BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Adsorption nomenclature [4].

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI

BAB II DASAR TEORI. Desorp/melepaskan

BAB II DASAR TEORI. 7 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi radiasi matahari dapat dihitung dengan persamaan berikut: [4]

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008

BAB II LANDASAN TEORI

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle

Perhatikan siklus dasar refrigerasi adsorpsi di bawah ini.

menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2

BAB II LANDASAN TEORI

Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik PITER H NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB IV ANALISA KOMPONEN MESIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI

MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB III PERBAIKAN ALAT

KALOR. Peta Konsep. secara. Kalor. Perubahan suhu. Perubahan wujud Konduksi Konveksi Radiasi. - Mendidih. - Mengembun. - Melebur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan

BAB III DESAIN SISTEM REFRIGERASI ADSORPSI

2.1 TEORI SISTEM REFRIGERASI ADSORPSI

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk membuat agar bahan makanan menjadi awet. Prinsip dasar dari pengeringan

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Soal Suhu dan Kalor. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan benar!

T P = T C+10 = 8 10 T C +10 = 4 5 T C+10. Pembahasan Soal Suhu dan Kalor Fisika SMA Kelas X. Contoh soal kalibrasi termometer

MODIFIKASI MESIN PENDINGIN ADSORPSI PADA KOMPONEN KONDENSOR, RESERVOIR, KATUP EKSPANSI DAN EVAPORATOR

BAB II MESIN PENDINGIN. temperaturnya lebih tinggi. Didalan sistem pendinginan dalam menjaga temperatur

ANALISA KOMPONEN KOLEKTOR PADA MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI TENAGA SURYA DENGAN VARIASI SUDUT KOLEKTOR 0 0 DAN 30 0

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DENGAN MEDIA ABSORBSI KARBON AKTIF JENIS GAC DAN PAC

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Energi Matahari

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

SUHU DAN KALOR DEPARTEMEN FISIKA IPB

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN TUGAS AKHIR BAB II DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR...

REFRIGERAN & PELUMAS. Catatan Kuliah: Disiapakan Oleh; Ridwan

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumber energi alternatif dapat menjadi solusi ketergantungan

KIMIA TERAPAN (APPLIED CHEMISTRY) (PENDAHULUAN DAN PENGENALAN) Purwanti Widhy H, M.Pd Putri Anjarsari, S.Si.,M.Pd

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1)

BAB V ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1]

EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam

RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG

BAB II LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 ANALISA KONDISI MESIN

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pendinginan Tidak Langsung ( Indirect Cooling System 2.2 Secondary Refrigerant

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam

TINJAUAN PUSTAKA. Kapasitas penyerapan CO2..., Arnas, FT UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Energi surya merupakan energi yang didapat dengan mengkonversi energi radiasi

BAB II LANDASAN TEORI

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 2.21 Ducting AC Sumber : Anonymous 2 : 2013

BAB II LANDASAN TEORI

9/17/ KALOR 1

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Matahari Matahari adalah sebuah bulatan gas panas yang memiliki diameter 1,39 x 10 9 m dan mempunyai jarak rata-rata 1,5 x 10 11 m dari bumi. Matahari dianggap sebagai benda hitam dengan temperatur permukaan 5.762 K. Sedangkan temperatur pusat diperkirakan mencapai 8 x 10 6 40 x 10 6 K dengan massa jenis 100 kali dari air. Energi matahari merupakan hasil reaksi fusi yang kontinu antara gas hydrogen dan helium.(duffie 2006) 2.1.1 Intensitas Radiasi Pada Bidang Miring Radiasi per jam pada permukaan miring dan pada permukaan horizontal dari sebuah kolektor ditunjukkan pada gambar 2.1. G bn G bt θ G b G bn θ z β (a) (b) Gambar 2.1 Intensitas radiasi pada bidang horizontal (a), dan bidang yang dimiringkan (b)

Perbandingannya dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: dimana : R b = G b,t G b = G b,n.cosθ G b,n.cosθ z = cosθ cosθ z. (2.1) Rb = rasio intensitas radiasi pada bidang miring dengan bidang horizontal Gb,T = intensitas radiasi pada bidang miring (W/m 2 ) Gbn = intensitas radiasi matahari dengan sudut masuk normal pada bidang horizontal (W/m 2 ) θ = sudut datang radiasi; θ z = sudut zenith 2.1.2 Posisi Matahari Untuk menghitung intensitas radiasi matahari langsung pada sebuah permukaan miring dari data intensitas radiasi matahari pada sebuah permukaan horizontal dapat dihitung jika posisi matahari diketahui setiap saat. Posisi matahari juga digunakan untuk menentukan radiasi matahari yang diteruskan melalui kaca, dimana transmisivitas-absorpsivitasnya juga berubah-ubah sesuai dengan sudut matahari. Sudut datang radiasi matahari yang dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut: cos θ = cos(ϕ β) cos δ. cos ω + sin(ϕ β) sin δ...(2.2) Untuk permukaan yang dimiringkan, cos θ = cos θt (tilt). Beberapa parameter pada persamaan di atas dijelaskan sebagai berikut a. Posisi lintang (φ) Yaitu posisi suatu tempat dari bidang khatulistiwa, utara bernilai positif: -90 o φ 90 o.

b. Deklinasi (δ) Yaitu sudut posisi matahari pada siang hari sehubungan dengan bidang khatulistiwa. Utara bernilai positif; -23,45 δ 23,45. Nilai δ dapat ditentukan dengan persamaan berikut: δ = 23,45 sin(360 n 365 )......(2.3) dimana n adalah hari ke berapa dalam tahun tersebut. c. Kemiringan (β) Yaitu sudut antara bidang permukaan tertentu dengan bidang horizontal; 0 o β 90 o (β > 90 o berarti permukaan bidang menghadap ke bawah). d. Sudut Jam Matahari (ω) Yaitu pergeseran sudut dari matahari kearah timur/barat dari garis bujur local akibat rotasi bumi pada porosnya sebesar 15 o per jam, pagi negatif dan sore positif. Nilai ω dapat ditentukan dengan persamaan berikut: ω = (ts 12)x 360 24...(2.4) 2.2 Teori Umum Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cair ataupun gas) terikat pada suatu padatan (zat penyerap, adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat terserap, adsorbat) pada permukaannya. Berbeda dengan absorpsi yang merupakan penyerapan fluida oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu larutan.(pratama, 2009)

Untuk mengetahui karateristik yang terjadi dalam proses adsorpsi dapat diilustrasikan dengan gambar 2.4 dimana padatan berpori (pores) yang menghisap (adsorp) dan melepaskan (desorp) suatu fluida disebut adsorben. Molekul fluida yang dihisap tetapi tidak terakumulasi atau melekat pada adsorben disebut adsorptive, sedangkan yang terakumulasi disebut adsorbat. Seperti yang terlihat pada gambar 2.2 adsorbat Desorp/melepaskan adsorptive Adsorp/menghisap adsorben pores Gambar 2.2 Proses adsorpsi dengan karbon aktif (Pratama, 2009) 2.2.1 Jenis-Jenis Proses Adsorpsi Berdasarkan interaksi molecular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Adsorpsi Fisika (physical adsorption) Pada adsorpsi jenis ini, adsorpsi terjadi tanpa adanya reaksi antara molekul-molekul adsorbat dengan permukaan adsorbat. Molekul-molekul adsorbat terikat secara lemah karena adanya gaya van der waals. Adsorpsi ini relatif berlangsung cepat dan bersifat reversible (reversible). Karena dapat berlangsung di bawah temperatur kritis adsorbat yang relatif rendah, maka panas adsorpsi yang dilepaskan juga rendah. Adsorbat yang terikat secara lemah

pada permukaan adsorben, dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lain. Peristiwa adsorpsi fisika menyebabkan molekulmolekul gas yang teradsorpsi mengalami kondensasi. Besarnya panas yang dilepaskan dalam proses adsorpsi fisika adalah kalor kondensasinya.(purba, 2013) Proses adsorpsi terjadi tanpa memerlukan energi aktifasi, sehingga proses tersebut membentuk lapisan jamak (multilayers) pada permukaan adsorben. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan dengan mudah, yaitu melalui degassing atau pemanasan pada temperatur sekitar 150 0 C-200 0 C selama 2-3 jam. b. Adsorpsi Kimia (Chemical Adsorpstion) Adsorpsi ini terjadi karena adanya reaksi kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi jenis inilah yang biasa disebut absorption dan bersifat tidak reversible hanya membentuk satu lapisan tunggal (monolayer). Umumnya terjadi pada temperatur diatas temperatur kritis adsorbat. Sehingga kalor adsorpsi yang dibebaskan tinggi. Adsorben yang mengadsorpsi secara kimia pada umumnya sulit untuk diregenerasi. Perbedaan antara adsorpsi fisika dan kimia ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan antara adsorpsi fisika dan kimia (Taufan, Andi, 2008) Karateristik Adsorpsi Fisika Adsorpsi Kimia Gaya yang bekerja Gaya tarik secara fisika sehingga adsorpsi fisika sering disebut adsorpsi Van der Waals Gaya tarik atau ikatan kimia sehingga adsorpsi kimia sering disebut adsorpsi teraktifasi Tebal lapisan Banyak lapisan (multilayer) Satu lapis (single layer) Energi aktifasi Kurang dari 1 kkal/gr-mol 10-60 kkal/gr-mol Temperatur Kemampuan adsorpsi Jumlah zat teradsorpsi Driving force Terjadi pada temperatur di bawah titik didih adsorbat Lebih bergantung pada adsorbat daripada adsorben Sebanding dengan kenaikan tekanan Tidak ada transfer electron, meskipun mungkin terjadi polarisasi pada adsorbat Dapat terjadi pada temperatur tinggi Bergantung pada adsorben dan adsorbat Sebanding dengan banyaknya inti aktif adsorben yang dapat bereaksi dengan adsorbat Ada transfer electron, terbentuk pada ikatan antara adsorbat dan permukaan padatan Kalor adsorpsi 5-10 kkal/gr-mol gas 10-100 kkal/gr-mol gas 2.2.2 Adsorben Adsorben adalah zat padat yang digunakan untuk mengadsorp atom-atom atau ion-ion (disebut juga solute) yang terkandung dalam gas atau cairan. Adsorben yang memiliki kemampuan menyerap air disebut hydrophilic yaitu silica gel, zeolit, dan alumina aktif. Sedangkan adsorben yang memiliki kemampuan menyerap oli atau gas disebut hydrophobic yaitu karbon aktif dan adsorben yang polimer.

Kriteria-kriteria adsorben yang baik, antara lain: a. memiliki kapasitas tinggi untuk meminimalisasi jumlah adsorben yang diperlukan b. memiliki selektivitas tinggi untuk proses pemisahan c. memiliki sifat fisik dan sifat kimia yang mendukung proses perpindahan massa secara cepat d. memiliki stabilitas kimia dan termal, serta sifat kelarutan yang rendah terhadap fluida yang kontak dengan adsorben e. memiliki ketahanan fisik dan mekanik f. tidak memiliki kecenderungan untuk mendorong terjadinya reaksi-reaksi kimia yang tidak dikehendaki g. memiliki kemampuan untuk diregenerasi h. memiliki harga relatif murah 2.2.2.1 Karbon Aktif Sebagai Adsorben Karbon aktif merupakan zat padat amorf yang mempunyai luas permukaan internal dan volume pori yang sangat besar. Produk komersial karbon aktif memiliki luas permukaan spesifik antara 500-2000 m 2 /g, tetapi seiring perkembangan teknologi telah dikembangkan pula karbon aktif dengan luas permukaan spesifik antara 3500-5000 m 2 /g. Pada dasarnya karbon aktif dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbon, baik berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang. Bahan yang sering dibuat menjadi karbon aktif antara lain jenis kayu, sekam padi, tulang hewan, batu bara, tempurung kelapa, kulit biji kopi dan lain-lain. Daya serap dari karbon aktif umumnya bergantung pada senyawa karbon berkisar

85% sampai 95% karbon bebas. Semua jenis adsorbat dapat digunakan sebagai pasangan karbon aktif kecuali air. Dan pada gambar di bawah ini dapat kita lihat gambar 2.3 dan tabel sifat Adsorben pada tabel 2.2 Gambar 2.3 Karbon Aktif Adsorben karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari cangkang kelapa. Adapun sifat dari adsorben karbon aktif yang digunakan adalah sebagai berikut ini. Tabel 2.2 Sifat Adsorben Karbon Aktif (Purba, 2013) No Sifat Adsorben Karbon Aktif Nilai Sifat Karbon aktif 1 Massa Jenis 22 34 lb/ft 3 2 Panas Spesifik 0.27 0.36 BTU/lb F 3 Pore Volume 0,56 1,20 cm 3 /g 4 Diameter Rata-rata Pori 15-25 Å 5 Temperatur Regenerasi 100-140 C 6 Temperatur Maksimum Diizinkan 150 C 7 Ukuran Karbon Aktif 3 mm 2.2.2.2 Pembuatan Karbon Aktif Prinsip pembuatan karbon aktif adalah proses karbonisasi yaitu proses pembentukan bahan menjadi arang (karbon) kemudian diaktifasi.

a. Proses karbonisasi Proses karbonisasi umumnya dilakukan pada temperatur 600 o C 700 o C. Pada proses karbonisasi akan terjadi penguapan air (H2O) yang disusul dengan pelepasan gas karbondioksida (CO2) dan selanjutnya terjadi peristiwa eksotermis yang merupakan tahap permulaan proses karbonisasi. Karbonisasi dianggap sempurna jika asap sudah tidak terbentuk lagi. Kualitas hasil karbonisasi ditentukan oleh banyaknya kandungan karbon, semakin tinggi kandungan karbon maka semakin baik kualitasnya. b. Aktifasi karbon Proses pengaktifan karbon dilakukan dengan tujuan untuk memperbesar luas permukaan karbon dengan cara membuka pori-pori yang tertutup sehingga memperbesar kapasitas adsorpsi terhadap zat warna. Pori-pori dalam karbon umumnya mengandung tar, hidrokarbon, dan zat-zat organik lainnya seperti fixed carbon, abu, air, persenyawaan yang mengandung nitrogen dan sulfur. Langkah-langkah untuk mengaktifkan karbon dapat dilakukan dengan berikut ini: a. Arang dimasukkan ke dalam tangki aktivasi (pirolisis) dan ditutup rapat. b. Pastikan sambungan pipa pendingin, dan termocouple untuk pengamatan temperatur berfungsi sebagaimana mestinya. c. Alirkan air pendingin ke dalam pipa pendingin, kemudian kompor tungku pirolisis mulai dinyalakan. Kompor bisa menggunakan bahan bakar minyak tanah atau solar. Pengaturan api bisa diatur menggunakan kompresor.

d. Melakukan pengamatan terhadap kerja dari tungku aktivasi dengan mengamati kenaikan temperatur. Temperatur selama proses sekitar 600 C, apabila temperatur telah mencapai 600 C dan terlihat pada ujung pendingin tidak adanya tar (cairan berwarna coklat) yang keluar, ditandai dengan adanya gelembung air, maka pembakaran dipertahankan selama 3 jam. Setelah waktu tersebut proses telah selesai. Kemudian api dimatikan, dan tungku aktivasi dibiarkan sampai dingin, setelah itu bisa dibuka dan dikeluarkan untuk dilakukan penggilingan sesuai mesh yang diinginkan. Arang aktif atau karbon aktif siap digunakan. Untuk memenuhi kebutuhan bagi aplikasi-aplikasi spesifik, karbon aktif dibuat dan diklasifikasikan dalam bentuk granular, bubuk (powder) dan bentuk tertentu ((extrude). Karbon aktif granular diproduksi secara langsung dengan menggunakan bahan baku granular, misalnya serbuk gergaji. Karbon aktif yang berupa bubuk diperoleh dengan cara menggiling karbon aktif granular. Produk dengan bentuk tertentu (extrude) biasanya diproduksi dalam bentuk pellet silinder dengan cara extrusion bahan baku dengan binder yang sesuai sebelum bahan baku mengalami proses aktifasi. 2.2.2.3 Aplikasi Penggunaan Karbon Aktif Aplikasi penggunaan karbon aktif dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Aplikasi karbon aktif untuk fasa cair Karbon aktif yang digunakan untuk aplikasi fasa cair berbeda dengan karbon aktif untuk fasa gas. Perbedaannya terutama terletak pada distribusi ukuran pori dimana karbon aktif untuk fasa cair memiliki volume pori yang

lebih besar pada bagian macropore yang menyebabkan cairan dapat berdifusi lebih cepat ke bagian mesopore dan micropore. Karbon aktif yang digunakan untuk fasa cair dapat berupa bubuk, granular, maupun dalam bentuk tertentu. Aplikasi penggunaan karbon aktif pada fasa cair antara lain sebagai berikut : - penjernihan air (menghilangkan kontaminan) - pengolahan limbah cair industri (menghilangkan zat-zat berbahaya dan bahan organik lainnya dalam limbah cair) - dekolorisasi bahan pemanis, misalnya pemurnian gula - industri makanan dan minyak (proses pemurnian), dan industri minuman (menghilangkan bau tertentu pada minuman) b. Aplikasi karbon aktif untuk fasa gas Karbon aktif yang digunakan untuk aplikasi fasa gas umumnya berupa granular atau dengan bentuk tertentu (extrude). Karbon aktif untuk fasa gas terutama digunakan dalam proses-proses pemisahan. Proses pemisahan tersebut didasarkan pada perbedaan daya adsorpsi karbon aktif terhadap gas dan uap. 2.2.3 Adsorbat Adsorbat adalah substansi dalam bentuk cair atau gas yang terkonsentrasi pada permukaan adsorben. Adsorbat yang biasa digunakan pada sistem pendingin adalah air (polar substances) dan kelompok non-polar substances seperti metanol, etanol, amonia dan kelompok hidrokarbon.

