BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi. Barang dan atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap lainnya. Dengan banyaknya variasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang atau jasa yang melintasi batas wilayah suatu negara. Manusia pada akhirnya dihadapkan pada jenis barang dan atau jasa yang ditawarkan secara varitatif, baik yang berasal dari produk domestik maupun dari luar negeri. 1 Sehingga dalam perjalanannya manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya dan akan selalu melakukan bermacammacam kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Tidak bisa kita elakkan lagi, untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan dana oleh kalangan usahawan perseorangan maupun usahawan yang tergabung dalam suatu badan hukum di dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan 1 Gunawan Wijdaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 11.
produknya, sehingga dapat dicapai suatu keuntungan yang memuaskan maupun tingkat kebutuhan bagi kalangan lainnya. 2 Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini semakin banyak orang yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain di dalam mengembangkan usahanya. 3 Baik di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar modal dalam pembiayaan konsumen ini sudah jelas yakni para konsumen. 4 Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia. 5 Lembaga pembiayaan adalah suatu badan yang melalui kegiatannya di bidang keuangan yakni menarik dana dari masyarakat dan menyalurkannya kemasyarakat. Lembaga pembiayaan ini dibagi menjadi dua kelompok yakni 2 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 95. 3 Ibid 4 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 161. 5 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 98.
lembaga keuangan atau yang sering disebut bank dan lembaga keuangan bukan bank. 6 Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1972 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (2) dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 angka (2), bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan secara langsung ataupun tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi masyarakat (Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan). Fungsi bank pada umumnya adalah melayani kebutuhan pembiayaan dan melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi banyak sektor perkonomian. Namun dalam kenyataannya bank ini tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat, mengingat keterbatasan jangkauan penyebaran kredit ini dan keterbatasan sumber dana yang dimiliki oleh bank. Menyikapi kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka menyalurkan kebutuhan dana yang diperlukan masyarakat maka muncul lembaga 6 M.Fuadi Dkk, Pengantar Bisnis, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 72
keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan moderat daripada bank yang dalam hal-hal tertentu tingkat resikonya bahkan lebih tinggi. Lembaga keuangan bukan bank ini seperti leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), modal ventura, perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit, dan pembiayaan konsumen yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen ini adalah perjanjian diantara para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Yaitu perjanjian antara pihak perusahaan finansial sebagai kreditur dan pihak konsumen sebagai debitur. Sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, maka perjanjian seperti itu sah dan mengikat secara utuh. 7 Perjanjian semacam ini sering juga disebut sebagai perjanjian tidak bernama. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan : Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perjanjian pembiayaan adalah perjanjian yang tidak ada di atur dalam KUH Perdata, tetapi hidup di dalam 7 Munir Fuady, Op.Cit, hal.164-165.
pergaulan masyarakat berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian. Perjanjian ini dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Apabila syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata ini telah terpenuhi, maka akan memberikan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut dan akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yaitu perusahaan konsumen dan konsumen (Pasal 1338 KUH Perdata). Konsekuensi selanjutnya, maka perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Perjanjian pembiayaan inilah yang menjadi dokumen penting sebagai bukti yang sah bagi perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen. 8 Asas kebebasan berkontrak ini memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama Pasal 1320 KUH Perdata dapat terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai klausula halal. Artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasan umum yang berlaku dalam masyarakat. Namun ada kalanya kedudukan kedua belah pihak dalam suatu negosiasi dalam pembuatan perjanjian tidak seimbang, yang pada akhirnya 8 Ibid, hal. 99.
melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. 9 Dalam praktek dunia usaha juga menentukan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku kerena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak ada pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut atau atas klusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. 10 Kontrak baku ini tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kontrak baku diantaranya lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, menghemat tenaga kerja serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Hal ini sangat menguntungkan terutama bagi kontrak-kontrak yang dilakukan secara massal. Sedangkan kelemahan dari sebuah kontrak baku adalah bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak konsumen untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klusula yang berat sebelah, 9 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 53. 10 Ibid
karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut membuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya atau meringankan / menghapuskan beban-beban / kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. 11 Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat sangat merugikan pihak yang lemah yakni konsumen. Hal ini memberikan dampak negatif bagi pihak yang lemah (konsumen), yaitu pihak konsumen terpaksa menerima perjanjian tersebut bila ia menyetujui kontrak tersebut, kontrak baku juga membatasi dan mengalihkan kewajiban pelaku usaha bahkan ada kemungkinan pengusaha menciptakan kewajiban baru yang semestinya bukan kewajiban konsumen. Dengan melihat kenyataan tersebut, bahwa pada hakikatnya konsumen jauh di bawah para pelaku usaha, maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. 12 Maka terhadap perjanjian baku yang dibuat tersebut kesemuanya ditentukan dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Maka perjanjian baku haruslah 11 Jejak Setapak Perlindungan Konsumen Dalam Kacamata Aspek Hukum Perdata, Beta Politikana, http://www.politikana.com/baca/2010/02/04.html 12 Ibid
memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Berdasarkan penjelasan di atas, maka antara pelaku usaha dan konsumen perlu suatu pelaksanaan hukum agar hak-hak konsumen dapat dilindungi oleh pelaku usaha dan konsumen melaksanakan kewajibannya sebagaimana kewajibannya untuk melunasi hutangnya, maka penulis mengangkat judul PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN SEPEDA MOTOR PADA PT FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE KOTA PEMATANGSIANTAR. B. Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar? 2. Bagaimana kedudukan kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar serta prosedur permohonan pembiayaan konsumen sepeda motor di PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar? 3. Bagaimana bentuk-bentuk wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan konsumen dan bagaimana upaya penyelesaiannya dalam perjanjian
pembiayaan konsumen di PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini di samping untuk melengkapi tugas akhir dalam memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum, dan bertujuan antara lain : 1. Untuk mengetahui dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance (FIF) cabang kota Pematangsiantar ; 2. Untuk mengetahui kedudukan kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor PT Federal International Finance (FIF) cabang Pematangsiantar dan memahami prosedur permohonan pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar ; 3. Untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan konsumen serta akibat dari wanprestasi dan upaya penyelesaian masalah yang timbul dalam perjanjian pembiayaan konsumen pada PT Federal International Finance (FIF) cabang kota Pematangsiantar.
Suatu penulisan diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, begitu juga yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini yakni : a. Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap perkembangan hukum yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen. b. Secara praktis Memberikan masukan pemikiran yuridis tentang perjanjian pembiayaan konsumen khususnya oleh PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar sehingga dapat membawa wawasan alamiah baik khusus maupun secara umum berkenaan dengan penulisan ini, diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang keberadaan dan aktifitas dari lembaga bisnis pembiayaan konsumen. Juga dapat digunakan sebagai landasan operasional bagi instansi yang terkait dalam menanggulangi hambatanhambatan dalam penerapan peraturan perlindungan konsumen pada umumnya dan hak-hak konsumen pada khususnya. D. Keaslian Penulisan Bahwa penulisan skripsi ini didasarkan pada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dimulai awal sampai akhir penyelesaiannya. Ide penulis didasarkan dengan melihat perkembangan pembiayaan konsumen pada prakteknya. Karya tulis ini asli sebab tidak ada judul dan pembahasan yang sama.
Dalam rangka penulisan skripsi yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Sepeda Motor pada PT Federal International Finance (FIF) Cabang Pematangsiantar ini, maka selain membaca buku yang berhubungan dengan tulisan ini, penulis juga mengambil beberapa informasi dari berbagai media lainnya baik cetak maupun digital dan mempergunakan semua hal tersebut sebagai bahan dalam penulisan skripsi ini. E. Tinjauan Kepustakaan Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Kedua peraturan inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia. 13 Pembiayaan konsumen ini merupakan bagian dari lembaga pembiayaan keuangan bukan bank yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. 14 Namun demikian, tidak berarti bahwa jenis pembiayaan konsumen tidak mempunyai resiko sama sekali. Sebagai suatu pemberian kredit, resiko itu tetaplah ada. Macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen merupakan hal yang paling sering terjadi. 13 Sunaryo, Op.Cit, hal. 98. 14 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 162-163.
Dasar dari pelaksanaan pembiayaan konsumen adalah perjanjian, yakni perjanjian tidak bernama yang diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi : semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUH Perdata maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUH Perdata yaitu Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian tidak bernama tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata. Apabila ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata ini telah terpenuhi, maka akan memberikan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut dan akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yaitu perusahaan konsumen dan konsumen (Pasal 1338 KUH Perdata). Konsekuensi selanjutnya, maka perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Perjanjian pembiayaan inilah yang menjadi dokumen penting sebagai bukti yang sah bagi perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen. 15 KUH Perdata memberikan asas kebebasan berkontrak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama Pasal 1320 15 Ibid, hal. 99.
KUH Perdata dapat terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan umum yang berlaku dalam masyarakat. Namun ada kalanya kedudukan kedua belah pihak dalam suatu negosiasi dalam pembuatan perjanjian tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. 16 Dalam praktek dunia usaha juga menentukan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku kerena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak ada pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut atau atas klusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. 17 16 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 53. 17 Ibid
Dengan melihat kenyataan, bahwa pada hakikatnya konsumen jauh dibawah para pelaku usaha dan kontrak baku banyak memberikan dampak negatif bagi pihak yang lemah (konsumen), maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. 18 Klausula baku sendiri merupakan peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat yang harus dipatuhi oleh konsumen. Pilihan yang ada bagi pihak yang akan mengikatkan diri pada kontrak baku atau kontrak standar yang dilaksanakan dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance adalah dengan menerima atau menolak kontrak tersebut. Jika menerima kontrak tersebut maka ia telah sepakat dengan klausula-klausula yang tercantum dalam kontrak dan kontrak tersebut mengikatnya sehingga ia harus tunduk dengan klausula-klausula yang ada dalam kontrak tersebut. F. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan metode pendekatan secara kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam 18 Ibid
peraturan perundang-undangan pembiayaan konsumen dan peraturan perundangundangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. 19 Metode pendekatan secara kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic),hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dan mendalam dengan tidak mempergunakan analisis secara kualitatif. 20 Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tertier. Bahan hukum primer dapat berupa peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), peraturan lain yakni, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembiayaan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dan Undang- Undang tentang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Komsumen. Bahan hukum sekunder dapat berupa karya-karya ilmiah berupa bukubuku, laporan penelitian, jurnal ilmiah, dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini, 19 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke -20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139. 20 Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 22.
pendapat para ahli yang dikemukakan dalam seminar-seminar, konperensikonperensi nasional maupun internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini. 21 Bahan hukum tertier, terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. 22 Untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam (in depth interviewing) 23 dengan mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu pada beberapa informan yang mengetahui pokok permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahanpermasalahan yang telah disusun. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, dipaparkan sistematika penulisan dengan tujuan agar mempermudah pengertian dan pendalaman secara jelas. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab dan dari bab-bab ini dibagi lagi atas beberapa sub guna memudahkan penguraiannya secara lengkap, bab-bab yang disajikan terdiri dari yakni : 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal. 59.
Bab I Pendahuluan; pada bab ini diuraikan hal-hal yang bersifat umum dari tulisan ini, dimulai dari latar belakang mengapa penulis memilih judul yang dimaksud, memaparkan apa yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dan manfaat yang diperoleh dari penulisan tersebut. Pada bagian ini juga diuraikan apa yang menjadi permasalahan, keaslian penulisan, menguraikan mengenai tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang pengaturan hukum perjanjian serta pembiayaan konsumen. Pengaturan tentang perjanjian ini membahas tentang tinjauan mengenai perjanjian yang meliputi : pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas hukum perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Pada bab ini juga membahas pengaturan pembiayaan konsumen dalam mendukung transaksi konsumen yang dapat diuraikan menjadi : apa pengertian dari pembiayaan konsumen, dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen, manfaat dari perjanjian pembiayaan konsumen dalam mendukung transaksi konsumen dan para pihak yang terlibat dalam perjanjian pembiayaan konsumen, Bab III membahas tentang pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance Cabang Pematangsiantar; pada bab ini diuraikan secara khusus mengenai uraian singkat dari PT Federal International Finance (FIF) cabang kota pematangsiantar, analisis pemanfaatan kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor dan perlindungan konsumen berkaitan dengan pemanfaatan kontrak baku dalam perjanjian pembiayaan kosumen sepeda motor pada PT Federal International Finance (FIF).
Bab IV membahas tentang prosedur permohonan pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar, pemberian jaminan oleh debitur dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor PT Federal International Finance (FIF) kota Pematangsiantar dan bentuk-bentuk wanprestasi dan mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepeda motor pada PT Federal International Finance (FIF) cabang Pematangsiantar. Bab V dalam bab ini dirangkum analisa permasalahan dan pembahasannya dari bab-bab terdahulu dan kemudian menyimpulkan isi dari uraian-uraian tersebut, serta mengemukakan sejumlah saran sehubungan dengan topik dari skripsi ini.