KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 RINGKASAN

dokumen-dokumen yang mirip
*) Diterima : 25 Januari 2007; Disetujui : 2 September 2008

Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb)

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

VI. SIMPULAN DAN SARAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M.

POPULASI DAN SEBARAN BEKANTAN (Nasalis Larvatus Wurmb) DI WILAYAH KAMPUNG BATU-BATU DAN DELTA SUNGAI BERAU. Saryadi, Tri Joko Santoso

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

IV. METODE PENELITIAN

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.56/Menhut-II/2013 TENTANG

2013, No

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

POPULASI DAN PERLLAKU BEKANTAN (Nasalis larvalus) DI SAMBOJA KOALA, KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

1. Pengantar A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

KUESIONER DI LAPANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA HABITAT BEKANTAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

I. PENDAHULUAN. Herpetofauna adalah kelompok hewan dari kelas reptil dan amfibi (Das,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Struktur Kelompok dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wrumb.) dikuala Samboja, Kalimantan Timur

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

KONDISI DAN PERMASALAHAN HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI HUTAN MANGROVE TAMAN NASIONAL KUTAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP UPAYA RESTORASI

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

Bab III Karakteristik Desa Dabung

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

Transkripsi:

KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 Oleh: Tri Atmoko 2, Amir Ma ruf 2, Ismed Syahbani 2 dan Mardi T. Rengku 3 RINGKASAN Delta Mahakam merupakan habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) yang berada di luar kawasan konservasi. Kondisi Delta Mahakam semakin rusak akibat aktifitas pertambakan, pertambangan, pencemaran dan lalu lintas air. Kondisi vegetasi penyusun habitat bekantan di Delta Mahakam dibedakan menjadi: tegakan Sonneratia caseolaris L., bekas ladang (belukar) dan vegetasi campuran. Selain penyempitan habitat, ketersediaan pakan, kualitas air sungai, dan keberadaan predator berpengaruh terhadap kehidupan bekantan. Permasalahan terhadap habitat bekantan diantaranya adalah konversi lahan, pencemaran sungai, aktifitas pertambangan dan status kawasan yang belum dilindungi. Di Delta Mahakam ditemukan sekitar 50 kelompok bekantan dangan populasi sebanyak 577 individu. Jumlah kelompok berkisar antara 4-26 individu dengan seks rasio 1:3,3. Kata kunci: Habitat, penyebaran, bekantan (Nasalis larvatus Wurmb), Delta Mahakam I. PENDAHULUAN Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) adalah primata dari anak suku (sub-family) Colobinae yang merupakan satwa langka dan endemik Borneo. Satwa ini mempunyai morfologi yang khas yaitu pada jantan dewasa memiliki hidung yang besar, menonjol agak menggantung, memiliki selaput pada jari kaki dan jari tangannya serta sistem pencernaannya yang menyerupai sistem pencernaan pada hewan berlambung ganda (ruminatia) (Soerianegara et al., 1994). Habitat bekantan terbatas pada tipe hutan rawa gambut, bakau dan sangat tergantung pada sungai, walaupun sebagian ada yang hidup di hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Saltar et al., 1985 dalam Bismark, 1995) dan hutan karet yang di dalamnya terdapat baruh, yaitu hamparan lahan yang permukaannya cekung atau lebih rendah dari permukaannya lahan di sekitarnya (Soenjoto et al., 2005). Penyebaran bekantan di Kalimantan Timur meliputi daerah Tanjung Redeb (Bismark, 1995), Taman Nasional Kutai (Soerianegara et al., 1994), Sungai Kayan, Sungai Sepaku, Teluk Balikpapan, Kuala Samboja, Tenggarong, Sanga-Sanga dan Muara Sungai Mahakam (Delta Mahakam) (Yasuma, 1994). Saat ini dikhawatirkan penurunan populasi bekantan semakin cepat akibat penyempitan dan kemunduran kualitas habitatnya, terutama di luar kawasan konservasi. Bismark (1995) memperkirakan populasi bekantan adalah 114.000 individu, sekitar 7500 1 Makalah disampaikan pada Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas Menuju Hutan Lestari 2 Calon Peneliti pada Loka Litbang Satwa Primata 3 Calon Teknisi Litkayasa pada Loka Litbang Satwa Primata 35

