P - 79 HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY UNTUK MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA DI KOTA BENGKULU

dokumen-dokumen yang mirip
KETERLAKSANAAN LEARNING TRAJECTORY PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

MEMBANGUN SUATU SITUASI-DIDAKTIS DALAM PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang jika

KECAKAPAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING

Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNNES dalam Menyelesaikan Masalah Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

MATHEMATICAL CREATIVE THINKING ABILITY AND MULTIPLE INTELEGENCE BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

Pengaruh Model Pembelajaran Koperatif Tipe Think Talk Write Terhadap Kemampuan Komunikasi Dan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah. membawa berbagai perubahan hampir di setiap aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Isu mutakhir dalam pembelajaran matematika saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PEMBEKALAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

Sikap Siswa terhadap Matematika dan Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang jika

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dhias Mei Artanti, 2013

PENGGUNAAN PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA DI KOTA BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

2014 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE) 5E UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP

P - 63 KEMANDIRIAN BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS TERHADAP SOAL-SOAL OPEN ENDED

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dan prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu sama lain. Guru tidak hanya

DIDACTICAL DESIGN RESEARCH (DDR) DALAM PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN KEPENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tirana Auliya Nugraha, 2013

Penelitian Pembelajaran Matematika Untuk Pembentukan Karakter Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Becker dan Shimada (1997: 1) mengungkapkan bahwa we propose to call problem

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

Oleh Nila Kesumawati Jurusan Pendidikan Matematika, FKIP Universitas PGRI Palembang

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

Puspa Handaru Rachmadhani, Muhardjito, Dwi Haryoto Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu ilmu yang dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan.

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATISDAN DISPOSISI MATEMATISDALAM PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATANANG S FRAMEWORK FOR MATHEMATICAL MODELLING INSTRUCTION

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB II KAJIAN TEORITIK

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS Apa, Mengapa, dan Bagaimana?

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan dunia hampir di semua aspek kehidupan manusia, berkembang

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Disposisi Matematis Siswa SMA

P 6 Pengaruh Model Pembelajaran Koperatif Tipe Think Talk Write Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Koneksi Matematis

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS DAERAH LAYANG-LAYANG PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

DRAFT JURNAL PENELITIAN DOSEN PEMBINA PEMETAAN HIGH ORDER THINGKING (HOT) MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SE-KOTA TASIKMALAYA TIM PENGUSUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. siswa, dari Sekolah Dasar (SD) hingga SMA bahkan juga di Perguruan

Jurnal Pedagogika dan Dinamika Pendidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Munandar (1987) menyatakan bahwa berpikir kreatif (juga disebut berpikir

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Slameto (2010:3) belajar adalah proses usaha yang

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN LANGSUNG DENGAN PENDEKATAN PROBLEM POSING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. secara kolaboratif dalam memecahkan masalah. Karena untuk menghadapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan seorang akan menjadi manusia yang berkualitas. UU No 20 tahun

ARTIKEL ILMIAH PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN BERPIKIR KREATIF PESERTA DIDIK PADA MATERI LAJU REAKSI KELAS XI SMA/MA. Oleh: TRIHARYATI A1C113019

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUKMENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIK DAN SELF EFFICACY

I. PENDAHULUAN. Dalam menghadapi perkembangan zaman, siswa dituntut menjadi individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPA FISIKA BERORIENTASI KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DI SMPN 13 BANJARMASIN

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

Diajukan Oleh : IRFAKNI BIRRUL WALIDATI A

BAB I PENDAHULUAN. matematika di sekolah memiliki tujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Desain Didaktis Konsep Mengukur Sudut di Kelas V Sekolah Dasar

P 32 MODEL DISAIN DIDAKTIS PEMBAGIAN PECAHAN BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR

Penerapan Pendekatan Konstektual untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Siswa SMA

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat pesat.

Transkripsi:

P - 79 HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY UNTUK MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA DI KOTA BENGKULU Risnanosanti Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMB email: rnosanti@yahoo.com Abstrak Pembelajaran matematika bertujuan tidak hanya agar siswa menguasai materi matematika namun juga diharapkan berkembangnya kemampuan berpikir dalam diri siswa. Salah satu kemampuan berpikir yang harus dimiliki oleh siswa adalah kemampuan berpikir kreatif matematis. Kesiapan siswa dalam melaksanakan pembelajaran menjadi hal yang utama agar siswa dapat meneriman materi serta mengembangkan kemampuan berpikirnya dengan baik. Matematika yang hanya dipahami secara tekstual dari bahan-bahan ajar yang tertulis akan mengakibatkan proses pembelajaran menjadi tidak bermakna. Proses pembelajaran tentu saja tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, sehingga dibutuhkan persiapan yang matang sebelum menyampaikan konsep matematika. Persiapan mengajar perlu dilakukan agar pemyampaian materi tidak bersifat monoton dan dapat berdasarkan pada karakteristik siswa. Oleh karena itu untuk mempersiapkan siswa dalam belajar perlu adanya suatu hypothetical learning trajectory (HLT) yang tepat. Artikel ini akan membahas mengenai apa yang dimaksud dengan HLT, bagaimana menyusun suatu HLT khususnya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Kata Kunci: Hypothetical Learning Trajectory, Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis PENDAHULUAN Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia perlu untuk selalu ditingkatkan sehingga memiliki kemampuan yang memadai agar dapat memenangkan berbagai persaingan pada era globalisasi saat ini. SDM yang diharapkan dapat memenuhi tantangan kemajuan serta persaingan yang bersifat global adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir secara kritis, logis, sistematis, dan kreatif sehingga mampu menghadapi berbagai permasalahan kehidupan secara mandiri dengan penuh rasa percaya diri. Upaya peningkatan kualitas SDM tersebut perlu dikembangkan sehingga menyentuh aspek-aspek yang memungkinkan seseorang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui program pendidikan yang berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir. Pengembangan kemampuan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui matematika yang secara substansial dapat mendorong pengembangan kemampuan berpikir siswa. Kemampuan berpikir yang penting dalam pendidikan matematika diantaranya adalah kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Pada saat seseorang diberikan suatu permasalahan, diharapkan dia dapat menghadapinya secara kritis serta mencoba Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa" pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

untuk mencari penyelesaiannya dengan kreatif sehingga diperoleh penyelesaian yang terbaik. Sehingga mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan pada lingkungan yang sama seperti mengembangkan kemampuan berpikir kreatif. Jadi untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat dilakukan secara bersamaan. Beberapa hasil penelitian (Ratnaningsih, 2007; Wardani, 2009; Risnanosanti, 2010; Ismaimuza, 2010; Noer, 2010) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi termasuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Namun pembelajaran matematika saat ini pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah, yang ditandai dengan diberikannya tugas-tugas yang masih bersifat prosedural. Secara umum ditemukan beberapa karakteristik pembelajaran matematika yang muncul di setiap tingkatan mulai dari SD sampai dengan SMA yaitu: (1) pembelajaran umumnya dilakukan secara tradisional yaitu guru menjelaskan untuk seluruh siswa dalam kelas, (2) jika pembelajaran dilakukan dalam setting kooperatif, siswa lebih banyak bekerja sendiri-sendiri, (3) guru berperan sebagai figur utama dalam menentukan aktivitas dan mengendalikan proses pembelajaran, (4) guru yang menentukan posisi duduk siswa serta aktivitas belajarnya, (5) Interaksi antar siswa dengan siswa jarang terjadi dan siswa juga kurang berinisiatif untuk melakukan komunikasi dengan guru. Oleh karena itu pengembangan kemampuan berpikir, khususnya yang mengarah pada kemampuan berpikir matematis perlu mendapat perhatian yang serius. Berpikir meliputi dua aspek utama yaitu kritis dan kreatif. Menurut Glazer (2004) berpikir kritis matematis adalah suatu kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasikan, membuktikan, atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dalam cara yang reflektif. Sedangkan berpikir kreatif matematis adalah suatu proses yang produktif dalam arti bahwa berpikir kreatif matematis menghasilkan suatu idea atau produk baru. Sehingga guru dalam melakukan pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran matematika harus memfasilitasi siswa dalam mengembangkan proses berpikir matematis dalam hal ini kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Beberapa hasil penelitian menyarankan untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis dan pemecahan masalah guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: jenis kemampuan berpikir matematis yang sesuai untuk siswa, jenis bahan ajar yang digunakan, setting kelas, peran guru, dan otonomi siswa. Jenis kemampuan berpikir matematis atau karakteristik dari kemampuan berpikir matematis yang ingin dikembangkan harus menjadi acuan awal untuk mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan tujuan yang ingin dicapai, perkembangan siswa, kemampuan guru, serta lingkungan sekolah. Apabila guru ingin mengembangkan bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa, disarankan untuk memperhatikan karakteristik masalah yaitu proses penyelesaian masalah bersifat terbuka, dan cara untuk menyelesaikan masalah juga terbuka. Mengembangkan serta mengimplementasikan bahan ajar yang memuat tugas-tugas matematika yang sesuai sehingga memungkinkan siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya secara aktif merupakan suatu hal yang sangat sulit bagi guru maupun peneliti pendidikan matematika secara umum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Doyle (dalam Henningsen dan Stein, 1997) yang menyatakan bahwa Such engagement can evoke in student a desire for a reduction in task complexity that, MP-744

