BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menciptakan pemerintahan Indonesia yang maju maka harus dimulai

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat, sehingga pada tahun

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 22 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dalam keuangan negara. Sejak disahkannya UU No 22 tahun 1999

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Pengelolaan Keuangan Desa Blitar, 30 September 2016

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

Peran BPK Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Dana Desa z. Pekanbaru, 16 Nopember 2017

ASAS-ASAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DALAM PENCAPAIAN AKUNTABILITAS PENGGUNAAN DANA DESA DI DESA KARANG AGUNG KABUPATEN PALI

BAB V KONKLUSI DAN REKOMENDASI. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis

BAB I PENDAHULUAN. bagian terkecil dari struktur pemerintahan yang ada di dalam struktur

BAB I INTRODUKSI. Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk. pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa

BAB I PENDAHULUAN. maupun Pemerintah Kabupaten dengan penduduk desa dalam rangka

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. langsung dengan masyarakat menjadi salah satu fokus utama dalam. pembangunan pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah saat ini sedang mengupayakan peningkatan pelaksanaan

BUPATI REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan sistem pemerintahan, good governance telah

BAB I PENDAHULUAN. pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. berlebih sehingga untuk mengembangkan dan merencanankan daerah yang

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Pemerintah Kota Tangerang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 merupakan tonggak dimulainya era demokrasi di

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA

BUPATI REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI REMBANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Oleh: Bito Wikantosa Kasubdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif

BUPATI TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan berdasarkan

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEUANGAN DAN ASET DESA

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 8 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI KABUPATEN BLORA

Peran Kepala Desa dan BPD dalam Penyusunan APBDesa

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMERINTAHAN DESA KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. sejak tahun 2015 menurut Undang-undang No.6 Tahun menteri Desa No.21 tahun 2015 tentang prioritas penggunaan

BUPATI KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI KUPANG NOMOR : 7 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAMPAR PROPINSI RIAU PERATURAN BUPATI KAMPAR NOMOR 8 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

IMPLEMENTASI AKUNTANSI KEUANGAN DESA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DAN ASET DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 59 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KOTA BANJAR TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan desa, mengingat hampir dari sebagian besar masyarakat Indonesia ada di daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu hal yang menjadi tuntutan dalam pemerintahan saat ini

KEPALA DESA CINTAKARYA KECAMATAN SINDANGKERTA KABUPATEN BANDUNG BARAT

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 16 TAHUN 2O16 TENTANG

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

INTEGRITAS PROFESIONALISME SINERGI PELAYANAN KESEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA; PENGALOKASIAN, PENYALURAN, MONITORING DAN PENGAWASAN

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

UPAYA-UPAYA UNTUK MENJAGA EFEKTIVITAS DANA BANTUAN SOSIAL

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI JEMBRANA,

UU No. 6 Tahun 2014 kesatuan masyarakat hukum berwenang untuk mengatur dan mengurus

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN

KEPALA DESA CINTAKARYA KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka melaksanakan pembangunan desa, pembinaan

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI KABUPATEN BANYUWANGI

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 25 TAHUN 2015 SERI

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

A. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 15, No. 1, Februari 2015:

Bab8 Pembinaan dan Pengawasan

BAB I PENDAHULUAN. Indenosia tersebar di desa-desa seluruh Indonesia. diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari

BUPATI ROKAN HILIR PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. tradisionalis, dan kolot (Furqaini,Astri:2011). Undang-Undang No. 32 tahun 2004

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa (UU No. 06 Tahun 2014) pada tanggal 15 Januari tahun 2014, pengaturan tentang Desa mengalami perubahan secara signifikan. Dari sisi regulasi, Desa (Nagari) tidak lagi menjadi bagian dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Desa-desa di Indonesia akan mengalami pendekatan baru dalam pelaksanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahannya. Dalam UU No. 06 Tahun 2014 Pasal 1 (1), dijelaskan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai daerah administratif, Desa memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan administrasi Pemerintahan Desa dan pengelolaan keuangan Desa. Hal ini tentu saja berimplikasi pada kemampuan Pemerintah Desa sebagai pelaksana kewenangan otonom dan sumber keuangan potensial yang harus ditemukan. Selain itu juga memberi jaminan yang lebih pasti bahwa setiap Desa akan menerima dana dari pemerintah melalui anggaran negara dan daerah yang jumlahnya di atas jumlah yang selama ini tersedia dalam anggaran Desa. Kebijakan ini memiliki konsekuensi terhadap proses pengelolaannya yang seharusnya dilaksanakan secara profesional, efektif dan efisien, 1

serta akuntabel yang didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen publik yang baik agar terhindarkan dari resiko terjadinya penyimpangan, penyelewengan dan korupsi. Ditetapkannya UU No. 06 Tahun 2014, telah berhasil menggabungkan fungsi self governing community dengan local self government, sehingga Desa memenuhi syarat sebagai entitas pelaporan, karena bentuk umum Desa menurut peraturan perundang-undangan berciri pemisahan kekuasaan Desa dari Kabupaten/Kota, pembentukan Desa dari proses politik, memiliki karakteristik otonomi secara memadai, mempunyai kekayaan Desa yang tidak termasuk dalam kekayaan Kabupaten, menerima alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, mempunyai sistem kepemerintahan dengan perangkat Desa dan kelembagaan setara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menggunakan sistem anggaran mandiri terlepas dari APBD Kabupaten (http://www.ksap.org/sap/desa/). Entitas Desa memiliki kewenangan yang lebih besar dalam hal belanja termasuk kewenangan untuk membentuk Badan Usaha Desa. Konsekuensi kewenangan membentuk Badan Usaha Desa mencerminkan adanya wewenang untuk melakukan pengeluaran pembiayaan seperti pada entitas pelaporan. Kegagalan entitas pelaporan Pemerintah Desa dalam menyusun laporan keuangan yang wajar, mengakibatkan saat laporan keuangan penggabungan di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda) disusun juga menjadi tidak wajar, saat laporan keuangan konsolidasi di tingkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Pusat (Pempus) juga menjadi tidak wajar (Junaidi, 2015). 2

Pemerintah memiliki komitmen yang kuat terkait pelaksanaan UU No. 06 Tahun 2014, yang dibuktikan dengan telah disetujuinya Anggaran Dana Desa sejumlah Rp. 20,7 triliun dalam APBNP 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 Desa di seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 2016 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu naik sebesar 125% sehingga menjadi Rp. 46,98 triliun. Sehingga, jika pada tahun 2015 setiap Desa rata-rata menerima Rp. 300.000.000,- maka pada tahun 2016 masingmasing Desa mendapatkan anggaran mulai dari Rp. 600.000.000,- hingga Rp.800.000.000,-. Selain menerima dana langsung dari pusat, sumber pembiayaan keuangan Desa yang besar juga berasal dari transfer dana pusat melalui APBD yang dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desa (PP No. 43 Tahun 2014), formulasi perhitungan ADD adalah minimal 10% dari dana transfer pusat ke daerah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Terkait dengan besarnya anggaran yang akan diterima oleh Desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (2015) telah melakukan kajian pengelolaan keuangan Desa. Secara umum tujuan dari kajian ini adalah melakukan pemetaan dan analisis terhadap kelemahan sistem administrasi yang berisiko menimbulkan fraud dan korupsi dalam pengelolaan keuangan Desa khususnya dalam pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Berdasarkan hasil analisis atas regulasi dan temuan di lapangan pada saat observasi yang dilakukan oleh KPK, terdapat (14) empat belas potensi masalah pengelolaan Dana Desa. Potensi masalah dalam kajian ini terbagi ke dalam 4 (empat) bagian yakni potensi masalah dalam regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan dan sumber daya manusia.. 3

