BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijakan fiskal yang sering juga disebut politik fiskal atau fiscal policy,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penelitian terhadap pola atau arah hubungan kausalitas antara tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam pengertian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pendapatan riil. Kedua peningkatan tersebut biasanya dapat dihitung

Teori Pengeluaran Pemerintah. Sayifullah, SE., M.Akt. Materi Presentasi. Teori Makro Rostow dan Musgrave Wagner Peacock dan Wiseman Teori Mikro

BAB II URAIAN TEORITIS. pengeluaran (G = T). Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEORI PENGELUARAN NEGARA. Dwi Mirani, S.IP

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

TEORI PENGELUARAN NEGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya ke berbagai

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

S U M B E R P E N E R I M A A N N E G A R A

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Model Keseimbangan Pengeluaran dengan Campur Tangan Pemerintah

BAB II URAIAN TEORITIS. dan nomy artinya aturan atau undang-undang, jadi autonomy artinya hak untuk

PEMERINTAH KOTA SURABAYA RINCIAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Para peneliti membuat definisi sendiri karena tidak adanya definisi Fiscal

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

Pertemuan ke: 03 KEBIJAKAN FISKAL. POLITIK KEUANGAN NEGARA (3 SKS) Pengampu: Miftah Adhi Ikhsanto, S.IP, MiOP Amirudin, S.IP, M.Ec.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional didasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya ke berbagai

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

ANALISIS KAUSALITAS PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DI KOTA TEBING TINGGI DENGAN METODE GRANGER CAUSALITY

BAB I PENDAHULUAN. pulihnya perekonomian Amerika Serikat. Disaat perekonomian global mulai

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dan kemasyarakatan harus sesuai dengan aspirasi dari

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III TINJAUAN TEORI. senantiasa berpacu untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. (PAD). Hampir semua dana dari APBD yang digunakan untuk membiayai

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

PEREKONOMIAN INDONESIA

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. Halaman BAB III PENUTUP... 13

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Fiskal Pemerintah Kebijakan fiskal yang sering juga disebut politik fiskal atau fiscal policy, diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya parekonomian. Oleh karena anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan berupa hasil pungutan pajak dan pengeluaran pemerintah yang dapat berupa government expenditure, maka sering pula dikatakan bahwa kebijakan fiskal meliputi semua tindakan pemerintah yang berupa tindakan memperbesar atau memperkecil jumlah pungutan pajak dan memperbesar atau memperkecil pengeluaran pemerintah. Instrument yang penting dalam mempengaruhi kebijakan fiskal adalah pajak dan pengeluaran pemerintah (Reksoprayitno, 1985). 2.2. Komponen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Di atas telah dikemukakan bahwa kebijakan fiskal meliputi semua tidakan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian suatu daerah melalui anggaran belanja daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrument utama kebijakan fiskal yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian dan keputusan-keputusan investasi yang dilakukan oleh para pelaku pasar. Hal ini disebabkan bahwa APBD secara umum menjabarkan rencana kerja dan kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan, alokasi sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, distribusi pendapatan dan kekayaan melalui intervensi kebijakan dalam mempengaruhi permintaan dan penawaran faktor produksi serta stabilisasi ekonomi makro. Dengan demikian strategi dan pengalolaan APBD menjadi isu yang sangat sentral dan penting dalam perekonomian suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan pembiayaan anggaran yang semakin besar setiap tahunnya. 2.2.1. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 Berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 Tahun 2002, tentang pedoman pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta tata cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah pada: BAB I ketentuan Umum Pasal 1 : Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang. Termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

Penerimaan Daerah adalah semua penerimaan Kas Daerah dalam periode anggaran tahun tertentu. Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode anggaran tahun tertentu yang menjadi beban daerah. Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah. BAB II Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagian pertama; Struktur APBD pasal 2: Struktur APBD merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua penerimaan yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi penerimaan kas daerah. Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua pengeluaran yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi Pengeluaran Kas Daerah. Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

