memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

Setelah melihat Asas diatas kita harus dapat menentukan siapakah orang yang. dapat dikatakan bersalah. Menurut pendapat Moeljatno;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Korupsi berasal dari kata latin Corruptio atau Corruptus, dalam bahasa

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1976 (9/1976) Tanggal: 26 JULI 1976 (JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. terakhir United Nations Drugs Control Programme (UNDPC), saat ini kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. bius (Chloric Ether atau Chloroform), yang dipergunakan hingga sekarang.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB III PENUTUP. hukum ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA)

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

Reni Jayanti B ABSTRAK

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. sejak tahun 2700 tahun sebelum masehi. Orang-orang kuno telah menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA.

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

Transkripsi:

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat Konsep-konsep keadilan yang telah baku. Konsep keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya. Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filusuf Yunani Kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum Masehi) yang dalam bukunya Republic (terjemahan bahasa Inggris, Book IV, Section 12) mengemukakan adanya 4 kebijakan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice). Filusuf lainnya ada yang menganggap keadilan bukan sebagai salah satu kebakan, karena ada kebijakan khusus lainnya seperti misalnya kejujuran, kesetiaan dan kedermawanan. Kebajikan

tersebut mencakup seluruhnya ( all-embracing virtue), dalam pengertian ini keadilan lalu mendekati pengertian kebenaran dan kebaikan (righteousness). 1 Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas. Bidang ilmu hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai tujuan akhir ( end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep keadilan sebagai hasil ( result) atau keputusan ( decision) yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian keadilan ini dapat disebut keadilan prosedural ( Procedural justice ) dan konsep inilah yang dilambangkan dengan dewi keadilan, pedang, timbangan dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas ( principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut : adil (just), bersifat hukum ( legal), sah menurut hukum ( lawful), tak memihak (impartial), sama hak ( equal), layak (fair), wajar secara moral ( equitable), benar secara moral ( righteous). Dari perincian tersebut ternyata bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu 1 Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, hal 12

dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum, pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara. Pengawasan terhadap pengambilan kebijaksanaan oleh para Hakim dalam memutus perkara belumlah begitu efektif untuk diterapkan. Hal ini terbukti belum adanya para Hakim yang diproses secara pidana karena melanggar standard norma yang harus dipatuhi oleh para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindakan Hakim dalam pengambilan suatu kebijaksanaan hukum mutlak diperlukan, baik penegakaan hukum administrasi maupun penegakan hukum pidana terhadap para Hakim yang melanggar standard norma hukum yang telah ditetapkan. B. Pertanggungjawaban Pidana Azas dalam pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidana jika tidak mempunyai kesalahan (Geen straf zonder schul; Actus non facit reum nisi mens sit rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis akan tetapi dalam hukum yang tertulis di Indonesia berlaku. Setelah melihat Asas diatas kita harus dapat menentukan siapakah orang yang dapat dikatakan bersalah. Menurut pendapat Moeljatno;

Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk perbuatan demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. 2 Kesalahan haruslah dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana: 1. Adanya keadaan psycis (batin) tertentu 2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalh kemampuan bertanggungjawab dan yang menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal. Menurut Van Hamel mengatakan bahwa ada tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab: 3 Kemampuan bertanggungjawab adalh suatu keadaan normalitas psychis dan kemampuan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan; a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatan sendiri. b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. 2 Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, hal 157 3 Sudarto. 1990. Hukum Pidana 1.Semarang : Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universites Diponegoro, hal 93

