BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat

dokumen-dokumen yang mirip
PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA TAHUN 2015 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 PEDOMAN TEKNIS PERATURAN DI DESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, lahir dari perjuangan

BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DESA

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Faktor hirarki inilah yang tidak memungkinkan pengujian materil peraturan desa tidak BAB IV PENUTUP

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA

PEMERINTAH KABUPATEN SELUMA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA


LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 4 Tahun : 2014

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

PERATURAN DESA SUMBERANYAR

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) terdiri dari

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEUANGAN DAN ASET DESA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BANGKA BARAT NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 54 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

KEMENTERIAN DALAM NEGERI PERATURAN DI DESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 7 TAHUN 2008 PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA, KEPALA DESA, BADAN PERMUSYAWARATAN DESA, DAN PERATURAN DESA

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO SERI C

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BUPATI KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR : 01 TAHUN 2016

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENGELOLAAN PENDAPATAN ASLI DESA (Studi Kasus di Desa Ngombakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Tahun 2014)

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 13 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dibuat untuk melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara (Pasal 1 angka 2 UU no. 12 tahun 2011). Selain itu peraturan perundang-undangan menjadi hal yang sangat penting bagi warga negara karena dapat menciptakan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Penyusunan peraturan perundang-undangan bukan saja mengacu pada tujuannya untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, tetapi juga harus berpatokan pada hierarki peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah asas lex generalis derogad lex specialis yaitu peraturan bersifat umum dilemahkan oleh peraturan bersifat khusus. Bila ada pertentangan peraturan secara hierarki digunakan asas lex superiori derogad lex inferiori yaitu peraturan yang lebih tinggi melemahkan peraturan yang lebih rendah. Maka dari itu, asas hukum diharapkan bersifat luwes agar tidak terjadi masalah yang berkepanjangan akibat dari pertentangan antara peraturan yang bersifat umum dan khusus. Masyarakat dan aparatur pemerintah diharapkan menyadari bahwa peraturan hukum baik yang bersifat umum maupun khusus dibuat demi menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bersama. 1

2 Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan desa. Keberadaan peraturan desa sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Nomor 32 Tahun 2004, namun belum memberikan definisi atau batasan tentang apa yang dimaksud dengan peraturan desa. Rumusan tentang peraturan desa ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Definisi ini juga yang digunakan oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 yang merupakan pengaturan lebih lanjut tentang Desa. Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, peraturan desa didudukan menjadi salah satu jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarkhi yang digolongkan ke dalam salah satu bentuk peraturan daerah. Hal ini kemudian hari diakui sebagai sebuah kesalahan karena peraturan desa berbeda dengan peraturan daerah, sehingga di dalam Undang-Undang tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan desa dikeluarkan dari hierarkhi peraturan perundang-undangan, tetapi tetap diakui keberadaannya sebagai salah satu jenis peratuan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 pasal 7 tersebut pemerintah desa tidak dapat begitu saja membentuk sebuah peraturan desa untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, jika tidak ada perintah dari peraturan

3 perundang-undangan atau pendelegasian karena urusan atau kewenangan asli yang diselenggarakan oleh desa sangat terbatas. Keterbatasan pemerintah desa tersebut dihapus dengan disahkannya Undang- Undang No. 6 Tahun 2014. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa memberikan keleluasaan yang lebih kepada pemerintah desa dalam menjalankan otonomi desa. Dalam konsideran undang-undang tersebut disampaikan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, konstruksi hukum struktur pemerintahan desa dimaksud masih menggunakan konstruksi hukum sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pada pasal 1 Undang-undang No 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Qitri, 2014). Materi muatan yang secara khusus disebut di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 untuk ditetapkan dengan peraturan desa adalah pembentukan dusun atau dengan sebutan lain (Pasal 3), susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa (Pasal 12), APBDes (Pasal 61 dan 73) Rencana Pembangunan Jangka Menengah

