BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Bab V Pembahasan V.1 Data Eksplorasi Batubara V.2 Pemetaan Topografi

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Statistik Univarian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

Oleh : Triono 1 dan Mitra Wardhana 2 SARI. Kata Kunci : Cadangan Batubara Metode Cross Section dan Blok Model

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pertambangan merupakan suatu aktifitas untuk mengambil

3.1 KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA

ESTIMASI CADANGAN BATUBARA DENGAN SOFTWARE TAMBANG PADA PIT DE DISITE BEBATU PT. PIPIT MUTIARA JAYA KABUPATEN TANA TIDUNG, KALIMANTAN UTARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS STATISTIK UNIVARIAN

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

DAFTAR ISI. IV. HASIL PENELITIAN Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh. Narendra Saputra 2) Dr.Ir.Eddy Winarno, S.Si., MT, Ir. R. Hariyanto, MT 1) Mahasiswa Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta 2)

Sebuah contoh akan membantu menjelaskan konsep sebenarnya mengenai sebuah surface.

PENAKSIRAN CADANGAN PASIR BATU DI PT. MEGA BUMI KARSA KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI

BAB VI. PIT DESIGN. Membuat Pit Desaign single bench

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, Desember 2016 Penulis. (Farah Diba) vii

METODA-METODA DALAM PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA

Akurasi Konturing Trianggulasi Dan Kriging Pada Surfer Untuk Batubara

ANALISIS KEMAJUAN PENAMBANGAN BATUBARA MENGGUNAKAN SOFTWARE DAN PRISMOIDAL DI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MEMULAI MINESCAPE. A. Membuat Project Minescape Click icon bar exceed, kemudian click icon bar minescape.

PENENTUAN CADANGAN BATUBARA DARI DATA BOR MENGGUNAKAN METODE AREA OF INFLUANCE

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Kartion 1, Juli Chandra Teruna 2 dan Program Studi Teknik Pertambangan, Politeknik Muara Teweh

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan IV 2016 ISBN Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang penting dilakukan oleh suatu perusahaan, karena untuk

BAB III LANDASAN TEORI

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB

PERANCANGAN SEQUENCE PENAMBANGAN BATUBARA UNTUK MEMENUHI TARGET PRODUKSI BULANAN (Studi Kasus: Bara 14 Seam C PT. Fajar Bumi Sakti, Kalimantan Timur)

Artikel Pendidikan 23

PENENTUAN POLA PENYEBARAN BATUBARA BERDASARKAN DATA SINAR GAMMA DAN RESISTIVITAS DENGAN MENGGUNAKAN METODE LOGGING GEOFISIKA

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

DAFTAR ISI. I.2. Lingkup Kegiatan I.3. Tujuan I.4. Manfaat I.5. Landasan Teori... 3

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif disamping minyak

BAB II STUDI LITERATUR

PRESENTASI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB IV PEMODELAN DAN PENGHITUNGAN CADANGAN ENDAPAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk. membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Agar pelatihan efektif, buku petunjuk ini dibuat dengan asumsi sebagai berikut:

KAJIAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA MENGGUNAKAN METODE BLOCK MODEL

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh : Diyah Ayu Purwaningsih 1 dan Surya Dharma 2 ABSTRAK

KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BAGIAN TENGAH

TUTORIAL SURPAC (BATUBARA)

ESTIMASI SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN DATA WELL LOGGING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

JGP (Jurnal Geologi Pertambangan) 50

SARI ABSTRACT PENDAHULUAN

PERHITUNGAN MINEABLE COAL RESERVE PADA PIT JUPITER AREA SEAM 16 PT. ENERGI CAHAYA INDUSTRITAMA, BUKUAN SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR

Yogyakarta, September 2011 Penulis,

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ESTIMASI CADANGAN BATUKAPUR DENGAN METODE CROSS SECTION DIBANDINGKAN DENGAN METODE KONTUR

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

DISAIN TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DENGAN CAD

BAB I PENDAHULUAN. Energi Nasional (KEN) melalui PP No.5 Tahun 2006 yang memiliki tujuan utama

BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona

VISUALISASI 3D LAHAN RENCANA PROYEK UNTUK PERHITUNGAN VOLUME GALIAN DAN TIMBUNAN

POTENSI DAN PEMANFAATAN BATUGAMPING DI PT. SUGIH ALAMNUGROHO KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan

BAB III LANDASAN TEORI

MineScape Mine Planning and Design Software

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yang berlimpah. Didalamnya terkandung kekayaan migas dan non-migas.

