BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

SKRIPSI PENYIDIKAN DENGAN CARA KONFRONTASI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN MENURUT UU RI NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN O L E H :

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Alat bukti keterangan Saksi memiliki peranan penting dalam mengungkap kebenaran materiil suatu tindak pidana. Pada umumnya alat bukti keterangan Saksi merupakan alat bukti yang utama dalam perkara pidana. 1 Hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan Saksi diurutan pertama di atas alat bukti lainnya. Kedudukan Saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sebagai alat bukti utama, sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh Saksi. Pentingnya kedudukan Saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana yakni 1 Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, ( Jakarta:Sinar Grafika, 2005), hlm.265. 1

2 penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, Keterangan Saksi sebagai alat bukti menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa. Jadi jelas bahwa Saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan. 2 Beberapa Pasal dalam KUHAP memberikan hak kepada Saksi dalam proses peradilan pidana, tetapi pemberiannya selalu dikaitkan dengan hak Tersangka/Terdakwa, tidak ada pengaturan secara khusus tentang hak seorang Saksi dalam proses peradilan pidana, misalnya Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, hak inipun kadang tidak terpenuhi dengan alasan tidak adanya dana. Hal ini berbeda dengan Tersangka/Terdakwa yang hak-haknya diatur secara rinci dan tegas dalam Pasal 50 hingga Pasal 68 KUHAP. Keberadaan Saksi dalam suatu proses peradilan pidana mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan di Pengadilan dalam rangka memberikan keterangan guna mengungkap fakta atas terjadinya suatu tindak pidana memiliki resiko tersendiri. Ancaman terhadap keselamatan dirinya dan keluarga baik 2 Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradila (Pidana) Yang Jujur Dan Adil, http/www.antikorupsi.org, diakses pada tanggal 6 September 2010 pukul 15.50 WIB

3 ancaman fisik maupun mental dari pihak tertentu menjadi ketakutan tersendiri sehingga dengan keadaan yang demikian tidak jarang Saksi keberatan untuk memberikan keterangan atau kesaksian dalam proses peradilan pidana. Selain itu, kurangnya jaminan perlindungan terutama jaminan atas hak-hak tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi kadang menjadi faktor penyebab banyaknya Saksi yang tidak bersedia menjadi Saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya dalam proses peradilan pidana. Hal inilah yang sering menyulitkan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan lemahnya jaminan perlindungan hukum terhadap peranan penting seorang Saksi dalam proses peradilan pidana guna mengungkap kebenaran materiil dari suatu tindak pidana, diperlukan adanya suatu aturan hukum yang secara rinci dan tegas mengatur tentang perlindungan bagi Saksi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan solusi yang diberikan pemerintah dalam penyelesaian permasalahan hukum di Indonesia terkait dengan perlindungan yang diberikan kepada Saksi tindak pidana. Kemudian dibentuk suatu lembaga khusus yang mempunyai tugas dan wewenang memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana. Lembaga khusus yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau disingkat LPSK yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Lembaga

4 Perlindungan Saksi dan Korban sebagai institusi yang memberikan jaminan perlindungan dan hak-hak Saksi dan Korban diharapkan dapat membantu proses pemulihan peradilan pidana di negara ini yang salah satunya oleh kejahatan-kejahatan sistemik yang sulit dibuktikan yang dikarenakan aparat penegak hukum tidak dapat menghadirkan Saksi atau kesaksian yang diberikan tidak objektif karena adanya ancaman dan tekanan terhadap Saksi atau Korban baik secara fisik maupun psikis. Dalam Pasal 4 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa tujuan dari perlindungan Saksi dan Korban yakni untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Undang-undang ini juga telah memiliki peraturan pelaksana yaknipp No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) dalam penjelasan umum Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dinyatakan juga bahwa Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di dalamnya sudah memberikan pengaturan mengenai jaminan perlindungan dan hak-hak Saksi. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada Saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 2. Kendala apa saja yang dihadapi terkait perlindungan hukum terhadap Saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk memperoleh data tentang bentuk perlindungan hukum terhadap Saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Untuk memperoleh data tentang kendala yang dihadapi terkait perlindungan hukum terhadap Saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

6 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Subyektif a. Bagi penulis Sebagai data tentang bentuk perlindungan hukum terhadap Saksi dan kendalakendala yang dihadapi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta hasil penelitian ini juga bemanfaat sebagai bahan dalam penyusunan skripsi. b. Bagi aparat penegak hukum Sebagai salah satu sumber data bagi aparat penegak hukum terkait yakni Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap Saksi dan kendala-kendala yang dihadapi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban c. Bagi masyarakat Sebagai salah satu sumber data yang dapat memberikan informasi bagi masyarakat mengenai perlindungan Saksi dalam proses peradilan pidana,

7 sehingga diharapkan masyarakat tidak ragu lagi atau takut untuk menjadi Saksi atau memberi kesaksian tentang suatu tindak pidana. 2. Manfaat obyektif Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana tentang perlindungan Saksi dalam proses peradilan pidana. E. Batasan Konsep Suatu penelitian ilmiah di dalamnya perlu ada kejelasan mengenai istilah yang dipakai dalam penelitian agar tidak terjadi interpretasi yang berbeda antara berbagai pihak. Adapun batasan konsep dari penelitian hukum ini adalah: 1. Perlindungan menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka 6 adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 2. Saksi menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka 1 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

8 sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 3. Korban menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 4. Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap 3. 5. Proses peradilan pidana adalah suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan terhadap adanya suatu tindak pidana sampai pada lahirnya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 4 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif yang berfokus pada norma (law in the book) dan penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama, bahan hukum primer dan sekunder sebagai data pendukung. Penelitian 3 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hlm. 119 4 Zulkarnain, Praktek Peradilan Pidana (Malang: In TRANS, 2006), hlm. 20.

9 hukum normatif adalah penelitian hukum dengan studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti oleh penulis. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang meliputi: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian: a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM c. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. d. Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. e. Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

10 f. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan materi penelitian melalui studi kepustakaan dan digunakan juga hasil penelitian serta pendapat hukum. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan, yang dilakukan dengan menelusuri, menghimpun, meneliti dan mempelajari peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur. b. Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan kepada nara sumber tentang permasalahan yang diteliti guna memperoleh data yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan pada instansi terkait dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan nara sumber Hakim pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yakni Ibu Hj. Suryawati, SH., Kejaksaan Negeri Yogyakarta dengan nara sumber Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta yakni Bapak Sabar Sutrisno, SH., dan pada POLDA D.I.Y dengan nara sumber Penyidik POLDA D.I.Y yakni Kompol Teguh Wahono, SH.,M.H. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terarah yang dilakukan dengan menyusun sejumlah

11 pertanyaan terlebih dahulu dan menggunakan daftar pertanyaan tersebut sebagai pedoman wawancara, kemudian hasil wawancara akan digunakan sebagai salah satu sumber data dalam penyusunan skripsi. 4. Metode Analisis Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan menganalisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian secara sistematik sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti. Proses penalaran dalam menarik kesimpulan digunakan metode berpikir deduktif yakni pengambilan kesimpulan yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, menuju pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. G. Sistematika Penulisan Hukum BAB I : PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini di dalamnya menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Konsep dan Metode Penelitian. BAB II : PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

12 Bab pembahasan ini dimulai dengan menjelaskan mengenai Tinjauan umum tentang Saksi yang terdiri dari Pengertian saksi, Kekuatan pembuktian keterangan saksi serta Posisi saksi dalam peradilan pidana. Selanjutnya penulis menjelaskan mengenai Perlindungan terhadap saksi yang terdiri dari Pengertian perlindungan dan Bentukbentuk perlindungan terhadap saksi, Proses peradilan pidana yang terdiri dari Pengertian proses peradilan pidana, Tahap penyelidikan dan penyidikan, Tahap penuntutan, serta Tahap pemeriksaan dalam sidang Pengadilan. Akhir pembahasan penulis menguraikan mengenai Kendala dalam upaya perlindungan terhadap saksi yang terdiri dari Kendala yuridis dan Kendala non yuridis BAB III : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis setelah melakukan penelitian hukum sebagai jawaban dari permasalahan.