MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

2 Pada Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dima

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA : P.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

2016, No Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehut

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.73/Menlhk-Setjen/2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Izin. Usaha. Perpanjangan. Tatacara. Pencabutan.

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG

muhafh KH.JEILE KAffime$ffiGAEArq

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA

BUPATI TANAH DATAR PROPINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 35/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI EKSPOR PRODUK KAYU ULIN OLAHAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

Menimbang : Mengingat :

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR : 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

2016, No dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 32/Menhut -II/2010 TENTANG TUKAR MENUKAR KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.376, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Tukar Menukar.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.428/MENHUT-II/2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 61/Menhut-II/2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 175 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 196 TAHUN 2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.54/MENHUT-II/2007 TENTANG

~ 2 ~ C:\Documents and Settings\BAHAN WEB\Per-UU\NSPK hilang Agustus1.rtf

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 732/Kpts-II/1998 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAHARUAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2010

KEPUTUSAN BUPATI KABUPATEN KUTAI NOMOR /HK-110/2002 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU RAKYAT BUPATI KUTAI,

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II KAPUAS HULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR SK. 44/MENHUT-II/2004 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 91 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.100, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan. Prosedur. Hutam Produksi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2014 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

Transkripsi:

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Penjelasan Umum pada alinea keempat Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, disebutkan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan penggunaan kawasan hutan dengan status pinjam pakai dapat diterbitkan Izin Pemanfaatan Kayu/atau bukan kayu dengan menggunakan ketentuan-ketentuan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu pada hutan alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini; b.bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 538/Kpts-II/1999 telah ditetapkan ketentuan tentang Izin Pemanfaatan Kayu; c. bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Keputusan tersebut pada butir b mengacu pada Peraturan Perundang-undangan lama yang sudah tidak berlaku lagi dan tidak sesuai lagi dengan ketentuan hukum yang berlaku (hukum positif) serta tuntutan perkembangan keadaan; d.bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu untuk mengatur dan menetapkan kembali Keputusan Menteri Kehutanan tentang Izin Pemanfaatan Kayu. Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 10.Keputusan Presiden R.I. Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen; 11.Keputusan Presiden R.I. Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Susunan Kabinet Gotong Royong; 12.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen; 13.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/KPts-II/2003 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Kpts-II/2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); 14.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 334/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan; 15.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 128/Kpts-II/2003 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 446/Kpts-II/2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Pembayaran dan Penyetoran Dana Reboisasi (DR). M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Izin pemanfaatan kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dikonversi, penggunaan kawasan dengan status pinjam pakai, tukar menukar, dan dari Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). 2. Lahan untuk keperluan non kehutanan adalah lahan kawasan hutan yang dilepaskan atau pinjam pakai untuk keperluan pembangunan di luar bidang kehutanan. 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 5. Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) adalah areal hutan negara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi menjadi bukan kawasan hutan. 6. Perorangan adalah orang seorang anggota masyarakat setempat yang cakap bertindak menurut hukum dan Warga Negara Republik Indonesia. 7. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan. 8. Pencadangan areal hutan adalah areal hutan yang telah mendapat persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan. 9. Pencadangan areal penggunaan lain adalah areal di luar kawasan hutan yang telah mendapat rekomendasi oleh Gubernur. 10. Pelepasan kawasan hutan adalah pengubahan status areal hutan menjadi bukan kawasan hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan. 11. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penyerahan sebagian penggunaan atas sebagian kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut. 12. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah hutan produksi yang dapat diubah status atau peruntukannya menjadi bukan kawasan hutan dengan cara pelepasan kawasan hutan atau dengan cara tukar menukar dengan Keputusan Menteri. 13. Penggunaan kawasan hutan adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan. 14. Timber cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon yang direncanakan akan ditebang yang dilaksanakan dengan intensitas sebesar 5% (lima persen). 15. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. 16. Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu, digunakan dalam rangka reboisasi, rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. 17. Tukar menukar kawasan hutan adalah suatu kegiatan melepaskan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukkan tanah pengganti yang statusnya bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

18. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. 19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Bina Produksi Kehutanan. 20. Gubernur adalah Gubernur Provinsi. 21. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah provinsi. 22. Dinas Kabupaten adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah kabupaten. 23. Bagan kerja adalah rencana kerja yang diberlakukan terhadap pemegang IPK. Pasal 2 (1) Areal yang dapat dimohon untuk IPK adalah : a. Hutan negara yang ditetapkan sebagai APL atau KBNK; b. Kawasan hutan yang dikonversi baik dengan cara pelepasan kawasan hutan, atau dengan cara tukar menukar kawasan hutan; c. Penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai. (2) Pemohon yang dapat mengajukan IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Perorangan; b. Koperasi; c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); e. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI). BAB II TATA CARA PERMOHONAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN Bagian Kesatu Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) Pasal 3 IPK hanya dapat diberikan pada APL atau KBNK sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, adalah pada areal yang tidak dibebani hak/izin di bidang kehutanan. Pasal 4

(1) Permohonan IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diajukan oleh pemohon kepada Bupati/Walikota dengan tenmbusan kepada: a. Direktur Jenderal; b. Kepala Badan Planologi Kehutanan; c. Gubernur yang bersangkutan; d. Kepala Dinas Provinsi; e. Kepala Dinas Kabupaten/Kota. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan: a. Foto copy Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian beserta perubahannya untuk Koperasi, BUMD, BUMN, atau BUMSI. b. Izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pembangunan hutan hak/hutan rakyat, dan/atau pemukiman yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota; c. Peta lokasi yang dimohon; d. Surat Keterangan dari Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang menerangkan bahwa lokasi IPK tersebut benar-benar statusnya APL atau KBNK berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi atau berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan berdasarkan TGHK; e. Proposal penggunaan lahan sesuai izin tersebut pada huruf b. Pasal 5 (1) Dalam hal permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) tidak memenuhi atau tidak dilengkapi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) Bupati/Walikota dapat langsung menolak permohonan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan. (2) Dalam hal permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) telah memenuhi/dilengkapi semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2), Bupati/Walikota meneruskan permohonan tersebut disertai rekomendasi kepada Gubernur untuk mendapat persetujuan prinsip, dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Direktur Jenderal. Pasal 6 (1) Kepala Dinas Provinsi berdasarkan tembusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya tembusan menyampaikan pertimbangan teknis kepada Gubernur.

(2) Berdasarkan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Provinsi, Gubernur dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pertimbangan teknis, menerbitkan surat persetujuan prinsip, atau menolak dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Dinas Provinsi. Pasal 7 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) Bupati/Walikota memerintahkan kepada pemohon untuk: a. Melakukan timber cruising dan diselesaikan dalam tenggang waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah; b. Membuat Bagan Kerja Tahunan (BKT) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah; c. Menyetorkan Jaminan Bank (bank garansi) Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) kayu sebesar 100 (seratus) persen dari target produksi yang ditetapkan, dan jaminan bank tersebut berlaku 1 (satu) tahun; d. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan sejak diterimanya surat perintah. (2) Jaminan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diterbitkan oleh Bank Pemerintah yang berada di Kabupaten/Kota dimana pemegang IPK berada paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah, dan dapat dicairkan secara sepihak oleh Bupati/Walikota apabila pemegang IPK tidak melunasi DR dan PSDH pada saat yang telah ditentukan. (3) Hasil timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperiksa oleh petugas Dinas Kabupaten/Kota dan hasilnya dituangkan dalam Berita Acara, sebagai bahan pertimbangan teknis kepada Bupati. (4) Apabila pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap pemohon mengundurkan diri. Pasal 8 Apabila pemohon telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1), Bupati/walikota menerbitkan Keputusan tentang Pemberian IPK yang salinannya disampaikan kepada: 1. Direktur Jenderal; 2. Gubernur; 3. Dinas Provinsi; 4. Dinas Kabupaten/Kota; 5. Pemohon yang bersangkutan.

Bagian Kedua Izin Pemanfaatan Kayu pada Kawasan Hutan Produksi yang Dikonversi, dan Penggunaan Kawasan Hutan dengan Pinjam Pakai Pasal 9 (1) IPK dapat diterbitkan pada kawasan hutan produksi yang dikonversi baik dengan cara pelepasan kawasan hutan atau dengan cara tukar menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2 huruf b, atau penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf c. (2) IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan setelah adanya Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan atau penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai. Pasal 10 (1) Permohonan IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) diajukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada: a. Direktur Jenderal; b. Kepala Badan Planologi Kehutanan; c. Kepala Dinas Provinsi; d. Kepala Dinas Kabupaten/Kota. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan: a. Fotocopy KTP untuk perorangan atau akte pendirian beserta perubahanperubahannya untuk Koperasi, BUMD, BUMN dan BUMSI; b. Fotocopy Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan, atau tukar menukar kawasan hutan, atau penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai; c. Peta lokasi yang dimohon; d. Proposal penggunaan lahan sesuai izin tersebut pada huruf b. Pasal 11 (1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) tidak memenuhi atau tidak dilengkapi salah satu atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (2), Gubernur dapat langsung menolak permohonan IPK tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Dalam hal permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) telah memenuhi/dilengkapi semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat

(2), Gubernur meneruskan permohonan tersebut disertai rekomendasi kepada Direktur Jenderal untuk mendapatkan persetujuan prinsip dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal berdasarkan permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) dan rekomendasi Gubernur sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) selanjutnya melakukan penilaian paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan dan rekomendasi Gubernur. (2) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja, Direktur Jenderal menerbitkan surat persetujuan prinsip atau penolakan IPK. Pasal 13 (1) Berdasarkan surat persetujuan prinsip dari Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) Gubernur memerintahkan kepada pemohon untuk: a. Melakukan timber cruising dan diselesaikan dalam tenggang waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah; b. Membuat Bagan Kerja Tahunan (BKT) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat perintah'; c. Menyetorkan jaminan bank (bank garansi) Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) kayu sebesar 100 (seratus) persen dari target produksi yang ditetapkan, dan jaminan bank tersebut berlaku 1 (satu) tahun. d. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan sejak diterimanya surat perintah. (2) Jaminan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, diterbitkan oleh Bank Pemerintah yang berada di Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi dimana pemegang IPK berada, dan dapat dicairkan secara sepihak oleh Gubernur apabila pemegang IPK tidak melunasi DR dan PSDH pada saat yang telah ditentukan. (3) Hasil timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan penataan batas blok tebangan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperiksa oleh Kepala Dinas Provinsi, dan hasilnya dituangkan dalam Berita Acara sebagai bahan pertimbangan teknis kepada Gubernur.

(4) Apabila pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) dianggap pemohon mengundurkan diri. Pasal 14 Apabila pemohon telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) Gubernur menerbitkan Keputusan tentang Pemberian IPK, yang salinannya disampaikan kepada: a. Menteri; b. Direktur Jenderal; c. Bupati/Walikota; d. Kepala Dinas Provinsi; e. Kepala Dinas Kabupaten/Kota; f. Pemohon yang bersangkutan. Pasal 15 (1) Dalam hal lokasi IPK berasal dari areal Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam), atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman) yang belum berakhir masa berlakunya, maka prioritas IPK diberikan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam), atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman). (2) Apabila pemegang Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam), atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan kayu dari areal hutan tersebut, maka prioritas pemberian IPK ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 16 Dalam Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dan Pasal 14 memuat: 1. Nama serta alamat pemegang izin; 2. Luas dan letak lokasi IPK; 3. Jumlah, volume dan jenis kayu bulat yang akan diproduksi; 4. Hak, kewajiban dan larangan pemegang IPK; 5. Jangka waktu berlakunya IPK;

6. Tempat dan tanggal terbitnya IPK; 7. Nama, dan tandatangan pejabat penerbit IPK; dan 8. Stempel/cap instansi/pejabat penerbit IPK. BAB III HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN Pasal 17 Pemegang IPK mempunyai hak sebagai berikut : a. Melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; b. Melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 18 Pemegang IPK wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut : a. Membayar PSDH dan DR atas hasil hutan kayu yang diproduksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Memperhatikan asas-asas konservasi sesuai ketentuan yang berlaku; c. Membuat dan menyampaikan laporan bulanan atas pelaksanaan kegiatan IPK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya IPK; e. Melaksanakan kegiatan IPK berdasarkan Bagan Kerja; f. Melaksanakan penatausahaan hasil hutan dari areal IPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. Mengamankan areal hutan dari berbagai macam gangguan keamanan dan kebakaran hutan; h. Melakukan tata batas areal kerja IPK; i. Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan; j. Mentaati segala ketentuan di bidang kehutanan. Pasal 19 Pemegang IPK dilarang :

1. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. 2. Melakukan penebangan pohon dalam areal IPKnya dengan kriteria yaitu: a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan atau kiri kanan sungai daerah rawa; c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi sungai dan dari tepi jurang; f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. 3. Melakukan pembakaran hutan; 4. Melakukan penebangan pada lokasi yang dikeramatkan atau bernilai sejarah atau cagar budaya; 5. Memasukkan dan menggunakan peralatan ke areal kerjanya tanpa izin dari pejabat yang berwenang; 6. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan; 7. Melakukan penebangan di luar areal/blok kerja yang telah ditetapkan. Pasal 20 Areal yang telah diterbitkan IPK harus segera dimanfaatkan/digunakan sesuai dengan proposal penggunaan lahan, dan tidak boleh ditelantarkan. (1) IPK hapus karena : BAB IV HAPUSNYA IZIN PEMANFAATAN KAYU Pasal 21 a. Jangka waktu yang diberikan telah berakhir; b. Dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi; c. Diserahkan kembali kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir. (2) Dengan berakhirnya IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak meniadakan kewajiban pemegang izin untuk: a. Melunasi PSDH dan DR. b. Melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya IPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 22 (1) Dengan berakhirnya IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak meniadakan kewajiban pemegang izin untuk: a. Melunasi PSDH dan DR. b. Melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya IPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 22 (1) IPK diberikan paling lama untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dapat diperpanjang dan perpanjangannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan ini. (2) Perpanjangan IPK sebagaimana dimaksud paa ayat (1) dapat diproses setelah dilengkapi dengan: a. Laporan kemajuan pelaksanaan penggunaan lahan; b. Laporan realisasi pemanenan/penebangan hasil hutan kayu dari IPK. BAB V PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN PELAPORAN Pasal 23 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan oleh Gubernur. (2) Kepala Dinas Provinsi melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan oleh Gubernur. Pasal 24 (1) Gubernur melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. (2) Kepala Dinas Kabupaten/Kotamadya melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.

Pasal 25 (1) Pemegang IPK wajib menyampaikan laporan bulanan atas realisasi IPK kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Provinsi. (2) Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota wajib membuat dan menyampaikan rekapitulasi laporan bulanan kepada Direktur Jenderal atas realisasi IPK di wilayahnya. BAB V S A N K S I Pasal 26 (1) Pemohon IPK dikenakan sanksi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apabila melakukan penebangan sebelum IPK terbit. (2) Pemegang IPK dikenakan sanksi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apabila melakukan: a. Penebangan di kawasan hutan lindung, hutan konservasi, kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru tanpa izin dari Menteri; b. Penebangan di luar areal IPK. (3) IPK dapat dicabut, apabila pemegang IPK : a. Tidak melaksanakan usahanya secara nyata dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya IPK; b. Tidak membayar PSDH dan DR terhadap hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dari areal kerjanya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut; c. Meningalkan areal IPK selama 45 (empat puluh lima) hari berturut-turut sebelum IPK berakhir; atau d. Melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka : a. IPK yang diterbitkan sebelum diterbitkan Keputusan ini, tetap berlaku sampai berakhirnya izin tersebut. b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 538/Kpts-II/1999 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan IPK dinyatakan tidak berlaku lagi. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Salinan Peraturan ini disampaikan Kepada Yth. : Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 18 Oktober 2004 MENTERI KEHUTANAN, ttd. MUHAMMAD PRAKOSA 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 3. Gubernur Provinsi Seluruh Indonesia; 4. Bupati/Walikota Seluruh Indonesia; 5. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi di Seluruh Indonesia; 6. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia; 7. Kepala Badai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan di Seluruh Indonesia.