DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1948

Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1946 TENTANG PENGADILAN TENTARA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA. Presiden Republik Indonesia Serikat,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1947 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH TENTARA SEMENTARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SELAKU PENGUASA PERANG TERTINGGI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1959 TENTANG PANGKAT-PANGKAT MILITER KHUSUS, TITULER DAN KEHORMATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1953 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA ANGKATAN PERANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Indeks: PERATURAN GAJI MILITER PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK IDNONESIA NOMOR 16 TAHUN 1953 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA ANGKATAN PERANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT.

U 8/1955, PENETAPAN UNDANG UNDANG DARURAT NO. 10 TAHUN 1951 TEN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1955 (8/1955)

GUBERNUR MILITER IBU KOTA. PENCABUTAN KEMBALI. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 4 TAHUN 1950 (4/1950) TENTANG PENERIMAAN ANGGAUTA ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBENTUKAN MAHKAMAH BERSAMA ANGKATAN BERSENJATA MAHKAMAH BERSAMA ANGKATAN BERSENJATA. PEMBENTUKAN.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PEMBERHENTIAN MILITER SUKARELA DARI DINAS TENTARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

mempunyai sesuatu pangkat yang sama atau disamakan, pada umumnya diatur menurut lamanya waktu sejak mulai berlakunya pengangkatan yang bersangkutan da

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1952 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PINJAMAN DARURAT" SEBAGAI UNDANG- UNDANG

UU 1/1950, SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1952 TENTANG PERATURAN DEWAN KEHORMATAN MILITER. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG MILITERISASI KEPOLISIAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Indeks: MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG. ANGGOTA- ANNGOTA/PIMPINAN. TINDAKAN KEPOLISIAN. TATA CARA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1957 TENTANG SUSUNAN KEMENTERIAN PERTAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEROBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1950 (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1950 NO. 52)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1948 TENTANG SUMPAH JABATAN BAGI PEGAWAI NEGERI DAN ANGGOTA-ANGGOTA ANGKATAN PERANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1957 TENTANG SUSUNAN KEMENTERIAN PERTAHANAN. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Tentang: ACARA PIDANA KHUSUS UNTUK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACARA PIDANA KHUSUS. ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1957 TENTANG ANGGOTA ANGKATAN PERANG BERDASARKAN IKATAN DINAS SUKARELA (MILITER SUKARELA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1960 TENTANG ORGANISASI PEMBANTU PENGUASA DALAM KEADAAN BAHAYA DI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014

Presiden Republik Indonesia, Menimbang: perlu mengatur kembali pemberian Honorarium kepada para penjabat pada Pengadilan/Kejaksaan Ketentaraan;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1950 TENTANG MENETAPKAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN/KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN" (UNDANG-UNDANG DARURAT NR 16. TAHUN 1950), SEBAGAI UNDANG-UNDANG FEDERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang: bahwa Pemerintah dengan mempergunakan haknya termaktub dalam Pasal 139 ayat (1) Konstitusi Sementara telah menetapkan "Undang-undang Darurat tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan" (Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1950). Menimbang: bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyutujui isi Undang-undang Darurat itu dengan beberapa perubahan dan tambahan yang dimajukan oleh Pemerintah dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Mengingat: Pasal 159, Pasal 140 ayat (4) jo. Pasal 127 sub b Konstitusi Sementara; Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MENETAPKAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN" SEBAGAI UNDANG-UNDANG FEDERAL. Pasal I Peraturan-peraturan yang termaktub dalam "Undang-undang Darurat tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan" (Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1950) ditetapkan sebagai Undang-undang federal, dengan perubahan-perubahan sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB I PERATURAN UMUM Pasal 1 Segala peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan yang ada di Indonesia sampai berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1950, dihapuskan dan diganti oleh Undangundang ini. Pasal 2 Kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh pengadilan ketentaraan, yaitu: 1. Pengadilan-Tentara; 2. Pengadilan-Tentara-Tinggi; 3. Mahkamah-Tentara-Agung. Pasal 3 (1) Yang masuk kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan ialah memeriksa dan memutus perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh: a. seorang yang pada waktu itu adalah anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat; b. seorang yang pada waktu itu adalah orang yang dengan Undang-undang atau dengan Peraturan-Pemerintah ditetapkan sama dengan anggauta Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat yang dimaksudkan dalam sub a;

c. seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat oleh atau berdasarkan Undang-undang; d. seorang yang tidak termasuk golongan a, b atau c, tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan. (2) Dengan Undang-undang lain ditetapkan peraturan tentang hukum yang harus dilakukan atau diperhatikan dalam pemeriksaan dan pemutusan tersebut. Pasal 4 Kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang termasuk golongan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 sub a, b, dan c, bersama-sama dengan orang yang tidak termasuk golongan itu, diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jikalau menurut penetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan. Pasal 5 (1) Perselisihan tentang kekuasaan antara pengadilan dari lingkungan peradilan ketentaraan dan pengadilan dari lingkungan peradilan umum, kecuali perselisihan tentang kekuasaan yang termaksud dalam ayat (2) diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia. (2) Perselisihan tentang kekuasaan antara Mahkamah-Tentara-Agung dan Mahkamah Agung Indonesia diputuskan oleh Presiden. Pasal 6 Kekuasaan kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh: 1. Kejaksaan-Tentara; 2. Kejaksaan-Tentara-Tinggi; 3. Kejaksaan-Tentara-Agung. Pasal 7 Kejaksaan dalam peradilan ketentaraan berwajib melaksanakan yang dikehendaki oleh Undang-undang, menjalankan pengusutan dan penuntutan atas kejahatan dan pelanggaran yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, dan mengusahakan menjalankan putusan-putusan pengadilan tersebut. BAB II PENGADILAN DAN KEJAKSAAN TENTARA Pasal 8 (1) Tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan-Tentara beserta daerah hukumnya masing-masing ditetapkan oleh Menteri Kehakiman bersama-sama Menteri Pertahanan. (2) Di samping tiap-tiap Pengadilan-Tentara ada Kejaksaan-Tentara yang daerah hukumnya sama. Pasal 9 (1) Jika tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan, maka Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya termasuk tempat yang ditunjuk sebagai tempat kedudukan Pengadilan-Tentara, karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara; begitu juga Panitera Pengadilan Negeri tersebut, karena jabatannya menjadi Panitera Pengadilan-Tentara. (2) Jika tidak diadakan Ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan, maka Kepala Kejaksaan Negeri yang ada di samping Peradilan Negeri tersebut, karena jabatannya menjadi Jaksa-Tentara pada Kejaksaan-Tentara tersebut. (3) Menteri Kehakiman menunjuk seorang atau lebih Ketua-Pengganti dari Pengadilan-Tentara dan seorang atau lebih Jaksa-Pengganti dari Kejaksaan-Tentara. (4) Apabila Panitera yang dimaksudkan dalam ayat (1) berhalangan, maka ia juqa untuk pekerjaannya pada Pengadilan-Tentara diwakili oleh pegawas yang mewakilinya pada Pengadilan Negeri atau oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ketua atau Ketua-Pengganti Pengadilan-Tentara itu. (5) Tiap-tiap Pengadilan-Tentara mempunyai beberapa Hakim-perwira yang serendah-rendahnya berpangkat kapten serta yang diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.

(6) Di mana tidak ada pengadilan yang bernama Pengadilan Negeri, maka sebagai Pengadilan Negeri dianggap pengadilan, yang pada umumnya kekuasaanya sama dengan Pengadilan Negeri. Pasal 10 (1) Pengadilan-Tentara mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara kejahatan dan pelenggaran yang dilakukan oleh anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat yang berpangkat kapten ke bawah: a. dan termasuk suatu pasukan yang ada di dalam daerah hukumnya: b. di dalam daerah hukumnya. (2) Apabila lebih dari satu Pengadilan-Tentara berkuasa mengadili suatu perkara-perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka Pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu dari Kejaksaan-Tentara, harus mengadili perkara tersebut. (3) Dari syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) maka syarat b adalah lebih kuat dari pada syarat a. (4) Pengadilan-Tentara bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara dengan Ketua atau Ketua-Penggantinya sebagai Ketua, dua Hakim-perwira sebagai anggota, seorang jaksa-tentara atau jaksa-penggantinya dan seorang Panitera atau penggantinya. (5) Hakim-perwira yang dimaksudkan dalam ayat (4) harus kedua-duanya berkedudukan militer lebih tinggi dari pada kedudukan militer terdakwa yang perkaranya harus diadili. (6) Apabila dalam suatu perkara di antara Hakim-perwira itu tiada terdapat dua perwira yang memenuhi syarat tersebut dalam ayat (5), maka komandan tertinggi dari daerah-hukum Pengadilan-Tentara yang bersangkutan, hanya untuk mengadili perkara itu, mengangkat perwira secukupnya, yang memenuhi syarat tadi, sebagai Hakim-perwira. (7) Hakim-perwira ini dengan sendirinya dianggap berhenti apabila telah dijatuhkan keputusan dalam perkara tersebut. Pasal 11 (1) Pengadilan-Tentara bersidang di tempat kedudukannya atau, jika perlu untuk keperluan dinas, di tempat lain dalam daerah-hukumnya. (2) Jika keadaan memaksa maka Ketua Mahkamah-Tentara-Agung dapat menetapkan peraturan yang menyimpang dari yang termuat dalam ayat (1). Pasal 12 (1) Pembagian pekerjaan antara Ketua dan Ketua-Pengganti sesuatu Pengadilan-Tentara diatur oleh Ketua. (2) Pembagian pekerjaan antara Jaksa-Tentara dan penggantinya dalam sesuatu Kejaksaan-Tentara diatur oleh Jaksa-Tentara. Pasal 13 Dari segala keputusan Pengadilan-Tentara oleh terdakwa untuk diri sendiri atau oleh Jaksa-Tentara atau Jaksa- Tentara-Pengganti yang bersangkutan untuk seorang atau beberapa orang terdakwa dapat diminta pemeriksaan ulangan oleh Pengadilan-Tentara-Tinggi yang berkuasa dalam daerah-hukum Pengadilan-Tentara itu, kecuali kalau terdakwa dibebaskan seluruhnya (algehele vrijspraak). BAB III PENGADILAN-DAN KEJAKSAAN-TENTARA-TINGGI Pasal 14 (1) Tempat kedudukan sesuatu Pengadilan-Tinggi ditetapkan oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan menjadi tempat kedudukan suatu Pengadilan-Tentara-Tinggi, yang daerah-hukumnya ditetapkan juga oleh Menterimenteri tersebut. (2) Di samping tiap-tiap Pengadilan-Tentara-Tinggi ada Kejaksaan Tentara-Tinggi yang daerah-hukumnya sama. (3) Di mana tidak ada Pengadilan yang bernama Pengadilan-Tinggi, maka sebagai Pengadilan-Tinggi dianggap pengadilan yang pada umumnya kekuasaannya sama dengan Pengadilan-Tinggi. Pasal 15 (1) Jikalau tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan maka Ketua Pengadilan-Tinggi yang tersebut dalam Pasal 14 ayat (1) karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan-Tentara-

Tinggi tersebut, begitu juga Panitera Pengadilan-Tinggi tersebut karena jabatannya menjadi Panitera Pengadilan- Tentara-Tinggi itu. (2) Menteri Kehakiman mengangkat dan memperhentikan seorang Jaksa-Tentara-Tinggi pada kejaksaan-tentara- Tinggi yang ada di samping Pengadilan-Tentara-Tinggi tersebut. (3) Menteri Kehakiman menunjuk seorang atau lebih Ketua-Pengganti pada Pengadilan-Tentara-Tinggi dan seorang atau lebih Jaksa Pengganti pada Kejaksaan-Tentara-Tinggi. (4) Apabila Panitera yang dimaksudkan dalam ayat (1) berhalangan, maka ia juga untuk pekerjaannya pada Pengadilan-Tentara-Tinggi diwakili oleh pegawai yang mewakilinya pada Pengadilan-Tinggi. (5) Tiap-tiap Pengadilan-Tentara-Tinggi mempunyai beberapa Hakim-perwira yang serendah-rendahnya berpangkat letnan-kolonel serta yang diangkat dan diperhentikan oleh Presiden. Pasal 16 (1) Pengadilan-Tentara-Tinggi memutus dalam tingkat pertama perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang terdakwanya atau salah satu dari terdakwanya pada waktu melakukannya itu seorang perwira yang berpangkat mayor ke atas. (2) Ketentuan-ketentuan untuk Pengadilan-Tentara yang termuat dalam Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) berlaku juga untuk Pengadilan Tentara-Tinggi. (3) Pengadilan-Tentara-Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara dengan Ketua atau Ketua- Penggantinya sebagai ketua dan dua Hakim-perwira sebagai anggota, seorang jaksa-tentara-tinggi atau jaksa Penggantinya dan seorang Panitera atau penggantinya. (4) Hakim-perwira yang dimaksudkan dalam ayat (3) harus kedua-duanya berkedudukan militer lebih tinggi dari pada kedudukan militer terdakwa yang perkaranya harus diadili. (5) Apabila dalam suatu perkara di antara Hakim-perwira itu tiada terdapat dua perwira yang memenuhi syarat tersebut dalam ayat (4), maka Presiden, hanya untuk mengadili perkara itu, mengangkat perwira-perwira secukupnya yang memenuhi syarat tadi, sebagai Hakim perwira. (6) Hakim-perwira ini dengan sendirinya dianggap berhenti apabila ia telah menandatangani surat keputusan dalam perkara tersebut. Pasal 17 (1) Pengadilan-Tentara-Tinggi memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat kedua segala perkara-perkara yang telah diputus oleh Pengadilan-Tentara dalam daerah-hukumnya yang diminta pemeriksaan ulangan. (2) Dalam pemeriksaan ulangan ini Pengadilan-Tentara-Tinggi memeriksa dan memutus dalam rapat tertutup (rapat hakim) dengan Ketua atau Ketua-Penggantinya sebagai Ketua, dua anggota perwira dan seorang panitera atau penggantinya. Pasal 18 (1) Pengadilan-Tentara-Tinggi memeriksa dan memutus dalam tingkat pertama dan juga terachir perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara beberapa Pengadilan-Tentara dalam daerah hukumnya. (2) Peraturan dalam Pasal 17 ayat (2) berlaku juga untuk pemeriksaan dan pemutusan ini. Pasal 19 (1) Pengadilan-Tentara-Tinggi bersidang di tempat kedudukannya atau jika perlu untuk kepentingan dinas di tempat lain dalam daerah-hukumnya. (2) Jika keadaan memaksa, maka Ketua Mahkamah-Tentara-Agung dapat menetapkan peraturan yang menyimpang dari yang termuat dalam ayat (1). Pasal 20 (1) Pembagian pekerjaan antara Ketua dan Ketua-Pengganti sesuatu Pengadilan-Tentara-Tinggi diatur oleh Ketua. (2) Pembagian pekerjaan antara Jaksa-Tentara-Tinggi dan Jaksa-Penggantinya sesuatu Kejaksaan-Tentara-Tinggi diatur oleh Jaksa-Tentara-Tinggi. Pasal 21 Dari segala keputusan Pengadilan-Tentara-Tinggi dalam tingkat pertama yang tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh Jaksa-Tentara-Tinggi atau Jaksa-Penggantinya

yang bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Mahkamah-Tentara-Agung. BAB IV MAHKAMAH DAN KEJAKSAAN TENTARA AGUNG Pasal 22 (1) Mahkamah-Tentara-Agung berkedudukan di tempat kedudukan Mahkamah Agung Indonesia dan daerahhukumnya ialah seluruh daerah Negara Republik Indonesia Serikat. (2) Di samping Mahkamah-Tentara-Agung ada kejaksaan-tentara-agung yang daerah-hukumnya sama. Pasal 23 (1) Ketua, Ketua-Muda dan para Hakim Mahkamah Agung Indonesia karena jabatannya menjadi, Ketua, Ketua- Muda dan Hakim Mahkamah-Tentara-Agung. (2) Selain dari pada para Hakim tersebut dalam ayat (1) ada beberapa Hakim-perwira yang serendah-rendahnya berpangkat kolonel serta yang diangkat atas anjuran Dewan Perwakilan Rakyat oleh Presiden dan diperhentikan oleh Presiden. (3) Jaksa-Agung karena jabatannya menjadi Jaksa-Tentara-Agung. (4) Menteri Kehakiman menunjuk seorang atau lebih Jaksa-Pengganti pada Kejaksaan-Tentara-Agung. (5) Panitera Mahkamah Agung Indonesia karena jabatannya menjadi Panitera Mahkamah-Tentara-Agung. (6) Apabila Panitera tersebut berhalangan, maka ia diwakili oleh pegawai yang berhak mewakilinya pada Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 24 (1) Mahkamah-Tentara-Agung bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara dengan Ketua atau salah seorang dari Ketua-Mudanya atau salah seorang Hakim-ahli-hukum sebagai Ketua, dua Hakim-perwira sebagai anggota, Jaksa-Tentara-Agung atau Jaksa-Penggantinya, dan seorang Panitera atau penggantinya. (2) Peraturan untuk Pengadilan-Tentara-Tinggi yang termuat dalam Pasal 16 ayat (4), (5) dan (6) berlaku juga untuk Mahkamah-Tentara-Agung. Pasal 25 (1) Pembagian pekerjaan antara Ketua, para Ketua-Muda dan para Hakim pada Mahkamah-Tentara-Agung diatur oleh Ketua. (2) Pembagian pekerjaan antara Jaksa-Tentara-Agung dari para Jaksa-Pengganti pada Kejaksaan-Tentara-Agung diatur oleh Jaksa-Tentara Agung. Pasal 26 (1) Pengawasan atas Pengadilan-Pengadilan-Tentara dan Pengadilan-Pengadilan-Tentara-Tinggi dalam hal melakukan peradilan diserahkan kepada Mahkamah-Tentara-Agung. (2) Mahkamah-Tentara-Agung menyelenggarakan akan berlakunya peradilan dengan saksama dan seyogyanya. (3) Tingkah-laku dan tindakan badan-badan Kehakiman tersebut dalam ayat (1) dan para Hakim badan-badan Kehakiman itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah-Tentara-Agung. Untuk itu Mahkamah-Tentara-Agung guna kepentingan jawatan berhak memberi peringatan-peringatan, tegorantegoran dan petunjuk-petujuk yang dipandang perlu dan berguna kepada badan-badan Kehakiman dan para Hakim itu, baik dengan surat sendiri-sendiri, maupun dengan surat edaran. Pasal 27 Pengawasan yang serupa dengan yang tersebut dalam Pasal 26 ayat (3) oleh Jaksa-Tentara-Agung dilakukan terhadap para Jaksa-Tentara dan polisi tentara dalam menjalankan penyusutan dan penuntutan atas kejahatan dan pelanggaran. Pasal 28 Jika keadaan memaksa, maka Mahkamah-Tentara-Agung dan Jaksa-Tentara-Agung masing-masing dapat menetapkan, bahwa untuk sesuatu atau beberapa daerah, pengawasan yang termaktub dalam Pasal 26 dan Pasal 27

dijalankan oleh Pengadilan-Tentara-Tinggi dan Jaksa pada Kejaksaan-Tentara-Tinggi, masing-masing untuk daerahhukum yang bersangkutan. Pasal 29 Mahkamah-Tentara-Agung pada tingkat peradilan pertama dan juga terakhir memutuskan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili: ke 1: antara semua Pengadilan-Tentara yang tempat kedudukannya tidak sedaerah-hukum sesuatu Pengadilan- Tentara-Tinggi; ke 2: antara satu Pengadilan-Tentara-Tinggi dan lain Pengadilan-Tentara Tinggi; ke 3: antara suatu Pengadilan-Tentara-Tinggi dan sesuatu Pengadilan-Tentara. Pasal 30 Mahkamah-Tentara-Agung memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat kedua segala perkara yang telah diputus oleh Pengadilan-Tentara-Tinggi dalam peradilan tingkat pertama dan yang dimintakan pemeriksaan ulangan. Pasal 31 (1) Mahkamah-Tentara-Agung pada tingkat peradilan pertama dan juga terakhir memeriksa dan memutuskan perkara kejahatan dan pelenggaran yang berhubung dengan jabatannya dilakukan oleh: 1. Sekretaris-Jenderal Kementerian Pertahanan, jika jabatan ini dipangku oleh seorang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat; 2. Panglima Besar; 3. Kepala Staf Angkatan Perang; 4. Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara. (2) Dalam pengertian kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan berhubung dengan jabatannya, termasuk juga kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dalam keadaan memberatkan kesalahannya terdakwa yang termaksud dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. BAB V ATURAN PENUTUP Pasal 32 Ketua, Ketua-Muda dan para Hakim Mahkamah-Tentara-Agung yang bukan perwira, Ketua dan Ketua-Pengganti Pengadilan-Tentara-Tinggi dan Pengadilan-Tentara, Jaksa-Tentara-Agung dan para Jaksa dan Jaksa-Pengganti pada Kejaksaan-Tentara-Tinggi dan Kejaksaan-Tentara dan para Panitera badan-badan Kehakiman tersebut oleh Presiden diberi pangkat militer tituler sesuai dengan kedudukan masing-masing. Pasal 33 Jika perlu berhubung dengan keadaan luar biasa, maka Presiden berhak menunjuk badan peradilan ketentaraan lain yang sudah ada dari pada badan peradilan ketentaraan yang berwajib menurut Undang-undang ini untuk mengadili sesuatu perkara. Pasal II Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang tentang susunan kekuasaan badan-badan peradilan ketentaraan" dan mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 1950. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat. Disahkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 1950 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, SUKARNO.

MENTERI PERTAHANAN, HAMENGKU BUWONO IX. MENTERI KEHAKIMAN, SUPOMO Diumumkan di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1950 MENTERI KEHAKIMAN, SUPOMO Lembaran Negara Republik Indonesia TAHUN 1950 NOMOR 52