2.3. Penerimaan Pajak 2.3.1. Defenisi Penerimaan Pajak Defenisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak preogratif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Dalam menetapkan kebijakan anggaran baik anggaran defisit maupun anggran surplus, tidak terlepas dari peran pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam penerapannya anggaran surplus, pemerintah dapat meningkatkan pajak khususnya pajak pengahasilan atau pajak tidak dinaikkan tetapi pengeluaran pemerintah dikurangi. Begitu juga dalam penerapan anggaran defisit, pemerintah dapat menurunkan tingkat pajak sehingga konsumsi masyarakat dapat meningkat dan gairah usaha juga meningkat. Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan daerah lain. Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (aquality), kesederhanaan (simplicity) dan keadilan (fairness) dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.

Langkah-langkah reformasi perpajakan yang selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun masih banyak mengahadapi kendala terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkah-langkah pembaharuan administrasi perpajakan (tax administrative reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan (Djamin, 1993). 2.3.2. Elemen-elemen Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri atas : a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan d. Lain-lain PAD yang sah

Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dirinci menjadi : a. Pajak Propinsi terdiri atas: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di Atas Air, (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. b. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas : (i) Pajak Hotel, (ii) Pajak Restoran, (iii) Pajak Hiburan, (iv) Pajak Reklame, (v) Pajak Penerangan Jalan, (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan (vii) Pajak Parkir. c. Retribusi dirinci menjadi: (i) Retribusi Jasa Umum, (ii) Retribusi Jasa Usaha, (iii) Retribusi Perijinan Tertentu. 2.4. Pengeluaran Pemerintah Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggran defisit. Dalam pengertian umum, anggaran seimbang adalah suatu kondisi dimana penerimaan sama dengan pengeluaran (G = T). Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan

(G < T) sedangkan anggaran defisit adalah anggaran dimana komposisi pengeluaran lebih besar daripada penerimaan (G > T). Anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi sedangkan defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka pengangguran, pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sampai dengan tahun 2004, rincian belanja pemerintah pusat dan daerah masih terdiri dari: (1) pengeluaran rutin dan (2) pengeluaran pembangunan. Namun sejak tahun 2005 mulai diterapkan penyatuan anggaran (unifiet budget) antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, serta pengklasifikasian anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja, organisasi, dan fungsi (Nota Keuangan dan RAPBD 2005). 2.4.1. Pengeluaran Rutin Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi, dan pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kegiatan operasional dan pemeliharaan asset negara, pemenuhan kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, perlindungan

kepada masyarakat miskin dan kurang mampu, serta menjaga stabilitas perekonomian (Djunasien dan Hidayat, 1989). Besarnya pengeluaran rutin dipengaruhi oleh berbagai langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam rangka pengelolaan keuangan negara dan stabilitas perekonomian, seperti perbaikan pendapatan aparatur pemerintah, penghematan pembayaran bunga utang, dan pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran. Kenaikan pengeluaran pemerintah terutama dari pos belanja pegawai yang dialokasikan untuk menaikkan gaji pegawai dan pensiunan. 2.4.2. Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan umum baik pembangunan secara fisik maupun non fisik. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang lebih stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam kaitan dengan pengelolaan APBD secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia, maka pencapaian sasaran-sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin (Nota Keuangan dan APBD, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, formulasi distribusi alokasi dan penentuan besarnya pengeluaran pembangunan memegang peranan penting dalam pencapaian target kebijakan fiskal.