4 Desa (Pasal 64), Pengelolaan Keuangan Desa (Pasal 76), Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Pasal 78), dan Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan (Pasal 89). Proses penyusunan perundang-undangan meliputi berbagai tingkat penyelesaian, seperti tingkat persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi. Seorang perancang peraturan perundangundangan diharuskan mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik masyarakat. Proses penetapan peraturan perundang-undangan memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang prosedur dan tata cara yang digariskan dalam sistem tata pemerintahan yang berlaku. Fenomena yang terjadi sekarang adalah banyak peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat (Huda, 2011:7). Sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, pembentukkan peraturan desa yang ideal berisi tentang perintah bahwa pedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan peraturan desa diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota. Kementerian Dalam Negeri mendukung hal tersebut dengan cara mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Akan tetapi pada kenyataannya, pembahasan peraturan desa sering terjadi penyimpangan dalam proses penyusunannya. Pemerintah sebagai organisasi yang menjalankan negara tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini dikarenakan, peraturan pemerintah yang dijadikan acuan oleh masyarakat desa bermasalah. Peraturan desa membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembentukkannya. Hal ini dimaksudkan agar hasil akhir dari peraturan desa yang disusun tersebut dapat

5 memenuhi aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukkannya. Partisipasi masyarakat dapat berupa masukan dan sumbang pikiran dalam perumusan substansi pengaturan peraturan desa. Karena kekuatan hukum dan efektivitas perundang-undangan akan terjadi jika memenuhi tiga daya laku sekaligus yaitu filosofis, yuridis, dan sosiologis. Juga harus memperhatikan efektifitas atau daya lakunya secara ekonomis dan politis (Mertokusumo, 1991: 81). Tidak dipenuhinya kelima unsur tersebut akan berakibat tidak dapat berlakunya hukum dan perundang-undangan secara efektif. Kebanyakan produk hukum yang ada saat ini hanya berlaku secara yuridis, tetapi tidak berlaku secara filosofis dan sosiologis. Ketidaktaatan asas dan keterbatasan kapasitas daerah dalam penyusunan produk hukum seperti itu yang dalam banyak hal menghambat pencapaian tujuan otonomi daerah. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat akan sangat menentukan aspek keberlakuan hukum secara efektif (Rudy, 2008). Guna memenuhi kaidah tentang peraturan desa di atas, maka penyusunannya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa. 2. Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 3. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. 4. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. 5. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. 6. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.

6 7. Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi. 8. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. 9. Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa. 10. Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa (Pasal 69 UU No. 6 th 2014) Peraturan desa dapat dibatalkan apabila tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar tersebut di atas. Pejabat yang berwenang membatalkan peraturan desa adalah bupati. Peraturan desa hendaknya dibuat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Oleh karena itu, proses penyusunan peraturan desa hendaknya memperhatikan aspirasi sekaligus melibatkan masyarakat desa setempat. Salah satu kasus penyimpangan yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan desa terjadi di wilayah Klaten. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2000 tentang Badan Perwakilan Desa sebagai tindak lanjut Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999. Ada beberapa hal yang menonjol berkaitan dengan over capacity BPD, antara lain yang terjadi di Desa Tumpukan, Kecamatan Karangdowo. BPD membuat keputusan serta rancangan peraturan desa untuk mengurangi bengkok kepala desa dan perangkat agar menjadi tanah kas desa guna menambah pendapatan desa (Tjahjono: 2001) Upaya meningkatkan pendapatan desa sangat positif, terutama jika pendapatan desa dimaksud tidak cukup memadai dalam mendanai berbagai kegiatan rutin dan pembangunannya. Namun, secara hukum BPD tidak berhak mengurangi bengkok yang menjadi sumber penghasilan kepala desa serta perangkatnya. Pengaturan mengenai pengelolaan bengkok ataupun tanah kas desa terletak pada pemerintah kabupaten. Lain halnya dengan yang terjadi di Desa Bero Kecamatan Trucuk, dan

7 Kanoman Kecamatan Karangnongko. Di dua desa yang terletak di Kabupaten Klaten tersebut BPD menolak keputusan Bupati untuk mengaktifkan kembali kepala desa dan menolak mengakui kepala desa (Tjahjono: 2001). Permasalahan yang terjadi di Bero merupakan imbas dari pelaksanaan pemilihan kepala desa tahun 1998 yang disinyalir terjadi penyimpangan, sedangkan di Kanoman permasalahannya adalah dugaan penyelewengan jabatan. Meskipun bupati telah memberikan mandat untuk pengaktifan kembali kepala desa masingmasing wilayah tersebut. Namun peringatan tersebut tidak diindahkan oleh pemerintahan desa masing-masing. Berdasarkan kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa di satu sisi BPD merasa memiliki kewenangan besar atau luar biasa, sedangkan di satu sisi lain peraturan tentang BPD belum menyentuh sanksi secara institusi bila muncul kasus serupa. Siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggungjawab. Apabila pengaturan mengenai larangan atau sanksi secara institusi belum ada, tidak mustahil akan muncul persoalan serupa karena melebarnya kewenangan BPD. Dengan demikian kehadiran BPD yang semula diharapkan dapat menyejukkan iklim demokrasi di desa, justru akan menambah persoalan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Di lain pihak keberadaannya dapat menjadi beban bagi desa yang minim pendapatannya. Ketentuan adanya uang sidang membuat pemerintah desa harus menganggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa, padahal untuk memenuhi kebutuhan rutin dan pembangunan saja sangat minim. Ini berbeda dari desa yang berpendapatan lebih.

8 Permasalahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Klaten tersebut berbeda dengan masalah yang terjadi di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan. Penyimpangan yang terjadi di Kabupaten Klaten adalah tidak diakuinya jabatan kepala desa di Desa Bero dan Kanoman, sedangkan masalah di Desa Penganten adalah mengenai penyimpangan dalam proses penyusunan peraturan desa. Penyimpangan yang terjadi di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan yaitu ketidakikutsetaan masyarakat dalam penyusunan peraturan desa. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan peraturan desa, sehingga sering terjadi selisih paham antara masyarakat dengan pejabat desa tentang hasil akhir dari peraturan yang telah dibuat. Hal ini jelas menyimpang karena peraturan desa dibuat guna kesejahteraan masyarakat. Jika masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatannya, maka bisa dipastikan pihak-pihak yang berwenang membuat peraturan desa tidak sepenuhnya paham akan kondisi yang terjadi di desa. Adakalanya Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa tidak disertai penjelasan, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal. Umumnya baik peraturan desa maupun peraturan kepala desa memuat beberapa penjelasan. Pada bagian penjelasan umum biasanya dimuat politik hukum yang melatarbelakangi penerbitan Peraturan Desa yang bersangkutan. Pada bagian penjelasan pasal demi pasal dijelaskan materi dari norma-norma yang terkandung dari setiap pasal di batang tubuh. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, penulis sebagai salah satu mahasiswa program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tertarik untuk mengadakan penelitian "Proses Penyusunan Peraturan Desa" karena hal tersebut erat sekali hubungannya dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas

9 Muhammadiyah Surakarta yaitu terdapat dalam mata kuliah Pemerintah Daerah. Selain itu juga terdapat dalam kurikulum SMP kelas IX semester ganjil dalam standar kompetensi memahami pelaksanaan Otonomi Daerah. Standar kompetensi tersebut menjelaskan tentang otonomi daerah ditingkat kecamatan dan kelurahan desa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang "Proses Penyusunan Peraturan Desa Studi Kasus di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014". B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran keberadaan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan? 2. Bagaimana proses penyusunan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014? 3. Bagaimana kendala proses penyusunan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014? 4. Bagaimana solusi proses penyusunan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan keberadaan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.

10 2. Untuk mendeskripsikan proses penyusunan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. 3. Untuk mendeskripsikan kendala proses penyusunan pertauran desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang- Undang No. 6 Tahun 2014. 4. Untuk mendeskripsikan solusi proses penyusunan peraturan desa di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berdasarkan Undang- Undang No. 6 Tahun 2014. D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Sebagai usaha pengembangan ilmu pengetahuan ketatanegaraan khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan Desa yang berkaitan dengan kedudukan Badan Permusyawaratan Desa sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, serta memberikan masukan kepada Pemerintah Desa dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan Desa. b. Jika dianggap layak dan diperlukan dapat dijadikan salah satu referensi bagi peneliti berikutnya yang mengkaji permasalahan yang sama. 2. Secara Praktis a. Memberikan masukan kepada Kepala Desa dan badan Permusyawaratan

11 Desa dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan Desa. b. Bagi Masyarakat, sebagai masukan bagi masyarakat untuk mengetahui keberadaan BPD serta fungsi-fungsinya di dalam Pemerintahan Desa E. Daftar Istilah 1. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mempunyai kekuatan yang mengikat (Sari, 2012). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat berwenang dan mengikat secara umum. 2. Peraturan desa adalah produk hukum tingkat desa yang ditetapkan oleh kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa (pasal 55 UU No. 72 Tahun 2005). Peraturan desa adalah semua peraturan desa yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa (Widjaja, 2003: 94).

12 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkkan bahwa peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dan berlaku di wilayah desa tertentu. 3. Materi muatan peraturan desa adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (Permendagri No. 29 Tahun 2006 Pasal 4 ayat (1)) Materi muatan peraturan desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (Pasal 13 UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi muatan peraturan desa adalah seluruh materi yang berfungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan desa.