in turn, can lead them to pressure teachers to further specify the procedures for completing the task or to relax accountability requirement. Namun beberapa ahli menyakini bahwa dengan pengungkapan cara penyelesaian yang dilakukan siswa akan mendorong pemahaman konseptualnya, serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematisnya. Hal ini akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa secara efektif. Dalam merencanakan suatu pembelajaran, guru perlu membuat prediksi tentang bagaimana kemungkinan siswa belajar matematika secara khusus, prediksi dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana kemampuan berpikir dan pemahaman siswa akan berkembang dalam aktivitas belajar yang dirancang oleh guru. Suatu hypothetical learning trajectory (HLT) atau lintasan belajar disediakan oleh guru harus didasarkan pada pemikiran untuk memilih disain pembelajaran khusus, sehingga hasil belajar terbaik sangat mungkin untuk dicapai. Hal ini dapat terlihat dalam pemikiran dan perencanaan yang terjadi dalam pengajaran, termasuk respon spontan yang dibuat dalam menanggapi pemikiran siswa. Pengajuan learning trajectory dapat hanya berupa hipotesis, karena pengalaman guru membuat keputusan dan mengadaptasi aspek-aspek dari aktivitas yang direncanakan dalam respon adalah untuk membuktikan pemikiran dan belajar yang dilakukan siswa, perbedaan aspek dan tingkat pemahaman akan menjadi jelas terlihat bagi guru. Selain itu istilah hipotesis digunakan agar guru menjadi fleksibel dalam merubah arah pembelajaran dan mengadaptasi aspek-aspek aktivitas yang telah direncanakan dalam menanggapi respon siswa sepanjang pembelajaran. Oleh karena learning trajectory yang dirancang masih berupa hipotesis atau dugaan maka disebut dengan HLT. Pengembangan HLT diformulasikan dalam tiga komponen yaitu: tujuan pembelajaran, instrumen pembelajaran yang akan digunakan, dan hypothetical learning process yang mengantisipasi bagaimana proses berpikir kritis dan kreatif matematis siswa yang dikembangkan. Sehingga dalam mengembangkan suatu disain rancangan pembelajaran perlu untuk memformulasikan hypothetical learning trajectory (HLT) serta memperhatikan segi didaktis dan pedagogis yang terdapat di dalamnya. Jadi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa perlu adanya pemberian tugas matematika dan bahan ajar tertentu yang dilengkapi dengan lintasan belajar yang juga khusus, sesuai dengan karakteristik siswa yang belajar. Oleh karena itu penelitian ini akan mengembangkan bahan ajar dan learning trajectory (lintasan belajar) bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematisnya. Mengembangkan serta mengimplementasikan bahan ajar yang memuat tugas-tugas matematika yang sesuai sehingga memungkinkan siswa menggunakan kemampuan berpikir kreatifnya secara aktif merupakan suatu hal yang sangat sulit bagi guru maupun peneliti pendidikan matematika secara umum. Oleh karena itu diperlukan contoh bahan ajar serta learning trajectory yang tepat dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, sehingga guru dapat menggunakannya dalam pembelajaran di kelas serta menjadikannya contoh untuk membuat serta memodifikasi bahan ajar dan lintasan belajar tersebut. TUJUAN PENELITIAN Fokus utama penelitian ini adalah pengembangan bahan ajar serta learning trajectory (lintasan belajar) matematika yang dapat digunakan untuk MP-745

menumbuh-kembangkan kemampuan kreatif matematis siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Kota Bengkulu. Penelitian ini dikerjakan dalam dua tahap dengan masing-masing tahap dikerjakan dalam satu tahun. Tahap terakhir penelitian ditujukan untuk memperoleh hal berikut: (1) Bahan ajar dan learning trajectory (lintasan belajar) dalam bentuk final yang sudah melalui proses ujicoba luas. (2) Deskripsi hasil ujicoba luas. KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS Secara normal, tiap individu memiliki potensi dasar mental yang berkembang dan dapat dikembangkan. Potensi dasar itu berupa minat, dorongan ingin tahu, dorongan ingin membuktikan kenyataan, dorongan ingin menyelidiki, dan dorongan ingin menemukan sendiri. Oleh karena potensi dasar ini dapat berkembang dan dikembangkan, maka setiap orang termasuk siswa mempunyai kemungkinan untuk memiliki kemampuan berpikir kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda. Kreativitas merupakan hasil interaksi dari kedua belahan otak yang ada pada diri seseorang, selain itu kreativitas dapat juga merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih, maka kreativitas tidak dapat berkembang atau bahkan bisa menjadi lumpuh. Seseorang dapat menjadi kreatif dengan melatih diri untuk berpikir kreatif. Ada empat langkah penting dalam melatih berpikir kreatif yakni: 1) dalam berpikir jangan mudah puas dan jangan menerima apa adanya, 2) jangan terpaku pada satu cara, 3) pertajam rasa ingin tahu, 4) perlu latihan otak. Otak manusia dengan segala potensinya memberikan peluang untuk dimanfaatkan secara maksimum bagi kehidupan, dan pendidikan merupakan cara terbaik untuk mengisinya. Meskipun pendidikan bukan merupakan penentu satu-satunya untuk melahirkan orang-orang kreatif, namun pendidikan memiliki peranan yang besar dalam proses tersebut. Seorang guru memiliki peran yang besar tidak hanya pada prestasi belajar siswa tetapi juga pada sikap siswa belajar pada umumnya. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu, dapat merusak motivasi, dan dapat menghambat kreativitas anak. Guru dapat mempengaruhi anak lebih kuat dibandingkan orang tua, karena guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merangsang atau menghambat perkembangan anak. Oleh karena itu diperlukan kesadaran dari guru untuk selalu berusaha menyediakan lingkungan yang memungkinkan kreativitas itu muncul, memupuknya, dan merangsang pertumbuhannya. Definisi kreativitas sangat beragam, sehingga tidak satu pun dianggap dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini karena kreativitas merupakan bidang kajian yang kompleks yang dapat menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Keativitas dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau perilaku manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan atau masalah. Kreativitas juga dapat dipandang sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur dalam pikiran, sehingga merupakan suatu kegiatan yang penuh tantangan bagi siswa yang kreatif. (Risnanosanti, 2010). Berdasarkan uraian tentang kreativitas di atas, maka untuk keperluan penelitian ini yang dimaksudkan adalah kreativitas dalam berpikir atau kemampuan berpikir kreatif. Secara umum terdapat 5 macam ciri kreatif untuk mengukur kemampuan kreatif seseorang. Berpikir kreatif dalam hal ini diukur melalui aspek kelancaran, keluwesan, keterperician, kepekaaan dan keaslian. Adapun uraian mengenai aspek kemampuan berpikir kreatif itu adalah sebagai berikut. MP-746

1) Kelancaran (fluency): kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan. 2) Keluwesan (flexibility): kemampuan untuk menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, mencari banyak alternatif yang berbeda, dan mampu mengubah cara pendekatan. 3) Keterperincian (elaboration): Kemampuan untuk mengembangkan suatu gagasan, menambah atau memerinci secara detil suatu obyek, gagasan, atau situasi. 4) Kepekaan (sensitivity): kemampuan untuk menangkap dan menghasilkan masalah-masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi. 5) Keaslian (Originality): kemampuan untuk mengemukakan pendapat dirinya sendiri sebagai tanggapan terhadap suatu situasi yang dihadapi LEARNING TRAJECTORY (LINTASAN BELAJAR) Dalam merancang suatu pembelajaran yang eksploratif, guru perlu mempertimbangkan aspek hubungan antara guru-materi-siswa. Karena dengan mengupayakan terjadinya suatu hubungan yang baik antara ketiga komponen tersebut dalam suatu situasi pembelajaran akan menghasilkan proses pembelajaran yang efektif. Menurut Kansanen (Suryadi, 2008) hubungan antar guru-materi-siswa digambarkan melalui sebuah segitiga didaktis, yang memuat hubungan antara guru dan siswa yang disebut hubungan pedagogis (HP) dan hubungan antara siswa dengan materi yang disebut dengan hubungan didaktis (HD). Dalam menganalisis segitiga ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain, pertama tidak ada satu komponen dalam segitiga ini yang memainkan peranan utama artinya ketiga anggota segitiga didaktis ini mempunyai peranan yang sama. Setiap riset yang mempelajari topik belajar-mengajar harus mempertimbangkan komponen-komponen segitiga tersebut pada level yang sama atau dengan kata lain setiap anggota mempunyai peranan yang sama. Aspek hubungan antara guru dengan materi menekankan pada penguasaan materi yang harus dimiliki guru. Peran guru yang paling utama dalam konteks segitiga didaktis adalah menciptakan suatu situasi didaktis sehingga terjadi proses belajar dalam diri siswa. Menurut Brousseau (Suryadi, 2008) menyatakan bahwa aksi seorang guru dalam proses pembelajaran akan menciptakan sebuah situasi yang tersedia tidak serta merta menciptakan proses belajar, akan tetapi dengan suatu pengkondisian misalnya melalui teknik scaffolding. Dalam menciptakan suatu situasi didaktis ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu: aspek kejelasan masalah dilihat dari model sajian maupun keterkaitan dengan konsep yang diajarkan, aspek prediksi respon siswa atas setiap masalah yang disajikan, aspek keterkaitan antar situasi didaktis yang tercipta pada setiap sajian masalah berbeda dan aspek pengembangan intuisi matematis. Dalam teori situasi didaktis siswa membangun sendiri pengetahuannya bukan karena diajarkan harus seperti itu, tetapi karena logika dalam diri siswa pada situasi yang menuntunnya menuju ke pengetahuan. Merancang suatu situasi didaktis memerlukan mempertimbangkan hubungan siswa dengan materi, yaitu sesuatu yang menjadi inti dari proses pembelajaran. Sisi segitiga didaktis yang menghubungkan siswa dengan materi diekspresikan dengan kata kerja to learn, yang aktivitas utamanya ditandai oleh motivation-interest-volition. Sedangkan Toom (2006: 31) menyatakan bahwa hubungan siswa dengan materi meliputi konsepsi siswa, sikap dan pengalamannya terhadap materi yang akan dipelajari, serta motivasi mereka untuk mempelajari materi tersebut. Jadi, materi pelajaran bukanlah yang MP-747

harus ditransfer dari guru ke siswa, tetapi hubungan materi dengan siswa ini dapat diwujudkan dalam bentuk siswa yang harus mengkonstruksi pengetahuan yang akan dipelajari sendiri. Peran guru dalam konteks ini adalah membuat suatu materi atau bahan ajar yang menunjang agar siswa tertarik, termotivasi, dan memiliki kemauan memahami materi tersebut. Hubungan ini menggambarkan interaksi antara guru dan siswa yang merupakan prasyarat yang penting agar terlaksana suatu proses pembelajaran yang efektif. Menurut Toom (2006: 31) guru sebagai orang dewasa yang mempunyai pengetahuan yang lebih dari siswa, dan siswa bergantung pada guru, sehingga secara alami hubungan pedagogis ini sebenarnya tidak simetri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pemahaman tentang otoritas guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung baik. Dalam merencanakan suatu pembelajaran, guru perlu membuat prediksi tentang bagaimana kemungkinan siswa belajar matematika secara khusus, suatu prediksi bagaimana berpikir dan pemahaman siswa akan berkembang dalam aktivitas belajar yang dirancang oleh guru. Suatu hypothetical learning trajectory (HLT) atau lintasan belajar disediakan oleh guru dengan dasar pemikiran untuk memilih disain pembelajaran khusus, sehingga sebagai guru dapat membuat keputusan disain yang didasarkan pada perkiraan terbaik bagaimana hasil belajar yang mungkin dicapai. Hal ini dapat terlihat dalam pemikiran dan perencanaan yang terjadi dalam pengajaran sebelumnya, termasuk respon spontan yang dibuat dalam menanggapi pemikiran siswa. Istilah learning trajectory digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam aktivitas belajar matematika. Selain itu istilah Learning trajectory juga digunakan untuk serangkaian pembelajaran atau suatu lintasan belajar. Selanjutnya trajectory dari aktivitas untuk keseluruhan pembelajaran, berkisar seputar aktivitas belajar khusus yang mungkin hanya digunakan sebagai bagian dari pembelajaran matematika di kelas. Pengajuan learning trajectory dapat hanya berupa hipotesis, karena pengalaman guru membuat keputusan dan mengadaptasi aspek-aspek dari aktivitas yang direncanakan dalam respon adalah untuk membuktikan pemikiran dan belajar yang dilakukan siswa, perbedaan aspek dan tingkat pemahaman akan menjadi jelas kelihatan bagi guru. Selain itu istilah hipotesis digunakan agar guru menjadi fleksibel dalam merubah arah pembelajaran dan mengadaptasi aspek-aspek aktivitas yang telah direncanakan dalam menanggapi respon siswa sepanjang pembelajaran. Oleh karena learning trajectory yang dirancang masih berupa hipotesis atau dugaan maka disebut dengan HLT. Pengembangan HLT diformulasikan dalam tiga komponen yaitu: tujuan pembelajaran; instrumen pembelajaran yang akan digunakan; dan hypothetical learning process yang mengantisipasi bagaimana proses berpikir kreatif siswa yang dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas maka dalam mengembangkan suatu disain rancangan pembelajaran perlu untuk memformulasikan hypothetical learning trajectory (HLT) serta memperhatikan segi didaktis dan pedagogis yang terdapat di dalamnya. METODE PENELITIAN Proses pengembangan tugas matematika dan bahan ajar, serta learning trajectory (lintasan belajar) yang dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan berpikir kreatif matematis dirancang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria yang digunakan untuk menilai tugas matematika dan bahan ajar adalah validitas dan reliabilitas bahan ajar dan learning trajectory tersebut. Dalam MP-748

penelitian ini, bahan ajar yang dirancang dikatakan valid, jika telah memenuhi ciri-ciri dan tujuannya untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif matematis. Validitas dalam penelitian ini termasuk validitas isi, validitas konstruk dan validitas empirik. Validitas isi meninjau tentang ketepatan materi yang digunakan untuk siswa tingkat SMA, dan bentuk soal yang divergen dalam jawaban maupun cara penyelesaian. Validitas konstruk meninjau tentang ketepatan dalam susunan/konstruksi tugas seperti butir pertanyaan jelas, dapat dimengerti atau mudah tertangkap maknanya, tidak menimbulkan penafsiran ganda dan benar-benar mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Validitas empirik meninjau tentang kesesuaian dari butir-butir tugas untuk mengidentifikasi aspek-aspek berpikir kritis dan kreatif matematis. Untuk learning trajectory dilakukan validitas rasional dengan meminta saran, pendapat, komentar, maupun penilaian kepada reviewer atau orang yang dianggap ahli dalam bidang pendidikan matematika. Reliabilitas mengacu pada konsistensi dari prosedur penilaian mengukur apa yang harus diukur. Pada penelitian ini menggunakan tipe konsistensi internal, yaitu melihat apakah butir-butir tugas dapat berfungsi secara sama (homogen) untuk mengidentifikasi indikator-indikator kemampuan berpikir kreatif siswa. Derajat reliabilitasnya tidak diukur/dianalisis secara numerik. Hasil bahan ajar yang diperhatikan adalah apakah siswa dapat menunjukkan indikator berpikir kreatif atau tidak. Untuk mengetahui reliabilitasnya kepada siswa diminta untuk mengerjakan tugas tersebut. Apabila dari 2 atau lebih siswa cenderung memahami buti-butir tugas/bahan ajar tersebut itu dan menunjukkan indikator kemampuan berpikir kreatif matematis, maka tugas tersebut dikatakan reliabel. Proses pengembangan bahan ajar dan learning trajectory dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Merancang bahan ajar dan contoh alternatif penyelesaiannya serta learning trajectory untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir kreatif. Tugas tersebut berupa pemecahan masalah matematis yang didalamnya memungkinkan siswa menunjukkan indikator kemampuan berpikir kreatif. Semua materi yang digunakan sesuai dengan kurikulum yang berlaku di SMA. Dengan demikian secara rasional bahan ajar yang dirancang sesuai dengan ciri atau karakter tugas untuk mengidentifikasi berpikir kreatif siswa. Tugas-tugas tersebut merupakan draf-1. 2. Tugas draf 1 itu divalidasikan dari segi isi maupun konstruknya kepada 5 validator. Instrumen atau lembar validasi dirancang peneliti dan validator juga dapat memberikan komentar maupun saran pada naskah bahan ajar secara langsung. Hasil validasi tersebut digunakan peneliti untuk merevisi tugas-tugas tersebut. Hasil ini ditindak-lanjuti dengan merevisi tugas dan memperbaiki dari aspek konstruk maupun bahasanya. Revisi tugas draf-1 menghasilkan tugas draf-2. 3. Draf 2 itu kemudian divalidasikan kembali pada 3 orang guru dan diujicobakan secara terbatas kepada beberapa orang siswa. Hasil revisi dari draf 2 ini merupakan prototipe tugas final. 4. Selanjutnya, draf tugas ini diujicobakan secara terbatas pada salah satu SMA. Siswa yang dipilih untuk ujicoba terbatas ini termasuk pada kelompok yang mempunyai kemampuan sedang, sehingga pemahaman terhadap isi maupun konstruk tugas ini dapat dipandang sebagai pemahaman rata-rata siswa di sekolah tersebut maupun di sekolah lain yang paling banyak pada kelompok sedang. MP-749

Simpulan keseluruhan dari proses perancangan bahan ajar ini adalah dihasilkan bahan ajar final (hasil revisi tugas draf 2) untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir kreatif siswa yang valid dan reliabel. KESIMPULAN Mengembangkan serta mengimplementasikan bahan ajar yang memuat tugas-tugas matematika yang sesuai sehingga memungkinkan siswa menggunakan kemampuan berpikir kreatifnya secara aktif merupakan suatu hal yang sangat sulit bagi guru maupun peneliti pendidikan matematika secara umum. Oleh karena itu diperlukan suatu contoh atau prototipe bahan ajar dan learning trajectory yang dapat dijadikan acuan bagi guru-guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswanya. DAFTAR PUSTAKA Glazer, E. (2004). Technologi Enhanced Learning Environment that are Conductive to Critical Thinking in Mathematics: Implication for Research about Critical Thinking on the Word Wide Web. [Online]. Tersedia: http://www.lonestar.texas.net~mseifert/crit2.html. Henningsen, M. dan Stein, M.K. (1997), Mathematical Task and Student Conigtion: Classroom Based Factors That Support and Inhibit High-Level Thinking and Reasoning, JRME, 28, 524-549. Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Noer, S.H. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif, dan Reflektif (K2R) Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Risnanosanti. (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Suryadi, D. (2008). Metapedadidakdik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi Pengembangan Diri Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Matematika pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 22 April 2008. Toom, A. (2006). Tacit Pedagogical Knowing: At the Core of Teacher s Professionality. Academic Dissertation to be publicly discussed, by due permission of the Faculty of Behavioural Sciences at the University of Helsinki. Wardani, S. (2009). Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreativitas dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. MP-750