Di samping itu, pengelolaan anggaran pembangunan juga harus tetap ditempatkan sebagai bagian yang utuh dari upaya menciptakan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang sehat, melalui upaya mengurangi secara bertahap peran pembiayaan yang bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan. Pembiayaan pembangunan rupiah dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, dan pinjaman program. Pengelolaan dana tersebut akan dialokasikan kepada departemen dan lembaga pemerintah non departemen di tingkat pemerintah daerah, yang diklasifikasikan ke dalam dana pembangunan yang dikelola oleh instansi pusat, dan dana pembangunan yang dikelola daerah (Djamin, 1993). Dalam rangka menutupi kesenjangan antara kebutuhan pembangunan dengan kemampuan dana dalam negeri, maka pembiayaan proyek masih tetap dibutuhkan. Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, pembiayaan pembangunan dengan dana yang bersumber dari luar negeri diupayakan untuk secara bertahap dikurangi. Untuk itu, pembiayaan proyek harus dimanfaatkan secara lebih optimal terutama bagi kegiatan ekonomi yang produktif dan dilaksanakan secara lebih transparan, efektif dan efisien. Dengan demikian, pilihan proyek-proyek yang pembiayaannya bersumber dari pinjaman luar negari harus dilakukan berdasarkan prioritas sehingga dapat mendukung pencapaian sasaran. Persentase pembiayaan proyek terhadap PDB terus diupayakan menurun sebagai cerminan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negari,

sekaligus mencerminkan adanya upaya untuk mencapai fiskal sustainability sebagai sasaran strategis dari APBD maupun APBN. Pembiayaan proyek dimanfaatkan untuk pembangunan sumberdaya manusia di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial dalam rangka mendukung program jaring pengaman sosial, penyediaan sarana dan prasarana transportasi, pembangunan di bidang pertanian, tenaga listrik, dan pengairan. Di samping itu juga akan dimanfaatkan untuk pengadaan prasarana pendukung hankam, telekomunikasi, dan pembangunan prasarana perkotaan. 2.5. Prinsip-prinsip Perpajakan Penerimaan daerah dari pajak selalu mendapat perhatian yang besar oleh karena dari sektor pajak timbul dua hal yang sebenarnya merupakan akibat dari adanya aktivitas pemerintah yaitu siapakah yang membayar pajak dan siapakah yang menderita beban pajak. Teori yang menganalisis pihak yang menderita beban pajak disebut teori insidens pajak (tax incidence theory) yaitu pihak yang menderita beban suatu pajak karena wajib pajak mungkin dapat menggeserkan beban pajak tersebut sebagian atau seluruhnya kepada orang atau pihak lain. Musgrave membedakan analisis insidens pajak menjadi tiga konsep yaitu : insidens pajak anggaran berimbang (balanced-budget incidence), insidens pajak diferensial (differential incidence) dan insidens pajak absolute (absolute incidence) (Mangkoesoebroto, 2001) :

2.5.1. Insidens Pajak Anggaran Berimbang (Balanced-Budget Incidence) Yang dimaksud dengan insidens pajak anggaran berimbang adalah pengaruh distributive suatu pajak terhadap pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari penerimaan-penerimaan pajak dalam jumlah yang sama. Konsep insidens pajak angngaran berimbang dapat dijelaskan sebagai berikut : kurva CC menunjukkan jumlah produksi maksimum x dan y yang dapat dihasilkan dengan menggunakan seluruh faktor-faktor produksi yang ada (Production Possibility Curve), dengan anggapan bahwa hanya kedua jenis barang tersebut yang dihasilkan dalam suatu perekonomian. Keseimbangan awal terjadi pada titik persinggungan kurva CC dengan kurva DD yang merupakan kurva indiferens sosial (social indifference curve). Y D C F E E 1 D E 2 0 Gambar 1. Insidens Pajak Anggaran Berimbang Sumber : Mangkoesoebroto, 2001 Y

