Prinsip keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan. perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 5 TAHUN 2008

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

1 UNIVERSITAS INDONESIA

Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

PROFIL KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 02 LAPORAN REALISASI ANGGARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN PROPINSI NAGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG BANTUAN LUAR NEGERI DAN PINJAMAN PROVINSI

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan, asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut Jaya (1999) keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Menurut Mamesah (1995) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimilikiatau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Tujuan utama dari pengelolaan keuangan daerah dan organisasi Pemerintah Daerah adalah memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat di daerah yang merupakan klient dari pemerintah daerah. Dalam hal ini, semua unit pemerintah yang ada secara pokok difungsikan untuk melayani dengan sebaik-

baiknya masyarakat yang bersangkutan. Untuk dapat berfungsi sebagai public service maka persepsi aparatur pemerintah daerah tentang pelayanan terhadap masyarakat merupakan suatu kunci dalam memberikan kejelasan arah, semakin baik persepsi aparatur pemerintah akan semakin baik pula penyelenggaraan pemerintahan begitu juga sebaliknya. Menurut Devas (1989) Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Tanggung jawab Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga, Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. c. Kejujuran Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. d. Hasil guna dan daya guna Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai

tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. e. Pengendalian Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai 2.1.1 Konsep dan Pegertian Efisiensi Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, efisiensi adalah hubungan antara masukan dan keluaran, efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi perangkat pemerintahan untuk mencapai tujuan organisasi perangkat pemerintahan dapat mencapai manfaat tertentu. Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain : 1. Efisiensi pada sektor hasil dijelaskan dengan konsep masukan- keluaran (inputoutput) 2. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan pengorbanan seminimal mungkin; atau dengan kata lain suatu kegiatan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran dengan biaya yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. 3. Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dicapai dengan memperhatikan aspek hubungan dan tatakerja antar instansi pemerintah daerah dengan memanfaatkan potensi dan keanekaragaman suatu daerah. Faktor penentu efisiensi adalah :. 1. Faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.

2. Faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan baik itu struktural maupun fungsional. 3. Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan. 4. Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaanya baik pimpinan maupun masyarakat. 5. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud. 2.1.2 Konsep dan Pegertian Efektivitas Pengertian efektivitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, dalam bahasa sederhana hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : efektifitas dari pemerintah daerah adalah bila tujuan pemerintah daerah tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, efektivitas adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. 2.1.3 Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Keuangan Daerah Realitas hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya proporsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total pendapatan daerah dibanding

besarnya subsidi (grants) yang ditransfer dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajakpajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan lain-lain yang sah. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Subsidi atau transfer dari pusat kepada daerah selama ini melalui tiga jalur : 1. Subsidi Daerah Otonom (SDO) atau Dana Alikasi Umum (DAU) yaitu transfer kepada daerah untuk membiayai pengeluaran rutin 2. Program Inpres atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu untuk membiayai pengeluaran pembangunan sekaligus upaya untuk mengatasi ketikseimbangan struktur keuangan antar daerah seperti inpres Sekolah Dasar, Kesehatan, Pasar, Penghijauan dan jalan. Dan 3. Dana Bagi Hasil merupakan pengembalian dari hasil pemanfaatan kekayaan daerah seperti gas bumi, perikanan dan lain-lain yang dialokasi untuk dimanfaatkan Pemerintah Daerah dalam mebiayai pembangunan. 2.2 Penerimaan dan Pengeluaran Daerah Dalam menjalankan organisasi pemerintahan, pemerintah daerah memerlukan sumber pendapatan yang akan digunakan untuk membiayai kegiatannyan, penerimaan tersebut berasal dari tranfer pemerintah pusat maupun pendapatan asli daerah. Pengeluaran pemerintah daerah dapat terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan.

2.2.1 Penerimaan Daerah Penerimaan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam tahun tertentu. Menurut Jones (1996) anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang selama periode tertentu (satu tahun). Anggaran ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Fenomena yang terdapat pada struktur anggaran daerah kabupaten/kota di Indonesia yaitu pada sisi penerimaan terdapat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap transfer pemerintah pusat, hal ini ditunjukkan oleh besarnya proporsi sumber-sumber pendanaan dari pemerintah pusat. Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 menegaskan penerimaan daerah dalam rangka membiayai kegiatan daerah terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan, yaitu: Pendapatan Daerah terdiri dari; 2.2.1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah terdiri dari 1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan seperti penjualan asset kendaraan dinas dan lain-lain; 2. Jasa giro; 3. Pendapatan bunga; 4. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah dengan mata uang asing; 5. Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah. 2.2.1.2 Dana Perimbangan Dana Perimbangan terdiri dari : 1. Dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); c. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21; d. Sumber daya alam kehutanan; e. Pertambangan umum; f. Perikanan; g. Pertambangan minyak bumi; h. Pertambangan gas bumi;

i. Pertambangan panas bumi; 2. Dana alokasi umum (DAU) 3. Dana alokasi khusus (DAK) 4. Lain-lain Pendapatan terdiri dari: a. Pendapatan hibah; dan b. Pendapatan Dana Darurat seperti bencana alam. 2.2.2 Pengeluaran Daerah Kebijakan yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah memerlukan perhatian terutama dalam hal pendistribusian anggaran, sehingga dapat merangsang terciptanya sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah, salah satu sudut pandang kebijakan yang dapat dilakukan melalui kebijakan pengeluaran pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan yang efesien dan efektif adalah pendistribusian pengeluaran yang merata. Pengeluaran konsumsi pemerintah meliputi seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dalam rangka penyelenggaraan kegiatan administrasi pemerintahan. Nilai output akhir pemerintah yang terdiri dari pembelian barang dan jasa yang bersifat rutin seperti pembayaran gaji pegawai dan perkiraan penyusutan barang modal pemerintah. Besarnya proporsi tersebut memberikan suatu petunjuk bahwa pembangunan perekonomian daerah sangat dipengaruhi oleh posisi anggaran pemerintah pusat. Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah pusat terkait dengan anggarannya, akan langsung berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Pengaruh pemerintah pusat terhadap daerah berjalan melalui mekanisme perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu melalui dana perimbangan dan transfer pemerintah pusat kepada daerah. Belanja Daerah, dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja terdiri dari : A. Belanja Rutin : 1) Administrasi Umum; a) Belanja Pegawai; b) Belanja Barang; c) Belanja Pemeliharaan;

d) Belanja Perjalanan Dinas. 2) Operasi dan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana. B. Belanja Pembangunan : 1) Publik; 2) Aparatur; 3) Modal. C. Pengeluaran Transfer : 1) Angsuran dan Bunga; 2) Bantuan; 3) Dana Perimbangan; 4) Dana Cadangan. D. Pengeluaran Tidak Terduga. 2.2.3 Prinsip Penyusunan Keuangan Daerah Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan APBD, penyusunan Keuangan Dearah mengacu pada norma dan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut : a. Partisipasi Masyarakat Hal ini mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. b. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis/objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, setiap penggunaan anggaran harus bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan. c. Disiplin Anggaran Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara lain bahwa (1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; (2)

Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; (3) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah. d. Keadilan Anggaran Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan untuk membayar. Masyarakat yang memiliki kemampuan pendapatan rendah secara proporsional diberi beban yang sama, sedangkan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban yang tinggi pula. Untuk menyeimbangkan kedua kebijakan tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional guna menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain itu dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan. e. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. f. Taat Azas APBD sebagai kebijakan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah didalam penyusunannya harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan peraturan daerah lainnya. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengandung arti bahwa apabila pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang. peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, atau peraturan menteri/keputusan menteri/surat edaran menteri yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud mencakup kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum

mengandung arti bahwa rancangan peraturan daerah tentang APBD lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan bukan membebani masyarakat. Peraturan daerah tidak boleh menimbulkan diskriminasi yang dapat mengakibatkan ketidak adilan, menghambat kelancaran arus barang dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pemborosan keuangan negara/daerah, memicu ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah, dan mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban masyarakat yang secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tidak bertentangan dengan peraturan daerah lainnya mengandung arti bahwa apabila kebijakan yang dituangkan dalam peraturan daerah tentang APBD tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sebagai konsekuensinya bahwa rancangan peraturan daerah tersebut harus sejalan dengan pengaturannya tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan daerah lainnya, seperti: Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan sebagainya. 2.2.4 Proses Penyusunan Keuangan Daerah Hal-hal pokok yang diperlukan untuk proses awal penyusunan anggaran yang baik adalah kemampuan manajemen dalam menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran. Visi dan misi merupakan arahan yang harus dipertimbangkan dalam rangka menyusun anggaran agar sesuai dan seiring dengan apa yang menjadi harapan sebagian besar masyarakat dan daerah. Tujuan dan sasaran merupakan pernyataan tentang posisi target yang ingin dicapai oleh unit kerja di pemerintahan daerah atau petunjuk tentang variable-variabel penting yang seharusnya digunakan dalam menentukan arah unit kerja dimasa datang. Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Singkil yang diawali dengan proses penentuan rencana pagu APBD sesuai siklus anggaran dimulai dari : 1. Proses penentuan penerimaan daerah; 2. Proses penentuan belanja rutin; 3. Proses penentuan belanja pembangunan atau Belanja Modal. Selanjutnya hasil rencana anggaran yang telah disusun secara terpadu diajukan kepada kepala daerah untuk mendapat persetujuan dan kemudian Rancangan Anggaran Pendapatan Daerah tersebut diserahkan kepada DPRD. Dalam pembahasan diharapkan pihak legislatif memberikan komentar, tanggapan dan

