36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Singkatnya, endapan batubara adalah endapan hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa tumbuhan, melalui proses litifikasi untuk membentuk lapisan batubara yang kaya akan karbon. Pembentukan batubara sendiri dimulai sejak Periode Karbon (periode pembentukan endapan karbon atau batubara) yang dikenal sebagai zaman batubara pertama dan berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam), hal ini akan berkorelasi dengan tumbuhan purba sebagai bahan baku dengan jenisnya yang berbeda-beda, sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh berkembangnya. IV.2 Proses Pembentukan Batubara Pembentukan batubara diawali dengan proses peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi (pelepasan oksigen), yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika, maupun kimia yang terjadi karena pengaruh temperatur akibat gradien geotermal, tekanan lapisan sedimen diatasnya, dan waktu lama terjadinya proses pembatubaraan (gambar 4.1),.
37 Gambar 4-1 Proses Pembentukan Batubara (Anggayana, 2002) IV.2.1 Penggambutan (Peatification) Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara (anaerob), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% dari (berat) total dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Proses penggambutan ini adalah tahap paling awal dari pembentukan batubara. Dalam proses awal ini, yang berperan sangat penting adalah faktor mikro-organisme (bakteri). Tumbuhan sendiri tersusun dari beberapa unsur, yaitu C, H, O, dan N. Setelah tumbuhan mati, terjadi degradasi biokimia dan pembusukan, lalu bakteri akan mengurai unsur-unsur tersebut. Dalam kondisi melimpah oksigen (kontak dengan atmosfer/aerob), unsur yang dilepas adalah H 2 O dan NH 3, sebagian C menjadi CO 2, CO, dan CH 4. Bila dalam kondisi tertutup air, maka perubahan unsur pada tumbuhan tidak akan sempurna. Dan sisa tumbuhan akan bertumpuk menghasilkan gambut. Anggayana (2002), menggunakan istilah Moor sebagai lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm yang dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan
38 morfologinya. Berdasarkan morfologi permukaannya, moor dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan. Morfologi permukannya datar dan atau cekung. Pasokan air untuk gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), tidak tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun lebar dan tumbuhan perdu dengan ph berkisar antara 4,8 sampai 6,5 2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor iini tidak tergantung pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lowmoor, sehingga jenis tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah beriklim sedang, highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis ditumbuhi hutan lokal dengan bermacam jenis tumbuhan ph pada highmoor berkisar antara 3,3 sampai 4,6. Pada tahap selanjutnya, proses penggambutan akan dilanjutkan oleh proses pembatubaraan. Meliputi proses geologi dan perubahan kimia dari gambut. Pada tahap ini peran bakteri jauh berkurang. IV.2.2. Pembatubaraan (Coalification) Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi batubara yang dikontrol oleh temperatur, tekanan, dan waktu (gambar 4.2).
39 Endapann Batubara Gambar 4-2 Faktor temperatur, tekanan dan waktu terhadap pembentukan lapisan batubara (KGS) Selama proses perubahan gambut menjadi batubara, terjadi kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Kenaikan temperatur dan penurunan porositas ini disebabkan oleh kompaksi yang memberi gambut tekanan dan panas, yang bila terjadi secaraa berkelanjutan maka akan terjadi peningkatan persentase unsur C (Carbon Enrichment), karena unsur H, N, dan O sudah dilepas. Semakin tinggi kadar C dalam batubara maka kualitasnya akan semakin bagus (gambar 4-3) dan pelepasn unsur-unsur tersebut akan membuat pemadatan pada batubara. 5(C 6 H 10 O 5 ) C 20 H 22 O 4 + 3CH 4 + 8H 2 O +6CO 2 + CO cellulose lignit gas metan Gambar 4-3 Persamaan kimia pelepasan unsur H, N, dan O dalam proses pembentukan batubara IV.3. Lingkungan Pengendapan Batubara Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa batubara hanya akan terbentuk dalam kondisi tidak berkontakk dengan atmosfer dan banyak mengandung tumbuhan, sehingga lingkungan yang sangat mendukung adalah daerah yang digenangi air, dengan kandungan tumbuhan banyak dan banyak mikroorganisme, daerah ini umum disebut rawa (swamp).
40 Endapann Batubara Rawa sendiri secara geografis bisa dipisah menjadi 2 jenis, yaitu : - Rawa paralis (tepi laut) - Rawa limnik (tepi danau) Dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa satuan batuan yang membawa lapisan batubara ini adalah Satuan Batupasir dengan lingkungan pengendapan delta, sehingga batubara di daerah penelitian pun relatif akan diendapkan di daerah delta. Horne (1978) memberikan cara untuk mengenali karakteristik lingkungan pengendapan antara lain barrier, back-barrier, lower delta plain, transitional lower delta plain, dan upper delta plain fluvial (Gambar 4.4). Gambar 4-4 Gambar pembagian sedimentasi delta berdasarkan endapan batubara yang dikandung (Horne, 1978) Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978), yaitu:
41 1. Lingkungan back barrier, lapisan batubaranya tipis, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barrier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya akan material organic, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin kearah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan kearah daratan terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial deltaik. 2. Lingkungan lower delta plain, lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butrian mengkasar ke arah atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark. 3. Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing. 4. Lingkungan upper delta plain fluvial : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh podshaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara
42 ditandai dengan hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan wash out oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung, serta batubara. IV.4. Analisis dan Klasifikasi Batubara IV.4.1. Analisa Proksimat Penentuan kualitas batubara dilakukan dengan memperhatikan parameter kualitas yang dihasilkan dari analisis kimia dan pengujian laboratorium. Analisis kimia batubara terdirir dari 2 jenis yaitu, analisis ultimat dan analisis proksimat. - Analisis ultimat berfungsi untuk menganalisis jumlah kandungan unsur-unsur dalam batubara (C, H, O da, sedikit N). Analisis ini menghasilkan parameter kualitas batubara berupa jumlah kandungan unsur-unsur tersebut. - Analisis proksimat ini menghasilkan beberapa parameter kualitas batubara, yaitu: o Kandungan air bebas (Free/Surface Moisture), yaitu kandungan air yang terdapat di permukaan atau di dalam rekahan batubara ditentukan dengan cara menimbang berat yang hilang pada sampel batubara segar dalam suhu ruang dalam waktu tertentu. o Kandungan air bawaan (Inherent Moisture), yaitu kandungan air yang terdapat dalam mineral penyusun batubara, baik mineral organik atau yang lainnya, diperoleh dari kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa kandungan bebas dipanaskan dalam tungku pada suhu 105 o 110 o C. o Kandungan air total (Total Moisture), yaitu sebutan untuk keseluruhan kandungan air setelah sampel batubara digerus
43 sampai ukuran 3 mm, lalu dipanaskan dalam tungku dengan suhu 105 o 110 o C. o Kandungan abu (Ash), yaitu bahan anorganik yang tertinggal setelah batubara habis dibakar pada suhu 815 o C dan dialirkan udara secara lambat ke dalam tungku pembakaran. o Zat terbang (Volatile Meter), yaitu komponen dalam batubara yang dapat lepas, pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada suhu 900 o C, selain moisture. Terdiri dari 2 tipe yaitu volatile organic matter dan volatile mineral matter. o Karbon tertambat (Fixed Carbon), yaitu jumlah karbon yang tertambat dalam batubara, setelah kandungan air, abu dan zat terbang dihilangkan. o Nilai kalori (Calorific Value), yaitu jumlah panas yang dilepaskan oleh batubara saat batubara tersebut dibakar. o Kadar Sulfur (Sulphur Content), yaitu prosentase kandungan sulfur dalam batubara. Sulfur sendiri umum hadir sebagai pirit, sulfur organik, dan sulfur sulfat. IV.4.2 Klasifikasi Batubara Penggolongan atau klasifikasi batubara secara umum digunakan oleh industri tambang sebagai penilaian tingkat nilai keekonomisan dari batubara di suatu daerah. Di Indonesia sendiri, klasifikasi yang dipergunakan adalah klasifikasi ASTM (American Society for Testing Materials) tahun 1981 (tabel 4-1) (Wood et al.,1992).
44 Tabel 4-1 klasifikasi kualitas batubara berdasarkan (ASTM, 1981;op.cit Wood et al., 1992) IV.5. Potensi Batubara Daerah Penelitian IV.5.1. Persebaran dan Ketebalan Batubara Dari bab sebelumnya, kondisi geologi daerah penelitian telah menunjukkan bahwa lapisan batubara di daerah ini berada dalam Satuan Batupasir. Batubara yang tersingkap di Satuan Batupasir ini diketahui ada 3 seam (lapisan) dan hadir sebagai sisipan dengan tebal berkisar antara 1,2 m 2m, dengan kemiringan mengarah ke timur sebesar 11 0-18 0, dan secara umum dapat dideskripsi sebagai batubara, berwarna coklat coklat kehitaman, kilap dull dull banded, kekerasan hard moderate, gores coklat hitam kecoklatan, belahan subconchoidal irregular, dengan lapisan diatas singkapan berupa soil maupun lapukan batupasir.
45 PT. Geoservices ltd. sendiri telah melakukan pemboran dengan variasi kedalaman antara 15m-100m (tabel 4-2), yang bila dikorelasikan satu sama lain akan menghasilkan beberapa seam tambahan yang tidak tersingkap di permukaan. No No Bor Elevasi Kedalaman 1 P-01 56,171 25 2 P-02 54,411 25 3 P-03 45,282 25 4 P-04 43,947 24 5 P-04A 44,888 50 6 P-05 48,701 27 7 P-05A 40,396 25 8 P-06 41,275 15 9 P-07 66,176 25 10 P-08 48,711 25 11 P-08A 43,678 20 12 P-08B 52,564 20 13 P-08C 46,083 15 14 P-09 42,544 27 15 P-10 47,935 20
46 16 P-10A 49,249 20 17 P-11 52,778 25 18 P-11A 50,004 50 19 P-11C 49,738 20 20 P-11D 52,624 15 21 P-12 46,434 20 22 PS-01 44.397 75.0 23 PS-01A 54.544 35.5 24 PS-02 59.147 103.5 25 PS-03 49.216 100 26 PS-04 51.230 76 27 PS-05 58.733 89.5 28 PS-05A 49.248 44.5 Tabel 4-2 Lokasi lokasi pemboran di Desa Petiduran Baru beserta kedalaman total dan elevasi lokasi pemboran Berdasarkan hasil korelasi data bor, didapatkan data lapisan batubara yang diperkirakan terdapat 7 lapisan menerus batubara dan 1 lapisan tipis yang melensa. Variasi ketebalan batubara berkisar antara 0,15m 6,5m, dan dengan pemberian identitas maka tiap lapisan batubara tersebut bisa dikenali dengan urutan dari tua ke muda adalah seam 1, seam 2, seam 3, seam 4, seam 5, seam 6, seam 7, dan seam 8.
50 Seam 5 Batubara seam 5 tidak ditemukan singkapannya di permukaan namun dikenali di lokasi pemboran PS-02, P03, P-02, PS-04, P-08A. Karena ketebalannya yang relatif tipis dan tidak bisa dikorelasikan dengan data bor disekitarnya, maka seam 5 ini diperkirakan melensa dengan ketebalan berkisar 0,37m-0,5m. Seam 6 Batubara seam 6 ini tidak ditemukan tersingkap di permukaan, namun dikenali dari data bor di lokasi PS-04, P-08B, PS-02, P-03, PS-01, PS-01A, dengan ketebalan sekitar 3,15m-3,25m. Seam 7 Batubara seam 7 tidak tersingkap di permukaan, dan dikenali di data bor pada lokasi PS-02, dan PS-04 dengan ketebalan 0,35m.. Seam 8 Batubara seam 8 ini tidak tersingkap di permukaan, dengan lapisan batubara ini dikenali ada di data bor lokasi PS-04 dan PS-02. Tebal lapisan ini berkisar antara 0,25m-0,40m. Keterdapatan tiap lapisan batubara kemudian dirangkum menjadi kolom profil stratigrafi lapisan batubara dengan deskripsi berupa rentang ketebalan tiap lapisan, kandungan Sulfur, kadar abu, dan besar kalori yang bisa dihasilkan (gambar 4-9).
52 IV.5.2. Kualitas Untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisis proksimat pada seluruh sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian dengan basis adb (air dried basis). Untuk klasifikasi rank ASTM (1981), digunakan basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni. Persamaan dalam mencari nilai analisis dengan basis dmmf adalah:, FC (dmmf) =,, VM (dmmf) = 100 - FC (dmmf) CV (dmmf) =,, Keterangan: FC VM M A S BTU = Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb) = Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb) = Moisture (Kadar Lengas) % (adb) = Ash (Abu) % (adb) = Sulphur (Sulfur) % (adb) = British Thermal Unit ; per pound = 1,8185 CV (adb) Hasil analisis proksimat tercantum di lampiran dan dapat disimpulkan bahwa rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM (1981) termasuk dalam Lignit Sub Bituminous A (Tabel 4-3).
53 Tabel 4-3 Klasifikasi batubara daerah penelitian (ASTM,1981; op.cit wood et al., IV.6.3. Kuantitas 1992) Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat dimanfaatkan, jadi data sumberdaya merupakan informasi mengenai suatu keberadaan bahan tambang. Namun, dengan menggunakan parameter geologi tertentu sumberdaya tersebut dapat berubah menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang yang menguntungkan dan aman.
54 Dalam menghitung sumberdaya batubara suatu daerah ada empat metode yang umum digunakan, yaitu: 1. Metode Circular USGS 2. Metode Penampang 3. Metode Blok 4. Metode Poligon Data yang diperoleh pada daerah penelitian, yakni data yang digunakan dalam perhitungan berupa data singkapan dan data pemboran, sehingga lebih mudah untuk menggunakan perhitungan metode circular USGS untuk menghitung sumberdaya di daerah penelitian. Langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara dengan metode circular USGS (Wood et al., 1983) adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara 2. Pembuatan lingkaran di setiap lokasi singkapan batubara (Gambar 4-9) dengan: a. Daerah radius 0 400 m disebut sumberdaya terukur (measured resources) b. Daerah radius 400-1200 m disebut sumberdaya tertunjuk (indicated resources) c. Daerah radius 1200-4800 m disebut sumberdaya terkira (inferred resources)
56 Endapann Batubara b. Untuk dip (α) > 30 0, sumberdaya = Luas area (m 3 ) x Tebal (m) x cos α x Berat Jenis (Ton/m 3 ) Gambar 4-11 Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya (Wood et al., 1983) Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan sumberdaya terindikasi dan diambil hingga kedalaman 25m dari permukaan, hal ini dilakukan dengan memasukkan faktor ekonomis tambang, luas daerah persebaran lapisan batubara dan kedalaman maksimal yang masih aman bagi para penambang. Dari beberapa faktor diatas, dilakukan perhitungan besar sumberdaya terhadap delapan seam yang terdapat di daerah penelitian ( Lampiran Peta Radius Persebaran Batubara). Dari perhitungan menggunakan metode di atas, didapatkan kuantitas sumberdaya sebesar 8.612.148 ton dengan menggunakan faktor koreksi sebesar 30% dan stripping ratio (perbandingan volume overburden (m 3 )dengan jumlah
57 batubara di bawahnya (ton)) rata-rata berkisar antara 2,8 hingga 18,33 (Lampiran F )