BAB I PENDAHULUAN. positif dalam berbagai aspek, seperti misalnya meningkatkan kemampuan ekonomi,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat. Hal ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas,

Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

2016 ANALISIS POLA MORAL SISWA SD,SMP,SMA,D AN UNIVERSITAS MENGENAI ISU SAINS GUNUNG MELETUS D ENGAN TES D ILEMA MORAL

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Menurut Djamarah (2000: 22) Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang lebih tinggi. Salah satu peran sekolah untuk membantu mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Taqwa, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1. Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 7.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting karena pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan dan mudah dipahami oleh siswa. Pendidikan berfungsi

I. PENDAHULUAN. sumber daya suatu Negara dapat ditingkatkan. Dewasa ini sudah menjadi. kebutuhan di setiap Negara untuk terus berusaha meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. tentang sistem pendidikan nasional dalam bab II pasal 3 tentang fungsi dan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemakaian seragam sekolah terhadap siswa di dalam suatu pendidikan

Berdasarkan pendapat diatas, menegaskan bahwa pendidikan sangat penting bagi setiap insan manusia. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan guru dan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

B A B I PENDAHULUAN. khususnya proses pembelajaran di sekolah terus di lakukan seiring dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia sampai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa. Hal ini tertuang dalam Undang- undang Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi berkembang semakin pesat. Manusia dituntut dengan segala

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan

pendidikan yang berjenjang. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan tuntutan baru dalam masyarakat. Perubahan tersebut. terlebih jika dunia kerja tersebut bersifat global.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. terpelajar dengan sendirinya berbudaya atau beradab. Namun kenyataan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kunci utama dalam terlaksananya

BAB I PENDAHULUAN. manusia (SDM) yang berkualitas yang mana menjadi subjek pencipta,

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang pesat sekarang ini, akan membawa berbagai dampak

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peran penting bagi manusia. Menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu

I. PENDAHULUAN. Media dalam pendidikan digunakan untuk membantu dalam menyampaikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian prasyarat Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Kewarganegaraan ROSY HANDAYANI A.

2015 PENGUASAAN KOMPETENSI DASAR MENGHIAS KAIN PADA PESERTA DIDIK PROGRAM KERUMAHTANGGAAN KELAS VII DI SMP NEGERI 3 LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Di era saat ini, pendidikan sangatlah memiliki peranan yang penting.

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan. mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan Sistem

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu dan perkembangan masyarakat, selain itu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang

2015 ANALISIS HASIL BELAJAR MERENCANAKAN MENU KESEMPATAN KHUSUS SEBAGAI KESIAPAN MENGOLAH MAKANAN UNTUK PESTA PERNIKAHAN PADA SISWA DI SMKN 3 CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan orang-orang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENGARUH REWARD TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DAN PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak. negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang mempunyai tantangan besar dibidang pembangunan mengingat

BAB I PENDAHULUAN. bersaing di era globalisasi dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu unit kerja tidak bisa terlepas dari kegiatan administrasi

BAB I PENDAHULUAN. dari kebodohan dan kemiskinan. Hal ini Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan berkembangnya suatu Negara ialah

I. PENDAHULUAN. yang mana didalamnya terdapat pembelajaran tentang tingkah laku, norma

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tanpa tanggung jawab untuk keselamatan atau kebahagiaan dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi abad

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka perlu dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa maju pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembelajaran dalam mencapai tujuan pendidikan telah diatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kedudukan guru mempunyai arti penting dalam pendidikan. Arti penting itu bertolak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang tiada henti dalam

I. PENDAHULUAN. Pendidikan dilakukan secara terencana dalam mewujudkan proses pembelajaran agar

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

BAB I PENDAHULUAN. secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha untuk merubah suatu bangsa ke arah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, Indonesia dapat sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah maju.

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, nilai, dan sikap sehingga dapat berpikir lebih sistematis, rasional, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa : Proses pembelajaran pada umumnya memiliki komponen-komponen

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan hidup ke arah yang lebih positif dalam berbagai aspek, seperti misalnya meningkatkan kemampuan ekonomi, menambah wawasan dan pengetahuan, melebarkan cara berpikir, membuka diri terhadap perubahan, dan membangun budaya dan karakter. Pentingnya pendidikan juga diatur dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang menyatakan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Menyadari pentingnya pendidikan dan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasar UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 diatas, pada dasarnya kejujuran termasuk dalam satu bagian dalam proses pelaksanaan pendidikan. Namun kenyataannya, ketidakjujuran masih banyak mewarnai proses pelaksanaan pendidikan. Berbagai kasus ketidakjujuran, khususnya menyontek, dengan mudah dan sangat banyak ditemukan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Sebagai contoh, siswa di sebuah Sekolah Dasar di kawasan Srengseng, Jakarta Barat, telah memiliki jawaban ujian nasional dan membawa 1