masukan yang sifatnya hanya mengklarifikasi dan meratifikasi draft anggaran yang diusulkan oleh pihak eksekutif dengan dokumen kebijakan pembangunan tahunan dan kebijakan anggaran tahunan yang telah disepakati sebelumnya. Pada sistem pengelolaan keuangan daerah, perubahan yang terjadi adalah dengan dilakukannya reformasi anggaran, sistem pembiayaan, sistem akuntansi, sistem pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah serta sistem manajemen keuangan daerah. Dalam sistem keuangan tuntutan pembaharuan yang dilakukan adalah dikelolanya uang rakyat secara transparan dengan didasarkan pada nilai uang agar terciptanya akuntabilitas publik. Nilai uang merupakan tiga elemen dasar yaitu : Ekonomis, efisien dan efektif, untuk itu pengelolaan keuangan daerah merupakan prioritas utama dalam pencapaian tujuan pemerintahan daerah. 2.2.5 Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada : 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang Nomor Nomor 33 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Thn 2000 tentang Informasi Keuangan Daerah. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan; 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 2.3 Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah kewenangan penuh yang diberikan kepada daerah otonom, seperti provinsi, kabupaten dan kota untuk mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik pengelolaan sumber daya alam, manusia maupun pemerintahan kecuali bidang-bidang yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat seperti : pertahanan keamanan, agama, moneter dan fiskal. Perubahan yang fundamental dalam sistem tata pemerintahan dan sistem keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 serta Undang-undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 adalah pada sistem pemerintahan. Perubahan yang terjadi adalah berupa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas dan nyata dan bertanggungjawab kepada

pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah dituntut untuk menyiapkan diri secara kelembagaan, sumber daya manusia dan tehnologi dalam mewujudkan otonomi dan desentralisasi secara nyata, bertanggungjawab dan dinamis. 2.4 Penelitian Sebelumnya Studi Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok fakta data empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah (local) di Amerika Serikat dengan menggunakan data panel berbagai atribut local Amerika Serikat tahun 1970-1990. Salah satu kelompok fakta empiris yang dikaji adalah kerelasi-korelasi kebijakan anggaran pemerintah dari pertumbuhan ekonomi lokal tersebut (dilihat dari tiga indikator; migrasi netto, pertumbuhan pendapatan perkapita dan pertumbuhan harga perumahan). Dilihat dari hasil; estimasinya ditemukan empat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal Amerika Serikat tersebut adalah; pertama adalah bahwa dari tahun 1970 sampai 1990, pertumbuhan ekonomi local; kedua, pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang periode yang diamati berkorelasi positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan menengah; ketiga, pertumbuhan ekonomi daerah tahun 1970 sampai 1990 berkorelasi negatif dengan pajak pendapatan personal lokal; keempat, pertumbuhan ekonomi daerah berkorelasi negatif dengan pajak penjualan tertentu yang diambil oleh pemerintah lokal. Tampak yang diamati disini hanya komposisi investasi pemerintah tetapi juga komposisi penerimaan lokal. Rozani (2000), menyatakan hasil penerimaan pajak-pajak daerah semestinya harus elastis sepanjang waktu dan tidak berfluktuasi serta signifikan terhadap perkembangan PDRB. Wilford menyatakan respon perkembangan penerimaan PAD di suatu daerah yang selanjutnya akan digunakan untuk sumber dana daerah dalam memenuhi permintaan barang sosial dan pelayanan, seharusnya memiliki elastisitas yang tinggi terhadap perkembangan PDRB. Daerah yang memiliki penerimaan PADnya tidak elastis terhadap PDRB, memerlukan perbaikan sistem perpajakan daerah guna mendapatan penerimaan yang memadai. Studi Iskandar (2004) dimaksudkan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan penerimaan asli daerah dengan perkembangan produk domestik regional bruto di provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisisnya dapat diketahui bahwa perkembangan PDRB DKI Jakarta terindentifikasi berpengaruh signifikan terhadap perkembangan penerimaan PAD.

Penelitian tentang pengelolaan keuangan daerah telah pula pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya Kuncoro (1995) tentang otonomi daerah di masa Orde Baru: Pembangunan di Daerah, yang memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya pendapatan asli daerah sehingga ketergantungan keuangan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Untuk mengurangi beban subsidi pemerintah pusat dianjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang cukup luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan memanfaatkannya secara optimal. Insukindro (1994) mengkaji peranan dan pengelolaan keuangan daerah dan usaha peningkatan pendapatan asli daerah, dengan melakukan penelitian di beberapa daerah kabupaten/kota yaitu : Padang, Lampung Tengah, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Kediri, Sumenep, Bandung, Barito Kuala dan Sidrap. Berdasarkan penelitiannya ditemukan bahwa peranan PAD terhadap total penerimaan daerah ratarata sebesar 4 %. Daerah yang pengelolaan keuangan daerah efisien cenderung peningkatan PADnya semakin tinggi seperti Kota Padang di Sumatera Barat dan Yokyakarta. Mardiasmo (2000) mengkaji bahwa dengan adanya dana desentralisasi akan berimplikasi pada APBD yaitu pos penerimaan dengan konsekuensi menggelembungnya jumlah penerimaan daerah, perubahan jumlah penerimaan tersebut harus diikuti dengan pengeluaran keuangan daerah yang efesien dan efektif dan disertai dengan peningkatan sumber daya manusia, persoalan otonomi daerah tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah tetapi lebih berfokus pada pemberian wewenang pemerintah daerah untuk menentukan dan mengatur penggunaan dana-dana perimbangan tersebut. Penelitian yang dilakukan Abdullah (2001) untuk mengetahui peranan sector public terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, menurunkan sebuah persamaan yang mana tingkat pertumbuhan PDRB dapat dipecah dalam kontribusi tenaga kerja, investasi swasta dan pengeluaran pembangunan serta pengeluaran rutin, juga penerimaan dari pendapatan asli daerah, baik bagi hasil pajak dan bukan pajak dalam isatilah produktifitas dan sumbangannya terhadap PDRB. Data PDRB yang digunakan adalah PDRB harga berlaku tanpa migas, tenaga kerja denga penduduk yang berumur 10 tahgun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut propinsi dan status pekerjaan utama dan data investasi diproksi dengan kredit yang dikeluarkan oleh bank umum menurut provinsi, sedangkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran ruti serta pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak dari APBD provinsi. Dengan mentransformasikan model ke dalam bentuk Generalized Least Square dan selanjutnya diestimasi dengan OLS menghasilkan bahwa penerimaan PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah signifikan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional sedangkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin adalah signifikan positif.

2.5 Kerangka Pemikiran Kerangka Konsep Analisis Efisiensi dan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Aceh Singkil Pada Era Otonomi Daerah HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH TRANSFER ERINTAH PROVINSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) BAGI HASIL PAJAK & Bukan Paja TRANSFER PUSAT LAINNYA PINJAMAN DAERAH BAGI HASIL PAJAK BAGI HASIL BUKAN -PAJAK DAERAH -RETRIBUSI DAERAH -HASIL BUMD -PBB -BPHTB -PPh -HASIL SDA - D A U - D A K - PEN.LAINNYA YANG SAH -DALAM NEGERI -LUAR NEGERI Gambar 2.1 : Kerangka Pemikiran Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa penerimaan suatu daerah kabupaten atau kota terdiri dari pendapatan asli daerah, dana bagi hasil dari pemerintah pusat, transfer pemerintah pusat lainnya, transfer pemerintah provinsi maupun pinjaman daerah. 2.6 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah dan teori para peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan secara efesien dan efektif; 2. Pertumbuhan penerimaan dan pengeluaran mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada era otonomi daerah. 3. Terdapat pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Singkil.