4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

dokumen-dokumen yang mirip
5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

PENYUSUNAN RUMUS: MENGHITUNG FAKTOR KOREKSI (CF)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMILIHAN SUATU BIDANG PERMASALAHAN EKOLOGI*)

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

G.2.7. Wilayah Takad Saru. G.2.8. Wilayah Kotal. Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru StatSoft-7 1,4 42,10 1,2 39,43 1,0 36,75 0,8

PENDAHULUAN Latar Belakang

KONDISI IKAN HERBIVORA DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU, PULAU BINTAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

POTENSI PEMULIHAN KOMUNITAS KARANG BATU PASCA GEMPA DAN TSUNAMI DI PERAIRAN PULAU NIAS, SUMATRA UTARA RIKOH MANOGAR SIRINGORINGO

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG

KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT PEMULIHAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015

Tim Peneliti KATA PENGANTAR

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesiamemiliki hutan mangrove terluas di dunia dan juga memiliki

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PREFERENSI DAN DAYA PREDASI Acanthaster planci TERHADAP KARANG KERAS

Penentuan batas antar komunitas tidak mudah Zona transisi dengan lingkungan tertentu Proses perubahan secara gradual struktur komunitas disebut

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

LAPORAN REEF CHECK DI PERAIRAN KRUENG RAYA DAN UJONG PANCU ACEH BESAR DI SUSUN OLEH

BAB III METODE PENELITIAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

PROGRESS COREMAP II CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

JAKARTA (22/5/2015)

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

JURNAL KELIMPAHAN DAN POLA PENYEBARAN BULU BABI (ECHINOIDEA) DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PANTAI PASIR PUTIH, SITUBONDO