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DESAIN PIT PENAMBANGAN BATUBARA BLOK C PADA PT. INTIBUANA INDAH SELARAS KABUPATEN NUNUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA DENGAN METODE CIRCULAR USGS 1983 DI PT. PACIFIC PRIMA COAL SITE LAMIN KAB. BERAU PROVINSI KALIMATAN TIMUR

BAB III LANDASAN TEORI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

12.1. Pendahuluan Peta Geologi Definisi

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

LAPORAN BULANAN KEGIATAN EKSPLORASI PT ADARO ENERGY Tbk JUNI 2014

PENGARUH KESTABILAN LERENG TERHADAP CADANGAN ENDAPAN BAUKSIT

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber energi yang mengalami pertumbuhan paling cepat di dunia. Hal ini dikarenakan semakin menurunnya berbagai sumber energi alternatif lain seperti gas alam dan minyak bumi. Dengan demikian berbagai perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan perlahan-lahan mulai mencari cara untuk memaksimalkan produksi batubara, tidak terkecuali perusahaan pertambangan yang ada di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh International Energy Agency pada tahun 2012, Indonesia termasuk dalam sepuluh negara penghasil batubara terbesar di dunia yang banyak tersebar di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Jumlah yang sangat melimpah di kedua pulau tersebut harus dapat dimaksimalkan dengan baik. Namun dalam kenyataannya sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia dalam melakukan eksploitasi lapangan batubara hanya melakukan survey tinjau saja dan langsung melakukan proses penambangan. Dengan demikian prospek batubara tidak dapat diketahui secara rinci. Oleh karena itu diperlukan perhitungan cadangan volume batubara yang akurat sebelum melakukan eksploitasi. Untuk melakukan perhitungan volume cadangan batubara dapat dilakukan dengan menggunakan metode cut and fill ataupun cross section. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perhitungan volume dengan cut and fill menggunakan prisma segitiga. Prisma segitiga tersebut terbentuk dari hasil penggabungan TIN permukaan atas dan bawah. Untuk mendapatkan volume tiap lapisan, volume masing-masing prisma segitiga yang telah terbentuk dihitung dan dijumlahkan. Selain dengan metode cut and fill, volume cadangan batubara dapat juga dihitung menggunakan metode cross section dengan pedoman rule of gradual changes. Dengan metode ini dibutuhkan beberapa penampang untuk tiap lapisan batubara yang selanjutnya dikalikan dengan jarak tiap penampang tersebut. Dasar pertimbangan penggunaan metode cross section dengan pedoman rule of gradual changes adalah karena data titik bor yang tersedia relatif 1

2 sedikit dan untuk endapan batubara yang memiliki tingkat homogenitas yang tinggi. Metode ini juga mudah dilaksanakan, dimengerti dan dengan keyakinan yang tinggi. Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam memperhitungkan volume sumberdaya batubara, semakin banyak perangkat lunak yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan. Salah satu perangkat lunak yang dapat digunakan adalah Surpac. Surpac dapat memodelkan cross section dengan pedoman rule of gradual changes hingga menampilkan luasan-luasan tiap penampang yang selanjutnya akan digunakan dalam perhitungan volume. Proyek ini mengkaji tahapan dan hitungan volume sumber daya batubara menggunakan metode cross section dan dilakukan komparasi hasilnya dengan metode cut and fill. I.2. Cakupan Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka cakupan penyusunan proyek ini adalah : 1. Perhitungan volume dilakukan menggunakan perangkat lunak Surpac. 2. Area yang dikaji adalah daerah Kuasa Pertambangan PT. Panca Gemilang Semesta, Dusun Hilir, Barito, Kalimantan Tengah. 3. Tipe cross section yang digunakan adalah penampang tegak (vertical cross). 4. Penampang melintang dibentuk dari data kontur struktur dan data kontur topografi dengan jarak antar penampang 10 meter dan 25 meter. I.3. Tujuan Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Mengaplikasikan metode cross section untuk menghitung volume sumberdaya batubara 2. Membandingkan hasil hitungan volume sumber daya batubara antara metode cross section dengan metode cut and fill. I.4. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang cara perhitungan volume sumber daya batubara dengan metode cross section dan memberi

3 gambaran akurasi perhitungan volume metode cross section dibandingkan dengan metode cut and fill. I.5. Landasan Teori I.5.1. Batubara Batubara adalah batuan sedimen yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses litifikasi untuk membentuk lapisan batubara dan telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis (BSN 1998). Umumnya proses pembentukan batubara terjadi pada zaman karbon yaitu sekitar 270 350 juta tahun yang lalu. Pada zaman tersebut terbentuk batubara di belahan bumi utara seperti Eropa, Asia, dan Amerika. Di Indonesia batubara yang ditemukan dan ditambang umumnya berumur jauh lebih muda yaitu terbentuk pada zaman tersier. Batubara tertua yang ada di Indonesia berumur Eosen (40 60 juta tahun yang lalu) namun sumber daya batubara di Indonesia umumnya berumur antara Miosen dan Pliosen (2 15 juta tahun yang lalu). Batubara mengandung unsur - unsur karbon, hidrogen, dan oksigen sebagai unsur utama serta belerang dan nitrogen sebagai unsur tambahan. Di samping itu terdapat zat lain sebagai penyusunnya, yaitu senyawa anorganik pembentuk ash dan tersebar sebagai partikel - partikel zat mineral di seluruh senyawa batubara (Cahyani 2010). Cadangan batubara di Indonesia tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kualitas batubara yang bagus adalah batubara dengan nilai calorie value yang tinggi, nilai abu yang rendah, kadar sulfur yang rendah, dan kelembaban yang rendah. I.5.2. Pengertian Sumber Daya dan Cadangan Batubara Sumberdaya (Resource) adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan dan dapat meningkat menjadi cadangan apabila telah dilakukan uji kelayakan. Cadangan (Reserve) adalah bagian dari sumberdaya yang telah diteliti dan dikaji kelayakannya dan telah dinyatakan layak serta dapat ditambang berdasarkan kondisi ekonomi dan teknologi pada saat itu. Terdapat empat pengertian cadangan yang digunakan di dunia pertambangan, yaitu (BSN 1998):

4 1. Cadangan di Tempat (In Place Reserve) Cadangan di tempat adalah jumlah batubara yang terdapat di bawah permukaan yang telah dihitung dan memenuhi persyaratan ekonomi pertambangan dalam kondisi tertentu. Secara teknis, cadangan di tempat tidak seluruhnya dapat ditambang karena bergantung pada teknologi yang tersedia pada saat itu. 2. Cadangan dapat ditambang (Mineable Reserve) Cadangan dapat ditambang adalah bagian dari cadangan di tempat (in place reserve) yang diharapkan akan dapat ditambang dengan teknologi saat ini dan sesuai kondisi ekonomi saat ini. 3. Cadangan telah ditambang (Recoverable Reserve) Cadangan telah ditambang adalah cadangan yang berasal dari (Mineable Reserve) yang telah ditambang atau terambil atas dasar biaya dan kondisi ekonomi yang telah ditetapkan. 4. Cadangan dapat dijual (Saleable Reserve) Cadangan dapat dijual adalah cadangan yang berasal dari (Recoverable Reserve) yang akan dijual langsung atau dilakukan pengolahan terlebih dahulu dengan pertimbangan kualitas batubara dan permintaan pasar, apabila kualitas batubara sesuai permintaan pasar tanpa harus dilakukan pencucian atau blending maka batubara dapat langsung dijual, namun apabila batubara terlalu banyak pengotor sehingga kualitas batubara tidak sesuai dengan permintaan pasar maka harus dilakukan pencucian dan blending sehingga kualitas batubara sesuai dengan permintaan konsumen. I.5.3. Seam Lapisan batubara yang berada di bawah permukaan tanah disebut seam. Seam terdiri dari beberapa lapisan yang berupa suatu tebalan dengan sekat tanah (interburden) sebagai pembatas tiap lapisan. Lingkungan pengendapan batubara merupakan salah satu kendali utama yang mempengaruhi pola sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof dan floor, dan kandungan sulfur pada lapisan batubara (Horne dkk. 1978). Melalui model pengendapan juga dapat ditentukan lapisan

5 batubara ekonomis yang ditandai oleh sebarannya yang luas, tebal, serta kandungan abu dan sulfur rendah. Artinya, ada hubungan genetik antara geometri lapisan batubara dan lingkungan pengendapannya (Rahmani & Flores 1984) yang dicerminkan oleh proses-proses geologi, yaitu: 1. Proses geologi yang berlangsung bersamaan dengan pembentukan batubara, meliputi perbedaan kecepatan sedimentasi dan bentuk morfologi dasar pada cekungan, pola struktur yang sudah terbentuk sebelumnya, dan kondisi lingkungan saat batubara terbentuk. 2. Proses geologi yang berlangsung setelah lapisan batubara terbentuk, meliputi adanya sesar, erosi oleh proses - proses yang terjadi di permukaan, atau terobosan batuan beku (intrusi). Lapisan batubara sering kali terdiri dari beberapa seam yang saling menumpuk dan disebut multiseam dan lapisan tunggal disebut dengan single seam. Menurut waktu geologi lapisan yang paling muda adalah lapisan yang terletak pada lapisan paling atas. Gambar I.1. Seam batubara (http://fisherka.csolutionhosting.net) I.5.4. Roof dan Floor Sebuah lapisan (seam) batubara dilapisi oleh dua permukaan yang terdapat pada permukaan atas (roof) dan permukaan bawah (floor) seam tersebut serta dibatasi oleh batubara dan lapisan pengotornya (parting). Roof adalah struktur penampang permukaan atas dari suatu jenis deposit tambang, sedangkan floor adalah struktur penampang permukaan bawah dari suatu deposit tambang. Suatu roof dan floor yang hanya dibatasi oleh batubara dan parting-nya disebut sebagai satu seam (Andaru 2010).