individu diantaranya berada di kawasan konservasi. Padahal pada tahun 1986, MacKinnon menaksir populasi bekantan lebih dari 250.000 individu, 25.000 diantaranya berada di kawasan konservasi, sehingga dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi penurunan populasi lebih dari 50 persen. Semakin meningkatnya berbagai aktifitas yang dilakukan di Delta Mahakam, baik pertambakan, pertambangan dan transportasi air yang semakin ramai menyebabkan kehidupan dan habitat bekantan terganggu. Kemunduran habitat cenderung semakin meningkat dikarenakan hutan yang berada di sekitar sungai lebih mudah dijangkau sehingga lebih cepat untuk dimanfaatkan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui kondisi habitat bekantan secara umum di Delta Mahakam, kondisi penyebaran kelompok bekantan dan beberapa permasalahan habitat terkait dengan kehidupan bekantan. II. KONDISI UMUM DELTA MAHAKAM Delta Mahakam terdiri dari beberapa pulau besar dan ratusan pulau kecil yang terbentuk akibat adanya endapan di muara Sungai Mahakam yang berhadapan dengan Selat Makassar. Jika dilihat dari angkasa, kawasan delta ini berbentuk menyerupai kipas, dimana di dalamnya terdapat sungai-sungai besar dan kecil. Secara administratif, kawasan Delta Mahakam berada dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, tepatnya berada di Kecamatan Anggana, Muara Jawa, dan Sanga- Sanga. Sedangkan secara geografis Delta Mahakam terletak pada 117 0 26-117 0 63 Bujur Timur dan 0 0 33-0 0 92 Lintang Selatan. Kawasan Delta Mahakam memiliki luas sekitar 1.500 km 2 (termasuk wilayah perairan) (Sayekti, 2002). Sedangkan dari perhitungan pada peta kawasan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) yang dikeluarkan Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan dan Bakosurtanal, luas wilayah daratan Delta Mahakam adalah sekitar 108.997,05 ha. III. HABITAT BEKANTAN Keragaman jenis, komposisi dan struktur fisik vegetasi hutan sebagai habitat secara terpisah maupun bersama-sama akan menyediakan relung yang potensial bagi kehidupan satwaliar (Soerianegara et al., 1994). Perbedaan jenis tumbuhan, ketinggian, umur dan sifat tumbuhnya akan membentuk stratifikasi dalam habitat. Hal itu menyebabkan adanya perbedaan aktifitas bagi berbagai jenis satwa, termasuk bekantan. Aspek habitat dimaksud meliputi kondisi vegetasi, ketersediaan air, pakan dan predator. A. Vegetasi Secara umum kondisi vegetasi penyusun habitat bekantan di Delta Mahakam dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu habitat yang di dominasi oleh Sonneratia caseolaris, bekas ladang masyarakat (belukar) dan vegetasi campuran. Tipe habitat tersebut diuraikan secara rinci, sebagai berikut: 1. Tegakan S. caseolaris Vegetasi atau tegakan ini meliputi sekitar 80 persen terdiri dari jenis S. caseolaris sedangkan jenis lainnya adalah Nypa fruticans. Kondisi ini ditemukan pada tiga pulau kecil (daratan yang dikelilingi sungai). Pulau pertama terletak pada koordinat 117 0 52-117 0 54 BT dan 0 0 46-0 0 45 LS, dengan luas sekitar 24 ha dan berhadapan langsung dengan laut lepas. Pada pulau ini ditemukan sekitar 4 kelompok bekantan. Pulau yang 36

kedua terletak pada koordinat 117 0 38-117 0 39 BT dan 0 0 58-0 0 57 LS, berseberangan dengan lokasi penambangan migas TOTAL. Luas pulau ini sekitar 12 ha dan ditemukan 3 kelompok bekantan. Pulau ketiga terletak pada koordinat 117 0 44-117 0 45 BT dan 0 0 51-0 0 50 LS yang luasnya sekitar 28 ha. Pada lokasi ini ditemukan 1 kelompok bekantan. Pada habitat ini aktifitas bekantan dilakukan pada pohon S. caseolaris dan pada N. fruticans, sedangkan kebutuhan pakan dipenuhi dari pucuk-pucuk daun muda dan buah S.caseolaris. Hal ini menyebabkan pucuk-pucuk S.caseolaris pada tingkat pancang gundul karena dimakan oleh bekantan. 2. Semak belukar Kelompok bekantan juga ditemukan pada areal bekas ladang masyarakat yang ditumbuhi semak belukar dengan pohon-pohon yang jarang. Areal ini ditumbuhi oleh jenis tumbuhan bawah yang rapat. Jenis yang ada di areal bekas ladang ini didominansi oleh Acanthus ebracteatus, Acrosticum sp., Teijsmanniodendron dan Cerbera manghas. Pada areal ini tidak ditemukan vegetasi tingkat pohon. Pada tipe habitat ini ditemukan 13 kelompok bekantan. 3. Vegetasi campuran Secara umum lokasi habitat dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang lebih tinggi terletak di daerah ke arah hulu dan jauh dari laut lepas. Jenis-jenis pohon yang banyak ditemukan di sini adalah Heritiera littoralis, Syzygium sp., Excoecaria indica, Vatica rassak, S. caseolaris, Alseodaphne sp., Gluta renghas, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus dan Premna corymbosa. Kondisi hutan seperti ini paling banyak digunakan sebagai habitat bekantan di Delta Mahakam. Pada habitat seperti ini dijumpai sebanyak 29 kelompok bekantan. Pada tipe habitat ini bekantan secara umum menggunakan H. littoralis dan S. caseolaris sebagai pohon tidur dan beraktifitas. B. Pakan Ketersediaan sumber pakan merupakan faktor yang penting bagi habitat satwaliar. Semakin tinggi keanekaragaman jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam habitat, memungkinkan adanya banyak alternatif tumbuhan sumber pakan bekantan. Seperti yang dinyatakan oleh Soerianegara et al. (1994) bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan pada habitat satwa menentukan potensi dan jenis pakan, termasuk perilaku makan yang akhirnya menentukan populasi satwa tersebut di alam. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Delta Mahakam, diketahui terdapat sedikitnya 10 jenis tumbuhan sumber pakan bekantan. Jenis-jenis tersebut adalah S. caseolaris, Syzygium sp., Uncaria sp., P. corymbosa, Vitex pinnata, H. littoralis, Derris spp. (2 jenis), Barringtonia sp. dan Caesalpinia sp. Sedangkan jenis lainnya pada lokasi yang sama menurut Alikodra dan Mustari (1994) adalah Nothophoebe umbellifora, Ficus sp., Eugenia reinwardtiana, H. tiliaceus, Eugenia zollingeriana, Sapium indicum (=Excoecaria indica), Ilex cymosa dan Gluta renghas. Diantara jenis sebagai sumber pakan bekantan tersebut S. caseolaris merupakan sumber pakan utama bekantan di Delta Mahakam. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Saidah et al. (2002) di kawasan mangrove Bagian Selatan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dimana bekantan sama sekali tidak memanfaatkan S. caseolaris baik sebagai sumber pakan maupun aktifitas lainnya. Pada penelitian tersebut sumber pakan bekantan terdiri dari Rhizophora mucronata dan Bruguiera parvifolia (sebagai pakan utama), Ceriops decandra, Ficus retusa dan Acrosthicum aureum. Sedangkan bekantan di TN.Kutai memakan jenis Rhizophora apiculata (daun, bunga, kulit batang), Avicennia 37

officinalis (daun, buah), Bruguiera gymnorrhiza dan B. parviflora (daun) (Soerianegara, 1994). Pada vegetasi atau tegakan yang hanya terdiri dari S.caseolaris dan N. Fruticans, cenderung mendapat tekanan yang cukup tinggi karena bekantan selalu memakan pucuk daun-daun muda serta buah dari S. caseolaris. Sedangkan N. fructicans hanya digunakan sebagai tempat beraktifitas. Ketergantungan pakan bekantan pada S.caseolaris tersebut dapat dilihat dari pucuk-pucuk daun muda S.caseolaris yang gundul terutama pada tingkat tiang dan pancang. Hal ini akan mengakibatkan turunnya laju fotosintesis S. caseolaris sehingga proses pembentukan makanan untuk perkembangan pohon itu sendiri kurang. Jika hal itu terjadi terus menerus akan mengakibatkan kematian pohon (Ma ruf, 2004). C. Air Ketersediaan sumber air tawar sangat penting dalam menunjang kehidupan bekantan di habitatnya. Kebutuhan air bagi bekantan diantaranya untuk keperluan minum, mandi dan berenang. Sungai termasuk komponen ekologis yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh bekantan di hutan bakau. Sungai yang panjang, lebar dan dalam memungkinkan terbentuknya hutan bakau tipe riverine, pada habitat ini pohon bakau relatif tinggi dan besar serta tersedia sumber air tawar bagi bekantan (Mitsch dan Gosselink, 1984 dalam Bismark, 1995). Sedangkan pada sungai-sungai kecil, pendek dan dekat dengan laut sangat dipengaruhi oleh air laut. Kondisi ini kurang mendukung terhadap aktifitas bekantan, terutama untuk minum. D. Predator Penurunan populasi bekantan juga dipengaruhi oleh keberadaan predator. Jenis predator bagi bekantan diantaranya adalah biawak (Varanus salvator) (Yeager, 1992 dalam Bismark, 2004), macan dahan (Neofelis nebulosa), ular sanca (Python reticulata), buaya (Crocodylus siamensis) dan ular kobra (Ophiophagus hannah) (Bismark, 2004). Di Delta Mahakam banyak ditemukan biawak, sedangkan keberadaan buaya hanya berdasarkan informasi dari masyarakat setempat. Dalam upaya menghindri predator, pada umumnya bekantan menggunakan pohon yang tinggi, lurus, tidak banyak cabang, tajuk tidak bertautan dengan pohon lain dan tidak banyak tumbuhan merambatnya sebagai tempat tidur (Gadas, 1982). E. Permasalahan Habitat 1. Konversi lahan Luas Delta Mahakam diperkirkan 1.500 km 2, namun sebagian besar daratannya telah rusak karena berubah fungsi menjadi areal tambak. Jika dilihat dari cara petambak membabat hutan mangrove, bisa dipastikan mereka bukan warga masyarakat biasa. Hal ini dapat dilihat dari cara para pengusaha tambak yang menggunakan peralatan-peralatan berat untuk membuka tambak. Dengan perubahan menjadi areal tambak akan merubah fungsi kawasan mangrove sebagai penahan abrasi, tempat berpijah berbagai jenis ikan dan habitat satwaliar di areal mangrove dan sekitarnya. Selain itu perubahan fungsi lahan tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang berakibat menurunkan potensi sumber daya perikanan yang selama ini menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat. Fungsi Delta Mahakam sebagai habitat bekantan juga terancam dengan semakin sempitnya kawasan hutan yang ada. Menurut McNeely et al. (1990) dalam Bismark (2004) luas habitat bekantan diperkirakan 29.500 km 2, 40 persen sudah berubah fungsi dan 38

kurang dari 10 % saja habitat yang berada di kawasan konservasi. Sedangkan di Delta Mahakam pada tahun 2001 diperkirakan 80.000 ha hutan mangrovenya telah berubah menjadi areal pertambakan (BEBSiC, 2002), sedangkan sisanya menjadi areal eksploitasi migas dan daerah bervegetasi termasuk habitat bekantan di dalamnya. 2. Pencemaran Pencemaran yang terjadi di Delta Mahakam tidak lepas dari semakin banyaknya sampah organik maupun non-organik yang masuk ke Sungai Mahakam. Sampah tersebut berasal dari limbah perusahaan, maupun sampah rumah tangga. Sungai-sungai yang terdapat di Delta Mahakam merupakan jalur lalu lintas air yang sangat padat. Seperti halnya muara sungai-sungai besar lainnya di Pulau Kalimantan, Delta Mahakam merupakan pintu utama untuk masuk dan keluarnya kapal-kapal besar maupun kecil pada siang dan malam hari. Kapal-kapal tersebut termasuk kapal tongkang yang memuat berton-ton batubara. Arus lalu lintas air yang padat di Delta Mahakam sangat berpengaruh terhadap kondisi habitat bekantan tarutama terhadap jenis S. caseolaris yang merupakan pakan utama bekantan. Bismark (1997) menyatakan bahwa tingginya arus lalu lintas motor dan kapal air dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi logam berat baik pada tanah maupun pada akar S. caseolaris. Padahal kandungan logam berat yang tinggi dapat menyebabkan kematian S. caseolaris, selain karena tumpukan sampah, tumbuhan air yang padat dan A.aureum yang menutupi akar napas S. caseolaris. 3. Aktifitas pertambangan Kawasan Delta Mahakam merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas). Cadangan terbesar terdapat di lapangan Peciko dan Tunu yang kini dieksploitasi oleh perusahaan migas multinasional asal Prancis, Total E&P Indonesie. Adanya aktifitas pertambangan di Delta Mahakam baik pertambangan migas maupun aktifitas pengangkutan batubara secara langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan bekantan. 4. Status Kawasan Walaupun status Delta Mahakam bukan merupakan kawasan konservasi, namun berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa daerah sepadan sungai dengan jarak 100 meter dari tepi sungai merupakan kawasan dilindungi yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan pemukiman dan produksi. Namun demikian tetap perlu adanya penetapan areal khusus di Delta Mahakam untuk melestrikan bekantan dan habitatnya. IV. PENYEBARAN KELOMPOK BEKANTAN Dari hasil penelitian maka diketahui bahwa penyebaran bekantan di Delta Mahakam pada bulan Oktober 2006 ditemukan pada 50 titik perjumpaan (Gambr 1), sedangkan pada penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama dijumpai 62 titik perjumpaan (Yasuma, 1994). 39

Gambar 1. Penyebaran kelompok bekantan di Delta Mahakam Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa habitat bekantan sebagian besar tersebar pada bagian hulu delta, terutama di habitat tepi sungai besar. Selain itu kelompok bekantan juga tidak ditemukan pada areal sungai-sungai kecil yang hanya ditumbuhi nipah karena tidak tersedia sumber pakan bekantan. Komposisi kelompok bekantan di Delta Mahakam tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kelompok bekantan di Delta Mahakam Kriteria Umur Jumlah (ekor) Rata-rata Persentase (%) (ekor/kelompok)* Jantan Dewasa 78 1,56 13,518 Betina Dewasa 255 5,1 44,194 Remaja 179 3,58 31,023 Anak 59 1,18 10,225 Bayi 6 0,12 1,140 Jumlah 577 *) 50 kelompok bekantan Populasi bekantan di Delta Mahakam adalah 577 individu, terdiri dari 13,5% jantan dewasa, 44,2% betina dewasa, 31,0% remaja, 10,2% anak dan 1,14% bayi. Tabel 1 menunjukkan bahwa seks rasio rata-rata bekantan adalah 1:3,3 dengan jumlah individu yang belum dewasa (remaja, anak dan bayi) sebesar 42,29%. Apabila dilihat dari jumlah individu yang belum dewasa sebesar 42,29% tersebut menunjukkan bahwa populasi bekantan di Delta Mahakam dalam kondisi kritis (Bismark,1997). 40

Pada habitat tegakan S.caseolaris ditemukan 8 kelompok bekantan, pada habitat bekas ladang (belukar) sebanyak 13 kelompok sedangkan pada vegetasi campuran ditemukan 29 kelompok. Bekantan hidup berkelompok dengan jumlah bervariasi antara 3-17 individu (Yeager et.al., 1989), 17-25 individu (Bismark, 1995), sedangkan di Delta Mahakam berkisar antara 4-26 individu, dengan rata-rata 11,54 individu. V. KONDISI HABITAT DAN KEHIDUPAN BEKANTAN Kelompok bekantan lebih banyak ditemukan di daerah hulu Delta Mahakam, hal itu dikarenakan daratan di daerah hilir sudah berubah menjadi ribuan petak tambak ikan dan udang. Pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak menyebabkan pohon-pohon tempat tidur bekantan semakin berkurang, sehingga akan memberikan kemudahan bagi predator untuk memangsa bekantan. Aktifitas penambangan dan pemancangan tiang konstruksi tambang dan suara alat transportasi air yang bising kemungkinan juga berpengaruh terhadap tingkat stress bagi kehidupan bekantan. Kerusakan daratan Delta Mahakam akan mempersempit kawasan hutan yang dijadikan habitat bekantan. Padahal bekantan merupakan satwa yang sensitif terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Bismark, 1995). Hal itu didukung oleh analisis Yeager dan Blondal (1992) dalam Bismark (1995) yang mengemukakan bahwa pada habitat yang mengalami kerusakan berat, kerapatan bekantan sekitar 9 individu per km 2, pada kerusakan habitat yang agak berat 25 individu per km 2, pada habitat dengan kerusakan sedang 33 indivudu per km 2, sedangkan pada kerusakan ringan 62,9 individu per km 2. Dengan demikian maka populasi bekantan dapat menjadi indikator terhadap tingkat kerusakan hutan bakau dan tepi sungai. Selain itu Bismark (2004) menyatakan bahwa permasalahan bekantan bukan saja maslah penciutan habitat, tapi juga masalah kualitas air sungai yang menjadi sumber air minum, mandi dan berenang. Banyaknya pemukiman dan industri di daerah hulu sungai dapat menurunkan kualitas sungai, seperti pencemaran oleh pertumbuhan populasi parsit seperti cacing yang menyebar melalui air. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya telur cacing Ascaris dan Trichiuris dalam feses bekantan. VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tipe vegetasi penyusun habitat bekantan di Delta Mahakam adalah tegakan murni Sonneratia caseolaris L. yang dibawahnya ditutupi oleh Nypa fruticans Wurmb., habitat bekas ladang (belukar) dan vegetasi campuran. Selain kondisi vegetasi, kualitas air dan keberadaan predator juga berpengaruh terhadap keberadaan bekantan. 2. Jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Delta Mahakam adalah S. caseolaris, Syzygium sp., Uncaria sp., Premna corymbosa (Burm.f.) Rottl.&Willd., Vitex pinnata L., Heritiera littoralis Dryand., Derris spp. (2 jenis), Barringtonia sp. Caesalpinia sp., Nothaphoebe umbelliflora Blume, Ficus sp., Eugenia reinwardtiana DC., Hibiscus tiliaceus L., Eugenia zollingeriana Koord. & Valet., Excoecaria indica Muell.Arg., Ilex cymosa Blume dan Gluta renghas Linn. 3. Permasalahan habitat bekantan di Delta Mahakam diantaranya adalah adanya konversi lahan menjadi areal tambak, pencemaran Sungai Mahakam, adanya aktifitas pertambangan dan status kawasan yang masih hutan produksi. 41

4. Di Delta Mahakam ditemukan sekitar 50 kelompok bekantan dengan populasi sebanyak 577 individu, dengan jumlah individu pada setiap kelompoknya berkisar antara 4-26. 5. Bekantan merupakan satwa yang sensitif terhadap kerusakan habitat sehingga populasi bekantan dapat menjadi indikator terhadap tingkat kerusakan hutan bakau dan tepi sungai. B. Saran Untuk melestarikan bekantan di Delta Mahakam maka perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat bekantan, pengawasan dan pengendalian terhadap aktifitas pembukaan tambak serta rehabilitasi kawasan yang rusak. Daftar Pustaka Alikodra, H.S. dan A.H. Mustari. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) at Mahakam River Delta, East Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut. Bismark, M. 1995. Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia. 30(3):14-23., 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian Penerapan Hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Bogor., 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. 1(3):309-320. Gadas, S.R. 1982. Mengamati kehidupan bekantan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. 4(2): 3. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. Ma ruf, A. 2004. Studi perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Daerah Balikpapan dan Sekitarnya. Prasiding Seminar Hasil Penelitian dan Kegiatan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Wilayah Kalimantan, Balikpapan, 29-12-2004. Saidah, S., M. Djoko dan S. Achmad. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan (Nasalis larvatus) di Brito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains. 15(1):18-29 Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra dan M. Bismark. 1994. Studi habitat sumber pakan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) sebagai parameter ekologi dalam mengkaji sistem pengelolaan habitat hutan mangrove di TN Kutai. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soenjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, H. Setijanto. 2005. Vegetasi tepi-baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 6(1):40-44 Sayekti, R.B. 2002. Pengelolaan terpadu DAS dan Delta Mahakam. Tirta PELA. Media Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air, Pesisir dan Laut. 12(1):3 Yasuma, S. 1994. An invitation to the mamals of East Kalimantan. Pusrehut Special Publication No.3. Samarinda. Yeager, C.P. 1987. Feeding Ecology of the Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Int. Journal of Primatology, 10(6): 497-529 42