2.2.3.1 Metanol Sebagai Adsorbat Metanol juga dikenal sebagai metil alcohol, wood alcohol atau spiritus adalah senyawa kimia dengan rumus CH3OH. Metanol merupakan bentuk alcohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan dari pada etanol). Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif bagi etanol industri. Dan pada gambar di bawah ini dapat kita lihat gambar 2.4 dan tabel sifat methanol pada tabel 2.3 Tabel 2.3 Sifat Metanol (Purba, 2013) Gambar 2.4 Metanol (CH3OH) No Sifat Metanol Nilai Sifat Metanol 1 Massa Jenis (cair) 0.79 Kg/liter 2 Ttitik Lebur -97.7 C 3 Titik Didih 64,5 C 4 Klasifikasi EU Flamamable (F), Toxic (T) 5 Panas Jenis (Cp) 2530 J/kg K 6 Panas Laten Penguapan (Le) 1168 kj/kg 2.3 Prinsip Sistem Pendinginan Adsorpsi Siklus pendingin adsorpsi berlangsung dengan penyerapan refrigeran/adsorbat dalam fasa uap ke dalam adsorbenpada tekanan rendah, kemudian refrigeran yang terserap pada adsorben didesorpsi dengan memberikan panas pada adsorben.

Bentuk sederhana siklus pendingin adsorpsi ditunjukkan pada gambar 2.5. Kondensasi/panas dilepas ke lingkungan Evaporasi/panas diserap ke lingkungan Gambar 2.5 Prinsip dasar adsorpsi-desorpsi Pada awalnya sistem dikondisikan pada tekanan dan temperatur rendah. Dua buah botol labu (vessel) yang berhubungan, dimana pada labu pertama terdapat adsorben (karbon aktif) yang mengandung adsorbat berkonsentrasi tinggi sedangkan pada labu kedua terdapat adsorbat dalam fasa uap. Labu pertama dipanaskan, sehingga tekanan dan temperatur sistem meningkat dan menyebabkan kandungan adsorbat yang ada di dalam adsorben berkurang atau menguap. Proses berkurangnya kandungan adsorbat pada adsorben pada kasus ini disebut proses desorpsi. Adsorbat yang menguap kemudian terkondensasi dan mengalir ke botol labu yang kedua, disini panas dilepaskan ke lingkungan dimana tekanan sistem masih tinggi. Pemanasan pada botol labu pertama dihentikan, lalu pada botol labu pertama

terjadi perpindahan panas ke lingkungan sehingga tekanan dan temperatur sistem menjadi rendah. Tekanan dan temperatur sistem yang rendah menyebabkan adsorbat cair pada botol labu yang kedua menguap dan terserap ke botol labu pertama yang berisi adsorben. Proses terserapnya adsorbat ke adsorben pada kasus ini disebut adsorpsi. Proses adsorpsi menghasilkan efek pendinginan yang terjadi pada botol labu yang kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan diserap untuk menguapkan adsorbat sampai sistem kembali ke kondisi awal dimana pada botol labu yang pertama berisi adsorben dengan kandungan adsorbat berkonsentrasi tinggi dan pada botol labu kedua terdapat adsorbat dalam fasa gas. 2.4 Siklus Ideal Sistem Pendingin Adsorpsi Adsorpsi dan desorpsi merupakan suatu proses yang dapat berlangsung secara reversibel. Adsorpsi merupakan proses exothermic dimana adsorben dan adsorbat melepaskan panas sehingga penurunan pergerakan molekul adsorbat yang mengakibatkan adsorbat menempel pada permukaan adsorben dan membentuk suatu lapisan tipis. Ketika panas diberikan kepada sistem tersebut maka pergerakan molekul adsorbat akan meningkat sehingga jumlah panas tertentu akan menghasilkan energi kinetik molekul adsorbat yang cukup untuk merusak gaya van der Walls antara adsorben dan adsorbat. Proses pelepasan adsorbat dari adsorben disebut sebagai proses desorpsi, dimana proses ini membutuhkan energi panas sehingga disebut proses endothermic. Jumah adsorbat yang terkandung di dalam adsorben dapat digambarkan oleh garis isoters pada diagram tekanan vs temperatur (Ln P vs -1/T) seperti pada gambar 2.6 di bawah ini:

L n P Saturation Curve ISOTERS -1/T Gambar 2.6 Diagram tekanan vs temperatur pada garis isoters. Siklus mesin pendingin adsorpsi tidak membutuhkan energi mekanis, melainkan membutuhkan energi panas. Pada saat mesin pendingin beroperasi, beberapa proses yang terjadi pada adsorber yang melibatkan proses endothermic dan exothermic. Proses endothermic berlangsung selama proses pemanasan (peningkatan tekanan) dan proses pemanasan-desorpsi-kondensasi, sedangkan proses exothermic berlangsung selama proses pendinginan (penurunan tekanan) dan proses pendinginan-adsorpsi-evaporasi. Keempat proses tersebut membentuk suatu siklus yang digambarkan oleh diagram Clapeyron ideal seperti pada gambar 2.7 L n P P kon Kondensasi Desorpsi D C B Pevap E Evaporasi A Adsorpsi F Tevap Tkond TA TB TF TD Gambar 2.7 Diagram Clapeyron Ideal

Kempat proses tersebut adalah sebagai berikut: 1. Proses pemanasan (pemberian tekanan) Selama proses ini, tidak ada aliran metanol yang masuk maupun keluar dari adsorber. Adsorber menerima panas sehingga temperatur adsorber meningkat dan diikuti oleh peningkatan tekanan dari tekanan evaporasi menjadi tekanan kondensasi. Proses ini sama seperti proses kompresi pada sistem pendingin mekanik. Proses ini diilustrasikan pada gambar 2.8. Qin Adsorber Condenser Evaporator Katup Gambar 2.8 Proses pemanasan 2. Proses pemanasan-desorpsi-kondensasi Selama periode ini, adsorber terus dialiri panas sehingga adsorber terus mengalami peningkatan dan temperatur yang menyebabkan timbulnya uap desorpsi. Sementara itu, katup aliran ke kondensor dan evaporator dibuka sehingga adsorbat dalam bentuk gas mengalir ke kondensor untuk mengalami proses kondensasi. Kalor laten pengembunan adsorbat diserap oleh media pendingin pada kondensor. Siklus ini sama dengan siklus kondensasi pada sistem pendingin mekanik. Proses ini diilustrasikan pada gambar 2.9.

Qin Adsorber Condenser Katup Evaporator Gambar 2.9 Proses pemanasan-desorpsi-kondensasi 3. Proses pendinginan (penurunan tekanan) Selama periode ini, tidak ada aliran metanol yang masuk maupun keluar dari adsorber. Adsorber melepaskan panas dengan cara didinginkan sehingga temperature di adsorber turun dan diikuti penurunan tekanan kondensasi ke tekanan evaporasi. Proses ini sama seperti proses ekspansi pada sistem pendingin mekanik. Proses ini diilustrasikan seperti pada gambar 2.10. Qout Adsorber Condenser Katup Evaporator Gambar 2.10 Proses pendinginan 4. Proses pendinginan-adsorpsi-evaporasi Selama periode ini, adsorber terus melepaskan panas sehingga adsorber terus mengalami penurunan temperatur dan tekanan yang menyebabkan timbulnya uap adsorpsi. Sementara itu, katup aliran dari evaporator ke

adsorber dibuka sehingga adsorbat dalam bentuk uap mengalir dari evaporator ke adsorber. Adsorbat dalam bentuk uap dihasilkan dari proses penyerapan kalor oleh adsorbat dari lingkungan sebesar kalor laten penguapan adsorbat tersebut. Proses ini berlangsung pada temperatur saturasi yang rendah pula. Proses ini diilustrasikan pada gambar 2.11. Qout Adsorber Condenser Katup Evaporator Gambar 2.11 Proses pendinginan-adsorpsi-evaporasi 2.4.1 Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Daya Adsopsi Daya adsorpsi dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu: 1. Jenis adsorbat a. Ukuran molekul adsorbat Ukuran molekul yang sesuai merupakan hal yang penting agar adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. b. Kepolaran zat Apabila berdiameter sama, molekul-molekul polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul tidak polar. Molekul-molekul polar akan menggantikan molekul-molekul yang kurang polar meskipun sudah teradsorpsi terlebih dahulu.

2. Karateristik adsorben a. Kemurnian adsorben Sebagai zat yang mengadsorpsi, maka adsorben dengan kemurnian yang lebih tinggi lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi lebih baik. b. Luas permukaan dan volume pori adsorben Jumlah molekul adsorbat yang teradsorpsi meningkat dengan bertambahnya luas permukaan dan volume pori adsorben. 3. Temperatur absolut (T) Temperatur yang dimaksud adalah temperatur adsorbat. Pada saat molekul-molekul gas atau adsorbat melekat pada permukaan adsorben akan terjadi pembebasan sejumlah energi yang dinamakan peristiwa eksotermis. Berkurangnya temperatur akan menambah jumlah adsorbat yang teradsorpsi demikian juga peristiwa sebaliknya. 4. Tekanan (P) Tekanan yang dimaksud adalah tekanan adsorbat. Kenaikan tekanan adsorbat dapat menaikkan jumlah yang diadsorpsi. 5. Interaksi Potensial (E) Interaksi potensial antara adsorbat dengan dinding adsorben sangat bervariasi, tergantung dari sifat-sifat adsorben.

2.5 Sistem Mesin Pendingin Siklus Adsorpsi 2.5.1 Kolektor Surya Kolektor surya dapat didefinisikan sebagai sistem perpindahan panas yang menghasilkan energi panas dengan memanfaatkan radiasi sinar matahari sebagai sumber energi utama. Ketika cahaya matahari menimpa absorber pada kolektor, sebagian cahaya akan dipantulkan kembali ke lingkungan, sedangkan sebagian besar akan diserap dan dikonversi menjadi energi panas, lalu panas tersebut kemudian dimanfaatkan guna berbagai aplikasi. Kolektor surya yang pada umumnya memiliki komponen-komponen utama, yaitu : 1. Cover, berfungsi untuk mengurangi rugi panas secara konveksi menuju lingkungan 2. Absorber, berfungsi untuk menyerap panas dari radiasi cahaya matahari. 3. Kanal, berfungsi sebagai saluran transmisi fluida kerja. 4. Isolator, berfungsi meminimalisasi kehilangan panas secara konduksi dari absorber menuju lingkungan 5. Frame, berfungsi sebagai struktur pembentuk dan penahan beban kolektor 2.5.1.1 Klasifikasi Kolektor Surya Terdapat tiga jenis kolektor surya yang diklasifikasikan ke dalam Solar Thermal Collector System dan juga memiliki korelasi dengan pengklasifikasian kolektor surya berdasarkan dimensi dan geometri dari receiver yang dimilikinya, yaitu: a. Kolektor Surya Pelat Datar (Flat-Plate Collector) b. Concentrating Solar Collectors/ Compound Parabolic Collector (CPC)

c. Evacuated Tube Collectors 2.5.1.2 Kolektor Surya Pelat Datar (Flat-Plate Collector) Tipe ini dirancang untuk aplikasi yang membutuhkan energi panas pada temperatur di bawah 100 C. Spesifikasi tipe ini dapat dilihat dari absorbernya yang berupa pelat datar yang terbuat dari material dengan konduktivitas termal tinggi, dan dilapisi dengan cat berwarna hitam. Kolektor pelat datar memanfaatkan radiasi matahari langsung dan terpencar (beam dan diffuse), tidak membutuhkan pelacak matahari, dan hanya membutuhkan sedikit perawatan. Aplikasi umum kolektor tipe ini antara lain digunakan untuk pemanas air, pemanas gedung, pengkondisian udara, dan proses panas industri. Komponen penunjang yang terdapat pada kolektor pelat datar antara lain; transparent cover, absorber, insulasi, dan kerangka, seperti terlihat pada gambar 2.12 Gambar 2.12 Kolektor surya pelat datar sederhana 2.5.2 Kondensor Kondensor adalah salah satu jenis mesin penukar kalor (heat exchanger) yang berfungsi untuk mengkondensasikan fluida kerja dengan cara membuang kalor ke lingkungan sehingga uap refrigeran akan mengembun dan berubah fasa dari uap ke cair. Sebelum masuk ke kondensor refrigeran berupa uap yang bertemperatur dan bertekanan tinggi, sedangkan setelah keluar dari kondensor

refrigeran berupa cair jenuh dan bertemperatur lebih rendah tetapi dengan tekanan sama (tinggi) seperti sebelum masuk ke kondensor. Berdasarkan jenis media pendingin yang digunakan, kondensor dibagi menjadi tiga jenis yaitu: a. Kondensor berpendingin air (water cooled condenser) Kondensor berpendingin air dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: - Kondensor yang air pendinginnya dibuang langsung - Kondensor yang air pendinginnya disirkulasikan kembali b. Kondensor berpendingin udara (air cooled condenser) Ada dua metode mengalirkan udara pada jenis ini, yaitu konveksi alamiah dan konveksi paksa dengan bantuan kipas. Konveksi secara alamiah mempunyai laju aliran udara yang melewati kondensor sangat rendah, karena hanya mengandalkan kecepatan angin yang terjadi saat itu. Kondensor yang menggunakan bantuan kipas angin dalam mensirkulasikan media pendinginnya dikenal sebagai kondensor berpendingin udara konveksi paksa. c. Kondensor evaporatif (evaporative condenser) Kondensor evaporative pada dasarnya adalah kombinasi kondensor yang menggunakan air dan udara sebagai media pendinginnya. 2.5.3 Evaporator Pada prinsipnya, evaporator hampir sama dengan kondensor, yaitu samasama alat penukar kalor yang fungsinya mengubah fasa refrigeran. Bedanya, jika pada kondensor refrigeran berubah fasa dari uap menjadi cair, maka pada evaporator refrigeran berubah fasa dari cair menjadi uap. Perbedaan berikutnya, sebagai komponen pada siklus refrigerasi, pada evaporator lah sebenarnya tujuan

itu tercapai. Artinya jika pada kondensor fungsinya hanya membuang panas ke lingkungan, maka pada evaporator panas harus diserap untuk menyesuaikan dengan beban pendingin di ruangan. Berdasarkan cara evaporator mengambil beban pendingin dari ruangan, sistem pendingin dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu direct cooling sistem dan indirect cooling sistem. 2.6 Performansi Mesin Pendingin Siklus Adsorpsi Tenaga Surya 2.6.1 Energi Panas Radiasi Total yang Diterima Kolektor Total energi panas radiasi yang diterima oleh suatu permukaan kolektor, Qit, dapat ditentukan dengan persamaan berikut: Q it = G i A c [J]........(2.5) Dimana: Gi = adalah fluks energi/intensitas matahari yang diterima sepanjang hari (J/m 2 ) Ac = adalah luas permukaan area kolektor yang terpapar sinar matahari (m 2 ). 2.6.2 Energi Panas Radiasi yang Digunakan Kolektor Energi panas radiasi yang digunakan kolektor, Qic, merupakan energi yang digunakan kolektor atau yang diserap adsorben (karbon aktif) untuk menaikkan temperaturnya dan selanjutnya digunakan untuk melepaskan/mendesorpsi adsorbat (metanol). Energi panas aktual yang digunakan kolektor, Qic, dapat dihitung dengan persamaan berikut: Q ic = (m ac C pac + m r C pr )ΔT g + m r h sg [J].....(2.6)

Dimana: mac = adalah massa karbon aktif (kg) Cpac = adalah kalor jenis karbon aktif (J/kg o C) mr = adalah massa metanol yang akan didesorpsi (kg) Cpr = adalah kalor jenis metanol (J/kg o C) ΔTg = adalah temperatur pemanasan kolektor maksimal mrhsg = adalah energi panas laten metanol (J). 2.6.3 Kapasitas Kalor yang Diserap Evaporator Kapasitas kalor yang diserap evaporator, Quc, merupakan jumlah panas yang diserap evaporator dari air untuk menurunkan temperaturnya saat proses adsorpsi. Jumlah air, mw, yang akan didinginkan di dalam wadah air yang bersentuhan dengan evaporator akan mengalami perubahan temperatur Tw, jika air mencapai temperatur pembekuan, maka sejumlah es, mi, akan dihasilkan. Jika semua air membeku, es akan mengalami perubahan temperatur, Ti. Dalam kasus ini, mw = mi dan kapasitas kalor yang diserap evaporator, Quc (useful cooling),, dapat dengan mudah dievalusi dengan persamaan berikut: Q uc = m w C pw ΔT w + m i h sf + m i C pi ΔT i [J]..(2.7) Dimana m w = adalah massa air (kg) Cpw = adalah panas jenis air (J/kg o C) ΔTw = adalah penurunan temperatur air ( o C) mi = adalah massa es yang terbentuk (kg) hsf = adalah panas laten es (KJ/kg) Cpi = adalah panas jenis es (J/kg o C)

ΔTi = adalah penurunan temperatur es ( o C) 2.6.4 Efisiensi Termal Kolektor Surya Efisiensi termal kolektor surya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: η = Q ic Q it...... (2.8) dimana Qic adalah energi panas yang digunakan kolektor (J), Qit adalah energi panas total yang diterima kolektor (J). 2.6.5 COP Sistem (Coeffiecient of Performance) COP dari sebuah mesin pendingin dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: Koefisien performansi siklus aktual: COP uc = Q uc Qic (2.9) Koefisien performansi sistem keseluruhan: COP uo = Q uc Qit..(2.10) Beberapa hasil penelitian dari mesin pendingin siklus adsorpsi tenaga surya dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 2.4 COP Mesin Pendingin Siklus Adsorpsi Peneliti M.Pons, Guilleminot J.J Tipe Kolektor Pasangan Adsorben- Adsorbat COPuo Pelat Datar (6 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.12 Tulus B.Sitorus, dkk Pelat Datar (0.25 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.028-0.064 E.E Anyanwu. C.I.Ezeckwe Pelat Datar (1.2 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.007 0.015 P.H.Grenier, dkk Pelat Datar (20 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.10 Sakoda A, M.Suzuki Pelat Datar (0.4 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.113 0.193

M. Li, dkk Pelat Datar (0.75 & 1.5 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.12 & 0.14 A. Mahesh Pelat Datar (12 m 2 ) Karbon aktif metanol 0.23