6 I.5.5. Stripping Ratio Stripping ratio adalah rasio antara volume pengotor (parting) dengan tonnage batubara yang akan menentukan layak atau tidaknya sebuah lokasi untuk dilakukan proses pertambangan (Diputra 2013). Dengan kata lain, nilai stripping ratio yang akan menentukan seberapa banyaknya overburden yang harus dikupas untuk mendapatkan batubara. Semakin besar nilai stripping ratio suatu lapisan batubara, maka akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengeluarkan 1 ton batubara karena harus membuang lebih banyak overburden (Aritonang 2011). Untuk menghitung nilai stripping ratio suatu lapisan batubara dapat menggunakan rumus I.1 berikut ini. SR = Tonase batubara Volume OB dan/atau IB... (I.1) Dalam hal ini, SR = stripping ratio OB = overburden IB = interburden I.5.6. Pembuatan Model Struktur Batubara Jumlah atau besar cadangan batubara tidak dapat dihitung dengan hanya berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan karena masih berupa titik - titik koordinat dan data geologi. Titik - titik koordinat ini harus dibuat model struktur batubaranya dan juga model topografinya. Model struktur yang harus dibuat yaitu (Andaru 2010): 1. Model struktur permukaan topografi. Model ini didapatkan dari data survey yang berupa data x, y, dan z kemudian dibuat garis konturnya. Dari garis kontur ini kemudian dibuat model strukturnya. Model ini dapat berupa kontur digital, atau berupa digital terrain model. 2. Model struktur permukaan roof batubara. Model ini didapatkan dengan cara memasukkan nilai x, y dan z dari semua data roof batubara yang ada. Data roof ini diperoleh dengan cara melakukan pengeboran terlebih dahulu, kemudian untuk memastikan dengan benar nilai depth-nya dilakukan proses logging. Dari data pengeboran dan logging didapatkan nilai depth permukaan

7 atas batubara (roof), kemudian dikonversi menjadi data elevasi berdasarkan data topografi. Semakin banyak titik bor yang ada, maka semakin rapat dan semakin detail untuk pembentukan model struktur roof batubaranya. 3. Model struktur permukaan floor batubara. Model ini didapatkan dengan cara yang sama seperti pembentukan model struktur roof, hanya saja data yang dimasukkan adalah data x, y dan z dari semua data floor batubara yang ada. Dari data pengeboran diperoleh nilai depth permukaan bawah batubara (floor) yang kemudian dikonversi menjadi data elevasi berdasarkan data topografi. I.5.7. Lapisan Tanah Pengotor atau Penutup Lapisan tanah pengotor atau penutup dalam batubara terdiri dari lapisan penyisip dalam satu seam batubara (parting), lapisan penutup (overburden) dan lapisan pembatas antar-seam (interburden). Parting adalah bagian nonbatubara (pengotor) yang membagi atau menyisip di dalam satu seam batubara yang bisa saja berupa tanah, sandstone atau limestone. Overburden adalah lapisan tanah dan batuan yang ada di atas seam batubara sampai pada permukaan topografi. Interburden adalah lapisan tanah penutup yang ada di antara dua seam batubara (Andaru 2010). I.5.8. Dasar Perhitungan Sumber Daya Batubara Dalam perhitungan sumber daya batubara terdapat beberapa unsur pokok yang mempengaruhi kualitas hasil yang akan dicapai, yaitu pengambilan contoh, penentuan daerah pengaruh, interpretasi daerah pengaruh dan tebal semu dan tebal sebenarnya. I.5.8.1. Pengambilan contoh. Pengambilan contoh merupakan proses pengambilan sejumlah kecil dari populasi batuan yang mewakili sifat fisik dan kimia tertentu. Tujuan dari pengambilan contoh adalah untuk mengetahui ada tidaknya endapan bahan tambang, bentuk, dan posisi endapan yang akan digunakan untuk perhitungan cadangan.

8 I.5.8.2. Penentuan daerah pengaruh. Pedoman untuk daerah pengaruh dibagi menjadi dua antara lain: 1. Pedoman membagi dua garis tegak lurus dengan jarak yang sama antara dua titik terdekat. 2. Pedoman membagi dua sudut atau pedoman gravitasi. I.5.8.3. Interpretasi daerah pengaruh. Interpretasi daerah pengaruh erat kaitannya dalam penentuan batas-batas daerah pengaruh. Berdasarkan obyeknya, interpretasi daerah pengaruh dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Interpretasi natural Interpretasi ini dilakukan terhadap kriteria geologi, teknologi dan ekonomi terhadap sesar vertikal yang terletak di antara dua lubang bor dengan ketebalannya masing-masing. Interpretasi yang dilakukan terhadap blok tersebut adalah menganggap bahwa masing-masing ketebalan akan sama sampai pada sesar vertikal tersebut. 2. Interpretasi empirik Interpretasi empirik mengacu pada hasil-hasil penelitian atau pengamatan sebelumnya dan dianggap sama dengan lokasi yang sedang diteliti. 3. Interpretasi analitis Interpretasi ini dilakukan dengan dua pedoman yaitu: a. Pedoman perubahan bertahap (rule of gradual change). Pedoman ini merupakan pedoman yang digunakan untuk menentukan batas-batas daerah pengaruh dalam penentuan luas penampang dengan cara menghubungkan titik terluar dari tiap penampang seperti yang dijelaskan pada Gambar I.2. Pedoman ini dapat diterapkan pada metode cross section, karena dalam perhitungannya lebar daerah pengaruh penampang tidak selalu dibuat dengan ukuran yang tetap.

9 Gambar.I.2. Metode cross section dengan pedoman rule of gradual changes (Isaaks 1989) Dalam hal ini, P1 = Penampang pertama permukaan atas P1ˈ = Penampang pertama permukaan bawah P2 = Penampang kedua permukaan atas P2ˈ = Penampang kedua permukaan bawah L = Jarak antar penampang Penerapan perhitungan tonase sumberdaya batubara dengan metode cross section dengan Pedoman Rule of Gradual Changes sangat tergantung pada data pemboran dan data singkapan endapan. Pada prinsipnya ada beberapa langkah dalam perhitungan, yaitu membagi lapisan batubara menjadi beberapa blok-blok penampang dengan selang jarak tertentu. Menurut Wood, dkk (1983) persamaan perhitungan cadangan batubara dapat dilihat pada rumus I.2. Tonase batubara = A B C... (I.2) Dalam hal ini, A = ketebalan rata-rata batubara (m) B = berat jenis batubara (ton/m 3 ) C = luas daerah terhitung (m 2 ) Untuk menghitung lapisan tanah penutup dengan metode cross section sangat tergantung pada data pemboran dan data singkapan endapan. Pada prinsipnya ada beberapa langkah dalam perhitungan, yaitu membagi lapisan

10 tanah penutup menjadi beberapa blok-blok penampang dengan selang jarak tertentu. b. Pedoman titik terdekat (rule of nearest point) Pada pedoman rule of Nearest Point, setiap blok ditegaskan oleh sebuah penampang yang sama panjang ke setengah jarak untuk menyambung penampang seperti yang dijelaskan pada Gambar I.3. Gambar I.3. Metode cross section dengan pedoman rule of nearest point (Isaaks 1989) Dalam hal ini, P = Penampang L = Jarak antar penampang I.5.8.4. Tebal semu dan tebal sebenarnya. Bentuk geometri endapan mineral sangat diperlukan untuk asumsi, interpretasi dan perhitungan. Unsur utama perhitungan cadangan adalah ketebalan, panjang, lebar, pengamatan kadar dan faktor cadangan. Asumsi penggambaran tiga dimensi pada sketsa horisontal yang tergambar adalah kedalaman vertikal sedangkan pada sketsa vertikal yang tergambar adalah kedalaman horisontal. Ketebalan sesungguhnya diukur menurut tebal yang tegak lurus terhadap garis atap (roof) dan garis alas (floor) lapisan batubara atau sesuai dengan sudut kemiringan Hubungan antara ketebalan sesungguhnya dan ketebalan semu baik horisontal maupun vertikal dapat dilihat pada Gambar I.4.

11 Gambar I.4. Ketebalan sebenarnya (Poppof 1966) ttr = th sin β = tv cos β... (I.3) Dalam hal ini, ttr = tebal endapan sebenarnya th = tebal endapan semu arah horisontal tv = tebal endapan semu arah vertikal β = sudut kemiringan (dip) I.5.9. Penentuan Luas Penentuan luas yang dimaksud di sini adalah luas yang dihitung dalam peta yang merupakan gambaran permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal. Penentuan luas dapat dilakukan dengan cara numeris. Menurut Basuki (2006), penentuan luas dengan cara ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Dengan memakai koordinat, apabila titik-titik batas tanah diketahui koordinatnya misal sebidang tanah dibatasi oleh titik-titik A (X1,Y1); B (X2,Y2); C (X3,Y3), D (X4,Y4) seperti yang terlihat pada Gambar I.5. Gambar I.5. Luasan dengan angka koordinat (Basuki 2006)

12 Luas trapesium ABCD = Luas trapesium AˈABBˈ + Luas trapesium BˈBCCˈ - Luas trapesium DˈDCCˈ - Luas trapesium AˈADDˈ = 0.5(X2 X1)(Y2+Y1)+0.5(X3 X2)(Y3+Y2) 0.5(X3 X4) (Y3+Y4) 0.5(X4 X1)(Y4+Y1)... (I.4) Disimpulkan menjadi: 2 Luas ABCD = Σ(Xn Xn-1) (Yn + Yn-1) = diproyeksikan terhadap sumbu x 2 Luas ABCD = Σ(Yn Yn+1) (Xn + Xn+1) = diproyeksikan terhadap sumbu y b. Dengan ukuran dari batas tanah, jika batas-batas tanah diukur langsung (disebut juga angka-angka ukur). I.5.10. Metode Perhitungan Volume Sumber Daya Batubara Prinsip perhitungan volume adalah perkalian panjang, lebar dan ketebalan. Variasinya bergantung pada bentuk dan metode perhitungan cadangan yang digunakan (Rauf 1998). Metode perhitungan volume batubara pada dasarnya menggunakan prinsip perhitungan volume dari bagian permukaan batubara yang dibatasi oleh penampang-penampang melintangnya. I.5.10.1. Metode garis kontur. Garis kontur adalah garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki ketinggian yang sama, sehingga bidang yang terbentuk oleh sebuah garis kontur akan berupa bidang datar. Luas setiap penampang di sini adalah luasan yang dibatasi oleh suatu garis kontur, sedangkan tinggi atau jarak antar penampang adalah besarnya interval garis kontur, yaitu beda tinggi antara garis kontur yang berurutan. Penentuan volume dengan menggunakan garis kontur dapat menggunakan rumus end areas untuk setiap dua buah tampang yang berurutan. Metode ini juga dipakai untuk digunakan pada endapan bijih yang memiliki ketebalan dan kadar mengecil dari tengah ke tepi endapan. Volume material dapat dihitung dengan menganggap bukit dipotong sepanjang kontur dalam serangkaian prismoida, atau dengan penerapan langsung kaidah simpson (Irvine 1995).

13 I.5.10.2. Metode cut and fill. Prinsip perhitungan volume dengan metode cut and fill adalah menggunakan prisma segitiga yang terbentuk dari TIN hasil penghubungan permukaan atas dan bawah. Prisma tersebut memiliki dua permukaan yang terbentuk dari jaring-jaring segitiga (TIN). Jaring segitiga inilah yang akan membentuk suatu geometri prisma. Volume prisma segitiga dapat dihitung dari hasil perkalian antara nilai rata-rata ketinggian titik-titik pembentuk segitiga (z1,z2,z3) dengan luas jaring segitiga (Li dan Gold 2005) Gambar I.6. Volume dengan metode prisma (Li dan Gold 2005) Adapun rumus yang dapat digunakan untuk menghitung volume prisma segitiga tersebut dapat dilihat pada Rumus I.5 sebagai berikut: V3 = Z 1+Z 2 +Z 3 3 A... (I.5) Jika area boundary dibagi menjadi segitiga segitiga, total volume antara permukaan atas dan permukaan bawah dapat diperoleh dengan menjumlahkan volume prisma prisma yang terbentuk. Akurasi perhitungan tergantung pada kemampuan model 3D untuk menghasilkan model permukaan yang mendekati bentuk sebenarnya di lapangan.

14 I.5.10.3. Metode Cross section. Dalam metode ini, tampang melintang diambil tegak lurus terhadap sumbu proyek dengan interval jarak tertentu. Volume tubuh tanah yang dibatasi dua buah penampang yang berurutan dapat dihitung apabila luas dari penampang-penampang tersebut diketahui. Volume tubuh tanah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus-rumus yang telah disederhanakan sehingga perhitungannya lebih mudah dan cepat antara lain (Basuki 2006): 1. Rumus Tampang Rata-Rata (Mean Areas) Dalam rumus ini volume didapat dengan mengalikan luas rata-rata dari tampang yang ada dengan jarak antara tampang awal dan akhir. Apabila tampang-tampang pada Gambar I.7. adalah A1, A2, A3,..., An-1, An, dan jarak tampang A1 ke An = D, maka: Volume = V = ( A 1+A 2 +A 3 + +A n 1 +A n ). D...(I.6) n Gambar I.7. Penentuan volume dengan Mean Areas 2. Rumus Dua Tampang (End Areas) Apabila A1 dan A2 pada Gambar I.8. adalah luas tampang yang berjarak D, maka volume antara dua tampang tersebut adalah: V = D. A 1+A 2 2... (I.7)

15 Gambar I.8. Penentuan volume dengan End Areas Rumus ini berlaku jika tampang tengah yang ada di antara penampang A1 dan A2 merupakan rata-rata dari keduanya. Seandainya tidak, maka penggunaan rumus tersebut harus dikoreksi (koreksi prismoida). Apabila tampang-tampang di sini banyak dan jarak-jarak antar tampang bervariasi misal D1, D2, D3, dst, maka: Volume = V = D 1 (A 1+A 2 ) 2 + D 2 (A 2+A 3 ) + D 3 (A 3+A 4 ) +... 2 2 Apabila D1 = D2 = D3 dan seterusnya = D, V = D. { A 1+A n 2 + A 2 + A 3 + + A n 1 }... (I.8) Rumus ini didasarkan pada rumus trapesium untuk volume. I.5.11. Digital Terrain Model (DTM) Digital terrain model adalah model medan digital yang hanya memuat elevasi fitur-fitur alami permukaan tanah terbuka tanpa obyek penutup di atasnya baik alami maupun buatan manusia (Intermap 2012). Menurut Li dan Gold (2005) DTM adalah representasi permukaan tanah secara statistik yang kontinyu dari titik-titik yang telah diketahui koordinat X, Y dan Z-nya pada suatu sistem koordinat tertentu. Istilah DTM ini pertama kali diperkenalkan oleh Miller dan La Flame pada tahun 1958. Sejak itu istilah ini banyak digunakan dan dikembangkan di bidang surveying, geologi, geografi, sipil dan perencanaan serta disiplin ilmu kebumian lainnya. Pendekatan pemodelan DTM dapat diklasifikasikan berdasarkan banyak kriteria, salah satunya berdasarkan bentuk geometri dasar.

16 1.5.11.1. Point-Based Surface Modelling. Jika suatu titik yang memiliki ketinggian digunakan untuk menghasilkan permukaan DTM, maka hasilnya berupa permukaan planar yang bertingkat. Pada tiap titik, permukaan planar bertingkat dapat dibangun. Jika permukaan planar dibangun dari sebuah data titik individual yang digunakan untuk mewakilkan daerah yang kecil di sekitar titik, maka seluruh permukaan DTM dapat dibentuk dengan serangkaian permukaan terputus yang berdekatan. Bentuk keseluruhan permukaan akan terputus seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.9. Pendekatan ini sangat sederhana, satu-satunya kesulitan adalah saat menentukan pembatas di antara daerah yang berdekatan. Secara teoritis, pendekatan ini cocok baik untuk pola data yang teratur maupun yang tidak teratur, karena hanya terkait dengan titik-titik individu. Bagaimanapun, selama proses penentuan batas-batas wilayah dipengaruhi oleh setiap titik yang berdekatan, perhitungan akan jauh lebih sederhana jika pola permukaan dibuat teratur seperti kotak persegi, segitiga sama sisi, segi enam dan lain sebagainya digunakan. Walaupun pendekatan ini terlihat lebih mudah dilakukan dalam memodelkan permukaan, namun tidak terlalu praktis berhubung hasil yang terbentuk saling terputus pada permukaannya. Pendekatan ini sering digunakan pada pekerjaan tertentu seperti perhitungan total volume air, batubara dan lain sebagainya. Gambar I.9. Point-based surface modelling (Li dan Gold 2005) 1.5.11.2. Triangle-Based Modelling. Jika semakin banyak titik yang digunakan, maka semakin kompleks bentuk permukaan yang dapat dibangun. Dalam pendekatan ini, tiga titik data merupakan persyaratan minimal untuk membentuk sebuah permukaan. Ketiga titik tersebut dapat membentuk segitiga spasial, lalu permukaan planar yang miring dapat dibangun. Jika permukaan tersebut ditentukan oleh tiap

17 segitiga yang berguna untuk mewakili daerah yang hanya dibatasi oleh segitiga tersebut, maka keseluruhan permukaan DTM dapat dibentuk oleh rangkaian segitigasegitiga yang saling berdekatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar I.10. Gambar I.10. Pembentukan TIN (GEMCOM 1997) Konsep pembentukan dengan pendekatan Triangle Based Modelling sama dengan konsep TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah suatu metode untuk merepresentasikan suatu permukaan dalam bentuk jaring-jaring segitiga. TIN dibentuk dengan menggabungkan titik-titik yang telah diketahui nilai koordinatnya menjadi rangkaian segitiga. Pembentukan TIN biasanya menggunakan delaunay triangulation. Delaunay triangulation merupakan rangkaian titik-titik segitiga yang dilewati oleh lingkaran dan di dalam lingkaran tersebut tidak terdapat titik lain (Li dan Gold 2005). Bentuk delaunay triangulation dapat dilihat pada Gambar I.12 (a), dan pada Gambar I.11 (b) bukan merupakan bentuk delaunay triangulation karena masih terdapat titik lain di dalam lingkaran. (a) (b) Gambar I.11. (a) Bentuk delaunay triangulation (b) Bukan merupakan bentuk delaunay triangulation (Anggoro 2008)

18 I.5.11.3. Grid based Modelling. Pada grid-based modelling, titik-titik tersebar secara merata dan teratur pada seluruh permukaan model digital (DTM) dalam interval tertentu. Titik DTM dapat berupa titik sampel maupun titik hasil interpolasi. Model permukaan digital yang dibentuk oleh grid yang menghubungkan titik-titik DTM dapat dilihat pada Gambar I.12. Gambar I.12. Grid-based Surface Modelling (Li dan Gold 2005) I.5.12. GEMCOM Surpac 6.1.2 Gemcom Surpac adalah software yang paling populer di dunia geologi dan perencanaan tambang yang mendukung operasi di bawah tanah dan proyek-proyek eksplorasi di lebih dari 90 negara. Perangkat lunak ini memberikan efisiensi dan akurasi melalui kemudahan penggunaan, 3D grafis yang bagus dan alur kerja otomatis yang dapat disesuaikan dengan proses khusus perusahaan dan data yang dientri (GEMCOM, 1997). Surpac merupakan piranti lunak (software) keluaran GEMCOM yang diperuntukkan untuk pengolahan data geologi, pertambangan, serta perencanaan tambang. Surpac menyediakan berbagai fitur yang sangat berguna dalam proses pengolahan dan analisa data data tambang. Kemampuan utama Surpac adalah perhitungan volume dan pembuatan rancangan tambang, misalnya pembuatan final wall, perencanaan jalan, analisa progres tambang, dan perencanaan kegiatan eksploitasi bahan tambang. Surpac merupakan perangkat lunak yang komprehensif, meliputi: drillhole manajemen data, pemodelan geologi, blok model, geostatistik, desain tambang, perencanaan tambang, estimasi sumber daya, dan banyak lagi. Semua tugas di Surpac

19 dapat dilakukan secara otomatis dan dapat disesuaikan dengan keperluan yang bersifat khusus sebab Surpac bersifat modular dan mudah disesuaikan untuk berbagai keperluan pekerjaan tambang dan topografi. Surpac mengurangi duplikasi data dengan menghubungkan ke database relasional sehingga penyimpanan dan pemanggilan data dari tabel dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah (GEMCOM, 1997). Selain itu Surpac juga menampilkan data secara tiga dimensi dan dapat dirotasi dengan mudah sehingga data dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Surpac berinteraksi dengan format file umum dari GIS, CAD, dan sistem lain serta pilihan import data dan export data ke format lain mudah. Kemampuan ini menambah fleksibilitas data hasil olahan Surpac sehingga dapat diolah ataupun diubah dalam format software lain. Dalam memulai pengolahan data dengan perangkat lunak Surpac, pengguna harus terlebih dahulu menentukan lokasi penyimpanan data pada sebuah direktori penyimpanan yang disebut work directory. Dalam perangkat lunak Surpac, data yang akan diproses harus dalam format string (*.str). Data dengan format string dapat diklasifikasikan menjadi nomor nomor string yang divisualisasikan dengan warna yang berbeda seperti layer dalam aplikasi CAD. Pengklasifikasian ini berfungsi untuk memudahkan seleksi data, editing, dan penyimpanan. 1.5.12.1. Stringfile. String adalah rangkaian koordinat 3 dimensi yang menggambarkan beberapa bentuk fisik tertentu. Konsep string sama dengan garis pada sebuah sketsa yang menggambarkan fitur-fitur penting. Dalam perangkat lunak Surpac, semua bentuk titik tersimpan dalam rangkaian string dan memiliki nomor string tersendiri. Nomor string tersedia pada kisaran angka 1 hingga 32.000. String terbagi dalam beberapa jenis yaitu: a. Open string (string terbuka) yang merupakan suatu garis lurus atau garis-garis yang berbentuk kurva. Jika terdapat lebih dari satu string pada satu file dengan nomor string yang sama, maka disebut open segment (segmen terbuka) dan memiliki nomor segmen tersendiri. b. Closed string (string tertutup) sama seperti lingkaran, persegi atau berbagai poligon tak beraturan lainnya. String awal dan terakhir jenis string ini memiliki koordinat yang sama. Jika terdapat lebih dari satu string tertutup

20 pada suatu file dengan nomor string yang sama, maka disebut closed segments (segmen tertutup) dan memiliki nomor segmen tersendiri. c. Spotheight string terdiri dari kumpulan titik-titik acak yang saling dihubungkan oleh satu nomor string. Jenis string ini biasanya digunakan untuk mencatat titik-titik elevasi pada sebuah permukaan atau koordinatkoordinat lubang-lubang bor. 1.5.12.1. Pembuatan DTM dan Boundary. Surpac mempunyai kemampuan dalam membentuk DTM dari data kontur atau data ketinggian dalam format.str yang akan diubah menjadi.dtm. Beberapa tool yang digunakan dalam pembuatan DTM dan boundary pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : create dtm from layer, create dtm from string file, clip dtm by boundary string, line of intersect between 2 dtms, drape string over dtm, drape segment over dtm, dan drape string range over dtm. I.5.12.3. Pembentukan Cross Section dengan Surpac. Pembentukan cross section pada perangkat lunak Surpac sangat bergantung dengan bentuk DTM yang ada. Cross section dapat dibentuk setelah centreline terbentuk. Centreline merupakan garis lurus yang ditarik memanjang meliputi bagian tengah sebuah DTM. Surpac akan mendefenisikan centreline yang telah terbentuk tersebut sebagai sumbu proyek. Gambar I.13. Pembentukan cross section dengan Surpac Cross section akan membentuk sudut 90 terhadap centreline dan membagi-bagi DTM dalam beberapa section dengan jarak yang ditentukan misalnya 10 meter. Cross

21 section yang telah terbentuk tersebut memiliki koordinat yang mengacu pada centreline. Koordinat easting dan northing tiap titik tersimpan pada tabel yang nantinya dapat diubah dari sistem koordinat lokal menjadi sistem koordinat yang sebenarnya (GEMCOM 1997).

22