BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepakbola adalah salah satu olahraga yang paling diminati banyak masyarakat di dunia tak terkecuali Indonesia. Bisa mendapatkan prestasi baik di tingkat nasional maupun internasional merupakan suatu yang diinginkan para atlet. Setiap pertandingan atlet berharap mampu menampilkan yang terbaik agar dapat berprestasi dan mengharumkan negaranya. Menurut Djohar (dalam Gandakusumah, 2014) selaku ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), prestasi olahraga dapat menjadi salah satu upaya untuk mengangkat harga diri suatu bangsa. Hal ini membuat masyarakat Indonesia berharap pada tim nasional sepakbolanya agar berprestasi. Salah satu bentuk dukungan untuk sepakbola Indonesia adalah dengan membuat Sekolah Sepakbola (SSB) guna membina pemain muda berbakat. SSB diperuntukkan anak usia 5 sampai 16 tahun yang memiliki tujuan untuk menghasilkan pemain sepakbola masa depan Indonesia. Saat ini tercatat terdapat 60 SSB yang tersebar di DKI Jakarta saja (ASSBI, 2012). Dalam pelaksanaannya, SSB menjalankan pembinaan tersebut berdasarkan aplikasi dari kurikulum pendidikan sepakbola anak-anak yang dikeluarkan oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA). FIFA mengeluarkan kebijakan Grassroot Football yang berisi tentang meningkatkan dan mengembangkan olahraga sepakbola sejak usia anak-anak hingga remaja (6-16 tahun). Di Indonesia, PSSI pada pertengahan 2012 juga kemudian mengeluarkan Kurikulum dan Pedoman Dasar Spakbola Indonesia untuk Usia Dini (U 5 U 12), Usia Muda (U 13 U 20) dan senior. Salah satu SSB di Jakarta yang juga memiliki tujuan pembinaan pemain sepakbola sejak usia anak-anak adalah ASIOP APACINTI. ASIOP APACINTI merupakan salah satu SSB terbaik di Jakarta. Hal ini terbukti dengan banyaknya prestasi yang diraih pada tingkat nasional. SSB ini didirikan dengan tujuan untuk menjadi pusat pengembangan dan pembinaan pemain sepakbola masa depan Indonesia. Tidak hanya memiliki banyak prestasi, ASIOP APACINTI juga sudah banyak menghasilkan pemain sepakbola profesional, seperti Syamsir Alam,
Airlangga Soecipto, Egi Melgiansyah dan masih banyak lagi (www.asiopapacinti.com, 2011). ASIOP APACINTI juga memiliki kendala dalam menghasilkan pemain sepakbola masa depan Indonesia. Hal yang menjadi kendala tersebut yaitu dalam pemilihan pemain yang akan ikut pertandingan atau perlombaan. Dalam laporan hasil penelitian ASIOP APACINTI tahun 2013, ketua yayasan mengungkapkan banyaknya orangtua yang protes kepada pihak manajemen mengenai ketidak adilan pelatih dalam pemilihan pemain. Namun berbeda dengan apa yang dijelaskan ketua yayasan, pelatih mengungkapkan ketidak konsistenan kebijakan dari manajemen, atas wewenang pelatih dalam memilih pemainnya di dalam tim, dimana tim yang sudah disusun oleh pelatih kemudian dirubah atas permintaan manajemen (APACINTI, 2013). Hal yang serupa juga dialami oleh tim nasional sepakbola Indonesia. Bedanya pelatih ASIOP APACINTI kurang memiliki wewenang penuh atas pemain yang dipilih sesuai karakter strategi permainannya, sedangkan tim nasional sepakbola Indonesia sering mengalami pergantian pelatih yang menyebabkan pemain kesulitan dalam menyesuaikan karakter strategi permainan yang dibuat. Hal ini diungkapkan oleh Bambang Pamungkas (2013) selaku mantan pemain tim nasional sepakbola Indonesia, dimana salah satu penyebab mengapa prestasi sepakbola Indonesia sedikit adalah seringnya pergantian pelatih. Dalam catatan Bambang Pamungkas (BP), selama kurun waktu 15 tahun, sejak tahun 1998 hingga tahun 2013 ada 12 orang yang pernah menjadi pelatih tim nasional sepakbola Indonesia. Menurut BP, seringnya pergantian pelatih ini akibat hanya untuk memenuhi budaya instan serta cara berpikir egois dari para pengurus PSSI, sehingga membuat pemain tertekan karena harus setiap saat berganti gaya permainan (Pamungkas, 2013). Padahal sepakbola adalah olahraga tim, dimana pelatih dan atlet harus bisa bekerjasama dengan baik dan harmonis sebagai modal awal keberhasilan untuk meraih prestasi. Menurut Blanchard, Amiot, Perreault, Vallerand, dan Provencher (2009) membuktikan dalam risetnya, jika atlet mempersepsi hubungannya dengan pelatih secara positif, maka dapat mempengaruhi secara positif pula kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan akan rasa aman, disayangi dan sebagainya. Oleh sebab itu, dibutuhkan tim yang kuat guna mencapai prestasi yang diinginkan.
Tim adalah dua atau lebih individu yang mempunyai motivasi, saling berinteraksi, dan setiap anggota menyadari saling ketergantungan dalam mencapai tujuan yang sama (KEMENPORA, 2011). Tim memiliki pikiran, gagasan, dan kehendak sendiri yang tidak sama dengan pribadi anggotanya. Dimana proses untuk menjadi sebuah tim yang kompak dan berpeluang untuk tampil maksimal dilalui dengan empat tahap, yaitu forming, storming, norming dan performing (Tuckman dalam Rumeser, 2013) Menurut Tutko dan Richards (dalam Setyobroto, 2002), untuk menumbuhkan rasa kesatuan sebagai tim ada hal yang harus diperhatikan, yaitu saling menghormati antar pemain serta pemain dengan pelatih, menciptakan komunikasi yang efektif agar mengerti satu sama lain, memiliki rasa sebagai anggota yang penting, memiliki tujuan bersama dan perlakuan yang adil. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat terciptanya kerjasama yang baik antar pemain, suasana kekeluargaan dan memiliki hubungan yang erat satu sama lain serta tiap pemain mengutamakan kebahagiaan tim daripada kepentingan pribadi. Pada olahraga sepakbola dimainkan oleh 11 orang dalam satu tim. Posisi bermain dalam sepakbola terdapat 1 penjaga gawang dan 10 pemain yang terbagi dalam pemain bertahan, pemain tengah, dan penyerang. Dimana masing-masing posisi nantinya akan saling bekerjasama dalam setiap pertandingan. Tim yang efektif diperlukan apabila sebuah tim ingin memperoleh kemenangan dalam sebuah pertandingan. Menurut Hackman (1990) dan Klimonski & Jones (1995) mengutip dari Rumeser (2013), yang menyatakan bahwa keefektifan suatu tim dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu hasil kerja tim, kepuasan anggota tim dan belajar. Berdasarkan tiga hal inilah yang akan menjadi dasar pengukuran mengenai efektivitas tim. Agar tim berjalan dengan baik, dibutuhkan seorang pemimpin untuk memberi instruksi. Menurut Stuart (dalam Kahar, 2008) pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memepengaruhi, memberi petunjuk dan mampu menentukan individu untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini yang menjadi pemimpin dalam olahraga sepakbola adalah pelatih. Menurut Pate, Mc.Clenaghan dan Rotella, (1984), pelatih adalah seorang profesional yang tugasnya membantu dalam memperbaiki dan meningkatkan penampilan atlet dan tim olahraga. Scheunemann
(2013) mengungkapkan salah satu yang harus dimiliki oleh seorang pelatih yang berkulaitas adalah jiwa kepemimpinan. Menurut Utomo (2011), seorang pelatih memegang peranan yang vital dalam pengembangan kemampuan para atlet. Pelatih adalah bagian yang signifikan dalam proses latihan, sebagaimana guru didalam proses pendidikan. Atas dasar hal ini, Grassroots FIFA kemudian menyatakan bahwa dalam pendidikan olahraga untuk anakanak, tidak dibutuhkan kualitas pelatih hanya sebagai pelatih saja, tetapi pelatih yang kemudian sekaligus juga menjadi seorang pendidik, yang kemudian disebut sebagai The Coach-Educator s (Grassroots FIFA, 2012). Dalam penelitian ini, konsep dasar kepemimpinan yang digunakan untuk melihat efektivitas kepemimpinan pelatih ada empat hal menurut Dore (dalam Rumeser, 2013), yaitu memperlakukan anggota sebagai manusia (people), mendelegasikan tanggung jawab dan keputusan (delegation), menciptakan atmosfer guna tercipta kerjasama (atmosphere) dan memberikan umpan balik (feedback). Berdasarkan masalah yang dipaparkan dalam laporan hasil penelitian ASIOP APACINTI dan Bambang Pamungkas serta melihat adanya kepemimpinan dalam suatu tim. Hal ini memunculkan dorongan bagi peneliti untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara efektivitas kepemimpinan pelatih dengan efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang berusaha dijawab peneliti dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat efektivitas kepemimpinan pelatih pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI? 2. Bagaimana tingkat efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI? 3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara efektivitas kepemimpinan pelatih dengan efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini sesuai dengan pertanyaan penelitian adalah untuk melihat: 1. Tingkat efektivitas kepemimpinan pelatih pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI. 2. Tingkat efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI. 3. Ada atau tidaknya hubungan antara efektivitas kepemimpinan pelatih dengan efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI.