Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA DIKUASAI PIHAK KETIGA BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. kesulitan baik karena keterbatasan dana sehingga sudah sewajarnya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

II. Tinjauan Pustaka. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dana merupakan salah satu faktor penting dan strategis dalam

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit tersebut.jaminan merupakan hal yang

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Guna

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang serius ialah lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya di sektor keuangan turut menentukan maju mundurnya aktifitas dunia usaha di Indonesia. Oleh karena itu lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan yang ada di Indonesia mempunyai kedudukan yang strategis karena ikut berperan penting dalam penyediaan dana atau kredit yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatankegiatan dibidang perekonomian, selain masih merupakan sumber dana primer bagi kebanyakan orang. Melalui berbagai kegiatan/jasa keuangan yang ditawarkan, lembaga perbankan dapat bertindak sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan memberikan pelayanan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan melalui berbagai macam fasilitas. Pelayanan kredit yang diberikan pihak bank salah satunya adalah fasilitas kredit dengan jaminan fiducia. Adanya jaminan fiducia ini, diharapkan pelunasan kredit oleh penerima kredit atau debitur dapat terlaksana sesuai kesepakatan atau yang di janjikan. Dasar adanya jaminan kredit ini, adalah Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dari ketentuan tersebut, kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit itu dikemudian hari. Jika dijabarkan lagi, pemenuhan pengembalian pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kredit didasarkan pada kepercayaan akan kemampuan penerima kredit untuk mengembalikannya. Selain hal tersebut, penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa bahwa: Sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,

agunan (jaminan) dan prospek usaha dari nasabah debitur. Dengan demikian dalam pemberian kredit bank yang ingin mendapatkan kepastian pengembalian uangnya dapat meminta kepada debitur untuk adanya jaminan. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 K.U.H.Perdata, yang menerangkan bahwa segala kebendaan si berhutang menjadi jaminan untuk segala perikatannya. Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya atau kreditur, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dari uraian tersebut fiducia pertama kali timbul atas dasar kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan benda-benda bergerak, tetapi bendabenda itu masih dikuasai oleh debitur secara fisik, sehingga yang diserahkan kepada kreditur adalah hak milik atas barang tersebut secara kepercayaan. Hal demikian ini merupakan suatu yang menguntungkan bagi debitur karena hanya mengedepankan faktor kepercayaan para pihak. Oleh karena itu dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia, disamping perjanjian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan atas barangbarang yang dirinci secara lengkap dan jelas yang tercantum dalam formulir dari bank. Penyerahan barang tersebut, dilakukan secara constitutum possessorium sehingga debitur tetap menguasai benda itu sebagai peminjam. Untuk kredit-kredit kecil dalam praktek perbankan lazimnya perjanjian fiducia dituangkan dalam model-model tertentu dari bank, sedangkan untuk kreditkredit besar lazim dituangkan dalam akta notaris.

Di dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia ada kalanya terjadi tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur, baik tidak dikembalikannya kredit pada waktu yang telah diperjanjikan, atau diebitur memindah-tangankan benda jaminan yang ada dalam kekuasaannya sebagai pinjaman. Apabila debitur memindahtangankan benda jaminan, dan pada saat yang bersamaan debitur yang bersangkutan sudah tidah mampu membayar pelunasan hutangnya, maka pihak bank akan mengalami kesulitan untuk meminta hak atas jaminan tersebut. Sebelumnya sudah ditentukan bahwa debitur dilarang memindahtangankan jaminan kepada siapapun, namun dapat saja karena sifat dari debitur yang nakal dan menjual atau mengadaikan barang jaminan kepada pihak lain. Pihak bank hanya memegang jaminan surat kepemilikannya saja (misal STNK atau BPKB), sehingga bank akan dirugikan, dan pihak bank tidak mudah untuk menarik jaminan karena sudah beralih ke tangan orang lain. Atas dasar tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul, Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fiducia Di BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis dapat merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tindakan BRI dalam hal debitur terlambat melakukan pembayaran kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur? 2. Bagaimanakah penyelesaian dalam hal debitur memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tindakan BRI dalam hal debitur terlambat melakukan pembayaran kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur. 2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian dalam hal debitur memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur. D. Tinjauan Pustaka Perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan perjanjian dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam

lapangan hukum kekayaan, seperti yang dimaksud dalam Buku III K.U.H.Perdata. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 K.U.H.Perdata adalah sebagai berikut, Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya. Menurut Hartono Hadisoeprapto, perjanjian adalah sumber perikatan yang terpenting, sebab memang yang paling banyak perikatan itu terbit dari adanya perjanjian-perjanjian. 1 Agar perjanjian itu sah, menurut Pasal 1320 K.U.H.Perdata diperlukan 4 (empat) syarat, adapun syarat-syarat tersebut adalah: 1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Mengenai suatu hal tertentu. 4. Sebab-sebab yang halal. Syarat-syarat tersebut merupakan syarat mutlak atau syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dua syarat yang pertama merupakan syarat subyektif karena mengenai subyeknya atau orangnya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu perjanjian ada 1 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 35.

kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Hartono Hadisoeprapto adalah, tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. 2 Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat juga karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi di luar kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai kesalahan. Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu: 1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian. 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu, di mana tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasi. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka menurut ketentuan 2 Ibid, hal. 73.

Pasal 1238 K.U.H.Perdata, debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah, hukuman atau sanksi sebagai berikut: 1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur. 2. Dalam perjanjian timbal balik, wanpretasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim. 3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi, ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. 4. Debitur atau kreditur yang terbukti melakukan wanprestasi membayar biaya perkara apabila ia diperkarakan dimuka hakim. 5. Pemenuhan perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi. 3 Alasan tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang dirugikan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian. 4 3 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1995, hal. 61. 4 Setyawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1984, hal. 27.

Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa: 1. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek perjanjian. 2. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur. 3. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun oleh kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua): 1. Bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan dimana prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan tersebut terhenti sama sekali. 2. Bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana kewajiban berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi setelah keadaan memaksa berhenti. Sehubungan dengan ketentuan umum tentang perjanjian, Pasal 1319 K.U.H.Perdata menyatakan bahwa, Semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain. Salah satu perjanjian yang tidak dikenal dengan nama tertentu seperti disebut dalam K.U.H.Perdata adalah perjanjian kredit. Di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, terdapat pengertian mengenai kredit sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang

dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dari Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut dapat diketahui bahwa kredit diperoleh atas dasar persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan peminjam. Perjanjian pinjam meminjam uang diatur dalam Pasal 1754 jo 1756 K.U.H.Perdata. Marhainis Abdul Hay dalam bukunya Rachmadi Usman mengemukakan bahwa, perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 5 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah: Perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang, perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil, dikuasai oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bagian Umum K.U.H.Perdata. 6 Penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua pihak. Dalam aspek yang riil perjanjian kredit 5 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia, 2001, hal. 261. 6 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Cetakan Ke Lima, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 57.

bank tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada model-model perjanjian kredit yang digunakan di lingkungan perbankan. Dalam prakteknya, istilah kredit juga digunakan untuk penyerahan uang, sehingga jika digunakan kata kredit, istilah itu meliputi baik perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang bersifat riil. Jelaslah kiranya untuk mengetahui sifat perjanjian kredit yang tidak cukup melihat K.U.H.Perdata atau Undang-undang Perbankan Tahun 1998 saja, akan tetapi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang dipakai dalam praktek perbankan, yaitu model-model perjanjian kredit. Kredit yang dilepaskan oleh bank memerlukan pengamanan, tanpa adanya pengamanan bank sulit untuk mengelakkan risiko yang datang sebagai akibat tidak berprestasinya debitur. Agar bank terlepas dari risiko tersebut atau setidak-tidaknya memikul risiko yang sekecil-kecilnya, bank senantiasa ingin mendapatkan kepastian bahwa kredit yang dilepaskan tersebut dipergunakan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan serta dapat kembali dengan aman. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan tersebut, bank melakukan tindakantindakan pengamanan dan meminta nasabah agar mengikatkan suatu barang tertentu sebagai jaminan dalam pemberian kreditnya. Berkaitan dengan kredit dari bank, di dalam Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, disebutkan bahwa dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib

mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan. Dari ketentuan tersebut, ternyata kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit itu dikemudian hari. Jika dijabarkan lagi, pemenuhan pengembalian pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kredit didasarkan pada kepercayaan akan kemampuan penerima kredit untuk mengembalikannya. Untuk memperoleh keyakinan tentang kemampuan tersebut di dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa: Sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan (jaminan) dan prospek usaha dari nasabah debitur. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara debitur dan kreditor;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 7 Sifat perjanjian kredit seperti perjanjian pada umumnya adalah konsensuil, yaitu sudah terjadi pada saat ada kesepakatan antara bank dengan penerima kredit pada saat ditanda tanganinya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan pendapat Mariam Badrulzalam, bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan yang merupakan hasil permufakatan antara pemberi dengan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Di samping itu perjanjian kredit juga bersifat riil, yaitu apabila didasarkan kepada Pasal 1754 K.U.H.Perdata dihubungkan dengan penafsiran para praktisi hukum, maka perjanjian kredit bersifat riil, dengan kata lain perjanjian kredit benar-benar terjadi dengan diserahkannya kredit oleh bank kepada pemohon. Dalam pemberian kredit bank yang ingin mendapatkan kepastian pengembalian uangnya dapat meminta kepada debitur untuk adanya jaminan. Pengertian jaminan adalah tanggungan atas suatu perikatan yang terjadi karena perjanjian, demi terlaksananya perjanjian itu. Dengan kata lain adanya jaminan memberikan kepastian hukum bahwa suatu perjanjian akan dapat terlaksana seperti yang diharapkan para pihak yang membuatnya, yaitu kreditur dan debitur. Dari pengertian itu, bagi kreditur jaminan berfungsi sebagai pengaman bagi terlaksananya perjanjian yang dibuat bersama dengan 7 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 228.

debitur. Disamping itu juga ada kepastian hukum tentang terlaksananya perjanjian tersebut. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan memberikan arti jaminan dalam arti luas, karena dalam undang-undang ini jaminan tidak dalam pengertian yuridis saja, tetapi juga dalam pengertian ekonomi. Jaminan disini berupa jaminan yang sifatnya materiil dan immateriil. Di dalam K.U.H.Perdata jaminan diatur dalam Buku II yang dapat digolongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut obyeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain sebagainya. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda kekayaan debitur disebut jaminan umum. Jaminan umum ini lahir karena undang-undang, yaitu adanya ketentuan undang-undamg yang menentukan bahwa semua harta benda debitur baik benda bergerak maupun benda tetap dapat dijadikan jaminan bagi seluruh perutangannya. Pasal 1132 K.U.H.Perdata menentukan bahwa hasil penjualan dari benda-benda yang menjadi jaminan dibagi antara para kreditur seimbang dengan besar piutangnya masing-masing. Kreditur dengan jaminan umum ini disebut dengan kreditur konkuren, karena para kreditur mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh para pihak terlebih

dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang. 8 Jaminan yang lahir karena adanya perjanjian, yaitu jaminan khusus. Jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur. Kreditur dalam jaminan khusus ini disebut kreditur preferen, karena kreditur memegang hak yang pemenuhan piutangnya harus didahulukan. Di dalam perjanjian dengan jaminan khusus, ada jaminan yang bersifat kebendaan maupun jaminan yang bersifat perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan perbedaan antara jaminan umum dengan jaminan khusus, yaitu: 1. Jaminan umum mengenai semua benda bergerak maupun tidak bergerak, sudah ada maupun yang masih akan ada, sedangkan dalam jaminan khusus bendanya bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak. 2. Kedudukan kreditur dalam jaminan umum sama di dalam pemenuhan piutangnya, sedangkan dalam jaminan khusus pemenuhan piutangnya didahulukan. 8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Yogyakarta, Departemen Kehakiman, 1980, hal. 45.

Lembaga jaminan yang mempunyai sifat kebendaan adalah hak tanggungan, gadai dan fiducia. Jaminan yang demikian mempunyai ciri-ciri: 1. Dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2. Selalu mengikuti bendanya, kemanapun juga benda itu berada (zaaksgevolg, droit de suite). 3. Mengenal asas prioriteit. 4. Mempunyai droit de preference. 5. Dapat diperalihkan. Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu atas harta kekayaan debitur umumnya. 9 Selain ciri-ciri yang membedakan antara jaminan kebendaan dengan jaminan perorangan, dapat disebutkan pula bahwa jaminan perorangan mengenal asas kesamaan disamping asas prioriteit yang dikenal dalam jaminan kebendaan. Asas kesamaan yang dikenal dalam jaminan perorangan mempunyai arti bahwa piutang yang terjadinya lebih dulu tidak dibedakan dengan piutang yang terjadinya belakangan. Termasuk dalam jaminan perorangan adalah, perjanjian penanggungan, perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung dan lain-lain. Selain pembedaan lembaga jaminan atas jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, dikenal pula adanya jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak. Pembedaan atas benda bergerak dan benda 9 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hal. 60.

tidak bergerak mempunyai arti penting, karena atas dasar pembedaan tersebut, dapat ditentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan. Misalnya benda jaminan berupa benda bergerak, maka dapat digunakan lembaga jaminan yang berbentuk gadai atau fiducia, sedangkan apabila benda jaminan berupa benda tetap maka dapat digunakan lembaga jaminan yang berbentuk hak tanggungan. 10 Jaminan yang merupakan pengamanan pembayaran kembali kredit yang diberikan, dapat juga dibedakan atas jaminan dengan menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Jaminan yang diberikan dengan menguasai bendanya misalnya pada gadai, lama-kelamaan dalam praktek perkreditan di Indonesia dirasakan berat untuk dilaksanakan, karena debitur justru memerlukan benda jaminan itu untuk dipakai sehari-hari dalam rumah, pekerjaan atau perusahaan. Atas dasar tersebut maka lahirlah fiducia, yaitu jaminan tanpa menguasai bendanya, karena syarat inbezitstelling tidak dapat dilaksanakan. Perjanjian dengan jaminan tanpa menguasai bendanya ini dilakukan dengan membuat perjanjian jaminan khusus, yaitu membuat perjanjian tambahan selain perjanjian pokoknya. Fidusia atau Fidusiaire Eigendomsoverdracht yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan adalah penyerahan hak milik secara constitutum possessorium, yaitu Penyerahan barang dari debitur kepada kreditur, tanpa 10 Sri Seodewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal. 57.

diikuti dengan fisik barangnya, karena benda tetap berada dalam kekuasaan debitur. 11 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Lembaga jaminan fidusia merupakan jaminan hak milik secara kepercayaan. Hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dan kreditur merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia atau debitur percaya bahwa kreditur akan mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi hutangnya. Kreditur percaya bahwa debitur juga tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan bersedia memelihara barang tersebut. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia, disamping perjanjian pemberian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia) atas barang-barang yang terinci secara lengkap dan jelas tercantum dalam formulir tertentu dari bank, dan penyerahan barang dilakukan di tempat barang berada yang dilakukan dengan penyerahan secara constitutum possessorium serta peminjam tetap menguasai benda itu sebagai penyimpan. 11 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 19.

Pada prinsipnya semua benda, baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, dapat dijaminkan dengan fidusia. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 memberi pengertian yang luas terhadap benda yang dapat dijadikan obyek fidusia yaitu, benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, seperti: barang-barang perniagaan, inventaris, ternak, kendaraan bermotor, saham-saham, surat-surat piutang dan lain sebagainya. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia ada hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kreditur maupun debitur. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia, disamping perjanjian pemberian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia), oleh karena itu dengan adanya penyerahan hak milik secara kepercayaan oleh debitur, maka terhitung pada saat ditanda-tanganinya perjanjian fidusia, debitur bukan lagi sebagai pemilik dari barang yang dijaminkan, melainkan hanya sebagai peminjam pakai. E. Metode Penelitian Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris sebagai berikut: 1. Objek Penelitian

Penyelesaian dalam hal debitur memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. 2. Subjek Penelitian a. Pimpinan atau wakil BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. b. Debitur yang memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit pada BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. 3. Sumber Data a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan subyek penelitian. b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepuatakaan (library research) yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fiducia. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara bebas, namun berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. 5. Metode Pendekatan Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang mana dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada aspekaspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data yang diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan. 6. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang ada antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan dan menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan.