I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. responden, sehingga hasil atau data yang diperoleh benar-benar dari pihak atau

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. para manusia itu sendiri. Kesalahan yang dilakukan oleh manusia bisa terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah kejahatan tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga wajar bila menimbulkan keresahan. Diperkirakan bahwa di daerah perkotaan, kejahatan berkembang dengan bertambahnya penduduk, pembangunan modernisasi dan urbanisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai kualitas dan kuantitas kejahatan. Tingginya kejahatan menimbulkan ketidakamanan dan ketidaktertiban di dalam masyarakat, serta menghambat usaha-usaha pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk kejahatan adalah tindak pidana pemerasan. Tindak pidana pemerasan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pemerasan sehingga membuat pelaku pemerasan diberikan hukuman yang berat. Sehingga mereka berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum.

2 Tindak pidana pemerasan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi. Caranya jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pemerasan. Tugas dan wewenang Kepolisian diatur dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Bagi mereka yang tertangkap dalam kejahatan ini, hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi berupa pidana terhadap pelaku pemerasan, belum memuaskan rasa keadilan di masyarakat. Pidana maksimum dari tindak pidana pemerasan adalah sembilan tahun. Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan : Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Buku II Bab XXIII KUHP itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut afpersing atau pemerasan dan afdreiging atau pengancaman. Tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu pemerasan.

3 Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56). Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut. Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Putusan Pengadilan Tentang Pelaku Tindak pidana Pemerasan Terhadap Kepala Sekolah di Kabupaten Tanggamus (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

4 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus? b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus? 2. Ruang Lingkup Agar tidak terjadi peluasan dalam pembahasan sehingga memungkinkan penyimpangan dari fokus penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana dalam lingkungan hidup yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Kota Agung dan permasalahan yang dibahas adalah pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus. C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dan yang melatar belakangi putusan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

5 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : 1. Kegunaan teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak kejahatan pemerasan. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selanjutnya undang-undang undang-undang diluar KUHP, seperti Undang- Undang subversi, perpajakan, ekonomi, pelanggaran kesusilaan juga

6 merumuskan macam-macam perbuatan sebagai bentuk kejahatan, yang diancam hukuman pidana. Ringkasnya, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-Undang Pidana (Soejono, 1976: 31). Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno yang dilarang suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi). Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum (Soejono, 1976: 31). Kemudian rumusan yang lebih luas mengenai pengertian tindak pidana menurut Van Bemmelen, tindak pidana adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila dan merugikan, sehingga masyarakat berhak mencelanya dan mengatakan penolakannya atas kelakukan ini dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakukan tersebut (Soejono, 1976: 71). Tindak pidana yang dilakukan dengan unsur-unsur kesengajaan seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 368 KUHP yaitu mengenai tindak pidana pemerasan. Dimana maksud dari kesengajaan disini bahwa pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana tersebut bukan karena keadaan terpaksa dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar. Pengertian kejahatan dalam arti yuridis adalah suatu perbuatan yang dipandang telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana, dan yang dengan jelas dinyatakan ketentuan itu adalah mengenai kejahatan. Sistem hukum pidana di Indonesia yang dipakai sekarang adalah pembagian atas Buku I, II, III. Pasal-pasal yang mengatur kejahatan kita jumpai pada Buku II,

7 sedang Buku III mengatur pelanggaran. Menurut sistem ini, maka hanya setiap perbuatan yang diancam dengan Buku II (termasuk pula ketentuan pidana khusus) ialah yang disebut kejahatan. Maka seseorang disebut telah melakukan kejahatan, kalau ia telah melakukan suatu perbuatan yang terancam dengan Pasal-pasal Buku II KUHP itu dan harus dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan dan harus pula telah memperoleh keputusan hakim yang mengikat. Proses sedemikian itu harus dilalui jika harus mengatakan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan (Arti yuridis). Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56). Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Menurut Lamintang dan Samosir (1981:163) unsur-unsur kejahatan pemerasan dalam KUHP adalah : 1. Unsur barangsiapa 2. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum 3. Unsur memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu

8 4. Unsur seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003:131). Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 KUHP yang secara tegas menetapkan, Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya memberikan barang sesuatu, yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Hukum Acara Pidana merupakan sarana hukum yang sangat penting dalam menegakan hukum pidana yang merupakan hukum publik yang mengatur tata cara dan tahapan-tahapan proses penegakan hukum pidana mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi serta tingkat peninjauan kembali.

9 Dalam KUHAP untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah berwenang melakukan penangkapan, dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 KUHAP). Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap sesorang yang diduga benar melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP), yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah minimal mempunyai dua alat bukti yang sah. Sebagaimana menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Menurut Yahya Harahap (2000: 53), untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau tidak dengan undang-undang, menunjuk pada ketentuan Pasal 16 sampai Pasal 19 KUHAP. Putusan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan suatu upaya hukum lagi yang lingkupnya meliputi tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) yang dimintakan langsung kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri tidak dapat bersidang dengan semaunya, hal itu disebabkan karena didalam melakukan persidangan atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan harus diketahui terlebih dahulu apakah tindak pidananya dilakukan dalam daerah kewenangannya. 2. Konseptual a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori yang ada. (www.e-psikologi.co.id, 2009).

10 b. Putusan pengadilan merupakan putusan-putusan yang diberikan oleh hakim tertentu merupakan salah satu sumber hukum. Putusan-putusan tersebut dapat dijadikan sebagai barometer pengembangan pandangan dan teori hukum dalam praktek penegakkan hukum sehingga harus diadakan kajian secara tersistem. Akademika hukum memperoleh justifikasi melakukan kajian terhadap putusan pengadilan justru karena putusan itu sendiri sesungguhnya merupakan karya yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah dan merupakan sumber serta tolok ukur pengembangan hukum. Dari putusan hakim memang yang sangat diharapkan adalah kekuatan mengikatnya dalam menyelesaikan suatu perkara. Namun putusan itu menjadi suatu harapan tidaklah semata-mata karena sifatnya yang mengikat, melainkan juga bahkan lebih pada kepuasan hukum dan keadilan yang ditimbulkannya. Untuk dapat mencapai putusan seperti itu haruslah terdapat suatu sistem akses terhadap setiap produk litigasi terutama putusan dan juga dakwaan (http://hukumonline.org, 2009). c. Tindak pidana pemerasan diatur mengandung pengertian tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003: 131). d. Bentuk-bentuk tindak pidana pemerasan dapat digolongkan menjadi dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam pemerasan dan

11 pengancaman, akan tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu pemerasan (Lamintang dan Samosir, 1981: 164). e. Unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan hampir sama dengan unsurunsur dari kejadian afpersing kecuali pada daya upaya yang dipakai orang yang melakukan pemerasan, yaitu membuat malu secara lisan, membuat malu secara tertulis dan membuka sesuatu rahasia (Lamintang dan Samosir, 1981: 171). F. Sistematika Penulisan Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian

12 Kejahatan dan Jenis-Jenis Kejahatan, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pemerasan, Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pemerasan. III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus V. PENUTUP Di dalam bab ini dibahas mengenai Kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan Saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.

13 DAFTAR PUSTAKA B. Simandjuntak, 1981 Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1993, Rineka Cipta, Jakarta. P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung. Sajono, Pengantar Ilmu Kepolisian, 1964. Himpunan Kuliah Stensilan, Jakarta, Soekanto, Soejono, 1976. Pengantar Kejahatan dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2003. Bumi Aksara. Jakarta.