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu. Menurut Simons yang menerangkan tentang mampu bertanggungjawab adalah: 1. Jika orang itu dapat menginsyafi itu perbuatan yang melawan hukum. 2. Sesuai dengan penginsyafan untuk dapat menentukan kehendaknya. Pendapat Simons dan Van Hamel tersebut dapat dikatakan untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus adanya: 1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dann yang melawan hukum. 2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan yang dilakukannya, dia tidak mempunyai kesalahan melakukan tindak pidanan. C. Pengaturan Pidana Pengguna dan Pengedar Narkotika Pentingnya penerapan sanksi pidana tersebut menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya Herbert L. Packer menyebutkan lebih lanjut bahwa sanksi pidana merupakan penjamin/garansi yang utama/terbaik atau (prime guarantor) apabila dilakukan secara hati-hati, cermat dan manusiawi dan sekaligus sebagai pengancam yang utama (prime threatener) apabila dilakukan secara sembarangan dan secara paksa serta merupakan alat atau sarana terbaik dalam menghadapi kejahatan. Konklusi dasar asumsi Herbert L. Packer ini diformulasikan dengan redaksional sebagai berikut :

a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foresecable future, get along without it) b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device are have for dealing with gross and immediate harm and threats of harm) a. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). 4 UU Narkotika/Psikotropika menimbulkan beberapa dimensi dikaji dari perspektif asas, teori, norma dan praktik peradilan tentang penerapan bagi pengedar serta pengguna narkoba. Dari dimensi asas dan teori, UU Narkotika memandang ambiguitas terhadap pengguna narkotika khususnya terhadap pencandu narkotika. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 4 UU Narkotika menentukan tujuan dari diberlakukannya UU Narkotika adalah: a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan 4 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal 44

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Konteks tujuan UU Narkotika dalam dimensi sebagai pengguna narkotika ditujukan bagi peredaran gelap narkotika. Konsekuensi logisnya untuk upaya pencegahan, perlindungan dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika maka dilakukan jaminan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna narkotik a). Konkrit dimensi di atas, maka asasnya pengguna narkotika adalah sebagai korban yang memerlukan upaya rehabilitas medis dan sosial sehingga tidak diperlukan penjatuhan pidana sehingga dari dimensi teori hendaknya diterapkan teori rehabilitasi. Penyalahguna narkotika semula mendapatkan jaminan rehabilitasi berhadapan dengan asas legalitas dimana dalam pelaksanaannya pengguna narkotika diancam pidana sebagaimana ketentuan Pasal 127 UU Narkotika yang berbunyi, bahwa: (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan Pasal 127 UU Narkotika, maka penyalah guna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan siapa korban kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal tidak ada kejahatan tanpa korban. Kajian asas, teori dan norma hukum pembuktian maka untuk melakukan pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika (Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika) merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dengan dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Oleh karena itu, dalam praktek peradilan penerapan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika khususnya untuk pencandu narkotika relatif jarang diterapkan hakim. Pelaku penyalahgunaan narkoba terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai pengedar dan/atau pemakai. Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian pengedar Narkotika/Psikotropika. Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, pengedar Narkotika/Psikotropika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan Narkotika/Psikotropika. Dalam ketentuan UU Narkotika maka pengedar diatur dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125 dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, c, Pasal 60 ayat (1) huruf b, c, ayat (2), (3), (4), (5), Pasal 61 dan Pasal 63 ayat (1) huruf a UU Psikotropika.

Hakikatnya pengguna adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika/Psikotropika. Terminologi pengguna disebutkan sebagai pecandu narkotika, penyalah guna, korban penyalahguna, pasien dan mantan pecandu narkotika. Dalam ketentuan UU Narkotika maka pengguna diatur dalam Pasal 116, 121, 126, 127, 128, 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, 41, 59 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 62 UU Psikotropika. Undang Undang Narkotika/Psikotropika menimbulkan implikasi yuridis khususnya dari dimensi ketentuan Pasal 4 huruf d, Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika untuk menentukan pengguna narkotika korban atau pelaku. Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, namun dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaannya pengguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 127 UU Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa korban kejahatan dari pelaku pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal tidak ada kejahatan tanpa korban. Terhadap konteks ini pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, Mahkamah Agung RI dengan tolok ukur ketentuan Pasal 103 UU Narkotika mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Dasar Hukum dan Ketentuan Rehabilitasi Narkotika antara lain: 1. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika : Pasal 54, 55, 103 dan 127. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor : 3 Tahun 2011 Kriteria Residen (Pasien) Menjalani Rehabilitasi : 1. Calon Residen, pengguna narkoba aktif dan wajib melampirkan Surat Keterangan Dokter yang menerangkan yang bersangkutan adalah pengguna narkoba. 2. Berusia 15 40 tahun. Jika kurang dari 15 tahun hanya menjalani detoksifikasi dan entry unit. 3. Tidak sedang hamil (Calon Residen Wanita) 4. Tidak menderita penyakit pisik (diabetes, stroke, jantung) maupun psikis yang kronis. 5. Calon Residen datang didampingi orangtua/wali 6. Calon Residen yang menjalani rehabilitasi berdasarkan Surat Edaran MA harus didampingi Pihak Pengadilan. Ketentuan Rehabilitasi meliputi: 1. Masa pembinaan Residen selama 6 (enam) bulan. 2. Selama detoksifikasi dan entry unit, Residen tidak dapat dikunjungi oleh pihak keluarga. 3. Residen dapat dikunjungi setelah memasuki fase primary dan re-entry. 4. Bila Residen melarikan diri dari tempat rehabilitasi dan kembali ke keluarga, keluarga wajib menginformasikan kepada BNN serta mengantar kembali untuk melanjutkan proses rehabilitasi.

Prosedur pengobatan meliputi: 1. Detoksifikasi atau pemberesihan racun dari dalam tubuh. 2. Entry Program 3. Primary Program 4. Program After Care Metode pemulihan dan kejiwaan meliputi: 1. Therapeutic Community 2. Medis 3. Sosial 4. Religi 5. Akupuntur 6. Hipnoterapi D. Defenisi Narkotika dan Pemakai Narkotika Secara etimologis istilah narkotika berasal dari kata marke (Bahasa Yunani) yang berarti terbius sehingga menjadi patirasa atau tidak merasakan apa-apa lagi. Yang dimaksud dengan narcotic adalah a drug that dulls the sense, relieves pain, induces sleep, and can produce addiction in varying degrees. Karena itu, penggunaan karkotika di luar tujuan-tujuan pengobatan dapat menimbulkan ketergantungan ( addiction/craving) karena menimbulkan kaidah-kaidah ilmu kedokteran.

Sistem hukum di Indonesia menyebutkan penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai kejahatan di bidang narkotika yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. Yang dimaksud dengan narkotika menurut undang-undang ini adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan dari tanaman, baik sintetis maupum maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Termasuk ke dalam jenis-jenis narkotika adalah : (a) tanaman Papaver yaitu tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan jeraminya; (b) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendirim, yang diperoleh dari buah tanaman papaver somniferum L, yang mengalami pengolahan sekedar untuk bungkusan dan pengangkutan tanpa memeprhatikan kadar morfinnya; (c) Opium masak yang terdiri dari Candu, Jicing, dan Jicingko; (d) Opium obat, yaitu mentah yang telah mengalami pengolahan sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk lain, atau dicampur denganzat-zat netral sesuai dengan syarat farmakops; (e) Morfina, yaitu alkloida utama dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3; (f) Tanaman Koka, yaitu tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceace; (g). Daun Koka, yaitu daun yang beklum belum atau sudah kering atau yang sudah bentuk serbuk dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceacea, yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia; (h) Kokain mentah, yaitu semua hasil yang diperoleh dari daun Koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkankokaina; (i) Kokaina, yaitu mentil ester 1 bensoil ekgonina dengan rumus kimia C9 H15 NO3 H12 NO4; (j) Ekgonina,

yaitu lekgonina demgan rumus kima C9 H15 NO3 H2O dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan Kokaina; (k) Tanaman Ganja; Tanaman Ganja yaitu semua bagian dari dari semua tanaman genus cannabis termasuk bibji dan buahnya seperti : (1) Damar Ganja, yaitu damar yang diambil dari tanaman ganja termasuk hasil pengolahnya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar; (2) Garam -garam dab turunanturunan dari Morfina dan Kokaina; (3) Bahan lain yang bersifat alamiah maupu n sintetis dan semi sintetis yang belum disebutkan, yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfinan dan Kokaina; dan (4) Campuran-campuran san sediaan-sediaan yang mengaqndung bahan yang tersebut dalam angka 1,2, dan 3. 5 Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, selanjutnya disebut UU Narkotika 1997, pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 84 dan 85) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 78, 79, 80, 81, dan 82) Pelaku penyalahgunaan narkoba terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai pengedar dan/atau pemakai, sedangkan peraturan substansial untuk menanggulangi kasus penyalahgunaan narkotika adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan peraturan lainnya. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain dapat pula menimbulkan 5 Macam-macam jenis dan klsifikasi Narkotika,UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika

ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat serta saksama. Status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 84) dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 85). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukua pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 78 dan 79), pengolah (Pasal 80), pembawa dan/atau pengantar (Pasal 81), dan pengedar (Pasal 82). Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menpimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa/pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi.

Subyek hukum yang dapat dipidana kasus penyalahgunaan narkotika adalah orang perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum). Sedangkan, jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku delik penyalahgunaan narkotika adalah pidana penjara, pidana seumur hidup, sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda. Tindak pidana narkotika dalam sistem hukum Indonesia dikualifikasi sebagai kejahatan. Hal ini karena tindak pidana narkotika dipandang sebagai bentuk kejahatan yang menimbulkan akibat serius bagi masa depan bangsa ini, merusak kehidupan dan masa depan terutama generasi muda serta pada gilirannya kemudian dapat mengancam eksistenti bangsa dan negara ini. 1. Faktor penyebab pemakai Narkoba a. Putus sekolah b. Tersedianya tempat hiburan c. Industri Pariwisata d. Lemahnya hukum e. Budaya Import f. Pergaulan bebas 2. Tanda-Tanda Pemakai Narkoba a. Berani berbohong dan membohongi b. Berani meminjam uang kepada siapa saja yang dikenal namun tidak akan pernah membayarnya c. Uang dan barang-barang berharga selalu hilang dari dalam rumah tetapi tidak ada yang mengaku d. Suka melawan dan membentak siapa saja temasuk kedua orang tuanya e. Percaya diri berlebihan f. Nafsu makan berkurang hingga badannya kurus. g. Mudah melakukan tindak kriminal 3. Macam-macam Narkoba dan cara pemakaian a. Opium/candu, dikonsumsi dengan cara menghisap asap. b. Ganja, dipakai biasanya berupa tanaman kering yang dirajang, dilinting, dan disulut seperti rokok. c. Ecstacy, dikonsumsi dengan cara menelan. d. Shabu-shabu, dikonsumsi dengan cara dihirup melalui hidung. e. Heroin, heroin sering diedarkan dalam bentuk bubuk dan dinimati dengan cara mencium. f. Putaw, berisi heroin yang merupakan zat psikoaktif kuat sangat membuat ketergantungan, 4. Dampak Narkoba a. Opium/candu

Mengalami perlambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, kerusakan pada hati (liver) dan ginjal. b. Ganja Ganja dianggap tidak terlalu berbahaya, dibandingkan putaw atau shabu, tetapi dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan, denyut nadi cenderung meningkat. Kehilangan konsentrasi, ketakutan, mudah panik. c. Ecstacy Kondisi tubuh memburuk, tekanan darah semakin tinggi, denyut jantung tidak teratur. d. Shabu-shabu Dapat membuat tubuh merasa lebih kuat, denyut jantung tidak teratur, nyeri dada. g. Heroin Mengalami penurunan daya ingat, tidak mampu berbicara dengan jelas, tidak mampu berkonsentrasi pada sesuatu objek. h. Putaw Dapat menghilangkan rasa nyeri, merasakan kegembiraan tanpa sebab 6 E. Rehabilitasi Pemakai Narkotika Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan ( treatment) dan perbaikan ( rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai 6 Dadang Hawari. 2007. Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif. FKUI: Jakarta. Hal 14

pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 7 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Menurut Herbert L. Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya. Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih baik. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan mngenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika antara lain: Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan 7 Mahmud Mulyadi. 2008. Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press. Hal 79

rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56 1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. 2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.