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

~~~ ~~ Coral Reef Rehabilitation and Management Program Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara Medan 20()9

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Metodologi Penelitian Ikan Karang

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

Transkripsi:

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 61 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu karang sesaat, yaitu tingkat kemampuan terumbu karang saat itu untuk pulih kembali jika terjadi suatu gangguan pada terumbu tersebut. Resiliensi terumbu karang bersifat dinamis, berubah secara temporal, karena kondisi ekosistem juga bersifat dinamis. Tinggi rendahnya indeks resiliensi tersebut sangat berkaitan dengan sejarah dari terumbu karang yang sedang dinilai, yaitu tekanan dan gangguan yang sudah dan sedang dialami oleh terumbu karang tersebut. Terumbu karang yang baru saja mengalami gangguan akan memiliki indeks resiliensi yang telah menurun, lebih rendah daripada indeks sebelumnya, tergantung besarnya dampak gangguan terhadap peubah indikator indeks. Kehilangan tutupan karang dan kehilangan kelompok fungsional (bentuk tumbuh) karang mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan indeks resiliensi. Kedua komponen tersebut memiliki bobot terbesar di dalam rumus indeks. Indeks resiliensi tersebut secara teoritis akan meningkat dengan bertambahnya jarak waktu dari gangguan. Proses rekolonisasi dan reorganisasi yang terjadi setelah gangguan akan memulihkan kembali proses-proses ekologis di dalam ekosistem sehingga terumbu karang dapat menjalankan kembali fungsifungsi yang sama di dalam sistemnya. Pemulihan fungsi-fungsi sistem tersebut membutuhkan waktu, yang sangat relatif, tergantung pada dampak gangguan dan tingkat resiliensi terumbu karang tersebut. Pengelolaan terumbu karang perlu memahami pola perubahan indeks resiliensi secara temporal. Informasi tentang dinamika indeks dapat memberikan gambaran tentang prediksi kecenderungan yang akan terjadi, jika asumsi yang melandasinya kuat. Resiliensi merupakan kualitas atau karakter dari ekosistem yang dinamis. Perubahan ekosistem, baik yang bersifat degradasi maupun suksesi, diikuti pula perubahan tingkat resiliensinya.

62 Penelitian di dalam bab 4 ini bertujuan untuk menjawab tiga masalah yang berkaitan dengan uji coba penggunaan indeks resiliensi. 1) Bagaimanakah perubahan indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia secara temporal? 2) Peubah indikator indeks yang manakah yang paling banyak berubah ke arah lebih baik? 3) Peubah indikator indeks yang manakah yang paling banyak berubah ke arah lebih buruk? 4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Pengambilan data Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data runut waktu (time series) yang sudah dikoleksi oleh P2O LIPI untuk program COREMAP, tahun 2006-2009. Data COREMAP tersebut ada dua jenis, yaitu data baseline yang tidak hanya menilai kondisi terumbu karang tetapi juga kondisi oseanografi fisik, dan data pemantauan terumbu karang yang meliputi tutupan benthos dan kelimpahan ikan terumbu. Sebagian data baseline yang belum dipublikasikan tidak dapat diakses karena masih tersebar di antara para peneliti. Semua data dikoleksi oleh peneliti P2O LIPI yang terlatih dan disupervisi. Penelitian untuk melihat dinamika indeks resiliensi secara temporal ini menggunakan 132 transek yang mempunyai pengamatan berulang selama tiga tahun. Jumlah transek ini relatif kecil mengingat pemantauan oleh COREMAP melibatkan lebih dari 650 transek. Kecilnya proporsi data yang digunakan mencerminkan sulitnya mendapatkan data runut waktu dari transek permanen di Indonesia. Data dari kawasan timur Indonesia meliputi data terumbu karang di kabupaten-kabupaten Wakatobi, Sikka, Raja Ampat, dan Biak; pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Pada tahun 2008, COREMAP menggunakan metode lain di kawasan timur Indonesia yang tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan metode transek garis (LIT). Dari kawasan barat Indonesia, data terumbu karang runut waktu meliputi kabupaten-kabupaten Batam, Lingga, Mentawai, dan Nias;

63 pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Data tahun 2006 di kawasan Barat tidak tersedia. Selain terdapat lokasi yang kurang lengkap datanya pada tahun tertentu, sejumlah transek permanen yang dipantau dalam kurun waktu tersebut di atas juga tidak memiliki pasangan data yang runut. Transek-transek yang tidak lengkap datanya tersebut tidak digunakan di dalam penelitian ini. Karena itu jumlah sampel di dalam penelitian lebih sedikit dari sampel yang digunakan pada bab 2 dan 3, walaupun lokasi dan waktu pengambilan data sama. Sebagai data sekunder, yang tidak diambil sendiri oleh peneliti, maka kualitas data menjadi perhatian utama. Pembuatan transek permanen di dalam laut memiliki kesulitan tersendiri, terutama kesulitan menemukan kembali lokasi yang sama dan transek yang sama. Walaupun sekarang sudah ada teknologi GPS (global positioning systems) yang lebih akurat, transek yang ditinggalkan selama setahun tetap membutuhkan upaya yang besar untuk menemukannya kembali. Ada indikasi bahwa sebagian kecil transek tidak dapat ditemukan kembali, berdasarkan ketidak-konsistenan data pada transek yang sama, misalnya perubahan nilai USS yang terlalu besar (>25%). Jika terjadi hal seperti ini, maka data tersebut tidak digunakan di dalam analisis. 4.2.2 Analisis data Data dianalisis untuk membandingkan perubahan indeks antar waktu di tingkat kawasan dan kabupaten. Dengan demikian, desain analisis seharusnya ANOVA tiga faktor, atau ANOVA dua faktor dengan pengamatan berulang (repeated measurement). Data yang tersedia memang didesain untuk tujuan yang berbeda. Jumlah kabupaten antara kawasan timur dengan barat tidak sama, sehingga analisis dengan desain di atas tidak dapat dilakukan. Analisis data tetap dilakukan dengan menggunakan ANOVA karena kualitas yang dihasilkan oleh analisis tersebut. Data kawasan timur dengan kawasan barat dianalisis secara terpisah, dengan menggunakan ANOVA dua faktor: Waktu dan Lokasi (Kabupaten). Keduanya merupakan faktor yang tetap (fixed). Adanya perbedaan yang signifikan di dalam ANOVA akan dilanjutkan dengan Tukey Test untuk membandingkan rata-rata antar kabupaten atau waktu. Untuk memenuhi

64 persyaratan ANOVA dua faktor yang standar tentang keseragaman jumlah sampel, maka jumlah sampel yang paling kecil dijadikan sebagai acuan untuk mengurangi jumlah sampel yang berlebih. Pengurangan jumlah sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan bilangan acak, yang tersedia pada MS Excell. Semua penghitungan statistik di dalam bab ini menggunakan perangkat lunak MS Excell 2007. Hasil lengkap analisis disajikan pada Lampiran 5 (halaman 145). 4.3 Hasil-hasil Penelitian 4.3.1 Dinamika temporal indeks resiliensi Di kawasan Indonesia Timur, dinamika temporal indeks resiliensi terumbu karang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan antar waktu (F = 1.103, P > 0.05). Pengaruh interaksi antara waktu dan lokasi terhadap indeks resiliensi juga tidak signifikan (F = 0.854, P > 0.05). Perbedaan yang signifikan hanya ditemukan pada rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten (F = 23.726, P < 0.01) sebagaimana yang sudah diuji pada bab 3 sebelumnya. Tidak adanya pengaruh waktu yang signifikan menunjukkan bahwa perubahan indeks antar waktu relatif kecil dibandingkan perbedaan indeks antar transek di dalam kabupaten pada waktu yang sama. Indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Wakatobi dan Sikka mengalami sedikit peningkatan yang tidak berarti dalam kurun waktu empat tahun, dari tahun 2006 sampai 2009 (Gambar 12). Di Kabupaten Raja Ampat dan Biak, indeks resiliensi juga relatif sama selama tiga tahun dengan fluktuasi menurun yang sangat kecil. Walaupun perubahan antar waktu tidak signifikan, pola dan laju perubahan indeks pada masing-masing kabupaten masih dapat diketahui secara kuantitatif. Laju perubahan indeks dapat digunakan sebagai dasar di dalam memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Kenaikan indeks terbesar terjadi di Wakatobi dengan nilai 0.033 selama dua tahun, atau rata-rata 0.016 per tahun. Penurunan indeks resiliensi paling cepat terjadi di Raja Ampat dengan nilai 0.045 per tahun. Di dalam kurun waktu ini (2006-2009) tidak ada penjelasan tentang adanya gangguan yang besar, sehingga kenaikan maupun penurunan indeks dapat merupakan dampak dari tekanan atau sekedar variasi fluktuatif musiman atau tahunan.

65 Gambar 12 Dinamika temporal rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Nomor dalam legenda menunjukkan besar sampel (jumlah transek). Dari keempat kabupaten tersebut, semuanya memiliki indeks resiliensi awal (tahun 2006) dalam kategori resiliensi sedang. Dengan demikian kita tidak dapat melihat adanya pengaruh indeks resiliensi awal terhadap laju pemulihan terumbu karang, yang diukur berdasarkan perubahan indeks resiliensi terumbu karang. Pada tahun 2009, rata-rata indeks resiliensi di Wakatobi telah meningkat ke dalam kategori baik. Perubahan proporsi kategori indeks di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur tidak menunjukkan pola yang kontinyu, melainkan menunjukkan pola fluktuasi tahunan. Tidak ada kabupaten dengan terumbu karang yang mengalami peningkatan proporsi yang besar pada indeks kategori baik atau baik sekali (Gambar 13). Di Wakatobi, peningkatan proporsi terjadi pada indeks dengan ketegori baik dan baik sekali berurutan sebesar 2.98% dan 7.14% antara tahun 2007-2009. Dalam waktu yang sama di Biak terjadi peningkatan proporsi indeks kategori baik sebesar 13.16%.

66 Gambar 13 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang selama empat tahun di kawasan Indonesia Timur. Tahun 2008 pemantauan dilakukan dengan metode lain (transek titik) sehingga datanya tidak digunakan. Dilihat dari kondisi indeks resiliensi di awal pengamatan, terdapat perbedaan kecenderungan antara terumbu karang dengan indeks resiliensi yang termasuk kategori tinggi dan rendah. Terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali mengalami penurunan pada tahun pertama dan relatif tidak berubah pada dua tahun berikutnya (Gambar 14). Terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi kategori kurang dan buruk menunjukkan kecenderungan pertambahan indeks secara kontinyu dalam tiga tahun pengamatan. Di kawasan Indonesia Barat, rata-rata indeks juga relatif tidak berubah selama dua tahun pengamatan (F = 1.437, P > 0.05), sebagaimana yang ditemukan di kawasan Indonesia Timur. Interaksi antara waktu dengan lokasi juga tidak

67 signifikan pengaruhnya (F = 1.592, P > 0.05). Perbedaan pada rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten terbukti signifikan (F = 115.274, P < 0.01), sebagaimana yang sudah diketahui dan dibahas pada bab 3. Gambar 14 Perbedaan pola perubahan rata-rata (±1SE) indeks antar lima kategori resilieni terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Nomor dalam legenda menunjukkan jumlah transek. Di kawasan barat, indeks resiliensi terumbu karang memiliki dua arah kecenderungan, meningkat atau stabil. Di Kabupaten Nias dan Mentawai, indeks resiliensi terumbu karang cenderung meningkat (Gambar 15). Di Kabupaten Nias peningkatan yang relatif besar terjadi antara tahun 2007 dan 2009. Dalam kurun waktu yang sama, di Kabupaten Mentawai, peningkatan indeks resiliensi juga berlangsung terus dengan laju yang lebih kecil. Kedua kabupaten tersebut memiliki indeks resiliensi yang rendah dan terletak di perairan Samudra Hindia (Indian Ocean). Dua kabupaten yang lain, Kabupaten Batam dan Bintan, indeks resiliensi terumbu karang bergerak fluktuatif dan relatif stabil. Kedua kabupaten ini memiliki indeks resiliensi yang tinggi, dan keduanya terletak di perairan Laut Natuna.

68 Gambar 15 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di empat kabupaten di kawasan barat Indonesia. Angka di dalam legenda menunjukkan jumlah sampel. Di kawasan Indonesia Barat laju peningkatan indeks resiliensi lebih besar daripada di Indonesia Timur, sedangkan laju penurunan indeks hampir sama. Peningkatan indeks yang paling cepat terjadi di terumbu karang Kabupaten Nias dengan laju 0.044 dan 0.066 per tahun (Gambar 15), antara tahun 2007-2008. Penurunan indeks paling besar terjadi di Kabupaten Bintan dengan laju 0.058 per tahun. Laju peningkatan indeks di Nias tersebut empat kali lebih cepat daripada di Indonesia Timur, sedangkan laju penurunannya tidak jauh berbeda. Di Mentawai, indeks meningkat 0.026 dan 0.015 per tahun dalam dua tahun pemantauan tersebut. Dilihat dari proporsi kategori indeks, peningkatan proporsi terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali yang kontinyu terjadi di Kabupaten Nias (Gambar 16). Peningkatan dengan pola yang serupa, dengan laju yang lebih rendah, juga terjadi di Mentawai, khususnya pada indeks resiliensi kategori sedang dan baik. Pada dua kabupaten lainnya, Batam dan Bintan,

perubahan-perubahan proporsi kategori indeks yang terjadi lebih bersifat fluktuatif dan cenderung menurun secara perlahan. 69 Gambar 16 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang di empat kabupaten selama empat tahun, di kawasan Indonesia Timur. Perubahan ke arah kualitas yang lebih baik terjadi di Nias dan Mentawai. Kondisi awal indeks resiliensi juga berkaitan dengan perbedaan perubahan indeks di Indonesia Barat. Terumbu karang dengan indeks resiliensi baik sekali menunjukkan penurunan pada tahun pertama pengamatan, kemudian relatif tetap pada tahun berikutnya (Gambar 17). Terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori sedang dan baik tidak banyak berubah dalam dua tahun pengamatan. Tetapi terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori kurang dan buruk menunjukkan peningkatan nilai indeks yang jelas pada tahun pertama yang diikuti dengan kondisi tidak banyak berubah sesudahnya.

70 Gambar 17 Perbandingan pola perubahan rata-rata (±1SE) indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi awal berbeda, di kawasan Indonesia Barat. 4.3.2 Dinamika peubah indikator indeks resiliensi Dinamika peubah indikator dapat dilihat pada dua skala, dalam skala ribuan kilometer dan skala puluhan kilometer. Dalam skala ribuan kilometer, terumbu karang di Indonesia mempunyai dinamika peubah indikator resiliensi yang bervariasi antara di kawasan barat dengan di kawasan timur Indonesia, kecuali peubah CFG, CHQ, COC, dan USS yang memiliki pola perubahan relatif sama (Gambar 18). Dalam empat tahun terakhir, peubah CSN memiliki fluktuasi yang besar dengan pola yang berlawanan antara terumbu karang di kawasan Indonesia Timur dengan Indonesia Barat. Peubah AOF memiliki kecenderungan yang berlawanan antara kedua kawasan. Peubah AOF cenderung meningkat di Indonesia Timur, sebaliknya menurun secara kontinyu di Indonesia Barat. Peubah CFG dan COC mengalami fluktuasi yang paling kecil dan relatif stabil. Walaupun demikian kedua kawasan mempunyai kualitas yang berbeda pada kedua peubah tersebut. Sejak tahun 2006 sampai 2009, peubah CFG secara

71 konsisten lebih tinggi di terumbu karang kawasan timur, sedangkan peubah COC lebih tinggi di kawasan barat. Temuan ini sangat menarik karena mengkonfirmasi perbedaan keunggulan kedua kawasan di Indonesia. Gambar 18 Perbandingan dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi dalam skala ribuan kilometer, atau antara kawasan timur dan barat Indonesia.

72 Dinamika peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi juga sangat bervariasi dalam skala puluhan sampai ratusan kilometer (kabupaten). Pada skala kabupaten di kawasan timur Indonesia, peubah CHQ dan AOF dapat meningkat sekitar tiga kali dalam waktu dua tahun (2007-2009), misalnya CHQ di Sikka dan AOF di Raja Ampat (Gambar 19). Gambar 19 juga menunjukkan bahwa Wakatobi memiliki keunggulan pada peubah CFG dan COC, sedangkan Biak unggul pada peubah CSN. Gambar 19 Dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang, di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur, dalam empat tahun pengamatan.

73 Di kawasan Indonesia Barat, peubah CSN tetap merupakan peubah yang mengalami fluktuasi besar di semua kabupaten. Fluktuasi yang terbesar terjadi pada peubah AOF di Nias dan Mentawai, dimana AOF turun secara drastis (Gambar 20). Peubah CFG menjadi peubah pembeda dari ke-empat kabupaten, dengan nilai tertinggi dimiliki oleh Bintan diikuti Batam, Nias, dan Mentawai. Peubah COC yang mengalami fluktuasi kecil merupakan pemisah antara terumbu karang di Kepulauan Riau dengan di Samudra Hindia. Gambar 20 Dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi di empat kabupaten kawasan Indonesia Barat, dalam tiga tahun pengamatan.

74 Perubahan peubah USS yang besar dapat menunjukkan pengamatan transek permanen yang bergeser dari lokasi sebelumnya. Kemungkinan lainnya yang jarang terjadi adalah adanya kolonisasi besar-besaran substrat berpasir oleh karang bentuk jamur, dari famili Fungidae, serta bertambahnya atau hilangnya substrat lumpur dan pasir. Tidak dijumpai perubahan USS lebih dari 5% per tahun di Indonesia baik di kawasan bagian timur maupun bagian barat (Gambar 19 dan 20). Di kawasan Indonesia bagian timur, perubahan peubah indikator indeks antar waktu bersifat sangat khusus pada masing-masing lokasi. Secara umum dalam kurun waktu empat tahun peubah indeks yang mengalami kenaikan tertinggi adalah AOF (15.28% per tahun) disusul COC (6.48% per tahun) dan CHQ (3.34% per tahun) (Tabel 9). Peubah yang mengalami penurunan besar adalah AOF (-12.65% per tahun), USS (-3.38% per tahun), dan COC (-3.67% per tahun). Komponen indeks lainnya relatif tidak banyak berubah. Tidak ditemukan pola umum dari perubahan komponen indeks resiliensi tersebut. Tabel 9 Perubahan rata-rata peubah indikator indeks selama dua kurun waktu, pertama (setahun, 2006-2007) dan kedua (dua tahun, 2007-2009) di kawasan timur Indonesia. Angka di belakang nama lokasi menunjukkan kurun waktu pertama dan kedua. Tanda (-) berarti penurunan. Perubahan yang besar pada USS dapat menunjukkan pergeseran lokasi transek permanen. Perubahan peubah indikator indeks Lokasi, waktu CFG CSN CHQ COC AOF USS (kelompok) (koloni) (%) (%) (%) (%) Wakatobi, 1 0.18-0.21-1.94 1.05-12.65-1.72 Wakatobi, 2 0.45 2.69 0.31-1.08 19.01 0.04 Rajaampat, 1-0.78 0.64-1.27-3.67 6.56-3.88 Rajaampat, 2 0.72 0.08 0.93 6.26 30.57 1.43 Biak, 1 0.13-2.71-0.18 6.48-0.21 1.95 Biak, 2 0.13 2.34-0.70-1.40 1.37 3.40 Sikka, 1 0.16 0.05 0.00-1.65 2.39-2.66 Sikka, 2-0.05-0.47 6.68-2.25 4.08-1.42 Di kawasan Indonesia bagian barat, dalam kurun waktu tiga tahun peubah indeks yang paling banyak mengalami kenaikan adalah AOF (9.66% per tahun),

75 disusul oleh COC (8.03% per tahun) (Tabel 10). Peubah yang mengalami penurunan sangat besar adalah AOF (-55.23% per tahun). Peubah lain yang mengalami penurunan paling besar adalah COC (-6.11% per tahun), dan USS (- 3.15% per tahun). Sedangkan peubah yang lainnya relatif stabil. Tabel 10 Perubahan rata-rata peubah indikator indeks selama dua kurun waktu, pertama (2007-2008) dan kedua (2008-2009), di kawasan Indonesia Barat. Angka di belakang nama lokasi menunjukkan kurun waktu pertama dan kedua. Tanda (-) berarti penurunan. Perubahan peubah indikator indeks Lokasi, CFG CSN CHQ COC AOF USS waktu (kelompok) (koloni) (%) (%) (%) (%) Batam 1-0.17 1.85-1.43-6.11-10.99 1.83 Batam 2-0.07-0.35 0.19 4.52 6.44-3.11 Bintan 1-0.87-1.07-2.58 5.35-16.08 0.03 Bintan 2 0.40-2.07-0.23-5.30 9.66-0.09 Nias 1 0.50 3.03 0.02 2.84 2.58-3.15 Nias 2-0.20-2.50 1.89 8.03-55.23 1.34 Mentawai 1 0.70 2.78-1.16-3.07 2.68-2.19 Mentawai 2-0.44-2.15 0.24 3.57-45.35 2.29 Data yang tersedia menunjukkan bahwa setiap peubah indikator indeks tidak selalu mengalami kenaikan atau penurunan. Dalam waktu dua tahun (tiga tahun pengamatan) yang berurutan di lokasi yang sama, suatu indikator indeks dapat mengalami keduanya, peningkatan dan penurunan. Penggunaan rata-rata kenaikan peubah indikator indeks menjadi tidak relevan. Tutupan karang, misalnya, tidak selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun. Jika pengukuran dilakukan ketika terumbu karang mengalami penurunan tutupan karang, maka dapat terjadi kesalahan kesimpulan tentang kondisi terumbu karang. Padahal sebenarnya penurunan tutupan karang itu merupakan fluktuasi antar waktu. Dinamika ekosistem terumbu karang memang sangat kompleks, dimana gangguan dan tekanan lingkungan berjalan bersama dengan proses-proses alami dalam suksesi, seperti predasi dan kompetisi.

76 4.4 Pembahasan Hasil penelitian di dalam bab ini menunjukkan, bahwa terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi tinggi mengalami fluktuasi kecil stabil atau ke arah penurunan indeks, sedangkan terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah, cenderung mengalami peningkatan indeks dalam kurun waktu tertentu. Perbedaan dinamika indeks tersebut berkaitan dengan kondisi terumbu karang pada masa pemulihan dan masa pasca pemulihan. Walaupun secara umum indeks resiliensi cenderung stabil dalam kurun waktu tiga tahun, dinamika masing-masing peubah indikator indeks resiliensi relatif tinggi. Kenaikan dan penurunan nilai peubah indikator tidak menunjukkan pola yang sama, karena masing-masing terumbu karang memiliki kondisi lingkungan dan gangguan yang berbeda, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan dan penurunan nilai peubah indikator merupakan fluktuasi dari peubah tersebut secara temporal. Fluktuasi peubah indikator akan mengakibatkan dinamika di dalam nilai indeks resiliensi. Terumbu karang di Indonesia memiliki fluktuasi rata-rata indeks tahunan dengan kenaikan tertinggi 0.066 (di Nias tahun 2008), dan penurunan terbesar 0.058 (di Bintan pada tahun 2009). Fluktuasi ini merupakan data awal yang belum ada pembandingnya. Fluktuasi tersebut terjadi dalam kondisi terumbu karang yang sedang dalam pemulihan maupun yang sudah pulih. Angka fluktuasi ini sangat penting di dalam meramalkan pemulihan terumbu karang. Dengan laju pertambahan indeks yang cepat (0.066 per tahun), maka kenaikan indeks sebesar 0.100 dapat dicapai dalam waktu dua tahun. Jika suatu terumbu karang memiliki indeks resiliensi 0.600 kemudian turun menjadi 0.300 akibat suatu gangguan yang akut langsung, maka dapat diharapkan jika terumbu karang tersebut dapat pulih dalam waktu 5 (lima) tahun. Perkiraan kasar ini dengan asumsi bahwa kondisi lingkungan tidak banyak berubah dan tidak ada gangguan besar yang terjadi selama masa pemulihan tersebut. Walaupun demikian, perkiraan waktu pemulihan tersebut masih belum matang. Laju pertambahan indeks resiliensi terumbu karang akan berbeda pada kondisi terumbu karang yang sedang pulih dari gangguan, dengan terumbu karang yang sudah hampir mencapai nilai maksimum di lokasi tersebut. Di the Great

77 Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang dilaporkan berbeda pada terumbu karang yang mengalami gangguan bintang laut Achantaster plancii dengan yang tidak diserang A. plancii (Lourey et al. 2000). Tutupan karang merupakan peubah indikator indeks yang sangat penting, karena memiliki bobot yang besar dan keterkaitan dengan peubah indikator lainnya, seperti CFG, CHQ, dan CSN. Terumbu karang yang sedang dalam proses pemulihan akan mengalami kenaikan nilai indeks resiliensi yang lebih cepat dan kontinyu. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi tinggi dan relatif lebih konstan dalam kurun waktu yang lama dapat merupakan indikasi bahwa terumbu karang tersebut sudah melewati proses pemulihan. Terumbu karang di Nias memiliki karakteristik sebagai terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Peningkatan nilai indeks lebih cepat daripada fluktuasi indeks biasa. Disamping itu, pertambahan nilai indeks berlangsung secara kontinyu selama tiga tahun pengamatan. Meskipun dampak gempa yang disertai tsunami tahun 2004 dan gempa tanpa tsunami tahun 2005 pada terumbu karang di Nias tidak secara jelas dideskripsikan, Siringoringo dan Salatalohi (2009) menyatakan bahwa terumbu karang di Nias dalam proses pemulihan. Terumbu karang di Mentawai juga menunjukan tipe yang serupa walaupun tidak sejelas terumbu karang di Nias. Buku laporan pemantauan terumbu karang di Kabupaten Mentawai tidak menyebutkan tentang adanya gangguan dan pemulihan terumbu karang (Makatipu & Ulumuddin 2009; Makatipu & Leatemia 2009). Di Mentawai, laju pertambahan indeks sebesar 0.015-0.026 per tahun, yang tidak jauh berbeda dengan pertambahan indeks di Wakatobi 0.016 per tahun. Dengan demikian, laju pertambahan indeks di Mentawai dapat dianggap merupakan angka pertambahan fluktuatif yang normal. Nilai pertambahan indeks di Nias, 0.044-0.066 per tahun, dapat digunakan sebagai nilai pertambahan indeks dalam masa pemulihan di Indonesia. Kenaikan indeks fluktuatif sebesar 0.016 per tahun merupakan peningkatan indeks yang relatif tinggi. Peningkatan tersebut setara dengan kenaikan peubah tutupan karang (COC) saja (CFG dan CSN tetap) sebesar 9%, dari tutupan awal 35%. Kenaikan tersebut juga dapat disetarakan dengan penambahan satu kelompok fungsional dari nilai CFG sebesar 4 (empat) kelompok, atau

78 penambahan 2 (dua) koloni karang ukuran kecil dari nilai CSN sebesar 4 (empat) koloni, atau penurunan AOF dari 50% menjadi 27%. Penurunan USS dari 50% menjadi 29% juga menghasilkan kenaikan indeks sebesar 0.010, Dilihat dari perubahan peubah indikator indeks resiliensi, maka peubah AOF merupakan peubah yang paling banyak berubah. Perubahan nilai AOF terutama disebabkan oleh perubahan tutupan turf algae, yaitu komunitas algae berfilamen yang mudah mengkolonisasi karang yang baru mati dan juga mudah hilang karena kompetisi eksklusi maupun herbivori. Algae berfilamen dapat menghalangi penempelan larva karang dan menyebabkan kematian anakan karang (Sato 1985; Birrel et al. 2005), sehingga merupakan penghalang atau bottle neck dari rekruitmen karang. Tingginya algae befilamen merupakan hasil kombinasi dari herbivori yang rendah dan nutrien yang rendah (Littler et al. 2006). Kelimpahan ikan herbivora yang rendah diduga terjadi di sebagian besar terumbu karang di Indonesia, tetapi negara kepulauan ini memiliki keanekaragaman herbivora yang tinggi. Anggota peubah AOF lain yang sangat penting adalah karang lunak (Alcyonacea). Karang lunak juga merupakan kompetitor dari karang yang berpotensi menghalangi rekruitmen karang (Sammarco et al. 1983; Maida et al. 1995; Atrigenio & Alino 1996). Karang lunak biasanya merupakan komunitas yang dominan pada terumbu yang rusak karena pengeboman ikan. Karang lunak tumbuh di atas pecahan karang dan menghambat rekruitmen karang. Peubah CSN merupakan indikator indeks yang banyak berfluktuasi baik di kawasan barat maupun timur Indonesia. Sebagai hewan klonal, fisiologi dan ekologi karang sangat tergantung pada ukuran koloninya. Reproduksi karang ditentukan oleh ukuran koloni (Soong 1993), demikian juga kelulushidupan karang (Hughes 1984). Koloni karang dengan ukuran 10 cm atau lebih kecil merupakan ukuran yang tidak stabil, mudah datang dari rektuitmen dan mudah mati karena mortalitasnya tinggi, sehingga peubah CSN mempunyai fluktuasi yang besar. Pertambahan tutupan karang (COC) maksimum di dalam penelitian ini menunjukkan laju yang tinggi. Dari delapan kabupaten yang diamati, laju pertambahan rata-rata tutupan karang maksimum adalah 8.03% per tahun di

79 Kabupaten Nias tahun 2008 dan 6.48% di Kabupaten Biak tahun 2006. Data dari lokasi di luar Indonesia menunjukkan bahwa penambahan rata-rata tutupan karang di Kenya 6.5 % dalam 4 (empat) tahun (McClanahan et al. 2005), di the Great Barrier Reef 2% per tahun pada terumbu yang tidak terganggu dan 4% pada terumbu yang sedang pulih dari gangguan (Lourey et al. 2000). Laju pertambahan tutupan karang di Indonesia tersebut adalah laju rata-rata maksimum per kabupaten, sedangkan data dari luar Indonesia tersebut adalah laju pertambahan tutupan karang rata-rata di suatu kawasan, sehingga tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Peubah CFG dan CHQ merupakan indikator indeks yang tidak banyak berubah, kecuali CHQ di Kabupaten Sikka tahun 2009 yang bertambah 6.46% dalam satu tahun. Perubahan CFG umumnya tidak terpisah dari perubahan tutupan karang. Sedangkan CHQ akan meningkat jika terjadi peningkatan pada tutupan karang Acropora atau karang yang berbentuk masif dan submasif. Kehilangan tutupan karang dari ketiga kelompok karang tersebut akan menurunkan nilai CHQ. Di dalam bab 4 ini, dinamika indeks resiliensi dilihat dalam kurun waktu yang relatif singkat, 3-4 tahun, dimana perubahan indeks yang terjadi adalah fluktuatif. Dinamika indeks resiliensi dalam waktu yang lebih panjang dapat membedakan dinamika indeks dalam masa yang fluktuatif dengan masa pemulihan terumbu karang. Perubahan indeks resiliensi dalam waktu yang lebih panjang (13 tahun) akan disajikan pada bab 5. 4.5 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk melacak dinamika temporal tingkat resiliensi terumbu karang, dalam kurun 3-4 tahun. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi tinggi mengalami fluktuasi ke arah penurunan indeks atau stabil. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah, sebaliknya, cenderung mengalami peningkatan indeks dalam kurun waktu tertentu. Hal ini diduga berkaitan dengan masa pemulihan. Pada masa pemulihan, pertambahan rata-rata indeks resiliensi sekitar 0.044 sampai 0.066 per tahun, di Nias, Indonesia.

80 Dinamika peubah indikator indeks secara temporal tidak menunjukkan pola tertentu. Di antara peubah indikator indeks, peubah AOF (tutupan algae dan fauna lain) merupakan peubah yang paling besar mengalami penurunan (55.37% per tahun) dan juga kenaikan (9.66% per tahun). Terumbu karang di Nias mengalami peningkatan peubah COC (tutupan karang) rata-rata sebesar 8.03% per tahun, yang merupakan peningkatan rata-rata COC terbesar di lokasi COREMAP.