BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dengan kata lain masa dewasa adalah masa di mana seseorang semestinya sudah

dokumen-dokumen yang mirip
Rizky Rachmawati F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

Eni Yulianingsih F

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BABI PENDAHULUAN. Sepanjang rentang kehidupan, setiap individu melewati beberapa fase

BAB I PENDAHULUAN. orang umumnya mulai berpikir untuk berumah tangga dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengarah pada suatu perkembangan jasmani maupun rohani. Perkembangan

HUBUNGAN ANTARA STATUS INTERAKSI SOSIAL DAN TIPE KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA DARMA BHAKTI SURAKARTA

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan perkembangan seseorang, semakin meningkatnya usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

DUKUNGAN SOSIAL PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA USIA REMAJA DI BANYUMAS

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan sebagai jalan bagi wanita dan laki-laki untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bermakna pada beberapa dekade terakhir ini. Peningkatan tersebut adalah 45,7 tahun

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. penduduk besar. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. dari kemacetan hingga persaingan bisnis serta tuntutan ekonomi kian

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita Jepang yang masih tradisional, kebahagiaan bagi mereka adalah

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

LAMPIRAN A PEDOMAN OBSERVASI DAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang menarik dibanyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan interaksi tersebut dalam berbagai bentuk. Manusia. malam harinya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Tuhan, khususnya manusia. Dalam prosesnya manusia membutuhkan

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. dimulai dari masa anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Setiap peristiwa

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sumber penyebab kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seperti kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik. Pergeseran peran tersebut terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah murid pada pendidikan tinggi dan memulai jenjang. kedewasaan (Daldiyono, 2009). Mahasiswa digolongkan pada tahap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang ditandai dengan berbagai problematika, seperti perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan individu kompleks yang memiliki dinamika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai. Ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai individu, bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan. Menurut Hurlock (2012) tugas perkembangan pada masa dewasa yang dimulai dengan dewasa awal adalah mulai bekerja, memilih dan memperoleh pasangan, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Dengan kata lain masa dewasa adalah masa di mana seseorang semestinya sudah memperoleh pasangan hidup atau menikah, terutama bagi perempuan karena menurut Jacoby dan Bernard (dalam Suryani, 2007) setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orang tua, sahabat, dan bahkan teman sekerjanya. Oleh karena itu wanita yang sudah memasuki tahap dewasa merasa cemas bila belum menikah. Kecemasan yang dirasakan oleh wanita yang sudah memasuki tahap dewasa cukup beralasan karena berbagai faktor eksternal, seperti misalnya banyaknya pertanyaan dari keluarga besar, teman, dan bahkan lingkungan sekitar. Jones (dalam Suryani, 2007) mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita semakin membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria, sehingga status melajang yang dimiliki wanita lebih mendapat sorotan. 1

2 Di Surakarta sendiri menunjukkan bahwa penduduk didominasi oleh penduduk berstatus kawin yakni 54,32 persen. Hal ini terlihat, baik untuk penduduk laki-laki maupun perempuan. Proporsi penduduk laki-laki yang berstatus kawin hampir sama dengan perempuan. Sementara penduduk laki-laki berstatus belum kawin lebih tinggi dibandingkan perempuan karena biasanya laki-laki masih meneruskan pendidikan atau baru mulai bekerja sehingga menunda perkawinan. Begitu juga laki-laki yang dikonstruksikan sebagai kepala keluarga yang harus membiayai kebutuhan keluarga, mempunyai keinginan mapan secara ekonomi sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. Tabel 13.. Penduduk Kota Surakarta Umur 10 Tahun ke Atas menurut Kelompok Umur dan Status Kawin, Tahun 2011 Kelompok Umur STATUS KAWIN Belum Kawin Kawin Cerai Hidup Cerai Mati n % n % n % n % n % 10-14 41.836 23,73 20 0,01 2 0,01 41.858 9,09 15-19 41.486 23,53 527 0,21 4 0,07 7 0,03 42.024 9,12 20-24 33.185 18,82 6.717 2,68 42 0,74 14 0,05 39.958 8,67 25-29 24.500 13,89 24.091 9,61 320 5,61 86 0,31 48.997 10,64 30-34 13.748 7,80 35.618 14,21 643 11,28 215 0,77 50.224 10,90 35-39 7.834 4,44 36.020 14,37 754 13,23 443 1,58 45.051 9,78 40-44 4.875 2,76 35.678 14,23 897 15,73 789 2,82 42.239 9,17 45-49 3.295 1,87 33.221 13,25 865 15,17 1.651 5,90 39.032 8,47 50-54 2.152 1,22 28.747 11,47 713 12,51 2.719 9,72 34.331 7,45 55-59 1.411 0,80 21.215 8,46 542 9,51 3.392 12,13 26.560 5,77 60-64 843 0,48 12.160 4,85 309 5,42 3.670 13,12 16.982 3,69 65-69 501 0,28 7.528 3,00 226 3,96 3.971 14,20 12.226 2,65 70-74 354 0,20 4.996 1,99 168 2,95 4.237 15,15 9.755 2,12 >75 306 0,17 4.160 1,66 218 3,82 6.775 24,22 11.459 2,49 Jumlah 176.326 100,00 250.698 100,00 5.701 100,00 27.971 100,00 460.696 100,00 Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2011,diolah Jumlah

3 Jika dikaitkan dengan umur nampak bahwa proporsi penduduk yang berstatus belum kawin pada kelompok umur 10-29 tahun cukup tinggi, sedangkan yang berstatus kawin proporsi tertinggi pada kelompok umur 30-54 tahun. Banyaknya proporsi penduduk muda yang belum kawin diduga disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada pada umur sekolah ditambah dengan mereka yang berstatus bekerja. Selain faktor eksternal seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat juga faktor internal atau faktor dari individu itu sendiri, seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Yulianingsih (2008) tentang Hubungan Antara Obesitas Dengan Kecemasan Memperoleh Pasangan Hidup Pada Perempuan Dewasa Awal menunjukkan bahwa obesitas memiliki pengaruh terhadap kecemasan memperoleh pasangan hidup pada perempuan dewasa awal sebesar 9,1%. Semakin tinggi obesitas maka semakin tinggi pula kecemasan memperoleh pasangan hidup pada perempuan dewasa awal yang berusia 21-30 tahun. Faktor internal lainnya yaitu seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifayani (2012) tentang Kecemasan Memperoleh Pasangan Hidup Pada Penyandang Cacat Tubuh bahwa wanita usia 20-30 tahun yang mengalami cacat tubuh akan mengalami kecemasan dalam memperoleh pasangan hidup. Penyandang cacat tubuh mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, dan cemas jika tidak memperoleh

4 pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya karena dianggap tidak pantas menikah dengan orang yang normal secara fisik. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Suryani (2007) yang melakukan penelitian kepada 190 wanita berusia 30-68 tahun di Jakarta dan sekitarnya mengenai Gambaran Sikap Terhadap Hidup Melajang dan Kecemasan akan Ketidakhadiran Pasangan pada Wanita Lajang Berusia di Atas 30 Tahun, hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita lajang maka sikap terhadap hidup melajang cenderung semakin positif sehingga tingkat kecemasan akan ketidakhadiran pasangan akan semakin rendah. Hal ini dapat dipahami dimana pendidikan tinggi dapat membuka wawasan, sehingga individu terbuka terhadap perbedaan pendapat dan kritis terhadap gejala-gejala yang terjadi di lingkungan sekitar. Kondisi ini membuat tingkat kecemasan akan ketidakhadiran pasangan yang dialami oleh individu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih rendah dibandingkan individu dengan pendidikan yang lebih rendah. Setiap wanita dewasa pada umumnya sangat mengharapkan dapat memiliki pasangan dan menikah tepat pada waktunya atau sesuai dengan waktu yang telah di targetkan. Karena dengan adanya pasangan maka wanita dewasa akan merasakan dapat melalui tugas tahap perkembangannya. Namun pada kenyataannya banyak wanita yang sudah memasuki tahap dewasa belum juga menikah, hal ini bisa saja menyebabkan wanita tersebut mengalami berbagai tekanan.

5 Fenomena yang ada di masyarakat saat ini adalah masih adanya wanita dewasa yang belum juga memperoleh pasangan hidup, sedangkan memperoleh pasangan hidup merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal. Seperti yang terjadi pada wanita yang bekerja di PT. Dan liris, dari hasil wawancara kepada kepala Sekretariat dan Humas maka diperoleh informasi bahwa masih terdapat sekitar 450 wanita yang belum menikah walaupun usianya sudah memasuki tahap dewasa, yaitu mulai usia 21-40 tahun, hal ini dapat menghambat wanita dewasa tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya. Lebih lanjut Hurlock (2012) menyatakan konsekuensi yang serius dari kegagalan menguasai tugas-tugas tersebut adalah individu akan menjadi tidak adekuat dalam penguasaan tugas-tugas perkembangan berikutnya. Hal ini menyebabkan individu tertinggal dari teman sebayanya dan keadaan ini akan menambah perasaan tidak adekuat mereka, jika hal ini tidak dapat ditangani secara tepat maka akan menimbulkan kecemasan pada individu tersebut. Menurut Halgin & whitbourne (2010) kecemasan lebih berorientasi masa depan dan lebih bersifat umum, mengacu pada kondisi ketika individu merasakan kekhawatiran/kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak nyaman yang tidak terkendali mengenai kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Sedangkan menurut Kaplan, dkk (1997) kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Perasaan cemas kerap melanda hati para wanita dewasa yang belum juga memperoleh pasangan hidup, apalagi bila lingkungan sekitar terus-menerus

6 memburunya untuk segera menikah sementara orang yang dinantikan tak kunjung tiba. Dalam keadaan demikian, kerap muncul tekanan psikologis yang dapat membahayakan dirinya. Hal ini terbukti dari sekian banyaknya wanita yang begitu resah dan cemas hatinya saat-saat memasuki usia pernikahan dikarenakan sampai saat ini belum memperoleh pasangan hidup sementara usia terus bertambah. Lebih lanjut Abdullah (2010) menjelaskan bahwa bagi wanita ada suatu hal yang ditakuti oleh mereka, yaitu usia yang semakin tua namun belum juga memperoleh pasangan hidup atau jodoh, maka ketika memasuki usia 27 tahun rasa cemas dan khawatir akan tidak memperoleh pasangan hidup kian bergetar hebat. Bahkan sebagian wanita sudah mulai merasakan getaran itu lebih dini lagi, ketika memasuki usia 25 tahun atau ada juga yang pada usia dibawahnya. Wanita melajang yang sering disebut perawan tua, selalu disodorkan pertanyaan kapan kamu menikah?. Kondisi budaya dan lingkungan sekitar memaksa wanita memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Wanita yang usianya cukup untuk menikah namun belum menikah akan muncul labelling dari masyarakat. Salah satu contoh pelabelan yang sering diberikan untuk karakteristik wanita yang belum menikah adalah perawan tua. Subiantoro (dalam Suryani, 2007) mengungkapkan mengenai mitos perawan tua yang dipercaya masyarakat yaitu bila seorang wanita belum menikah sampai dengan usia 30 tahun, maka selamanya wanita tersebut tidak akan mendapatkan pasangan kelak. Persoalan mendasar dari seorang wanita yaitu ketika ia telah memasuki usia dewasa awal. Orang tua tidak menginginkan anaknya menjadi perawan tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap sebagai bentuk kekurangan yang terjadi

7 pada diri wanita. Akibatnya orang tua mengharapkan anaknya untuk menikah sebelum usia 30 tahun. Wanita harus menikah apabila tidak ingin menanggung rasa malu karena dinilai tidak laku. Hal tersebut senada dengan hasil wawancara kepada salah satu karyawan wanita di PT. Dan Liris bernama Erni yang saat ini berusia 28 tahun namun belum juga memperoleh pasangan hidup, Erni merasa cemas dan takut bila mendapat julukan yang negatif sebagai perawan tua dari masyarakat sekitar. Selain itu Erni juga merasa cemas kalau dirinya tidak terlihat menarik lagi seiring dengan bertambahnya usia sehingga tidak ada laki-laki yang menyukainya. Hasil lain diperoleh dari Erlin yang usianya sudah menginjak 33 tahun namun belum memperoleh pasangan hidup sampai saat ini. Subyek mengaku cemas dan takut jika selamanya subyek akan hidup sendiri tanpa pasangan. Subyek juga merasa terbebani dengan keinginan orang tuanya yang menginginkan subyek untuk segera menikah agar tidak mendapat julukan sebagai perawan tua. Berdasarkan angket majalah Femina tahun 2000 (dalam Suryani, 2007) tentang status ketidakhadiran pasangan dalam hidup wanita, dari 2700 responden diperoleh data bahwa individu usia dewasa muda merasa cemas menyangkut ketidakhadiran pasangan karena beberapa hal, antara lain merasa menjadi beban pikiran orang tua (61%), dituding sebagai perawan tua (44%), dan menjadi gunjingan orang lain (30%). Conger (dalam Suryani, 2007) menyatakan bahwa selain terjadi karena adanya kecacatan fisik, kecemasan juga terjadi karena individu merasa tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat akan dirinya.

8 Gunjingan dan tudingan tersebut dianggap sebagai suatu bahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya. Menghadapi kenyataan tersebut, wanita yang cemas karena belum memperoleh pasangan hidup memerlukan dukungan sosial, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku sosial. Dukungan sosial dapat berasal dari teman kerja, keluarga, dan teman di lingkungan sekitarnya. Dukungan sosial dapat menimbulkan pengaruh positif seperti dapat mengurangi kecemasan dan memelihara kondisi psikologis yang berada dalam tekanan. Cohen dan Wills (dalam Maslihah, 2011) mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum. Banyak penelitian-penelitian dan literatur dalam dekade terakhir menunjukkan manfaat positif dari dukungan sosial bagi seseorang. Salah satunya hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi berbagai kecemasan yang timbul dari dalam diri individu, seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuncoro (2006) tentang Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Dukungan Sosial Pada PT. Semen Gresik (PERSERO) Tbk menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki

9 dukungan sosial yang tinggi baik dari keluarga, teman atau atasan dalam menghadapi masa pensiun akan berkurang rasa cemasnya. Dukungan sosial yang diperoleh karyawan dapat mencegah berkembangnya masalah pada karyawan tersebut. Dukungan sosial yang diberikan oleh istri, keluarga, rekan kerja atau atasan dapat mengurangi kecemasan dalam menghadapi masa pensiun karena karyawan tersebut akan merasa tetap berarti walaupun akan pensiun. Hasil lain juga diungkapkan oleh Hartanti (2002) dalam penelitiannya tentang Peran Sense of humor dan Dukungan Sosial Pada Tingkat Depresi pada Penderita Dewasa Pascastroke juga mengatakan apabila individu mendapat dukungan dari keluarga akan mengalami berkurangnya kelelahan emosi dan stress sehingga individu menjadi tidak sedih lagi, tidak merasa kecewa dan mendapatkan masukan untuk masalah yang sedang dihadapi, akibatnya individu akan mampu menyelesaikan masalah dengan sikap yang positif. Selanjutnya Maslihah (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dukungan sosial, khususnya dukungan yang diberikan oleh orang tua dapat membantu siswa dalam meningkatkan prestasi akademik siswa di SMPIT Assyifa Boarding School Subang Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa adanya rasa nyaman, dihargai dan pengakuan dari lingkungan memberi dampak positif bagi kondisi psikis siswa dan menjadi situasi awal yang baik bagi kondisi siswa dalam menerima pembelajaran. Kontinuitas dukungan ini, memberikan dampak positif tidak hanya ketika siswa menerima pelajaran tetapi berlanjut pada saat siswa menghadapi masa evaluasi pembelajaran.

10 Keluarga adalah sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk mengatasi masalah. Keluarga khususnya orang tua dapat menyediakan dukungan dan dapat memberikan rasa aman serta melalui ekspresi kehangatan, empati, persetujuan atau penerimaan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga yang lain (Santrock, 2008). Pendapat lain dikemukakan oleh Sarason (dalam Amrullah, 2012) dalam penelitiannya yang menunjukkan hasil bahwa orang-orang yang mendapat dukungan sosial yang tinggi mengalami hal-hal yang positif dalam kehidupannya, memiliki harga diri yang tinggi, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi permasalahan dan mempunyai pandangan yang lebih optimis terhadap kehidupannya dari pada orang-orang yang rendah dukungan sosialnya. Lebih lanjut Sarafino (dalam Sari dan Kuncoro, 2006) menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang dalam menghadapi kecemasan juga dapat mencegah berkembangnya masalah yang timbul. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Effendi dan Tjahyono (dalam Sari dan Kuncoro, 2006) yang mengatakan bahwa dukungan sosial berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan, melalui dukungan sosial kesejahteraan psikologis akan meningkat karena adanya perhatian dan pengertian yang akan menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri. Dengan demikian diharapkan wanita yang dalam masa penantian memperoleh pasangan hidup mendapatkan dukungan sosial yang sangat baik agar

11 dapat menimbulkan pengaruh positif seperti dapat mengurangi kecemasan dan memelihara kondisi psikologis yang berada dalam tekanan. Dari uraian teori-teori serta fenomena diatas maka peneliti menentukan rumusan masalah, yaitu Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan.kecemasan memperoleh pasangan hidup? Oleh karena itu peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan memperoleh pasangan hidup pada wanita. B. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui : 1. Hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan memperoleh pasangan hidup pada wanita. 2. Pengaruh dukungan sosial terhadap kecemasan memperoleh pasangan hidup pada wanita. 3. Tingkat dukungan sosial dan kecemasan memperoleh pasangan hidup pada wanita. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1. Bagi Pimpinan dan HRD PT. Dan Liris, dapat memberikan informasi empiris bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh yang positif terhadap berkurangnya kecemasan pada karyawan wanita yang belum memperoleh

12 pasangan hidup sehingga dapat dijadikan masukan dalam mengambil suatu kebijakan dalam menjaga keadaan psikologis para karyawan. 2. Subyek penelitian, dapat memberikan informasi bahwa dukungan sosial dapat mengurangi perasaan cemas karena belum mendapatkan pasangan hidup. 3. Keluarga dan orang-orang terdekat subyek, diharapkan dapat lebih menyadari bahwa dengan dukungan sosial yang diberikan maka dapat membantu mengurangi kecemasan memperoleh pasangan hidup. 4. Peneliti lain, dapat memberikan referensi dan acuan untuk mengembangkan penelitian yang sejenis, khususnya mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan memperoleh pasangan hidup pada wanita dewasa.