuan dalam melaksanakan pengelolaan keuangan pemerintahan. Bendahara desa wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran desa, dengan menggunakan sistem akuntansi yang berterima umum sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) (Subroto, 2009:13). Semua proses penerimaan dan pengeluaran uang wajib dipertanggungjawabkan oleh bendahara desa melalui laporan pertanggungjawaban keuangan desa. Dari siklus pengelolaan keuangan desa inilah bendahara desa menjadi bagian yang cukup penting, terutama pada tahap penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban (Sejati, 2012). Bendahara sebagai penanggungjawab dalam seluruh proses penatausahaan keuangan di pemerintahan desa sampai pada penyusunan

10 laporan pertanggungjawaban keuangan dihadapkan pada keharusan untuk memiliki pengetahuan yang memadai di bidang keuangan desa. Interpretasi bendahara terhadap aturan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya berpengaruh pada hasil laporan pertanggungjawabannya. Laporan keuangan pemerintah merupakan bentuk akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan di mana dibutuhkan tenaga-tenaga akuntansi terampil pada pemerintah daerah (Tanjung, 2007). Berhasil tidaknya pelaksanaan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari kompetensi para pengelolanya (Warisno, 2009:3). Suatu pemerintahan desa yang baik diperlukan sistem pengelolaan keuangan desa yang baik, transparan, akuntabel dan berkeadilan (Maryunani, 2006:6). Pengelolaan keuangan desa yang baik tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan ekonomi desa yang kuat dan mandiri, serta sinergi dengan pembangunan dalam arti luas. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui bagaimana bendahara menginterpretasikan penatausahaan keuangan di tingkat pemerintahan desa maka peneliti mengambil judul penelitian Interpretasi Bendahara Desa terhadap Penatausahaan Keuangan dan Implikasinya pada Penyajian Laporan Pertanggungjawaban Penatausahaan Keuangan Desa di Kab. Sinjai 1.2 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengenai interpretasi bendahara terhadap penatausahaan keuangan yang dilaksanakannya. Interpretasi bendahara ini dikhususkan pada tahap pelaksanaan penatausahaan penerimaan dan penatausahaan pengeluaran kemudian akan dibahas implikasi interpretasi bendahara tersebut pada penyajian laporan pertanggungjawaban penatausahaan keuangannya.

Pertanyaan penelitian yang terkait fokus tersebut adalah bagaimana interpretasi bendahara desa terhadap penatausahaan keuangan desa? 11 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi bendahara desa terhadap penatausahaan keuangan dan implikasinya pada penyajian laporan pertanggungjawaban penatausahaan keuangan desa. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis Kegunaan praktis bagi peneliti, penelitian ini menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari. Selain itu, dengan melakukan penelitian ini maka peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan keilmuan mengenai sistem pengelolaan keuangan pemerintah khususnya keuangan pemerintahan desa yang dilaksanakan oleh bendahara desa. Kegunaan bagi instansi adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau bahan pertimbangan dalam penerapan peraturan yang berkaitan dengan penatausahaan keuangan di pemerintahan desa. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia di pemerintahan desa khususnya bendahara desa agar bisa mewujudkan pelaksanaan penatausahaan keuangan desa yang lebih baik. 1.4.2 Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya disamping sebagai sarana untuk menambah wawasan mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintahan desa.

12 1.5 Definisi Istilah Definisi istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1.5.1 Penatausahaan Keuangan Desa Penatausahaan keuangan desa adalah seluruh kegiatan keuangan yang dilakukan oleh pemerintahan desa terdiri dari penatausahaan penerimaan dan penatausahaan pengeluaran serta pelaporan pertanggungjawabannya kepada pihak yang berkepentingan. Kepala desa memegang kuasa tertinggi dalam pengelolaan keuangan desa karena jabatannya sebagai kepala pemerintahan di tingkat desa. Dalam pelaksanaannya, kepala desa dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa (PPTKD) yang merupakan perangkat desa yang ditunjuk kepala desa. 1.5.2 Laporan Pertanggungjawaban Penatausahaan Keuangan Desa Sumber keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa (PADesa) dan alokasi dana desa (ADD) yang merupakan dana perimbangan dari kabupaten/kota. Adanya penggunaan anggaran mewajibkan pemerintah desa untuk melaporkan sumber daya ekonomi dan penggunaan anggarannya kepada pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat. Laporan ini berupa laporan pertanggungjawaban berkala yang dibuat sekali sebulan dan laporan tiap tahapan pencairan ADD. 1.5.3 Bendahara Desa Bendahara desa adalah perangkat desa yang ditetapkan oleh kepala desa melalui peraturan desa untuk melakukan tugas penatausahaan keuangan, baik penatausahaan penerimaan, penatausahaan pengeluaran maupun membuat pertanggungjawaban keuangan desa. Pemahaman mengenai peraturan menjadi indikasi pada hasil laporan bendahara desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan pada pemerintahan desa.

13 1.6 Sistematika Pembahasan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang tinjauan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian yaitu teori interpretasi, konsep sistem pengelolaan keuangan desa, konsep pertanggungjawaban keuangan desa, tinjauan empirik serta kerangka pemikiran. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan metode penelitian, mencakup rancangan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, teknik sampling, teknik pengumpulan data, teknik analisis, pengecekan validitas data dan tahaptahap yang dilakukan dalam penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini menjelaskan mengenai deskripsi wilayah penelitian dan analisis penyajian data. BAB V PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran mengenai penelitian yang dilaksanakan.