2 kunci jawaban tersebut ke dalam ruang ujian. Siswa tersebut lebih memilih menyontek daripada melihat kunci jawaban yang dibawa dengan alasan takut diketahui oleh pengawas (Setiawan, 2014). Selanjutnya, salah satu siswa Sekolah Menengah Kejuruan di kawasan Jakarta Timur dapat dengan mudah mengerjakan soal ujian karena sudah menerima bocoran kunci jawaban (Aprillatu, 2013). Kasus lain yang terjadi di Bone, Sulawesi Selatan, dua peserta ujian nasional diamankan oleh polisi karena diketahui menyontek dengan melihat dan kemudian menyalin jawaban dari dalam pesan singkat di telepon selular mereka (Rimawan, 2012). Beberapa contoh kasus menyontek diatas menunjukkan keadaan yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut lebih diperparah dengan sikap sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang seringkali melakukan pembiaran dan bahkan mendukung ketidakjujuran dalam pendidikan untuk dilakukan. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, seorang siswa dipaksa oleh kepala sekolah untuk saling menyontek dengan siswa lainnya saat ujian nasional berlangsung, parahnya, guru justru membuat perjanjian untuk tidak membocorkan aksi contek-menyontek tersebut kepada siapapun (Malau & Aquina, 2011). Kasus lain terjadi di Tandes, Surabaya. Seorang siswa yang pintar dipaksa untuk mengerjakan soal dan kemudian membagikan jawaban ke teman-temannya dengan perintah guru. Bahkan, pihak sekolah sudah melakukan percobaan untuk melakukan aksi menyontek masal (Maradona, 2011). Penelitian tentang menyontek yang pernah dilakukan di sebuah universitas di Kentucky, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa selama proses perkuliahan, 118 mahasiswa pernah menyontek dan melakukan berbagai kecurangan antara lain menyalin jawaban dari teman dan tanpa sepengetahuan, menyalin jawaban dari teman dengan sepengetahuan, menggunakan catatan yang dilarang dalam ujian,

3 menerima pertanyaan atau jawaban dari teman yang sudah melakukan ujian, membantu teman dalam mengerjakan ujian, berbagi catatan dari ujian take-home, dan memposisikan lembar jawaban sedemikian rupa sehingga teman dapat dengan mudah melihat jawaban (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Klein, Levenburg, McKendall, dan Mothersell (2007) melakukan penelitian pada 268 mahasiswa dan menemukan 86% siswa menyontek selama mengikuti proses perkuliahan. Penelitian lain mengenai menyontek yang dilakukan dengan survey kepada 158 mahasiswa jurusan bisnis, menyatakan bahwa paling tidak 60% siswa pernah menyontek setidaknya satu kali selama mengikuti proses perkuliahan (Simkin & McLeod, 2010). Berdasarkan beberapa kasus dan penelitian yang telah diuraikan, pada dasarnya melakukan kecurangan, khususnya menyontek, merupakan sebuah kesalahan yang tidak boleh terjadi dan dibiarkan, atau bahkan didukung. Hal tersebut harus dipahami dengan cara berpikir bahwa menyontek menjadi perilaku yang dilarang karena merupakan sebuah kesalahan, dan bukan sebaliknya (Bouville, 2010). Menyontek merupakan sebuah kesalahan, maka dari itu menyontek menimbulkan ketidakadilan dan kerugian dalam proses pendidikan. Pertama, pada dasarnya kemampuan siswa dapat diukur dengan nilai yang diperoleh, demikian pula sebaliknya, nilai menunjukkan kemampuan dan pemahaman siswa. Akan tetapi, nilai yang diperoleh dengan menyontek tidak akan mampu menjadi prediktor yang baik untuk melihat kemampuan dan pemahaman siswa. Dengan semikian, ketika nilai tidak menunjukkan kualitas siswa, maka keputusan yang diambil berdasarkan nilai tersebut akan menjadi keputusan yang buruk (Bouville, 2010). Keputusan yang buruk menjadi kerugian yang akan sangat dirasakan khususnya pada siswa yang tidak melakukan kecurangan atau menyontek ketika menggunakan

