BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber dana

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berpendapat bahwa terdapat kesenjangan antara pemilik (pemegang. saham) dan pengelola perusahaan (manajer) yang timbul dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen. Jensen dan Meckling (1976)

BAB I PENDAHULUAN. struktur modal yang optimal sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang penting pada sebagian besar perusahaan besar yakni potensi UKDW

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerja atau investasi pada aset. Kas tersebut biasanya menimbulkan konflik

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pemberian wewenang oleh pemegang saham kepada manajer untuk bekerja demi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemegang saham. Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan. kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka.

II. LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap perusahaan. berdampak terhadap nilai perusahaan (Fama dan French, 1998).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Modal (Munawir, 2001) adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik

BAB I PENDAHULUAN. Struktur pendanaan merupakan indikasi bagaimana perusahaan membiayai

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Pengelolaan fungsi keuangan ini terkait pengelolaan modal. Modal kerja

BAB I PENDAHULUAN. adalah pihak yang menjalankan dan mengendalikan jalannya perusahaan.

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Pengertian Modal dan Strukur Modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Free cash flow adalah bentuk lain ukuran arus kas. Pengertian free cash

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat meningkatkan harga saham. Perusahaan yang sudah listing pada bursa,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dan menjadi pusat perhatian stakeholders. Keputusan finansial

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. tagihan, cicilan hutang berikut bunganya, pajak, dan juga belanja modal (capital

BAB I PENDAHULUAN. Penunjukan manajer oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan

Unlevered firm Perusahaan yang hanya menggunakan ekuitas. Levered firm Perusahaan yang menggunakan bauran ekuitas dan berbagai macam.

PENGANTAR MANAJEMEN KEUANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. melatarbelakanginya hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saham dan akan diinvestasikan kembali atau ditahan di dalam perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. dan manfaat penelitian secara empiris dan praktis. penggunaan dana, perolehan dana, dan pengelolaan aktiva (Brigham dan Houston,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kondisi perusahaan dicerminkan dari Laporan Keuangan yang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa penelitian dalam menentukan kebijakan hutang telah banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. antara manajer ( agent) sebagai pengelola dengan pemegang saham ( principal)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Yuliati (2010) tentang Pengujian

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. oleh Wibowo dan Rossieta, (2009:31), yang mengacu pada pemenuhan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh pihak manajemen dengan penentuan membagikan laba yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpahkan kepada pihak lain yaitu manajer sehingga menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnis yang semakin ketat. Kinerja perusahaan, terutama perusahaan yang

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Myes dan Majluf Disebut sebagai pecking order theory karena teori ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen perusahaan dalam mendanai aktivanya (Sawir, 2004:2).

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. orientation) maupun organisasi yang tidak berorentasi pada laba (non-profit

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. konflik kepentingan antara prinsipal dan agen, kontrak yang tidak lengkap, serta

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan adalah suatu organisasi yang didirikan oleh perseorangan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen perusahaan dalam rangka mendanai operasional perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan dalam era globalisasi saat ini menuntut setiap

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, sehingga setiap keputusan yang diambil harus dipertimbangkan

TEORI STRUKTUR MODAL. A. Pengertian Modal dan Struktur Modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai agent dengan pemilik modal sebagai principal. Teori ini

BAB I PENDAHULUAN UKDW. macam resiko dan ketidakpastian yang seringkali sulit diprediksikan oleh para

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Shella Febri Priatama ABSTRAKSI

Penelitian tentang Pengaruh Aliran Kas Bebas Dan Keputusan. Pendanaan Terhadap Nilai Pemegang Saham Dengan Set Kesempatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan membuat persaingan di dunia usaha semakin ketat. Pada era

BAB I PENDAHULUAN. pemilik (principal) dengan manajemen perusahaan (agent). Hal ini terjadi karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memecahkan masalah penelitian serta perumusan hipotesis.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keputusan-keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan utama dari setiap perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

akibatnya dapat menghambat tingkat pertumbuhan perusahaan (rate of growth)

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dividen (dividend policy). Keputusan pembagian dividen seringkali menimbulkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Landasan teori merupakan bagian yang akan membahas tentang uraian

BAB 1 PENDAHULUAN. theory) merupakan suatu hubungan antara agent dengan principal. Dimana

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimiliki oleh insider shareholders dan outsider shareholders. Menurut Iturraga dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori mengenai kebijakan hutang dan pendanaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mengenai struktur kepemilikan, struktur modal, corporate

BAB I PENDAHULUAN. memikirkan strategi agar dapat mempertahankan posisi di tengah persaingan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian dari struktur keuangan dimana struktur keuangan mencerminkan kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan, maupun sumber daya manusianya. Merupakan tantangan yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II URAIAN TEORITIS. panjang yang digunakan oleh perusahaan, sedangkan struktur keuangan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Selain saham, utang digunakan sebagai alternatif pendanaan perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini pada dasarnya mengacu pada penelitian yang dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian tentang pengaruh profitabilitas, arus kas bebas, dan investment

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Struktur modal merupakan masalah yang sangat penting bagi perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. (Jensen dan Mekling, 1976). Asumsi dasar dalam teori keagenan (agency

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kebutuhan belanja perusahaan dimana dana yang diperoleh menggunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada pertumbuhan pasar saham. Menurut Husnan (2012) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya konflik kepentingan antara shareholder dan manajer, karena

DAFTAR ISI Halaman. DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix DAFTAR ISTILAH... x

BAB 1 PENDAHULUAN. kepentingan pemilik seperti melakukan ekspansi untuk meningkatkan suatu gaji.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan utama investor dalam menanamkan modalnya di sebuah perusahaan yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang mempengaruhi kebijakan hutang perusahaan, antara Lain : Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani, (2009)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hutang dengan modal sendiri dalam perusahaan. Menurut Neil Seitz (1999)

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan adalah manajemen terhadap fungsi-fungsi keuangan (Suad Husnan, 2000). Dikenal 3 fungsi utama manajemen keuangan, yaitu: 1. Keputusan Investasi (Investment Decision) 2. Keputusan Pengelolaan Aset (Asset Management Decision) 3. Keputusan Pendanaan (Financing Decision) 2.1.1 Keputusan Investasi Keputusan investasi adalah hal yang sangat penting dari ketiga keputusan di atas ketika perusahaan ingin menciptakan nilai. Keputusan ini meliputi penentuan aktiva riil yang dibutuhkan untuk dimiliki perusahaan. Manajer perlu memutuskan jumlah uang dan komposisi aktiva. Keputusan ini berkaitan dengan neraca pada sisi kiri. 2.1.2 Keputusan Pendanaan Keputusan penting kedua dalam perusahaan adalah berkaitan dengan keputusan pendanaan. Dalam keputusan pendanaan, manajer berhubungan dengan passiva yang terdiri dari utang dan ekuitas pada sisi kanan neraca. Kebijakan dividen perusahaan juga harus dipandang sebagai bagian integral dari keputusan pendanaan perusahaan. Kebijakan ini membahas, dari laba operasional yang didapat, berapa yang akan dibagikan sebagai dividen kepada pemilik saham dan 7

berapa laba yang ditahan. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) merupakan jumlah laba yang dapat ditahan dalam perusahaan. Semakin banyak jumlah laba saat ini yang ditahan dalam perusahaan berarti semakin sedikit uang yang akan tersedia bagi pembayaran dividen saat ini. Nilai dari dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham karenanya harus diseimbangkan dengan biaya kesempatan atau biaya peluang (opportunity cost) laba ditahan yang tidak dibagikan sebagai cara untuk pendanaan melalui ekuitas. Begitu bauran pendanaan telah ditetapkan, manajer perusahaan masih harus menetapkan cara terbaik untuk secara fisik mendapatkan dana. Mekanisme untuk mendapatkan pinjaman jangka pendek, cara memasuki kesepakatan sewa jangka panjang atau negosiasi untuk penjualan obligasi atau saham, haruslah dipahami oleh manajer keuangan. 2.1.3 Keputusan Pengelolaan Aktiva Keputusan penting ketiga bagi perusahaan adalah keputusan mengenai pengelolaan aktiva. Ketika aktiva telah diperoleh dan pendanaan yang tepat telah tersedia, aktiva ini masih harus dikelola secara efisien. Manajer perusahaan dibebani berbagai tanggung jawab operasional atas berbagai aktiva yang ada. Tanggung jawab ini membuat manajer menjadi lebih memperhatikan manajemen aktiva lancar (current assets) daripada aktiva tetap (fixed assets). Sejumlah besar tanggung jawab atas manajemen aktiva tetap berada di tangan manajer operasional yang menggunakan berbagai aktiva ini. 8

2.2 Struktur Modal Sugiarto (2009) menjelaskan bahwa struktur modal perusahaan merupakan bagian dari struktur keuangan perusahaan yang mengulas tentang cara perusahaan mendanai aktivanya (fungsi pendanaan). Struktur modal mengarah pada pendanaan perusahaan yang menggunakan utang, saham atau ekuitas pemegang saham. Struktur modal didefinisikan sebagai kombinasi dari utang dan ekuitas dalam struktur keuangan perusahaan. Struktur modal perusahaan ditetapkan dengan memperhatikan berbagai hal. Diantaranya adalah rencana strategis perusahaan, ketersediaan akses pendanaan, analisis biaya-manfaat, dan selera risiko (risk averse atau risk taker). Pada perusahaan privat, pendanaan perusahaan terbatas pada ekuitas perusahaan dan utang pihak ketiga. Sedangkan perusahaan terbuka (Go Public) memiliki akses pendanaan lebih luas dengan penerbitan saham yang dapat dijual kepada masyarakat luas. 2.2.1 Modigliani Miller Proposition Teori struktur modal modern dimulai pada tahun 1958, ketika Modigliani- Miller menerbitkan paper yang fenomenal di bidang keuangan perusahaan, hingga mereka menerima penghargaan nobel. Modigliani-Miller, dengan menggunakan sejumlah asumsi, mengajukan teori bahwa dalam dunia tanpa friksi, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Asumsi-asumsi yang digunakan oleh Modigliani-Miller adalah sebagai berikut (Brigham dan Houston, h.179): a. Tidak ada biaya pialang 9

b. Tidak ada pajak c. Tidak ada biaya kebangkrutan (bankcruptcy cost) d. Investor dapat meminjam dengan tingkat yang sama seperti perusahaan e. Investor memiliki informasi yang sama seperti manajemen tentang peluang investasi perusahaan di masa depan f. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang Dengan asumsi tersebut, Modigliani Miller mengarahkan pada suatu teori bahwa nilai perusahaan tidak bergantung dari mana sumber pendanaan melainkan bagaimana bisnis perusahaan dijalankan. Meskipun asumsi-asumsi tersebut dipandang banyak kalangan tidak realistis, hal tersebut membuka peluang untuk pengembangan teori tersebut dengan melonggarkan asumsi-asumsi tersebut. Modigliani-Miller (1963) mengemukakan paper lanjutan dengan dampak pajak perusahaan. Modigliani-Miller mengakui adanya perbedaan perlakuan dimana pembayaran bunga dapat dianggap suatu beban yang menjadi pengurang pajak, tetapi di satu sisi hal tersebut tidak berlaku bagi pembayaran dividen. Dengan demikian, hal tersebut akan mendorong perusahaan untuk menggunakan utang dalam struktur modalnya. Kemudian, Miller (1977) menambahkan dampak pajak pribadi. Miller mengemukakan bahwa meskipun bunga sebagai pengurang pajak menguntungkan penggunaan pendanaan dengan utang tetapi perlakukan pajak atas penghasilan dari saham yang lebih menguntungkan akan menurunkan tingkat pengembalian yang diminta atas saham. Sehingga tingkat bunga obligasi setara dengan tingkat pengembalian saham dan oleh karena itu menguntungkan penggunaan pendanaan ekuitas (Brigham dan Houston, h.181). 10

Sejak Modigliani dan Miller (1958) mengajukan teori bahwa dalam dunia tanpa friksi, keputusan struktur modal tidak relevan terhadap nilai perusahaan, berbagai penelitian telah banyak dilakukan sehubungan dengan struktur modal. Beberapa teori termasuk teori pecking order, the capital signaling, trade-off, arus kas bebas (FCF), market timing dan lainnya telah dikemukakan untuk menjelaskan pilihan struktur modal. 2.2.2 Teori Trade Off Teori trade-off (pertukaran) menyatakan bahwa perusahaan menukar manfaat pajak dari pendanaan utang dengan masalah yang ditimbulkan oleh potensi kebangkrutan (Myers, 2001). Dalam hal bunga menjadi pengurang pajak (manfaat pajak), perusahaan akan terus mengurangi pajak dengan meningkatkan rasio utang. Namun demikian, perusahaan akan terus menggunakan utang hingga dalam batas manfaat pajak yang timbul atas tambahan utang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress cost) yang terdiri atas biaya kebangkrutan (bankcruptcy cost) dan biaya keagenan (agency cost). 2.2.3 Teori Signaling Teori signalling (pemberian isyarat) dikembangkan oleh Ross (1977) dengan gagasan bahwa manajer yang mempunyai informasi yang baik tentang perusahaan berusaha untuk menginformasikan kepada investor dalam rangka meningkatkan harga saham perusahaan. Namun demikian, adanya informasi asimetri, membuat investor tidak begitu saja mempercayai informasi tersebut karena bisa jadi manajer-manajer lain juga akan memberikan informasi serupa. 11

Investor butuh waktu untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut. Ross (1977) memaparkan bahwa manajer yang mengathui bahwa kinerja perusahaannya baik dapat memberi sinyal kepada investor dengan menaikkan rasio utang perusahaan. Perusahaan dengan kinerja buruk tidak akan menaikkan porsi utang karena akan meningkatkan risiko kebangkrutan. Dengan kata lain, investor akan menilai kinerja perusahaan yang lebih baik dari struktur modal perusahaan dengan rasio utang yang lebih tinggi. 2.2.4 Teori Pecking Order Teori pecking order dikemukakan oleh Myers (1984) dengan mengedepankan motif manajer daripada mekanisme pasar. Investor yang memiliki informasi kurang dibanding manajer perusahaan cenderung akan menilai perusahaan secara tidak benar. Nilai perusahaan yang undervalued akan menyebabkan underinvestment pada perusahaan tersebut. Dengan demikian, dalam keputusan pendanaan, manajer akan lebih cenderung untuk menggunakan pendanaan internal yaitu dari laba ditahan atau biaya depresiasi/amortisasi daripada pendanaan eksternal. Manajer juga cenderung untuk memilih risk-free debt (utang tak berisiko) dibanding risky debt (utang berisiko) atau penerbitan saham baru. Dengan kata lain, teori pecking order adalah teori mengenai hirarki dalam pilihan keputusan pendanaan perusahaan oleh manajer. 12

2.2.5 Teori Free Cash Flow Teori free cash flow (arus kas bebas) dikemukakan oleh Jensen (1986) dengan memperluas konsep biaya keagenan dalam manajemen struktur modal. Arus kas bebas didefinisikan sebagai arus kas lebih dari yang diperlukan untuk mendanai semua proyek yang memiliki Net Present Value (VPV) positif yang didiskontokan pada biaya modal yang relevan. Manajer dapat memiliki motivasi pribadi untuk melakukan ekspansi perusahaan dengan menggunakan kelebihan arus kas meskipun dalam operasi yang merugi. Seharusnya, kelebihan arus kas dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen karena perusahaan tidak adapat menginvestasikannya pada proyek yang mempunyai NPV posistif. namun membayarkan arus kas lebih pada dividen pemegang saham akan mengurangi kontrol manajemen pada dana sehingga akan memperbesar kemungkinan manajer untuk menggunakan pendanaan eksternal untuk mendanai investasi perusahaan di masa yang akan datang. Adanya informasi asimetri antara manajer dan pemegang saham, membuat manajer dengan arus kas lebih yang besar akan mengesampingkan kepentingan pemegang saham. 2.2.6 Variabel-variabel terkait a. Ukuran Perusahaan (Firm Size) Rajan dan Zingales (1995) dalam Sugiarto (2009) menyatakan bahwa ukuran perusahaan merupakan proksi bagi informasi asimetri antara perusahaan dan pasar memunculkan sinyal bahwa semakin besar perusahaan, semakin kompleks organisasinya, semakin tinggi cost of asymetries information sehingga sulit bagi perusahaan untuk memperoleh pendanaan eksternal. Sementara 13

perusahaan yang lebih kecil memiliki kesempatan tumbuh yang lebih besar dan cenderung untuk memiliki masalah keagenan yang lebih tinggi. Dan untuk mengurangi potensi biaya keagenan yang tinggi, perusahaan yang lebih kecil akan meminjam lebih banyak. Dengan demikian, berkaitan dengan teori pecking order, akan terjadi hubungan negatif antara leverage dan ukuran perusahaan. Berbeda dengan teori pecking order, teori trade off akan memprediksi hubungan positif antara ukuran perusahaan dan leverage. Semakin kecil ukuran perusahaan semakin tinggi risiko pasar produknya dan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk menjadi target take over, sehingga akan cenderung untuk lebih sedikit berutang. Sementara perusahaan besar memiliki insentif lebih besar untuk meminjam lebih besar. Hal ini didukung oleh temuan Fama dan French (2000). b. Pertumbuhan perusahaan (Growth) Masalah keagenan akan cenderung lebih berat bagi perusahaan-perusahaan yang sedang tumbuh, karena mereka lebih fleksibel dalam memilih investasi masa depan. Selain itu, perusahaan dengan peluang pertumbuhan tinggi memberikan sinyal positif tentang perusahaan masa depan kinerja. Oleh karena itu, investor institusi lebih memilih untuk berinvestasi dalam perusahaan dengan pertumbuhan tinggi daripada yang lebih rendah. Sehingga, tingkat pertumbuhan yang diprediksikan berhubungan negatif dengan leverage jangka panjang. Dan hal tersebut juga akan bersesuaian dengan teori pecking order. Namun demikian, Bhaduri (2002), Tong dan Ning (2004), dan Al-Najjar & Taylor (2009) menemukan hubungan positif yang signifikan terhadap leverage perusahaan. Ini menandakan bahwa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang 14

tinggi cenderung untuk menggunakan pendanaan utang untuk kesempatan pertumbuhannya. Mereka berargumen bahwa perusahaan dengan pertumbuhan tinggi memiliki peluang kebangkrutan yang rendah sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi bagi investor institusional. Hal ini akan bersesuaian dengan teori signalling dimana perusahaan dengan pertumbuhan yang tinggi akan cenderung memiliki informasi asimetri yang tinggi dan akibatnya akan menggunakan level utang yang lebih tinggi untuk memberi sinyal kepada investor akan kinerja perusahaannya. c. Kemampulabaan (Profitability) Profitability mencerminkan ukuran kemampuan memperoleh laba (earning power) dari suatu perusahaan untuk mendanai investasi. Earning power dari suatu perusahaan merupakan basic concern dari para pemegang saham. Profitability suatu perusahaan dapat digunakan untuk meramalkan kemampuan perusahaan memperoleh laba di masa mendatang (Sugiarto, 2009). Sebagaimana dipaparkan Myers (1984) dalam teori pecking order, perusahaan akan lebih menyukai pendanaan internal dari laba ditahan daripada utang dan penerbitan saham. Jika teori tersebut berlaku maka perusahaan dengan tingkat profitabilitas lebih tinggi akan cenderung untuk memiliki rasio utang yang lebih rendah. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, profitabilitas akan berhubungan negatif dengan utang perusahaan. 15

2.3 Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Kebijakan Struktur Modal Perusahaan Konsep bahwa secara umum karakteristik dari struktur kepemilikan memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan telah cukup diterima, namun baru sedikit penelitian yang mengamati tentang hubungan antara struktur kepemilikan dan struktur modal di pasar negara berkembang. Meskipun demikian, dapat diyakini bahwa struktur kepemilikan mungkin memiliki keterkaitan dengan struktur modal. 2.3.1 Kontrol Perusahaan Kepemilikan merujuk pada kekuasaan untuk melakukan kontrol dalam suatu perusahaan yang berimplikasi adanya kapasitas untuk menetapkan kebijakan dan tindakan pada perusahaan (Sugiarto, 2009). Berle dan Means (1932) mengukur kontrol dengan menglasifikasikan kepemilikan saham baik pemegang saham individu maupun pemegang saham kelompok dalam tipe-tipe kontrol, yaitu (1) private ownership control, (2) majority control, (3) minority control, (4) management control, dan (5) legal device. Private ownership control menunjukkan keadaan dimana seorang atau sekelompok pemegang saham menguasai semua atau hampir semua saham perusahaan. Majority control menunjukkan keadaan dimana seorang atau sekelompok pemegang saham memiliki kekuatan untuk mengontrol termasuk dalam hal kekuasaan memilih dewan direksi. Minority control menggambarkan keadaan dimana proporsi kepemilikan saham seorang atau sekelompok orang yang tidak memungkinkan atau hampir mendekati batas untuk mendominasi 16

suara. Sedangkan management control merujuk pada kepemilikan yang terdistribusi secara luas sehingga tidak mampu mendominasi perusahaan. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan pola kontrol perusahaan-perusahaan terbuka di Indonesia. Sugiarto (2009) menyatakan bahwa dari 137 sampel perusahaan yang terpilih dalam rentang waktu penelitian, terlihat bahwa status perusahaan yang dikontrol keluarga lebih dominan dibandingkan perusahaan-perusahaan yang dikontrol bukan keluarga. Claessens et al. (2000) menyatakan dua per tiga dari 2980 perusahaan terbuka di 9 negara Asia Timur/Tenggara (Hongkong, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan dan Thailand) dikontrol oleh pemegang saham tunggal. Temuan ini juga dikuatkan oleh Arifin (2003) dalam Setiawan (2004) yang menemui bahwa struktur kepemilikan perusahaan terbuka di Indonesia pada periode 1996-2000 adalah terkonsentrasi dengan pemegang kendali utama keluarga. Dominasi kontrol tunggal pada perusahaan dapat berpengaruh pada praktik tata kelola perusahaan (corporate governance). Tingginya level kontrol tunggal pada perusahaaan dapat mengarahkan pada informasi asimetri yang tinggi. Dalam hal kebutuhan pendanaan perusahaan, hal tersebut sangat berpengaruh pada perilaku tata kelola perusahaan terlebih dalam hal perlindungan pada hak investor minoritas yang kurang baik. Mengenai hal tersebut akan diuraikan lebih rinci pada bahasan selanjutnya pada Bab ini. 17

2.3.2 Teori Agen dan Masalah Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan suatu teori tentang bagaimana struktur kepemilikan mempengaruhi perilaku individu dalam perusahaan. Teori ini didasarkan pada beberapa asumsi, seperti halnya rational principals, self-interested agents (opportunism), informational asymmetries dan risk bearing (Sugiarto, 2009). Mereka mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu atau lebih pemilik (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa tugas atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pengambilan keputusan kepada agent. Dalam hubungan ini ada kecenderungan untuk memaksimalkan kepentingan pribadi. Maka, ada alasan kuat untuk meyakini bahwa agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik dari pemilik. Pemilik dapat memperkecil hal yang menyimpang dari kepentingannya tersebut dengan memberi insentif yang tepat bagi agen dan menimbulkan biaya pemantauan yang dirancang untuk membatasi kegiatan menyimpang dari agen. Dalam perkembangannya, konflik antara manajer dan pemilik dibahas lebih luas. Hingga saat ini konflik keagenan dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis. Pertama, adalah konflik antara manajer dan pemilik (pemegang saham) sebagaimana teori ini pertama kali dikemukakan. Kedua adalah konflik pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Dan ketiga adalah konflik antar pemegang saham/manajer dengan pemberi pinjaman. Inti teori keagenan adalah adanya konflik tujuan yang melekat ketika individu-individu dengan kepentingan yang berbeda mengikatkan diri dalam usaha kerja sama (Sugiarto, 2009). 18

Masalah keagenan jenis pertama umumnya ditemui pada negara-negara yang memiliki pola kepemilikan saham perusahaan yang menyebar (dispersed) dimana struktur kepemilikan saham terdiri atas banyak sekali pemegang saham dengan proporsi yang relatif kecil. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa agent tidak selalu berjalan untuk kepentingan terbaik principal. Untuk mengatasi perilaku oportunistik manajer yang dapat merugikan kepentingan pemilik, Jensen dan Meckling mengajukan dua mekanisme: pengawasan (monitoring) oleh pemilik dan pembatasan (bonding) oleh manajer. Namun demikian, mekanisme tersebut akan menimbulkan biaya keagenan yang dirinci menjadi 3 komponen, yaitu monitoring cost, bonding expenditure, dan residual loss. Residual loss adalah nilai kerugian yang dialami principal akibat keputusan agent yangmenyimpang dari kepentingan principal dengan asumsi informasi simetris (informasi yang dimiliki principal sama dengan yang dimiliki agent). Untuk mengurangi biaya keagenan, Jensen dan Meckling (1976) menyarankan untuk meningkatkan porsi utang. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi peningkatan ekuitas luar sehingga dapat meredam meningkatnya konflik antara manajer dan investor luar. Masalah keagenan jenis kedua menyoroti konflik antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Shleifer dan Vishny (1997) menemukan bahwa ada praktik pengambilalihan hak investor kecil oleh pemegang saham besar. Dalam konteks keagenan pemegang saham minoritas bertindak sebagai principal, sedangkan pemegang saham besar pengontrol perusahaan bersama manajer bertindak sebagai agent. Temuan Claessens et.al (2000) dan 19

sejumlah penelitian lainnya menyatakan bahwa kebanyakan perusahaan di dunia, khususnya di Eropa dan Asia dikontrol oleh pemegang saham besar. Seringkali pemegang saham besar ini mampu meningkatkan porsi kontrol (hak voting) melebihi porsi kepemilikan saham mereka (hak cash flow) melalui kepemilikan saham ganda (dual class stock), piramida maupun crossholding. Dengan adanya mekanisme peningkatan kontrol semacam ini akan mengarah pada praktik pengambilalihan hak (expropriation). Pemegang saham besar baik yang merangkap sebagai manajer atau menunjuk manajer cenderung mengambil keputusan yang menguntungkan pemegang saham mayoritas. Masalah ini umumnya ditemui pada negara-negara dengan perlindungan hukum (legal protection) terhadap investor yang lemah. Permasalahan keagenan jenis ini juga ditemui pada negara-negara yang dikontrol oleh pendiri dan keluarga yang memiliki kepemilikan saham yang besar. 2.3.3 Kepemilikan Saham Terbesar Meninjau pengaruh kepemilikan saham terbesar perusahaan terhadap struktur modal, berdasarkan uraian masalah keagenan di atas masih terdapat dua hipotesis yang saling bertentangan, yaitu incentive hypothesis dan expropriation hypothesis (Liu et.al, 2011). Incentive hypothesis didasarkan pada masalah keagenan dimana masalah keagenan muncul secara dominan antara pemilik dan manajer karena pemisahan kepemilikan dan kontrol. Berdasarkan hipotesis ini, konsentrasi kepemilikan pada pemegang saham besar dapat mengurangi biaya keagenan antara pemegang saham dan manajer. Masalah keagenan ini, dalam penjelasan sebelumnya merupakan masalah keagenan jenis pertama sebagaimana 20

yang diargumentasikan oleh Jensen dan Meckling (1976). Berdasarkan argumentasi ini, pemegang saham terbesar perusahaan dapat menggunakan insentif untuk memonitor dan mempengaruhi manajer dalam rangka melindungi investasi mereka. Jensen dan Meckling juga menghipotesiskan bahwa menaikkan porsi utang dapat digunakan untuk mendisiplinkan struktur keuangan dan kemudian mengurangi biaya keagenan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kepemilikan terbesar perusahaan memiliki hubungan positif dengan struktur modal perusahaan. Sedangkan expropriation hypothesis (hipotesis pengambilalihan) mendasarkan pada masalah keagenan yang muncul antara pemegang saham mayoritas sebagai pengontrol perusahaan dengan pemegang saham minoritas. Masalah keagenan ini adalah masalah keagenan jenis kedua sebagaimana dikemukakan oleh Shleifer dan Vishny (1997). Ketika pemegang saham besar secara efektif melakukan kontrol perusahaan, maka ada kecenderungan mereka akan mengejar kepentingan pribadi mereka dengan mengambil alih hak pemegang saham minoritas. Pemegang saham terbesar sebagai pemegang kontrol mayoritas perusahaan akan lebih menyukai pendanaan dengan ekuitas daripada utang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari pemegang saham minoritas. Peluang ini semakin besar terjadi pada negara-negara dengan perlindungan hukum terhadap investor minoritas yang lemah. Dengan demikian, berdasarkan argumentasi ini, kepemilikan terbesar perusahaan memiliki hubungan negatif dengan struktur modal perusahaan. 21

2.3.4 Kepemilikan Saham Institusional Investor institusi dianggap sebagai pemain utama dalam pasar keuangan dan pengaruh mereka dalam tata kelola perusahaan semakin meningkat sebagai akibat dari kebijakan privatisasi yang diadopsi oleh negara-negara yang berbeda. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa investor institusi merupakan hal yang penting dalam banyak sistem tata kelola perusahaan. Pemilik institusional memainkan peran kunci dalam memantau perusahaan yang mereka pegang. Pemilik (pemegang saham) perusahaan memiliki hak yang berbeda; meliputi pemilihan dewan direksi, yang akan bertindak sebagai agen untuk memantau kinerja dari manajer perusahaan. Aktivitas institusi muncul ketika pemilik (pemegang saham) kecewa dengan kinerja dewan direksi. Pemegang saham besar memainkan peran penting dalam transmisi informasi kepada pemegang saham lainnya. Pemegang saham besar dapat memperoleh informasi pribadi dari manajemen dan mengirimkan informasi tersebut untuk pemegang saham lainnya. Investor institusi memiliki pengalaman yang cukup dalam mengumpulkan dan menafsirkan informasi tentang kinerja perusahaan. Sebagaimana disarankan Jensen dan Meckling (1976) dengan teori agennya, struktur modal dan struktur kepemilikan yang optimal dapat meminimalkan biaya keagenan. Penelitian empiris terhadap pengaruh struktur kepemilikan institusional terhadap struktur modal telah dilakukan. Namun, penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang beragam. Chaganti dan Damanpour (1991), Bathala et.al (1994), Al Najjar dan Taylor (2008) dan Laksmi (2009), menemukan hubungan negatif antara kepemilikan institusi dan struktur modal. Di lain sisi, Leland dan 22

Pyle (1997), Berger et. al (1997), dan lainnya menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki hubungan positif. Ada dua hipotesis utama dalam menyelidiki hubungan ini. Pertama, active monitoring hypothesis dan kedua passive voter hypothesis. Berdasarkan active monitoring hypothesis, Friend dan Lang (1988) menyatakan bahwa pemegang saham eksternal mempunyai insentif untuk memonitor dan mempengaruhi manajemen secara wajar untuk melindungi investasi mereka dalam perusahaan. Shleifer dan Vishny (1986) mengungkapkan bahwa pemegang saham eksternal mengurangi perilaku manajer yang oportunis, sehingga dapat mengurangi masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham. Dengan demikian, berdasarkan active monitoring hypothesis, kepemilikan institusi yang tinggi akan meningkatkan level utang (hubungan positif). Sebaliknya, Pound (1988) meragukan active monitoring hypothesis. Dia mengargumentasikan bahwa pemegang saham besar eksternal bisa saja menjadi passive voters. Mereka bisa jadi berkolusi dengan orang dalam terhadap kepentingan pemegang saham yang tersebar. Inilah alasan yang mendasari passive voter hypothesis. Dan hipotesis ini didukung oleh sejumlah penelitian empiris yang telah disebutkan di atas. Sehingga didapatkan hubungan negatif antara kepemilikan institusional dan struktur modal. 23