DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

dokumen-dokumen yang mirip
TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

METODE-METODE DALAM PENELITIAN ILMU SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. pembeda adalah penanganan dalam proses tindak pemidanaan terhadap narapidana

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di

BAB V. PENUTUP. memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak

TEORI DAN METODOLOGI

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Ringkasan Materi Teori-Teori Sosial Budaya

Interaksionisme Simbolik dalam Penelitian Kualitatif

Memahami (Sekali Lagi) Grounded Research

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

PENDEKATAN & KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk yang memiliki kelebihan paling luar

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA

$ [8] [176] Lusiana Darmawan Suryamita Harindrari

Kuliah 3 KPM 398-MPS

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

TULI SAN POPULER & ARTI KEL I LMI AH

Dimensi Subjektif - Objektif

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB II KAJIAN TEORI. dikenal sebagai seorang raja Kediri yang hebat, tetapi juga dikenal dengan

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN (RPP) MATAKULIAH: INTERDISIPLINER Santosa T. Slamet suparno

Tabloid Pelajar PELAJAR INDONESIA, terbit di Bandung, Edisi November 2002

Penelitian di Bidang Manajemen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Modul ke: TEORI INTERPRETIF 15FIKOM INTERAKSIONAL SIMBOLIK. Fakultas. Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

REALITAS SOSIAL TINGKAT MIKRO

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL JAMES S. COLEMAN DAN TEORI. KEBUTUHAN PRESTASI DAVID McCLELLAND. dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan tersebut.

ILMU KOMUNIKASI : KARAKTERISTIK DAN TRADISI PENDEKATAN TEORITIS

Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. Teori Sosiologi Kontemporer

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

Modul ke: Komunikasi Massa. Teori Komunikasi Massa (Makro) Fakultas FIKOM. Sofia Aunul, M.Si. Program Studi BROADCASTING.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Facebook :

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RKPKS)

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

Kelompok 3 : 1. Anggraini Widjanarti ( ) 2. Annisa Utami ( ) 3. Maria Gracia Deita ( Y)

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN I OLEH: AJAT SUDRAJAT

BAB I PENDAHULUAN. lebih mampu memanfaatkan teknologi sesuai dengan fungsinya. Internet

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 134 TAHUN : 2011 SERI : E

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

TUGAS AKHIR PANCASILA BUKAN AGAMA

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

Fenomenologi: Dunia Apa Adanya Realitas Sosial Trilogi Realitas Berger-Luckmann

SAPI YANG SUCI DAN BABI YANG MENJIJIKKAN. by Stephen K. Sanderson

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

BAB II TEORI INTERAKSI SIMBOLIK GEORGE HERBERT MEAD. Blumer sekitar tahun Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya

BAB 6 PENUTUP Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak. langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan

BAB II KAJIAN TEORITIS. a. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Interaksi Pustakawan Dan Pemustaka

Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

Tidak ada proses penelitian yang benar-benar memiliki fokus yang sama dengan penelitian kebijakan atau berorientasi tindakan

MATERI KULIAH MATERI SAJIAN PERKULIAHAN KE : P13 P Sebuah perjalanan abad ini untuk memahami kepemimpinan sekolah

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB IV ANALISIS DATA. dijadikan sebagai suatu temuan penelitian yang akan mengupas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

Unit 3. CARA TEPAT MEMILIH PENYELESAIAN MASALAH MATEMATIKA Inawati Budiono

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Pragmatik memiliki lima bidang kajian salah satunya deiksis. berarti penunjukan atau hal petunjuk dalam sebuah wacana atau tuturan.

Uji Penilaian Profesional Macquarie. Leaflet Latihan. Verbal, Numerikal, Pemahaman Abstrak, Kepribadian.

