BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan dan stakeholder, yaitu semua pihak yang berhubungan dengan perusahaan dalam segala aspek operasional perusahaan. Global Compact Initiative (2002) dalam Nugroho (2007) menyebutkan pemahaman CSR dengan 3P sebagai profit, people, planet, yaitu tujuan perusahaan tidak hanya mencari laba (profit), tetapi juga mensejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini (planet). Adanya konsep CSR ini menyebabkan beberapa perusahaan mengubah strategi bisnisnya dari single bottom line (pencarian keuntungan), menuju triple bottom line (keseimbangan ekonomi, sosial, lingkungan). CSR merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan terutama perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Peraturan tentang CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Aturan yang lebih tegas diungkapkan dalam UU PM pasal 15 huruf b yang menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan. UU PM pasal 34 ayat 1 mengatakan bahwa badan usaha atau usaha perseorangan yang tidak memenuhi tanggung jawab sosial akan dikenai sanksi administratif berupa: (1) peringatan tertulis, (2) pembatasan kegiatan usaha, (3) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, (4) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan diungkapkan dalam laporan tahunan dan/atau laporan berkelanjutan (sustainability report). Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial di atur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (2012) paragraf 14 yang mengatakan bahwa perusahaan dapat menyajikan laporan tambahan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement). Belum adanya peraturan yang mengatur tentang item-item pengungkapan tangung jawab sosial perusahaan menyebabkan dalam praktik perusahaan masih dengan sukarela (voluntary) mengungkapkan informasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan. Darwin (2007) dalam Suhardjanto dan Afni (2009) mengatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR disclosure) adalah untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholder lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan CSR dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Hal tersebut dapat membantu perusahaan memberikan image positf terhadap masyarakat. Image positif yang dibangun melalui CSR memberikan dampak
kebaikan kepada perusahaan dikarenakan akan memperkuat brand image perusahaan. Informasi tentang aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan menjadi salah satu informasi yang sering diminta oleh investor dan atau stakeholder untuk diungkapkan. Pengungkapan tersebut terdapat dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan tentang penerapan tanggung jawab sosial yang terpisah. Hasil survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers terhadap investor-investor internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang terendah dalam bidang standar pengungkapan, transparansi dan standar auditing (Nuryaman, 2009). Rendahnya pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan timbul sebagai dampak persoalan keagenan, yaitu adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Agent memiliki informasi yang lebih banyak tentang internal perusahaan dibandingkan dengan principal, hal tersebut menyebabkan terjadi asimetri informasi. Manajer dengan sengaja tidak melakukan pengungkapan informasi tentang perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Untuk meminimalkan terjadinya konflik kepentingan yang terjadi di perusahaan, maka harus ada komunikasi yang baik dan transparan antara principal dan agent. Komunikasi yang baik dan transparan tersebut berupa pengungkapan segala kegiatan yang dilaksanakan dan informasi yang dimiliki baik informasi keuangan atau informasi non keuangan dari agent terhadap principal. Transparansi merupakan salah satu prinsip terciptanya Good Corporate Governance (GCG). Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan (Effendi, 2009). Secara definitif GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep GCG, (1) pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya, (2) kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu, transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder. Penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan dan laporan non keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan (Kaihatu, 2006). Penelitian ini menguji karakteristik GCG terhadap tingkat pengungkapan CSR. Karakteristik GCG yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing dan kepemilikan pemerintah. Dewan komisaris bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada dewan direksi. Dengan adanya ukuran dewan komisaris yang semakin besar, maka dewan komisaris dapat melakukan pengawasan yang lebih fokus terhadap manajemen perusahaan. Salah satu pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris yaitu tentang keterbukaan informasi mengenai aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Hasil
Penelitian Sembiring (2005) menunjukkan bahwa dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan CSR, hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan, maka pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuat perusahaan akan semakin luas karena dewan komisaris dapat lebih fokus dalam melakukan pengawasan. Komisaris independen adalah komisaris yang berasal dari luar perusahaan yang tidak berafiliasi dengan pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan komisaris independen sebagai alat untuk memonitor perilaku manajemen, tindakan pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen akan menyebabkan peningkatan pengawasan kualitas pengungkapan keuangan dan mengurangi keuntungan dari penyembunyian informasi. Hasil penelitian Sudana dan Arlindania (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara komisaris independen dengan tingkat pengungkapan CSR. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nuryaman (2009) yang mengatakan bahwa komisaris independen tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan CSR, karena masih banyak komisaris independen perusahaan yang belum memiliki kompetensi pada bidang akuntansi dan atau keuangan. Komite audit merupakan organ perusahaan yang dibentuk oleh dewan komisaris yang tugasnya adalah membantu dewan komisaris dalam melakukan pengawasan. Keberadaan komite audit dengan proporsi anggota independen yang lebih besar dapat meningkatkan pengendalian yang akan berdampak pada kualitas pengungkapan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Said et al. (2009) menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara komite audit dengan tingkat pengungkapan
CSR. Hasil tersebut berarti semakin besar proporsi anggota komisaris independen di dalam komite audit menyebabkan manajer perusahaan melakukan tingkat pengungkapan CSR yang lebih banyak karena adanya pengawasan yang dilakukan oleh komite audit sehingga manajer mendapat tekanan untuk melakukan pengungkapan. Hasil penelitian Murwaningsari (2009) menemukan hubungan positif antara kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap tingkat pengungkapan CSR. Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham yang dimiliki oleh dewan komisaris dan dewan direksi (manajemen perusahaan). Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan, semakin tinggi motivasi untuk mengungkapkan aktivitas perusahaan yang dilakukan. Hasil ini berbeda dengan penelitian Said et al. (2009) yang menemukan bahwa kepemilikan managerial tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan CSR. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusi, seperti perbankan, asuransi dan institusi yang lain. Semakin besar kepemilikan institusional maka institusi akan melakukan pengendalian secara profesional kepada manajer sehingga tidak ada potensi manajer untuk melakukan kecurangan. Kepemilikan asing adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing (luar negeri). Dengan adanya kepemilikan asing yang semakin besar maka perusahaan dapat terdorong untuk melakukan kegiatan CSR dan pengungkapannya di laporan tahunan atau sustainability report. Hal tersebut
disebabkan karena negara asing terutama negara maju memiliki kepedulian terhadap CSR dan pengungkapannya sesuai dengan standar Global Reporting Initiative (GRI). Hasil penelitian Rustiariani (2009) menemukan adanya hubungan positif antara kepemilikan asing dengan tingkat pengungkapan CSR. Kepemilikan dikatakan terkonsentrasi saat sebagian besar saham perusahaan dimiliki oleh sebagian kecil individu. Pada saat adanya konsentrasi kepemilikan maka konflik kepentingan terjadi antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Untuk mengurangi asimetri informasi yang terjadi di perusahaan, maka pemegang saham mayoritas akan mendorong manajer untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial yang lebih banyak. Hasil penelitian Nuryaman (2009) mengatakan bahwa kepemilikan terkonsentrasi berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR, artinya semakin terkonsentrasi kepemilikan saham, maka semakin tinggi pengungkapan sukarela pada pelaporan posisi keuangan. Hasil berbeda terlihat pada penelitian Matoussi dan Chakroun (2006) yang mengatakan bahwa kepemilikan terkonsentrasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan CSR, hal ini berarti bahwa dengan adanya perbedaan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas tidak mendorong pemegang saham mayoritas untuk melakukan pengungkapan yang lebih banyak. Kepemilikan pemerintah yaitu kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah adalah organisasi yang membuat peraturan mengenai kegiatan CSR, sehingga dengan adanya kepemilikan pemerintah yang semakin besar dapat mendorong perusahaan untuk melakukan dan
mengungkapkan kegiatan CSR. Said et al. (2009) mengatakan bahwa kepemilikan pemerintah berpengarauh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sefrilia dan Saftiana (2012) yang mengatakan bahwa semakin besar tingkat persentase kepemilikan saham oleh pemerintah, maka semakin luas pula pengungkapan CSR perusahaan pada laporan tahunan perusahaan, hasil ini memberikan arti bahwa pemerintah mengawasi dan memperhatikan kinerja perusahaan (tercermin dalam laporan tahunan, termasuk di dalamnya pelaporan aktivitas/tanggung jawab sosial perusahaan). Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan dan profitabilitas sebagai variabel kontrol yang dapat memperjelas hubungan antara GCG dengan tingkat pengungkapan CSR. Ukuran perusahaan diproksikan dengan total aset sedangkan profitabilitas diproksikan dengan Return on Equity (ROE) dan Return on Asset (ROA). Perusahaan yang memiliki total aset dan tingkat profitabilitas yang tinggi akan mampu untuk melakukan dan mengungkapkan kegiatan CSR. Hasil penelitian Suhardjanto dan Afni (2009) mengungkapkan bahwa perusahaan dengan total aset dan profitabilitas yang besar berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan CSR. Penelitian ini mereplikasi penelitian Said et al. (2009). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: 1. Penelitian sebelumnya memasukan Chief Executive Officer (CEO) duality sebagai variabel independen, sedangkan penelitian ini tidak memasukan CEO duality karena di Indonesia menerapkan two tiers
system yaitu peran dewan pengawas (komisaris) dan dewan manajemen (direksi) dipisah (Surya dan Yustiavandana, 2006). 2. Penelitian ini menambahkan satu variabel independen yang dapat mempengaruhi variabel dependen. Variabel independen itu adalah kepemilikan institusional yang mengacu pada penelitian Murwaningsari (2009). 3. Penelitian ini mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009-2011 sedangkan penelitian Said et al. (2009) mengambil sampel perusahaan di Malaysia yang tercatat di bursa tahun 2006. B. Batasan Masalah Penelitian menggunakan delapan karakterstik GCG untuk menguji pengaruhnya terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Kedelapan karakteristik GCG tersebut adalah ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing dan kepemilikan pemerintah. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009-2011.
C. Rumusan masalah 1. Apakah ukuran dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 2. Apakah proporsi komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 3. Apakah komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 4. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 5. Apakah kepemilikan terkonsentrasi berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 6. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 7. Apakah kepemilikan asing berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 8. Apakah kepemilikan pemerintah berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR? 9. Apakah ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit, kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing, kepemilikan pemerintah secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapat bukti secara empiris mengenai pengaruh positif signifikan: 1. Ukuran dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan CSR. 2. Proporsi direktur independen terhadap tingkat pengungkapan CSR. 3. Komite audit terhadap tingkat pengungkapan CSR. 4. Kepemilikan institusional terhadap tingkat pengungkapan CSR. 5. Kepemilikan terkonsentrasi terhadap tingkat pengungkapan CSR. 6. Kepemilikan manajerial terhadap tingkat pengungkapan CSR. 7. Kepemilikan asing terhadap tingkat pengungkapan CSR. 8. Kepemilikan pemerintah terhadap tingkat pengungkapan CSR. 9. Ukuran dewan komisaris, proporsi direktur independen, komite audit, kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing terhadap tingkat pengungkapan CSR. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Investor Penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran kepada investor dalam mengambil keputusan dan menilai perusahaan. Perusahaan dikatakan baik jika perusahaan bisa memberikan informasi yang banyak sehingga tidak ada asimetri informasi antara principal dan agent.
2. Perusahaan Bagi perusahaan manufaktur dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan tambahan pengetahuan tentang pentingnya perusahaan untuk melakukan dan mengungkapkan kegiatan tanggung jawab sosial (CSR) sehingga stakeholder mendapatkan informasi yang lebih banyak mengenai perusahaan. 3. Mahasiswa atau akademisi Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi gambaran tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perusahaan untuk melakukan dan mengungkapkan tanggung jawab sosial (CSR) pada laporan tahunan. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa memberikan referensi untuk penelitian selanjutnya. F. Sistematika Penulisan Laporan Penelitian Pembahasan dalam skripsi dibagi menjadi lima bab, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TELAAH LITERATUR Bab ini menjelaskan dasar teori yang menguraikan tentang Corporate Social Responsibility (CSR), Corporate Social Responsibility
Disclosure (CSRD), Good Corporate Governance (GCG) dan delapan karakteristik GCG, dan perumusan hipotesis yang akan diuji. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum objek penelitian, metode penelitian, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel, teknik analisis data, Bab IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan tentang deskripsi penelitian berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, pengujian dan analisis hipotesis, serta pembahasan hasil penelitian. Bab V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan tentang simpulan, keterbatasan, dan saran yang didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan.