BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya zaman, dan pengaruh budaya barat merubah pola pikir

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. dunia sosial remaja. Hubungan ini memunculkan emosi kuat, baik positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. habis-habisnya mengenai misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I. perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas manusia, hal ini. tidak lepas dari dua komponen yaitu siswa dan guru.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nadia Aulia Nadhirah, 2013

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan pada remaja adalah masalah serius dan sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bereproduksi. Masa ini berkisar antara usia 12/13 hingga 21 tahun, dimana 13-14

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DAN GAYA PACARAN DENGAN KECENDERUNGAN MEMBELI KONDOM PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mereka harus meninggalkan segala hal yang kekanak-kanakan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan salah satu harapan bangsa demi kemajuan Negara, dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai 19 tahun. Istilah pubertas juga selalu menunjukan bahwa seseorang sedang

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beragam suku dan sebagian besar suku yang menghuni kabupaten Merangin

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan. Bahkan hubungan seksual yang sewajarnya dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia tahun. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu. Masa ini merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. pertama dalam berpacaran. Dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase krusial dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai krisis yang dialami oleh Bangsa Indonesia, baik krisis moral

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Robert K Merton menulis beberapa pernyataan penting tentang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa sebagai salah satu kaum intelektual banyak menorehkan cerita dalam kehidupan sehari hari. Mulai dari cerita akademik hingga kehidupan kesehariannya yang senantiasa menyedot perhatian dari khalayak umum. Tidak terhitung banyaknya prestasi-prestasi akademik yang dihasilkan oleh kaum kaum intelektual ini, tidak hanya di tingkat nasional bahkan juga di tingkat internasional hingga mampu membawa harum nama bangsa. Namun diantara kisah sukses dalam bidang akademis juga tidak sedikit cerita negatif yang berhasil terkuak dari kalangan mahasiswa, mulai dari catatan kriminal kasus narkoba hingga gaya hidup yang cenderung bebas dan tanpa batas. Tidak sedikit diantaranya yang sudah tidak mengindahkan norma ketimuran dengan memakai kiblat orang barat dalam menyikapi kehidupan sehari hari. Aktifitas seksual yang masih dianggap tabu bagi orang timur tidak lagi dihiraukan, bahkan sudah menjadi rutinitas bagi sebagian kalangan mahasiswa. Tidak hanya norma ketimuran yang mengecam perilaku pergaulan bebas dan seks di luar nikah norma agama pun juga melarang hal yang serupa terjadi pada semua umat manusia. Seperti yang tertulis dalam Surat Al Israa (17: 32) yang berbunyi : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Sudahlah sangat jelas manakala tindakan tersebut tidak lagi bisa diterima baik dalam norma ketimuran ataupun dalam sisi norma agama. Namun pada perkembangannya norma agama ataupun norma sosial pada masyarakat ketimuran tidak lagi diindahkan. Hal ini terbukti dengan beberapa penelitian yang dilakukan para ahli yang menemukan sejumlah angka yang mencengangkan seputar aktivitas amoral atau free sex. Seperti yang telah dibuktikan oleh data penelitian PKBI Jakarta yaitu sebanyak 14,73 % responden dari 2.479 responden melakukan hubungan seks, dengan pacar 74, 89 %, pacaran di rumah 1

61,54 % dan kemudian 40 % tidak menggunakan alat kontrasepsi dan 60 % tidak aman menggunakan lat kontrasepsi. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh data yang telah dihimpun dari beberapa negara berkembang, mengemukakan bahwa 46% remaja putri (14-17 tahun) dan 66,2 % telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (Sarwono, 2002). Selain itu sejumlah data yang dihasilkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbang MAP pada beberapa kecamatan di kota Malang dengan jumlah responden 404 siswa mendapatkan sebuah hasil yang mencengangkan bahwa, dari 404 responden, 116 siswa atau 29 persen mengaku pernah berhubungan seks. Dan mayoritas perempuan berhubungan seks dengan pacar, adapun 21 persen dari 116 siswa itu atau sekitar 25 siswa pernah berhubungan seks dengan orang lain (Malang post.com). Angka yang fantastik yang menandai adanya krisis moral dan aqidah saat ini yang mulai meneror generasi penerus bangsa. Dalam situasi apapun tingkah laku seksual tidak menguntungkan sama sekali. Adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala sesuatu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku seks bebas memang tidak berdampak apapun, terutama jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada gadis gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Sarwono, 2002). Akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil. Juga akan terjadi cemoohan dan penolakan diri masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi. Selain itu juga ada akibat-akibat putus sekolah dan akibat-akibat ekonomis karena 2

diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain (Sanderowitz & Paxman, dalam Sarwono 2002). Banyak peneliti yang tertarik dalam menentukan relasi antara kepribadian dan perilaku seksual khususnya, antara kepribadian dan seks yang tidak aman. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Freud (dalam Soekatno, 2008) bahwa karakteristik kehidupan seksual manusia dianggap representasi yang sempurna dari kepribadian secara keseluruhan, sedangkan need itu sendiri merupakan representasi kepribadian secara keseluruhan. Sebagai suatu contoh yang paling mendasar, orang ekstrovert lebih berpetualang secara seksual karena mereka mencari stimulasi ekstra. Orang orang ekstrovert cenderung lebih banyak melakukan French kissing dan terlibat dalam berbagai aktivitas seksual yang luas (Friedman & Schustack, 2008). Orang yang memiliki disposisi untuk impulsif cenderung impulsif untuk pengalaman seksualnya. Orang yang kurang terkontrol dan lebih ramah, lebih banyak mengambil resiko seksual. Sebagai contoh, berdasarkan sebuah studi yang dilakukan terhadap para mahasiswa ditemukan bahwa mereka yang cenderung membuat keputusan secara impulsif dan mengambil risiko dalam kehidupan sehari-harinya juga cenderung mengambil risiko dalam perilaku seksualnya. Hal ini benar-benar terlepas dari pemahaman mereka mengenai seks yang aman, dengan demikian mengambil resiko bukan benar-benar merupakan faktor kognitif. Orang-orang semacam ini cenderung lebih ekstrovert, kurang terkekang dan lebih suka melakukan hubungan seks awal dalam relasi, memiliki lebih banyak partner seksual sekaligus, dan cenderung memiliki relasi yang kurang melibatkan komitmen (Friedman & Schustack, 2008). Di samping adanya keterkaitan antara seks dengan kepribadian, juga terdapat keterkaitan antara seks dengan sikap agresi, dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan Malamuth 1989 mengemukakan bahwa perilaku seksual pria dengan agresifitas yang tinggi memiliki kecenderungan mendominasi dalam kehidupan kesehariannya terutama dengan lawan jenis yang tentunya hal ini sangat berkaitan sekali dengan kebutuhan untuk mendominasi seperti yang telah dijelaskan oleh Murray (Friedman & Schustack, 2008). Selain keterkaitan seks dengan kepribadian, seks juga merupakan salah satu aspek kebutuhan dalam diri manusia. Menurut Murray (dalam Hall, Lindzey and 3

Campbel, 1998), kebutuhan merupakan dorongan untuk mewujudkan tindakan tertentu. Ada dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan primer atau viskerogenik (viscerogenic needs) dan kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikogenik (psychogenic needs). Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa organis tertentu yang secara khas dan secara khusus berkenaan dengan kepuasan-kepuasan fisik, misalnya kebutuhan akan udara, air, makanan, seks, laktasi, kencing dan defekasi. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang dianggap berasal dari kebutuhan-kebutuhan primer dan ditandai oleh tidak adanya hubungan vocal dengan proses-proses organis atau kepuasan fisik khusus sehingga dipandang sebagai kebutuhan murni psikologikal, misalnya kebutuhan akan belajar, konstruksi, prestasi, pengakuan, ekhsibisi, kekuasaan, otonomi, dan kehormatan. Seks merupakan energi psikis, yang ikut mendorong manusia untuk bertingkah laku. Tidak hanya bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan non seksual. Umpamanya saja berprestasi di bidang ilmiah, seni, melakukan tugas tugas moril, dan lain lain. Sebagai energy psikis, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat/bertingkah laku (Kartono, 2009). Seperti yang dituturkan oleh subyek bahwa perilaku seksual yang dilakukan bersama dengan partnernya juga mempengaruhi dengan secara tidak langsung terhadap aktivitas kesehariannya, menumbuhkan semangat dan juga gairah untuk mengerjakan aktivitas keseharian, terutama dalam menjalani rutinitas akademik. Seakan sudah menjadi sebuah motivasi dalam kesehariannya hingga aktivitas seks dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akademiknya guna mencapai prestasi yang diinginkan. Berbagai paparan diatas menandakan bahwa setiap kebutuhan pada dasarnya menuntut suatu pemenuhan, Murray mengatakan bahwa tingkah laku individu mengarah pada usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul. Kebutuhan yang dapat dipenuhi akan membawa individu pada situasi yang menenangkan atau memuaskan. Kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi akan membuat individu merasa kecewa atau sakit sehingga mengalami tekanan (Hall, Lindzey, and Campbel 1998). Begitu pula dengan kebutuhan psikologis yang tidak akan muncul begitu saja tapi ada proses yang terjadi sepanjang kehidupan. Kebutuhan psikologis terjadi 4

karena adanya perasaan kekurangan terhadap sesuatu yang disebabkan oleh prosesproses internal dalam diri individu yang disertai keinginan untuk memenuhi tindakan tertentu. Murray mengatakan bahwa suatu kebutuhan pada dasarnya menuntut suatu pemenuhan. Tingkah laku individu akan mengarah pada usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul (Alwisol, 2007). Dimana menurut Murray, suatu bagian tingkah laku tidak dapat dipahami terlepas dari semua bagian lainnya dalam pribadi yang berfungsi. Manusia harus dipahami dalam kesatuan pribadi yang utuh. Murray juga menekankan konsistensi pada proses-proses fisiologis yang terjalin secara fungsional yang mengiringi proses psikologis. Murray juga memiliki konsep bahwa ada pusat yang mengorganisir dan mengatur proses dalam diri individu, proses yang fungsinya untuk mengintegrasikan kekuatan yang saling bertentangan yang dihadapi individu, proses yang fungsinya untuk mengintegrasikan kekuatan yang saling bertentangan yang dihadapi individu, memuaskan kebutuhan individu, dan merencanakan pencapaian tujuan individu (Alwisol, 2007). Perilaku seks bebas membawa dampak yang cukup serius dalam kehidupan dewasa ini, norma ketimuran, norma agama yang masih mengecam perilaku seks bebas sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting dan lebih jelasnya menimbulkan kemerosotan moral pada pergaulan dewasa ini. Image sebagai negara timur yang masih menganggap tabu tentang pergaulan bebas tidak lagi diindahkan. Betapa sangat memprihatinkan manakala hal ini terus berkelanjutan tanpa adanya penanggulangaan sejak dini. Oleh karena itu mengingat perilaku seksual membawa dampak yang tidak sederhana bagi kelangsungan hidup masyarakat, dan juga keterkaitannya dengan pembenahan moral generasi muda sebagai penerus cita cita bangsa maka sangat dibutuhkan langkah pasti untuk menangani permasalahan dewasa ini. Dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisa kebutuhan dari pelaku seks bebas, mengingat adanya keterkaitan antara perilaku seksual dengan kepribadian dan juga upaya-upaya pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu maka peneliti tertarik untuk menganalisa kebutuhan pada pelaku seks bebas sebagai langkah awal dimana melalui penelitian ini kebutuhan para pelaku akan dengan jelas dapat diketahui sebagai data untuk menentukan langkah lebih lanjut. 5

A. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang dapat dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimanakah kebutuhan para pelaku seks bebas dengan menggunakan EPPS? B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan yang dimiliki oleh para pelaku seks bebas dengan menggunakan EPPS. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menambah kajian keilmuan dalam kaitannya untuk memperoleh pemahaman, pengembangan teori, dan pengujian secara metodologi mengenai manfaat dari penelitian tentang penggunaan EPPS, khususnya dalam penggunaannya untuk mengetahui kebutuhan para mahasisiswa yang melakukan aktivitas seks bebas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi subyek penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui kebutuhan yang terdapat dalam diri subyek yang melakukan seks bebas sehingga subyek dapat memenuhi kebutuhan dengan baik. b. Bagi masyarakat umum Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu metode bagi khayalak umum untuk mencegah atau melakukan tindakan preventif seperti terapi keluarga, FGD, ataupun konseling pada komunitas mahasiswa guna menanggulangi permasalahan remaja yang berkaitan dengan perilaku seks bebas. 6