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB IV ANALISIS DATA. kepada komunikannya, sehingga dapat dapat menciptakan suatu persamaan makna antara

MK Etika Profesi. Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Transkripsi:

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO by Stephen K. Sanderson KETERKAITAN antara sosiologi mikro dengan sosiologi makro akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para sosiolog dari berbagai aliran. Untuk memahami keterkaitan tersebut, sebuah klarifikasi lebih lanjut tentang perbedaan antara kedua bentuk sosiologi ini sangat diperlukan. Tidak setiap orang setuju secara pasti tentang bagaimana sosiologi mikro dan sosiologi makro dibedakan, dan harus diakui bahwa batas antara keduanya kadang-kadang agak kabur. Hemat saya, cara yang paling berguna dalam mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk analisis sosiologi ini adalah cara yang ditawarkan Randall Collins (1988a). Collins menyatakan bahwa ada tiga faktor dasar yang fundamental bagi sosiologi: waktu, ruang, dan jumlah. Di satu pihak, sosiolog dapat mengkaji perilaku sosial sejumlah kecil orang yang berkumpul dalam ruang yang kecil dan berada dalam jangka waktu yang singkat. Inilah yang dilakukan sosiolog mikro. Mereka biasanya mengkaji interaksi di antara sedikit orang (katakanlah antara dua sampai dua belas orang), dan orang-orang ini mungkin berinteraksi di dalam ruang yang tidak lebih luas dari beberapa puluh atau ratus kaki persegi dalam jangka waktu beberapa menit, jam, atau hari saja. Sebaliknya, sosiolog makro mengkaji perilaku sosial di mana waktu, ruang, dan jumlah orangnya, katakanlah, terentang. Mereka mengkaji interaksi antara ribuan, jutaan, atau ratusan juta orang di dalam wilayah yang sangat luas (ratusan, ribuan, atau jutaan mil persegi) dan dalam jangka waktu yang sangat panjang (berpuluh-puluh, berates-ratus tahun, atau berabad-abad). Cara berpikir ini dengan cepat membebaskan kita dari pengertian yang salah bahwa sosiologi makro dan mikro nampaknya berkaitan dengan fenomena yang berbeda, sebagaimana yang dikira oleh banyak sosiolog. Bukan, ini bukan cara Sanderson, Stephen K. Topik Khusus: Dasar-dasar Mikro bagi Sosiologi Makro, dalam Makrososiologi (edisi kedua) (terj.). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011 (cet. ke-6). Hal. 22-26.

berpikir yang benar tentang perbedaan keduanya. Sosiologi-mikro dan makro sebenarnya berkaitan dengan sesuatu yang pada dasarnya sama: interaksi antarindividu yang telah terpolakan. Keduanya hanya menganalisis berbagai interaksi yang ada dari batasan waktu, ruang, dan jumlah yang berbeda. Dengan demikian, perbedaan antara sosiologi mikro dan sosiologi makro hanyalah menyangkut perbedaan perspektif, dan bukan perbedaan masalah pokoknya. Jika kita menerima argumen ini, maka berarti tidak ada dua rangkaian teori sosiologis yang benar-benar berbeda, satu untuk para sosiolog mikro dan yang lain untuk sosiolog makro. Namun, dalam kenyataannya inilah yang umumnya terjadi, dan alasannya adalah karena kita terlambat menyadari artifisialitas pembedaan antara dua jenis sosiologi tersebut (banyak sosiolog yang tidak menyadari, atau sekurangnya tidak mengakuinya. Cf. Collins, 1988a: Bab II). Selama berpuluhpuluh tahun sosiolog mikro dan makro mengoperasikan bangunan pengetahuan yang sama sekali berbeda, dan hanya baru-baru ini sebagian sosiolog berusaha melihat apakah teori-teori ini dapat disatukan menjadi model-model yang lebih sederhana dan komprehensif. Posisi saya sendiri adalah bahwa integrasi teoretis ini dapat, dan harus, dilakukan. Posisi ini dapat dinyatakan dengan menyatakan bahwa sosiologi makro harus mempunyai dasar-dasar mikro. Dengan pernyataan ini tidak berarti teori-teori sosiologi mikro memadai untuk menjelaskan perilaku yang menjadi perhatian sosiologi makro. Para sosiolog makro selalu, paling tidak dalam kadar tertentu, memiliki prinsip-prinsip teoretisnya sendiri yang tidak dapat direduksi ke dalam prinsip-prinsip sosiologi mikro. Yang dimaksud adalah bahwa perilaku yang muncul dalam masyarakat dunia secara teoretis tidak dapat dilepaskan dari perilaku sejumlah kecil orang selama beberapa jam atau hari. Tindakan sosial dalam skala besar harus dapat diinterpretasikan dalam kaitannya dengan motif dan kepentingan orang-orang ketika ia hadir dalam kehidupan seharihari. Mengikuti Collins (1981a, 1981b, 1988a), kita dapat menyebutnya translasi mikro bagi sosiologi makro. Strategi-strategi teoretis jenis apakah yang tersedia sehingga memungkinkan kita melakukan translasi mikro? Pada saat ini, teori sosiologi mikro

yang paling penting adalah interaksionisme simbolik, etnometodologi, dan teori pilihan rasional. Dua teori yang pertama sangat serupa satu sama lainnya. Interaksionisme Simbolik pada mulanya adalah pendekatan sosiologi Amerika pada awal abab ini [1] dan tetap merupakan perspektif yang berpengaruh hingga kini. Teori ini menekankan kepada kemampuan individu untuk berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol dan memaksakan definisi-definisi realitas subyektif mereka sendiri terhadap situasi sosial yang mereka hadapi. Seorang penganut interaksionisme simbolik pada masa awalnya, William Isaac Thomas, menciptakan istilah definisi situasi, yang dia jelaskan dengan kalimat Jika orang-orang mendefinisikan situasi tertentu sebagai situasi riel, maka situasi itu akan menjadi riel. Thomas menekankan bahwa definisi subyektif orang-orang tentang realitas dapat begitu kuat sehingga ia akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi obyektif yang sesuai dengan definisi subyektif tersebut, terlepas dari apakah definisi subyektif tersebut pada awalnya benar secara obyektif. Dua penganut interaksionisme simbolik adalah Herbert Blumer dan Howard Becker. Blumer (1969) mengambil posisi yang agak ekstrim yang menekankan kemampuan individu yang hampir tak terbatas untuk mendefinisikan situasi dengan cara mereka sendiri dan bertindak sesuai dengan definisi situasi yang mereka buat. Becker mengambil posisi yang kurang ekstrim, tetapi dia juga menjadikan definisi sosial atas realitas sebagai linchpin untuk posisi teoretisnya. Sebagai contoh, dia menulis sebuah esai terkenal (1963) di mana dia menyatakan bahwa pengalaman mengisap mariyuana sedikit banyak berhubungan dengan definisi sosial sekitar efek obat terhadap konsekuensi-konsekuensi psikologis aktualnya terhadap tubuh. Untuk dapat merasakan efek mengisap mariyuana sebagai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, tegas Becker, orang harus menjadi bagian dari kelompok orang yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kalau tidak, efeknya bisa sangat berbeda. 1 Abad 20 (Tulisan Sanderson ini diterbitkan pada tahun 1991 HarperCollins Publishers Inc., pen.)

Etnometodologi adalah strategi baru yang mengakibatkan penekanan interaksionisme simbolik kepada definisi subyektif atas realitas menjadi semakin ekstrim. Kalimat kunci dalam perspektif ini adalah konstruksi sosial atas kenyataan (Berger dan Luckmann, 1966). Dalam bentuknya yang paling ekstrim, ini berarti bahwa masyarakat atau kehidupan sosial tidak eksis dalam bentuknya yang obyektif yakni, dalam aktualitas. Tetapi ia eksis dalam pikiran orang-orang sebagai serangkaian persepsi, definisi, dan cara berbicara. Pendiri Etnometodologi adalah Harold Garfinkel (1967). Garfinkel dan banyak mahasiswa yang telah dipengaruhinya tertarik pada problem yang sama yang menyibukkan para fungsionalis: problem tertib sosial (social order), atau stabilitas, dan kontinuitas sosial sepanjang waktu. Namun kalau para fungsionalis memandang tertib sosial ini sebagai sesuatu yang obyektif (dan makro), para etnometodolog meandangnya sebagai sesuatu yang sangat subyektif (dan mikro). Bagi etnometodolog, tertib sosial hanyalah bersifat definisional, dan ia tetap bersifat demikian karena keterikatan orang-orang kepada definisi subyektif mereka. Etnometodolog mengaku hanya tetarik untuk mencari tahu bagaimana orang mengkonstruksikan realitas, serta bagaimana dan kenapa mereka begitu terikat kepada definisi tertentu yang mereka buat. Baik interaksionisme simbolik maupun etnometodologi keduanya adalah versi ekstrim dari idealisme. Keduanya memberikan penekanan yang terlampau berat pada kemampuan orang mengonstruksikan realitas dengan cara mereka sendiri terlepas dari kendala-kendala yang lebih luas (Collins, 1988a). banyak dari teori-teori ini menawarkan pandangan yang sangat tepat, dalam pengertiannya yang sangat penting. Orang benar-benar mengikuti definisi realitas mereka yang bersifat subyektif dan mempunyai peran menentukan dalam kehidupan sosial. Namun, definisi-definisi tersebut tidaklah bersifat arbitrer dan tidak terjadi dalam situasi vakum. Orang memang mengkonstruksikan realitas, tetapi mereka melakukannya bukan dengan cara lama yang sederhana. Mereka mengkonstruksikan realitas dalam konteks serangkaian kendala yang memaksa, dan kendala-kendala inilah yang menentukan cara bagaimana definisi atas realitas itu terbentuk. Sebagaimana sejak lama dikatakan Marx dalam konteks yang lain (1978: 595, 1852): Manusia

membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak melakukan itu hanya karena mereka suka, mereka membuatnya dalam kondisi-kondisi yang tidak mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi-kondisi yang telah ada, given dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi generasi terdahulu menjadi beban-beban, seperti mimpi buruk dalam otak kehidupan. Satu pendekatan yang lebih pas untuk translasi mikro, paling tidak menurut hemat penulis buku ini, adalah teori pilihan rasional (Homans, 1961; Coleman, 1986, 1987; Hechter, 1983; Friedman dan Hechter, 1988). Setelah lama ditolak oleh para sosiolog, pendekatan lama ini kembali hadir secara signifikan sejak awal 1980- an. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia adalah organisme yang mementingkan dirinya sendiri yang memperhitungkan cara-cara bertindak yang memungkinkan mereka memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Dengan demikian, individu-individu memiliki motivasi pada tingkat mikro, dan gambaran berbagai masyarakat dan jaringan dunia selama jangka waktu yang lama merupakan hasil kumpulan dari interaksi tingkat-mikro ini. dengan demikian konstruksi sosial atas realitas yang menandai masyarakat tertentu pada waktu tertentu adalah konstruksi yang memaksimalkan kepentingan diri individu-individu yang berinteraksi dalam kondisi-kondisi sosial dan historis tertentu. Dapat segera terlihat bahwa teori pilihan rasional sangat cocok dengan strategi teoretis materialis dan konflik pada tingkat makro. Dalam kenyataannya, versi tertentu dari teori materialis dan konflik yang secara konsisten dimuat dalam buku ini secara eksplisit didasarkan atas asumsi-asumsi tingkat mikro pilihan rasional. Tentu saja, teori pilihan rasional hampir bukan merupakan strategi yang sempurna untuk translasi-mikro. Orang tentu saja tidak seberdarah-dingin atau secara rasional sekalkulatif gambarang yang seringkali dibuat pendekatan ini. Lebih dari itu, orang mengikuti motif-motif yang lain dari sekadar kepentingan diri.namun pada umumnya, strategi teoretis tingkat mikro ini nampaknya sampai saat ini merupakan strategi yang paling memberi harapan dalam menguji dasar-dasar mikro bagi sosiologi makro.