Kemudian pemerintah akan membuat suatu program yang membutuhkan faktor-faktor produksi untuk membangun fasilitas publik. Akibatnya pemerintah harus mengambil faktor produksi yang sedang digunakan untuk memproduksi x dan y, sehingga program pemerintah tersebut akan menyebabkan produksi x dan y yang dapat dihasilkan menjadi berkurang. Keadaan ini ditunjukkan oleh kurva kemungkinan produksi E 1 E 2 yanng lebih kecil dari kurva CC. Dengan adanya program pemerintah tersebut titik keseimbangan masyarakat terjadi pada titik E 1. Analisis insidens pajak berimbang dilakukan dengan meneliti mengenai distribusi pendapatan masyarakat yang terjadi apabila pemerintah dalam membangun fasilitas publik tersebut menggunakan kebijakan anggaran berimbang yaitu jumlah yang diambil oleh pemerintah seluruhnya dikembalikan lagi kepada masyarakat. Insidens pajak dengan anggaran berimbang menunjukkan bagaimana biaya suatu program pemerintah didistribusikan di antara para anggota masyarakat. 2.5.2. Insidens Pajak Diferensial (Differential Incidence) Analisis insidens pajak diferensial menganalisis pengaruh distribusi pendapatan dari suatu jenis pajak apabila digantikan dengan jenis pajak lain untuk membiayai aktivitas pemerintah dalam jumlah yang sama. Dengan kata lain, insidens pajak diferensial menganalisis berbagai alternative pembiayaan dengan mengguanakan pajak terhadap suatu program pemerintah. Apabila pemerintah akan membuat suatu fasilitas publik maka jumlah uang yang dibutuhkan dapat diperoleh

dari berbagai jenis pajak, misalnya diperoleh dari cukai, pajak penghasilan atau dari pajak pertambahan nilai. Insidens pajak diferensial tidak menghiraukan pengeluaran pemerintah karena pengeluaran pemerintah dianggap konstan sehingga analisis insidens pajak diferensial hanya menganalisis pengaruh distribusi penerimaan pemerintah dari berbagai jenis pajak. Oleh karena itu, insidens pajak diferensial memerlukan suatu jenis pajak sebagai dasar perbandingan yang biasanya adalah pajak pendapatan dengan tarif yang proporsional. 2.5.3. Insidens Pajak Absolut (Absolute Incidence) Klasifikasi analisis insidens pajak lainnya adalah insidens pajak absolute. Analisis ini hanya melihat pengaruh suatu jenis pajak (misalnya pajak pendapatan) terhadap distribusi pendapatan masyarakat tanpa melihat efek distributive jenis-jenis pajak lainnya atau efek distributive dari suatu program pemerintah (pengeluaran pemerintah), misalnya hanya dapat menganalisis mengenai dampak redistributif pajak penghasilan saja. 2.6. Teori Pengeluaran Pemerintah 2.6.1. Pengeluaran Pemerintah Versi Keynes Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Variable Y (pendapatan nasional), C (pengeluaran konsumsi), dan G (pengeluaran

pemerintah). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy, 1997). Apabila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, maka diperoleh persamaan sebagai berikut : Y Y C Y I Y G Y 1 = APC + I G Y Y Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berusaha untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional, sehingga dapat mengimbangi penurunan nilai APC (Average Propensity to Consume) dalam perekonomian. Pendapatan setelah diperhitungkannya transfer pemerintah disebut sebagai disposable income suatu masyarakat sama dengan besarnya transfer pemerintah (Tr) dikurangi besarnya pajak (Tax) yang dipungut oleh pemerintah. Persamaannya adalah sebagai berikut (Reksoprayitno, 1985) : Yd = Y Tx + Tr Dari persamaan tersebut, dapat diturunkan kedalam persamaan berikut ini : Y = Yd + Tr Tx Maka : C + I +G = Y = Yd + Tr Tx

Perpajakan dan pengeluaran pemerintah saling berkaitan dalam pengertian fiskal atau anggaran pendapatan dan belanja pemerintah secara keseluruhan. Pengeluaran total dalam perekonomian dikurangi efek pengganda dari peningkatan pajak dan potongan pajak merupakan kebijakan dimana pemerintah melaksanakan anggaran surplus dalam menekan pengeluaran pemerintah. Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan pengeluaran, maka pemerintah mengoperasikan anggaran defisit dengan mengurangi pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Suatu penurunan dalam pengeluaran pemerintah dan peningkatan dalam pajak dari aliran sirkulasi pendapatan nasional akan mengurangi permintaan agregat dan melalui proses pengganda (multiplier) akan memberikan penurunan tekanan inflasi ketika perekonomian mengalami peningkatan kegiatan yang berlebihan (over-heating). Sebaliknya adanya peningkatan dalam pengeluaran pemerintah dan penurunan dalam pajak, maka suatu suntikan (injection) ke dalam aliran sirkulasi pendapatan nasional akan menaikkan permintaan aggregate dan melalui efek pengganda menciptakan tambahan lapangan pekerjaan (Kamaluddin, 1999). 2.6.2. Pembangunan dan Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Analisis Rostow didasarkan kepada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercipta akibat dari timbulnya perubahan yang fundamental bukan saja dalam corak kegiatan ekonomi tetapi juga dalam kehidupan politik dan hubungan sosial dalam suatu masyarakat dan negara. Teori ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan

tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut (Mangkoesoebroto, 2001): Tahap awal : pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pemerintah harus menyediakan prasarana seperti misalnya pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi dan sebagainya. Tahap menengah : investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas namun peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan swasta yang semakin membesar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar dan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit. Investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin kecil. Tahap lanjut : pembangunan ekonomi dan aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan program pelayanan kesehatan masyarakat. Rostow dan Musgrave seperti halnya Wagner melandasi pendapatnya juga berdasarkan pengamatan dan pengalaman pembangunan ekonomi di banyak negara sehingga teori yang dikembangkan masih terdapat kelemahan. Kelemahan teori Rostow dan Musgrave ini tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu dan tidak jelas apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap ataukah beberapa tahap secara simultan.

2.6.3. Hukum Wagner Teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap GNP. Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relative pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya (Mangkoesoebroto, 2001). Hukum tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : PkPP PPk PkPP PkPP t1 t2... PPkt 1 PPkt2 PkPP PPk tn tn Keterangan : PkPP = Pengeluaran Pemerintah per kapita PPk = Pendapatan Nasional per kapita 1,2 n = Indeks Waktu (tahun) Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar secara relative peranan pemerintah semakin meningkat. Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu : tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1997).

Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antara industri-industri dan hubungan industri dengan masyarakat akan semakin rumit dan kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negative menjadi semakin besar. Namun hukum Wagner terdapat kelemahan yaitu tidak didasar pada suatu teori pemilihan barang-barang publik. Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam gambar 2, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1 : Pengeluaran Pemerintah / GDP Kurva 1 Kurva 2 0 Gambar 2. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner Sumber : Mangkoesoebroto, 2001 Waktu 2.6.4. Teori Peacock dan Wiseman Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan penerimaan dari pajak, padahal

masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar. Peacock dan Wiseman menyatakan sebagai berikut : masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Jadi dalam keadaan normal kenaikan pendapatan nasional meningkatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal terganggu misalnya disebabkan oleh perang atau eksternalitas yang lain, maka pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan tersebut. Konsekuensinya menimbulkan tuntutan untuk memperoleh penerimaan pajak yang lebih besar. Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk investasi dan modal kerja menjadi berkurang. Efek ini disebut sebagai efek pergantian (displacement effect) yaitu adanya suatu gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Pengentasan gangguan tidak cukup dibiayai semata-mata dengan pajak sehingga pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri. Setelah gangguan teratasi muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga. Pengeluaran pemerintah semakin bertambah, bukan hanya karena GNP meningkat, tetapi karena adanya kewajiban baru tersebut. Akibat lebih lanjut adalah pajak tidak menurun kembali ketingkat semula meskipun gangguan telah berakhir. Selain itu banyak aktivitas pemerintah yang baru

kelihatan setelah terjadinya perang dan ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ketangan pemerintah, efek ini disebut sebagai efek konsentrasi (concentration effect). Dengan adanya ketiga efek tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga setelah perang selesai, tingkat pajak tidak menurun kembali ada tingkat sebelum terjadi perang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini (Mangkoesoebroto, 2001) : Pengeluaran pemerintah/ GDP C D F Pengeluaran pemerintah A G B Pengeluaran swasta 0 t t+1 Tahun Gambar 3. Teori Peacock dan wiseman Sumber: Mangkoesoebroto, 2001 Dalam keadaan normal dari t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap GNP meningkat sebagaimana ditunjuk garis AG. Apabila pada

tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah meningkat sebesar AC dan kemudian meningkat seperti yang ditunjukkan pada segmen CD. Setelah perang selesai (pada tahun t+1), pengeluaran pemerintah tidak menurun ke G. Hal ini disebabkan karena setelah perang, pemerintah memerlukan tambahan dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan pemerintah. Kenaikan tarif pajak tersebut dimaklumi oleh masyarakat sehingga tingkat toleransi pajak meningkat dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih basar tanpa menimbulkan gangguan dalam masyarakat. Secara grafik perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman bukanlah berpola seperti kurva mulus berslope positif sebagaimana tersirat dalam pendapat Rostow dan Musgrave, melainkan berslope positif dengan bentuk patah-patah seperti tangga yang dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini:

Pengeluaran pemerintah/ GDP Wagner Rostow Musgrave Peacock dan Wiseman 0 Gambar 4. perkembangan pengeluaran pemerintah Sumber : Mangkoesoebroto, 2001 Tahun 2.7. Penelitian Sebelumnya Sarastika Indrawati dan Daryono Soebagiyo (2006), meneliti tentang Analisis Uji Kausalitas Penerimaan Pajak Dan Pengeluaran Pemerintah Di Kota Surakarta. Penelitiannya menemukan kausalitas satu arah (undirectional) dari penerimaan pajak terhadap pengeluaran pemerintah di kota Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnnya penerimaan pajak akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah, tetapi peningkatan pengeluaran pemerintah tidak mempengaruhi penerimaan pajak di kota Surakarta. Cheng (1999), meneliti tentang Hubungan Kausalitas Antara Pajak dan Pengeluaran di delapan negara Amerika Latin. Penelitiannya menemukan kausalitas dua arah (feedback) di negara Chile, Panama, Brazil dan Peru. Hal ini menunjukkan

bahwa penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah saling mempengaruhi. Sedangkan di negara Columbia, Republik Dominican, Honduras dan Paraguay terjadi kausalitas satu arah, yakni peningkatan penerimaan pajak akan mempengaruhi peningkatan pengeluaran pemerintah. DeLoughy (1999), meneliti tentang Hubungan Kausalitas Antara Penerimaan Pajak Dan Pengeluaran : Studi Kasus Connecticut. Penelitiannya menemukan kausalitas dua arah (feedback) antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah pada lag jangka pendek, sebaliknya pada lag jangka panjang tidak terjadi kausalitas antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah. Uji Sims dan model vector autoregressive (VAR) menemukan kausalitas satu arah antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah, yaitu perubahan penerimaan pajak mendorong perubahan pengeluaran pemerintah. Sihombing (2003), meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengeruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran pemerintah. Dalam jangka panjang, hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran pemerintah, sedangkan perubahan pertumbuhan ekonomi tahunan dan perubahan arus modal masuk tahunan tidak signifikan secara atatistik terhadap pengeluaran pemerintah.

Manurung (2004), meneliti tentang hubungan jangka panjang antara defisit anggaran dengan defisit transaksi berjalan di Indonesia. Dengan menggunkan pendekatan Johansen Coinregration diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang diantara kedua defsit tersebut. Dari hasil Uji Granger diperoleh hubungan kausalitas dua arah antara defisit anggaran dengan defisit transaksi berjalan di Indonesia. Devarajan, et. Al. (1996), meneliti tentang komposisi pengeluaran publik dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan metode Ordinary Least Squares diperoleh kesimpulan bahwa di 43 negara berkembang selama 20 tahun (1970-1990) menunjukkan peningkatan pengeluaran rutin berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pengeluaran pembangunan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.