TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebuah niatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, niscaya

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB I PENDAHULUAN. bermakna perbuatan ibadah kepada Allah SWT, dan mengikuti Sunnah. mengikuti ketentuan-ketentuan hukum di dalam syariat Islam.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara laki-laki dan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PROSES AKAD NIKAH. Publication : 1437 H_2016 M. Disalin dar Majalah As-Sunnah_Baituna Ed.10 Thn.XIX_1437H/2016M

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai ajarannya. Ajaran serta aturan-aturan yang telah di atur dalam Islam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI AD{AL DALAM PERKAWINAN MENURUT FIQIH 4 MADZAB. Kata wali menurut bahasa berasal dari kata (الولي) dengan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

tradisi jalukan pada saat pernikahan. Jalukan adalah suatu permintaan dari pihak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar

STUDI ANALISIS PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PULSA DENGAN HARGA DIBAWAH STANDAR

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 1. jumlah rukun pernikahan. Namum perbedaan tersebut bukanlah dalam hal

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

BERULANGKALI WALINYA MENOLAK ORANG YANG MEMINANG, APAKAH BOLEH WANITA MENIKAH SENDIRI?

BAB I PENDAHULUAN. tersebut diucapkan sebagai bentuk perjanjian suami atas isterinya, diucapkan

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

). )زواج 2 Kata na-ka-h}a banyak terdapat dalam Al-Qur an dengan arti

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH. yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. 1

BAB IV. berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al Qur'an dan sunnah

KEDUDUKAN SAKSI WANITA DALAM PERKAWINAN MENURUT MAZHAB HANAFI SKRIPSI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN PAKSA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA.

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV. perkawinan itu terpenuhi. Hal pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HADIAH/ UANG YANG DIBERIKAN OLEH CALON ANGOTA DPRD KEPADA MASYARAKAT DI KECAMATAN DIWEK

Kajian Hermeneutika Maqashid Al-Syari ah Sebagai Hikmah Al-Tasyri Hukum Wali Pernikahan dalam Kitab Al-Umm SITI AISYAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH DI DESA

BAB I PENDAHULUAN. membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WALI. pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang 1.

BAB V PEMBAHASAN. A. Praktek Dan Pemahaman Masyarakat Desa Pinggirsari Kecamatan Ngantru tentang Kafa ah Dalam Perkawinan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

P E N E T A P A N Nomor 20/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1

BAB IV USIA PERKAWINAN OLEH BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL JAWA TIMUR

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB II KEDUDUKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

Munakahat ZULKIFLI, MA

BAB II KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN. kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN WALI BAGI MEMPELAI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA GAJAH MUNGKUR

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB I PENDAHULUAN. menuju zaman modern. Ziauddin Sardar menyebut zaman modern merupakan

ANALISIS YURIDIS PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Makna dari mahar pernikahan yang kadang kala disebut dengan belis oleh

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Kaidah Fiqh. Seorang anak dinasabkan kepada bapaknya karena hubungan syar'i, sedangkan dinasabkan kepada ibunya karena sebab melahirkan

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin,

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

PEMBEBASAN NAFKAH SEMENTARA DALAM PERKAWINAN DI DESA MOJOKRAPAK KECAMATAN TEMBELANG

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Terhadap Modernisasi Mahar Nikah di KUA Jambangan Surabaya

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG MANIPULASI AKTA NIKAH DALAM PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

Transkripsi:

1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Oleh: Faisal Azhari 11210010 Menurut Hukum Islam, dalam kajian kitab-kitab fiqih, suatu pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukun. Adapun hukum dan kedudukan wali dalam pernikahan menempati posisi yang sangat penting, karena apabila dalam suatu pernikahan tanpa adanya wali dari pihak mempelai perempuan, maka pernikahan tersebut dikatakan tidak sah atau batal. Dengan begitu peran wali menjadi sangat vital dalam pelaksanaan perkawinan yang sesuai dengan aturan Negara, terlebih menurut hukum Islam. Dalam Hukum Islam, kedudukan wali nikah sangat penting, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dari Abu Musa, bahwa : عن ايب موسى قال : قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم : ال ن كا ح ا ال ب و ل Artinya : Dari Abu Musa, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali. Berdasarkan Hadits tersebut dimungkinkan akan muncul sebuah pemahaman bahwa hak untuk menikahkan wanita itu di tangan walinya. Menurut Sayyid Sabiq pengertian wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat 1

2 dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. 1 Jadi sudah jelas bahwa Hukum Islam mengakui adanya hak wali untuk menikahkan seorang perempuan yang berada dalam kuasanya. Dalam prinsip maqashid al syari ah, menarik atau mengambil kebaikan (kemashlahatan) dan menolak atau menghindari keburukan (kemafsadatan). Dari konsep wali sebagai rukun dalam pernikahan, yang mengharuskan wali adalah seorang laki-laki, hal ini menimbulkan gelombang protes dari para pejuang gender. Apalagi jika mencermati pandangan madzhab Imam Hanafi yang tidak memasukkan wali dalam rukun nikah. Hal ini menimbulkan penafsiran bahwa suatu pernikahan dikatakan sah, meskipun tanpa wali. Bahkan menimbulkan implikasi hukum bahwa perempuan boleh menikahkan (mengakadkan) dirinya sendiri, tanpa harus didampingi seorang wali. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i tentang hukum wali dalam pernikahan? 2. Bagaimana tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam kajian hermeneutika? 3. Bagaimana tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam perspektif gender? C. Metode Penelitian 1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz II (Beirut : Dar Fikr, 1995), h. 197. 2

3 Paradigma yang digunakan adalah tinjauan maqashid al-syari ah menggunakan pendekatan hermeneutic. Jenis penelitian ini termasuk penelitian normatif (kepustakaan). Adapun sumber data yang dipakai yaitu sumber sekunder yang sudah tertulis dalam literatur kitab fiqh, menggunakan analisis komparatif. Tinjauan Pustaka 1. Maqashid al-syari ah Maqashid al Syari ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat dapat ditelusuri dalam ayatayat Al-Qur an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. 2 2. Hukum dan Kedudukan perwalian dalam pernikahan Dari berbagai sumber yang peneliti temukan, menyebutkan bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri maupun orang lain. Di sinilah peran seorang wali dibutuhkan untuk melakukan akad nikah, sekaligus menjadi wakil dari pihak perempuan. Apabila seorang perempuan tetap bersikeras melakukan akad nikah tanpa adanya wali, maka pernikahan tersebut dikatakan batal. Terutama pernikahan dari orang yang belum mukallaf. 3 Dalam pandangan imam madzhab terdapat perbedaan tentang kedudukan wali sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad. Menurut jumhur ulama termasuk Syafi i sepakat bahwa bagi mempelai yang masih kecil, wali merupakan rukun dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan bagi perempuan yang masih kecil tidak dapat melakukan akad 2 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 233. 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 69. 3

4 dengan sendirinya, maka dari itu diperlukan wali untuk menjadi wakil dari perempuan tersebut. Lain halnya dengan Imam Hanafi yang berpendapat bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi perempuan yang telah dewasa, baik masih gadis atau sudah janda, ulama berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan perbedaan interpretasi pada dalil yang dijadikan dasar dalam konsep perwalian dalam pernikahan. 3. Hermeneutika Dalam hermeneutika Fazlur Rahman, dijelaskan dengan tegas bahwa konteks sosio-historis merupakan faktor utama dalam melahirkan makna sebuah teks, dan penerapan metode gerak ganda (double movement) akan menjadikan perintah-perintah Al-Qur an hidup dan efektif kembali. Adapun metodologi yang digunakan dalam memahamial-qur an adalah metodologi historis, yakni suatu upaya serius, kritis, dan mendalam dalam memahami pesan-pesan Al-Qur an dengan memeprtimbangkan faktor-faktor luar, seperti faktor social, politik ataupun geografis. 4 Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa teori hermeneutika dapat dikatakan sebagai salah satudari sekian banyak metode yang dapat digunakan untuk menafsirkan teks kitab suci, termasuk Al-Qur an. Hal ini dapat dilihat dari nilai sejarah yang terkandung dalam awal kemunculan dan perkembangan hermeneutika sampai saat ini. 4 M. Faisol, Hermeneutika Gender Perempuan dalam Tafsir Bahr al-muhith, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 26. 4

5 Pembahasan A. Analisis Perbandingan pendapat Imam Hanafi dengan Imam Syafi i tentang hukum wali dalam pernikahan Setelah peneliti melakukan pengkajian dari beberapa sumber yang telah peneliti temukan, kemudian mencermati dan membandingkan pendapat dari kedua Imam madzhab, yaitu pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi i maka peneliti menjumpai persamaan dan perbedaan yang mendasar di antara keduanya, sebagai berikut: No. Analisis Perbandingan Hukum Wali dalam Pernikahan Variabel Pendapat Imam Hanafi Pendapat Imam Syafi i Ket. 1 Wali dalam Rukun Nikah 2 Pernikah an anak kecil yang belum baligh 3 Pernikah an perempu an dewasa yang sudah baligh 4 Urutan wali nikah Wali bukan merupakan rukun dalam suatu pernikahan Pernikahan yang dilakukan oleh seorang anak kecil yang belum baligh, baik berakal sehat maupun tidak, diwajibkan adanya wali dalam pernikahan Pernikahan yang dilakukan oleh perempuan dewasa, yang sudah baligh, berakal sehat baik masih gadis maupun sudah janda, maka diperbolehkan untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa harus melalui wali Adapun urutan wali adalah sebagai berikut : anak laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya Wali merupakan rukun dalam suatu pernikahan Bagi mempelai pengantin wanita yang masih kecil, belum baligh, maka wali merupakan rukun dalam pernikahan. Bagi mempelai pengantin wanita yang sudah dewasa, baligh, berakal sehat, maka wali merupakan rukun dalam pernikahan. Adapun yang lebih berhak menjadi wali adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, Berbeda Sama Berbeda Berbeda 5

6 anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturutturut: cucu laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan seterusnya saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya, dan bila semuanya itu tidak ada, perwalian beralih ke tangan hakim B. Analisis tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika Dalam tingkatan maqashid dharuriyyat meliputi Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz Al Aql (Memelihara Akal), Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan), Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta). Dalam tingkatan ini, apabila tidak terpenuhi, maka akan membahayakan keberlangsungan umat manusia. Dalam konteks hukum wali dalam pernikahan, maqashid dharuriyyat, khususnya dalam hal hifdz An-Nasb (memelihara keturunan). Dalam hal memelihara keturunan, maka dalam suatu pernikahan diharuskan melibatkan peran wali yang berimplikasi pada dimasukkannya wali sebagai salah satu rukun dalam pernikahan. Imam Hanafi berpendapat bahwa dengan memberikan sedikit kebebasan bagi perempuan yang sudah dewasa, untuk diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri tanpa harus meminta pertimbangan walinya. Hal ini, dikarenakan perempuan yang sudah dewasa, dianggap mampu untuk menentukan sendiri terkait jodoh dan kehidupannya tanpa harus dicampuri oleh walinya. 6

7 Berbeda halnya dengan Imam Syafi i, yang lebih tegas dalam hal wali dalam suatu pernikahan dengan memasukkan wali ke dalam rukun pernikahan. Dalam kajian maqashid al-syari ah, Imam Syafi i berpendapat bahwa peran wali sebagai wakil dari perempuan yang akan melangsungkan akad nikah. Hal ini di dasarkan pada pemikiran bahwa betapapun dewasanya seorang anak perempuan, masih tetap memerlukan wali sebagai wakil dalam akad nikah. Sedangkan dalam kajian hermeneutika, terkait dengan perbedaan pendapat tentang hukum wali dalam pernikahan, dalam metodologi Fazlur Rahman, merupakan sebuah usaha untuk kontekstualisasi ulang Al-Qur an berdasarkan kebutuhan masa sekarang. Dengan demikian, dikatakan bahwa dalam gerak ganda (double movement), yakni dari masa kini ke masa lalu dan kembali ke masa kini lagi. Dengan demikian, dengan metodologi hermeneutika, dengan semanagat sosio-historis, akan dapat diungkap bukan hanya makna lahiriyah dari kata-kata dalam teks Al-Qur an, akan tetapi juga kepada makna hakiki yang terkandung dalam teks tersebut. Sehingga dapat diketahui tentang konsep maqashid alsyari ah dalam suatu ayat yang termaktub dalam Al-Qur an. C. Analisis tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum perwalian dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam perspektif Gender Dalam hal ini, yang menjadi pertimbangan Imam Hanafi adalah faktor kedewasaan, serta adanya anggapan bahwa seorang perempuan diangap mampu untuk menentukan sendiri jodoh serta kehidupannya. Dalam aspek kedewasaan, yang dapat dikatakan mampu baik dalam hal finansial (keuangan), kematangan fisik, serta pengalaman hidup yang menjadikannya sebagai perempuan dewasa seperti yang dimaksud dalam pandangan Imam Hanafi tersebut. 7

8 Sedangkan dalam pandangan Imam Syafi i yang memasukkan wali ke dalam rukun pernikahan, yang berimplikasi hukum bahwa pernikahan yang dilakukan, baik oleh perempuan yang masih belum baligh, maupun sudah dewasa (baligh), baik berakal sehat maupun tidak, harus menyertakan wali dalam akad pernikahan. Sehingga wali memiliki hak ijbar untuk memaksa anak perempuannya untuk menikah. Dalam hal ini, yang menjadi pertimbangan Imam Syafi i adalah bahwa seorang wali tetap memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan anak perempuannya. Dengan hak ijbar inilah, dimungkinkan bagi wali (orang tua) untuk memberikan perlindungan terhadap anaknya, karena kondisi anak yang belum mampu untuk bertindak, khususnya dalam melakukan akad pernikahan. Kesimpulan 1. Dalam analisis tentang perbandingan pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi i tenrhadap hukum wali dalam pernikahan, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga perbedaan pendapat dan satu persamaan di antara kedua Imam madzhab tersebut. Perbedaan yang muncul adalah, pertama tentang perbedaan dalam memasukkan wali sebagai rukun dalam pernikahan atau bukan. Kedua, tentang pernikahan yang dilakukan seorang perempuan yang sudah baligh (dewasa), Imam Hanafi tidak mensyaratkan wali, akan tetapi Imam Syafi i tetap mensyaratkan wali termasuk dalam rukun yang harus dipenuhi. Ketiga, tenang urutan wali dalam pernikahan yang mana Imam Hanafi memasukkan anak, dan cucu dalam urutan wali tersebut, sedangkan Imam Syafi i menyebutkan ayah dan kakek yang lebih berhak menjadi wali. Selanjutnya, baik Imam Hanafi maupun Imam Syafi i mempunyai dasar dalam Al-Qur an 8

9 dan As-Sunnah. Adapun yang menjadikan perbedaan pendapat di atas, adalah mengenai perbedaan penafsiran terhadap teks Al-Qur an sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda terhadap hukum wali dalam pernikahan. Hal ini terkait dengan penafsiran terhadap QS. Al-Baqarah ayat 232, serta beberapa ayat dan sunnah yang lainnya. Sedangkan persamaan yang terdapat dalam pendapat kedua Imam tersebut adalah, sama-sama mewajibkan wali dalam pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang masih belum baligh, karena dianggap belum cakap melakukan akad nikah. 2. Dalam analisis tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam kajian hermeneutika disimpulkan bahwa masing-masing Imam madzhab mempunyai dasar pertimbangan khususnya dalam konteks maqashid al-syari ah terhadapa hukum wali dalam pernikahan. Imam Abu Hanifah, tidak mewajibkan wali dalam pernikahan perempuan yang sudah dewasa, dikarenakan pertimbangan maqashid al-syari ah yang memberikan kesempatan lebih bebas, luas, bagi seorang perempuan dalam menentukan jodohnya. Sedangkan Imam Syafi i mewajibkan wali dalam pernikahan, karena mempunyai pertimbangan maqashid al-syari ah, wali sebagai seseorang yang membantu perempuan dalam hal mewakili pada saat akad nikah, serta memberikan pertimbangan tentang keikutsertaan wali dalam menentukan keberlangsungan nasab yang tetap terjaga dengan baik, ketika memilihkan calon suami yang kufu dengan anak perempuannya. Sehingga peran wali sangatlah penting dan menjadi bagian dari rukun dalam pernikahan. Sedangkan dalam kajian hermeneutika, yang merupakan bagian dari teori penafsiran kitab suci, maka dengan 9

10 metodologi Fazlur Rahman, gerak ganda yang dimaksud adalah, dari masa sekarang, kembali ke masa lalu dan kembali lagi ke masa sekarang. Dengan metode hermeneutika ini dalam memahami maqashid al-syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan, sehingga memunculkan wajah hikmah altasyri yang sesuai dengan realita di masyarakat. 3. Dalam analisis tinjauan maqashid al syari ah terhadap hukum wali dalam pernikahan menurut pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam perspektif gender, menyimpulkan bahwa hak ijbar wali harus disesuaikan dengan keadaan perempuan yang akan menikah. Ketika perempuan sudah dianggap dewasa, dalam arti mampu baik dalam hal fisik, psikis, maupun finansial, maka wali tidak boleh menghalangi perempuan tersebut untuk menikah. Hal ini dikarenaka faktor kedewasaan yang dia miliki. Dengan demikian, hak ijbar wali dapat digugurkan. Sedangkan ketika perempuan belum dewasa, sehingga diperlukan peran wali untuk melindungi hak dan menjadi wakil dalam pernikahan, maka hak ijbar wali memiliki peranan penting dalam mengatur pernikahan perempuan yang belum baligh (dewasa). 10