Kemudian berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (2015), salah satu pendekatan pengawasan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat risiko-risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan pengelolaan dana tersebut. Beberapa Risiko yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan Desa tingkat entitas Pemerintahan Desa antara lain: 1. Program dan Kegiatan pada RPJM Des, RKP Des, dan APB Des tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat Desa. 2. Kegagalan menyelenggarakan siklus pengelolaan keuangan Desa yang sehat. 3. Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Des. 4. Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif. 5. Penggunaan Kas Desa secara tidak sah. 6. Mark up dan atau Kick Back pada pengadaan barang/jasa. 7. Penggunaan aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak sah. 8. Pungutan liar layanan Desa. 9. Kesalahan penetapan nilai tagihan. 10. Penerimaan kas tidak disetor seluruhnya/sebagian ke Kas Desa. Sebagai pedoman dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Desa, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (Permendagri No. 113 Tahun 2014). Pada Pasal 1 (6) dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan Desa merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan hingga pertanggung jawaban yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran terhitung 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pengelolaan keuangan Desa dilaksanakan berdasarkan azas transparan, akuntabel, partisipatif, tertib dan disiplin anggaran. 4

Dari data dan informasi yang diperoleh dalam pengelolaan keuangan Desa pada Tahun Anggaran 2015, masih banyak terdapat permasalahan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Pada proses perencanaan penyusunan APB Desa belum sesuai dengan prioritas penggunaan dana Desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa nomor 05 tahun 2015 (Permendes No. 5 Tahun 2015), dimana terdapat empat prioritas penggunaan Dana Desa, yakni pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pada tahun 2015 juga masih banyak terjadi keterlambatan pencairan Dana Desa di Kabupaten/Kota di Indonesia. Teknis pencairan dana Desa dilakukan dalam tiga tahap, pada bulan April (40 persen), Agustus (40 persen) dan Oktober (20 persen). Untuk pencairan Dana Desa tahap pertama tahun 2015 baru mencapai 80 persen pada bulan April, keterlambatan tersebut karena belum ditetapkannya Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tentang acuan pencairan Dana Desa. Kemudian pencairan Dana Desa tahap ketiga juga mengalami keterlambatan, seharusnya dana Desa tahap ketiga sudah dicairkan pada pekan kedua Oktober. Namun, hingga memasuki pekan kedua Desember banyak Desa yang belum mencairkan dananya, sehingga mengganggu pelaksanaan program/kegiatan dan penyusunan administrasi keuangan. Realisasi dana Desa per tanggal 21 Oktober 2015 sudah mencapai Rp. 16,61 triliun atau 80 persen dari total Dana Desa. Penyebab penundaan pencairan Dana Desa tahap ketiga karena masih banyak daerah yang belum melaporkan realisasi Dana Desa tahap I dan II (http://sekolahdesa.or.id/tag/dana-desa/). Pada tahun 2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata 5

Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan Dan Evaluasi Dana Desa (Permenkeu No. 49/PMK.07.2016) maka paenyaluran Dana Desa dilakukan dua tahap, dimana Tahap I pada Bulan Maret sebesar 60 % dan Tahap II pada bulan Agustus sebesar 40%. Terkait dengan bertambah besarnya jumlah dana yang akan dikelola oleh Pemerintahan Desa, maka diperlukan kesiapan pengelola keuangan Desa. Pemberian dana ke Desa yang begitu besar, jumlah pelaporan yang beragam serta adanya titik-titik kritis dalam pengelolaan keuangan desa tentunya menuntut tanggung jawab yang besar pula oleh Aparat Pemerintah Desa. Oleh karena itu Pemerintah Desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan disiplin anggaran dalam pengelolaan keuangan Desa, dimana semua akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan sehingga terwujud tata kelola Pemerintahan Desa yang baik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terkait dengan pengelolaan keuangan Desa (Nagari) antara lain dilakukan oleh Furqani (2010) yang meneliti tentang Pengelolaan Keuangan Desa dalam Mewujudkan Good Governance, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pengelolaan keuangan Desa prinsip transparansi terjadi hanya ketika proses perencanaan. Hampir semua proses tidak memenuhi prinsip tanggung jawab. Sementara akuntabilitas sangat rendah karena tanggung jawab tidak melibatkan masyarakat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). 6

Setelah diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 masih sangat sedikit penelitian yang khususnya mengenai evaluasi pengelolaan keuangan Desa. Junaidi (2015) melakukan penelitian tentang Perlakuan Akuntansi Sektor Publik Desa di Indonesia, adapun aspek yang diteliti meliputi kebijakan akuntansi, proses penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran dan analisis keuangan Desa. Hasil penelitiannya adalah; (1) Diperlukan suatu peraturan yang sifatnya teknis dan terpadu yang dapat dijadikan acuan bagi Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) untuk menyusun laporan keuangan keuangan Desa. (2) Kompilasi, analisis dan publikasi laporan keuangan antar Desa menjadi tugas Pemerintah Daerah agar terjadi budaya kompetitif untuk mensejahterakan Desa. (3) Diperlukan landasan hukum untuk memanfaatan dana cadangan guna diinvestasikan pada instrument keuangan untuk memperoleh return yang relatif besar. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan sebagai salah satu Kabupaten di Sumatera Barat, pada tahun 2015 menerima Dana Desa sebanyak Rp. 36.000.000.000 dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Umum Nagari yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebanyak Rp.38.000.000.000, serta dana stimulus Nagari sebesar Rp. 4.500.000.000, dengan adanya dana tersebut, maka total dana yang bakal diterima seluruh Nagari mencapai Rp. 78.500.000.000 miliar untuk 182 Nagari. Kemudian pada tahun 2016 terjadi peningkatan jumlah Dana Desa yang diterima yaitu sebanyak Rp. 112.965.680.000, sedangkan dari Alokasi Dana Nagari sebanyak Rp. 87.268.570.200. 7

Berdasarkan pengamatan dan dan informasi yang diperoleh selama ini dalam pengelolaan keuangan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan masih banyak permasalahan yang terjadi, antara lain; keterlambatan pencairan anggaran dan pelaksanaan program/kegiatan, kesalahan dalam penatausahaan keuangan dan pembuatan surat pertanggungjawaban, keterlambatan penyusunan dan penyampaian laporan keuangan, dan masih terdapat temuan-temuan dari hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian pada Pemerintahan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan dengan judul Evaluasi Pengelolaan Keuangan Pemerintah Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan (Studi Kasus Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan). 1.2 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini akan dilakukan evaluasi pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut: a. Bagaimanakah pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan Petunjuk Pelaksanaan yang telah ditetapkan? b. Apakah kendala-kendala yang ditemui dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan? 8

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengevaluasi pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan tahun 2016. b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pengelolaan keuangan Pemerintahan Nagari Talang Koto Pulai Tapan tahun 2016. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain: a. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman praktis bagi peneliti dalam menerapkan teori yang telah di dapat selama berada di bangku perkuliahan. b. Bagi Akademisi Sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat menambah wawasan kepada akademisi mengenai pengelolaan keuangan Pemerintah Desa (Nagari). c. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pengelolaan keuangan Pemerintahan Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan. 9

1.5 Batasan Penelitian Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada evaluasi pengelolaan keuangan Pemerintah Nagari Talang Koto Pulai Tapan, Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan peraturan perundangan-undangan dan petunjuk pelaksanaan. 1.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN, Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini berisi teori-teori dan peraturanperaturan sebagai dasar hukum yang melandasi pembahasan dari masalah yang akan diteliti. BAB III METODOLOGI PENELITIAN, menguraikan secara jelas tentang metode penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, mengemungkakan tentang hasil penelitian dan pembahasan BAB V PENUTUP, pada bab ini memuat kesimpulan akhir dari penelitian, keterbatasan penelitian, implikasi penelitian, serta saran-saran bagi kemungkinan pengembangan penelitian lanjutan. 10