4 nilai dan bersaing dalam proses seleksi dan semacamnya. Kedua, menyontek membuat guru tidak mampu memberikan umpan balik yang sesuai dan relevan dengan keadaan siswa (Bouville, 2010). Ketiga, kerugian terbesar yang seringkali tidak disadari oleh siswa yang melakukan kecurangan atau menyontek adalah siswa tidak akan mempelajari hal-hal yang seharusnya dipelajari ketika mengerjakan tugas atau ujian dengan tidak menyontek (Bouville, 2010). Meskipun menyontek menimbulkan berbagai ketidakadilan dan kerugian, menyontek tetap sering dilakukan oleh siswa. Pertama, menurut penelitian yang dilakukan Simkin & McLeod (2010), alasan yang paling penting untuk menyontek atau melakukan kecurangan adalah keinginan untuk maju (desire to get ahead). Kemudian, ketika siswa memiliki pemikiran bahwa kemenangan adalah segalanya (winning is everything), maka melakukan kecurangan atau menyontek dengan mudah menjadi cara untuk mengejar tujuan tersebut (Simkin & McLeod, 2010). Kedua, alasan siswa untuk menyontek adalah pemikiran siswa mengenai seberapa penting tugas atau ujian yang akan dilakukan. Ketika tugas dan ujian dirasa tidak penting, maka siswa cenderung untuk menyontek (Cole & Kiss dalam Bouville, 2010). Hal yang sebaliknya terjadi ketika siswa mengagumi dan menghormati guru, dan senang dengan apa yang sedang dipelajari, maka siswa cenderung tidak akan menyontek (Cole & Kiss dalam Bouville, 2010). Ketiga, alasan lain penyebab kecurangan atau menyontek adalah sering kali pendidikan yang diselenggarakan hanya mementingkan nilai akhir dan kurang memperhatikan proses (Whitley, 1998). Dengan demikian, ketika nilai menjadi tujuan akhir, siswa lebih memilih untuk curang dan menyontek. Tujuan siswa dalam menjalani pendidikan seakanakan hanya sebatas untuk mendapat nilai yang baik di setiap mata pelajaran sementara proses bagaimana siswa mendapat nilai menjadi hal yang tidak terlalu

5 diperhatikan, khususnya oleh penyelenggara pendidikan. Hal keempat, siswa sering kali merasa tidak yakin dan tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki sehingga siswa lebih memilih bertanya kepada teman, membawa catatan-catatan yang tidak diperbolehkan, dan berbagai kecurangan lain ketika mengerjakan ujian (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Berdasarkan uraian diatas, penyebab siswa untuk menyontek mengarah pada orientasi tujuan, khususnya orientasi tujuan penguasaan siswa dalam belajar dan efikasi diri siswa. Pertama, kecenderungan untuk menyontek akan muncul ketika keinginan siswa untuk menang (winning is everything) dan keinginan untuk maju atau menjadi yang terdepan (desire to get ahead) tidak diimbangi dengan keinginan untuk menguasai materi. Kedua, penting tidaknya tugas yang diberikan kepada siswa pada dasarnya harus dikerjakan untuk semakin memperkuat penguasaan materi. Ketiga, penelitian mengenai faktor-faktor perilaku menyontek yang pernah dilakukan menyatakan bahwa siswa yang hanya menginginkan nilai cenderung akan menyontek, sedangkan siswa yang menginginkan pengetahuan akan cenderung menghindari menyontek (Whitley, 1998). Oleh karena itu, orientasi tujuan nilai harus diimbangi dengan orientasi tujuan penguasaan. Keempat, pada dasarnya salah satu sumber kepercayaan diri seseorang, atau dalam konteks ini adalah efikasi diri adalah pengalaman (mastery experiences) (Bandura, 1997). Berkaitan dengan efikasi diri, penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa kepercayaan diri tentang kemampuan akademis sedikit berasosiasi dengan perilaku menyontek saat ujian (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Dengan demikian, efikasi diri akan erat kaitannya dengan orientasi tujuan penguasaan. Berdasarkan segala kesenjangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan pendidikan, khususnya perilaku menyontek, maka perlu dan penting untuk

6 dilakukan penelitian dengan judul Orientasi Tujuan Penguasaan dan Efikasi Diri sebagai Prediktor Perilaku Menyontek pada Siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten. Penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, khususnya dalam hal subjek penelitian. Variabel prediktor yang digunakan adalah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri, dengan satu variabel kriterium yaitu perilaku menyontek pada siswa SMA. B. Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri dapat menjadi prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji apakah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri dapat menjadi prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian penelitian tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA. 2. Bagi pihak sekolah dan tenaga pendidik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam rangka pengembangan penyelenggaraan pendidikan. Ketika perilaku menyontek dapat diprediksi oleh orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri, maka pihak sekolah dan tenaga pendidik dapat memanfaatkan

7 dua variabel dalam penelitian ini untuk mengatasi perilaku menyontek yang sering muncul pada siswa SMA. 3. Bagi keluarga siswa, penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membantu keluarga siswa dalam mengarahkan siswa untuk berperilaku jujur dalam menjalani proses pendidikan di sekolah. 4. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek, serta bagaimana perilaku menyontek seharusnya dihindari. 5. Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA.