BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BABI PENDAHULUAN. Kehidupan perkawinan akan terasa lebih lengkap dengan hadirnya anakanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pertama. Sekolah juga sebagai salah satu lingkungan sosial. bagi anak yang dibawanya sejak lahir.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan interpersonal sangat dibutuhkan oleh setiap individu

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki tingkat intelektual yang berbeda. Menurut Eddy,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Lingkungan yang mendukung perkembangan individu adalah lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

manusia dimulai dari keluarga. Menurut Helmawati (2014:1) bahwa Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pembentukan dan pendidikan anak.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORITIS

JURNAL RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL INTERACTION WITH INDEPENDENCE PEERS TEENS ON STUDENTS CLASS X IN SMK MUHAMMADIYAH 2 KEDIRI LESSON YEAR 2016/2017

Oleh: Deasy Wulandari K BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. menyadari akan penting nya mencerdaskan rakyat nya, Cita cita mulia itu pun

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu mengalami banyak konflik dan terjadi banyak perubahan baik secara fisik, sosial dan emosional. Masa tersebut adalah masa remaja. Oleh karena itu, Hall (dalam Santrock, 2003: 10) mengatakan bahwa masa remaja sering dikenal dengan periode badai dan tekanan. Badai dan tekanan yang dialami remaja dalam masa perkembangannya, mempengaruhi perkembangan emosional remaja. Emosi remaja menjadi meninggi karena mereka berada di bawah tekanan sosial dan mereka dituntut untuk menghadapi kondisi baru dimana pada masa kanak-kanak mereka kurang dipersiapkan untuk menghadapi kondisikondisi tersebut. Emosi remaja menjadi sangat labil, tidak terkendali dan tampaknya irasional. Namun hal ini terjadi pada masa awal remaja. Seiring bertambahnya usia, maka remaja seharusnya mengalami perbaikan emosional dimana remaja yang awalnya mudah marah, emosinya mudah meledak dan cara menyampaikan emosinya masih kurang tepat sedangkan pada masa menengah remaja, emosinya menjadi lebih stabil, berpikir kritis sebelum bertindak dan menyampaikan emosinya dengan cara yang tepat. Apabila seorang remaja sudah mengalami perbaikan emosi, maka dapat dikatakan remaja tersebut sudah matang secara emosional (Hurlock, 1980: 213). Lingkungan sosial mempunyai standar-standar perilaku yang harus dipenuhi oleh remaja. Karena masa remaja sebagai periode peralihan dari 1

2 masa kanak-kanak ke masa dewasa, maka masyarakat mengharapkan agar remaja menjadi lebih matang termasuk lebih matang secara emosional. Remaja dikatakan matang secara emosional apabila remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain, mengungkapkan emosinya dengan cara yang tepat, dan menilai situasi secara kritis sebelum bereaksi secara emosional (Hurlock, 1980: 213). Tuntutan dari masyarakat ini berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan remaja. Lingkungan sosial baik lingkungan sekolah ataupun masyarakat menuntut remaja untuk dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980: 209) salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya. Oleh karena itu, seorang remaja dituntut untuk mampu mengontrol emosinya dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua. Namun tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Hal ini dikarenakan terdapat faktor-faktor yang menghambat individu dalam menguasai tugas-tugas perkembangan yaitu tingkat perkembangan yang mundur, tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya, tidak ada motivasi, kesehatan yang buruk, cacat tubuh, dan tingkat kecerdasan yang rendah (Hurlock, 1980: 11). Ada beberapa remaja yang tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan untuk menjadi matang secara emosi sesuai dengan usia biologisnya. Salah satu remaja tersebut adalah remaja slow learner. Remaja slow learner memiliki masalah dalam hal kecerdasan yaitu tingkat intelektual yang dimilikinya sedikit di bawah rata-rata intelektual remaja

3 normal lainnya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menghambat remaja slow learner dalam menguasai tugas-tugas perkembangannya. Remaja slow learner atau lambat belajar adalah remaja yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan remaja lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama (Sulaiman, n.d., Kesulitan Belajar Siswa dan Bimbangan Belajar, para. 3). Slow learner memiliki permasalahan dalam segi intelektualnya namun secara fisik, ia terlihat layaknya orang normal lainnya. Oleh karena itu, remaja slow learner membutuhkan waktu yang lebih lama dalam memahami dan belajar mengenai situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional dan bagaimana menghadapi situasi-situasi tersebut. Hal ini didukung pula oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa slow learner adalah anak yang memiliki keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga proses belajarnya menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit di bawah rata-rata dengan IQ antara 80-90. Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran (Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Model Kurikulum Bagi Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar, hal. 4). Karena remaja slow learner memiliki permasalahan dalam segi intelektual, maka mereka menangkap informasi-informasi lebih lambat bila dibandingkan dengan remaja normal lainnya sehingga terkadang informasi yang seharusnya dimengerti oleh remaja seusia mereka, tidak dapat dikuasai sepenuhnya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat melabel individu slow learner sebagai individu yang bodoh.

4 Selain itu, remaja slow learner memiliki masalah dengan aspek emosinya. Hal ini didukung oleh Sulaeman (Sulaiman, n.d., Kesulitan Belajar Siswa dan Bimbangan Belajar, para. 4) yang mengatakan bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar, salah satunya adalah slow learner, tampak mengalami berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif. Salah satu perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar adalah menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya. Dari hasil wawancara peneliti terhadap Kepala SMA Galuh Handayani mengatakan bahwa sebanyak 50% dari seluruh siswa SMA di Galuh Handayani ini masih belum mencapai kematangan emosional dan kebanyakan siswa yang belum mencapai kematangan emosional adalah siswa yang ada di kelas Treatment. Kasus yang sering terjadi adalah siswa tiba-tiba marah, menangis, dan melempar barang-barangnya di sekolah. Setelah ditanya oleh pihak sekolah, maka diketahui bahwa siswa tersebut mengalami masalah di rumahnya dimana ia merasa tidak setuju dengan orangtuanya, merasa diabaikan oleh orangtuanya, namun siswa tersebut tidak berani mengungkapkan kepada orangtuanya sehingga meluapkan emosinya di sekolah dengan cara-cara yang tidak sewajarnya. Psikolog Galuh Handayani mengatakan bahwa remaja slow learner yang belum matang secara emosi menyebabkan remaja tersebut kurang konsentrasi dalam kegiatan belajar di sekolah bahkan tidak mau belajar. Selain masalah dalam kegiatan akademik, remaja slow learner yang belum matang secara

5 emosi cenderung untuk berperilaku agresif terhadap teman-temannya. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa siswa di Galuh Handayani belum memenuhi kriteria kematangan emosi, salah satunya adalah tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan caracara yang lebih dapat diterima. Siswa tersebut mengungkapkan emosinya di sekolah ketika bermasalah dengan orangtuanya di rumah dan dengan cara yang kurang tepat, misalnya : melempar barang, berperilaku agresif terhadap teman-temannya, dan lain-lain. Dari data di atas dapat dilihat bahwa remaja slow learner memiliki masalah dalam hal kematangan emosi. Padahal kematangan emosi mempunyai dampak yang penting dalam membina hubungan dengan lingkungan sosial. Dengan bertambahnya kematangan emosi seseorang maka emosi negatif akan berkurang. Bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan berkembang menjadi lebih baik. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan memberikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain (Nyul, 19 November 2008, Pengertian kematangan emosi, para 3). Untuk mencapai kematangan emosional, remaja membutuhkan peran lingkungan yang sangat mendukung. Faktor lingkungan meliputi lingkungan keluarga, sekolah, teman-teman sebaya (peers) dan masyarakat (Yusuf, 2000: 35). Dengan peran dari lingkungan, remaja akan mendapatkan pengalaman-pengalaman baik pengalaman positif maupun pengalaman negatif yang berpengaruh dalam usaha pencapaian kematangan emosional.

6 Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang dimasuki oleh remaja. Dalam keluarga, tempat remaja pertama kali bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan keluarga merupakan lingkungan paling awal yang ikut mengambil peran dalam perkembangan fisik maupun psikologis remaja. Oleh karena itu, lingkungan keluarga harus berperan aktif positif dalam memberikan pengaruh bagi perkembangan dan pertumbuhan remaja. Dalam keluarga, orangtua yang memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Orangtua diharapkan mampu memunculkan sikap terbuka pada remaja. Keterbukaan remaja mengenai perasaan dan permasalahan pribadinya dapat menimbulkan rasa aman dan hangat dalam hubungan sosial khususnya hubungan antara anak dan orangtua. Perasaan aman inilah yang dapat digunakan oleh orangtua dalam memberikan gambaran-gambaran mengenai situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Selain itu, remaja juga dapat belajar bagaimana menghadapi situasi-situasi tersebut (Hurlock, 1980: 213). Dengan mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan emosional baik situasisituasi maupun perilaku yang seharusnya dimunculkan, berarti orangtua mulai menerapkan konsep disiplin karena kata disiplin berarti mengajarkan nilai-nilai dan kecakapan yang diperlukan remaja agar mereka berhasil dalam kehidupan. Dengan disiplin, remaja akan mempunyai sense yang baik mengenai perilaku benar dan salah (Elias, Tobias & Friedlander, 2002: 70) Dalam proses pembelajaran tersebut menunjukkan bahwa orangtua mempunyai kekuasaan atas diri remaja. Kekuasaan tersebut dapat diterapkan dalam metode disiplin. Apabila metode disiplin yang dilakukan oleh orangtua dianggap tidak adil atau kekanak-kanakan, maka remaja

7 akan cenderung memberontak (Hurlock, 1980: 233). Pemberontakan yang dilakukan remaja bertabrakan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh orangtua sehingga menimbulkan pertengkaran-pertengkaran yang menyebabkan hubungan keluarga yang buruk. Hubungan keluarga yang buruk mempengaruhi kondisi psikologis remaja karena remaja akan merasa tidak aman dan kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan pola perilaku yang tenang dan lebih matang. Remaja yang mempunyai hubungan keluarga yang buruk cenderung mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain sehingga penyesuaian sosialnya menjadi terhambat (Hurlock, 1980: 232). Hal ini didukung oleh Psikolog Galuh Handayani yang mengatakan bahwa teknik penanaman disiplin yang berorientasi pada kekuasaan, akan menyebabkan remaja slow learner merasa jenuh, bosan dan merasa bahwa orangtuanya tidak memahami dirinya. Perasaan-perasaan seperti itu terbawa ketika remaja slow learner berada di sekolah sehingga perilakunya di sekolah menunjukkan bahwa remaja tersebut belum matang secara emosi (seperti menangis, marah-marah, dan lain-lain). Teknik penanaman disiplin dapat diterapkan pada remaja slow learner karena fisik, perilaku dan aktivitas remaja slow learner sama dengan remaja normal lainnya. Letak perbedaannya hanyalah pada kapasitas kemampuan intelektualnya yang berada sedikit di bawah remaja normal pada umumnya. Dari hasil wawancara dengan Psikolog Galuh Handayani didapatkan data bahwa teknik penanaman disiplin oleh orangtua remaja slow learner ada bermacam-macam. Ada yang menerapkan teknik penanaman disiplin yang demokratis dimana orangtua memberikan peraturan yang tegas namun disertai juga dengan contoh. Ada juga orangtua yang hanya menanamkan peraturan tanpa penjelasan dan contoh.

8 Secara teoritis, Haimowitz & Haimowitz (dalam Gunarsa, 1983: 84-85) mengungkapkan bahwa teknik penanaman disiplin yang diterapkan oleh orangtua dibagi menjadi dua jenis yaitu teknik penanaman disiplin yang berorientasi pada kasih sayang (love oriented technique) dan teknik penanaman disiplin yang bersifat material. Love oriented technique adalah teknik penanaman disiplin yang memberikan pujian dan menerangkan sebab-sebab sesuatu tingkah laku tanpa menggunakan kekuasaan. Love oriented technique dikenal sebagai non-power assertive discipline. Teknik penanaman disiplin yang bersifat material dikenal dengan power-assertive discipline karena pada teknik ini orangtua menggunakan hukuman fisik dan menanamkan disiplin melalui kekuasaan yang dimilikinya. Orangtua diharapkan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan emosional baik situasi-situasi maupun perilaku yang seharusnya dimunculkan dengan dasar kasih sayang sehingga remaja memunculkan perilaku yang diharapkan bukan karena takut dihukum melainkan karena kesadaran dari remaja tersebut karena menurut Nur aeni (1997: 135), kasih sayang adalah kunci utama dan pertama dalam usaha mendidik dan memenuhi kebutuhan anak sehingga anak-anak menjadi mandiri dan siap dalam menghadapi tantangan di dunia. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian dari Kochanska, Aksan & Nichols (2003: 957) yang mengatakan bahwa teknik penanaman disiplin dengan power assertive yang dilakukan oleh ibu, akan berdampak pada perilaku remaja (perilaku yang berkaitan dengan moral dan perilaku antisosial). Oleh karena itu, teknik disiplin yang didasarkan pada kasih sayang akan berperan positif dalam proses kematangan emosional remaja.

9 Namun terkadang terdapat perbedaan persepsi antara remaja dengan orangtuanya. Remaja dapat mempunyai persepsi bahwa orangtuanya menerapkan teknik penanaman disiplin power oriented technique, namun orangtuanya merasa bahwa dirinya menerapkan teknik penanaman disiplin love oriented technique, atau sebaliknya. Hal ini didukung oleh Gunarsa yang mengatakan bahwa orangtua yang telah bekerja keras untuk memberikan dan memenuhi keinginan dan permintaan remajanya, namun di mata remaja orangtua yang tidak kenal waktu, bekerja terus, mengejar karier, tanpa mengingat kebutuhan anaknya yaitu perhatian dari orangtua (Gunarsa, 1984: 92). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin yang diterapkan oleh orangtua untuk mengetahui jenis teknik penanaman disiplin yang dilakukan oleh orangtua. Hal ini dikarenakan orangtua adalah pelaku dari teknik penanaman disiplin tersebut sehingga orangtua lebih mengetahui tindakantindakan yang dilakukan untuk mengajarkan disiplin kepada remajanya termasuk dalam hal emosional. Pengaruh teknik penanaman disiplin terhadap kematangan emosi remaja slow learner akan menjadi suatu permasalahan yang kompleks bila dibandingkan dengan remaja normal. Hal ini sangat penting karena remaja slow learner mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui seperti halnya remaja normal, namun remaja slow learner mempunyai keterbatasan intelektual bila dibandingkan dengan remaja seusianya. Maka, orangtua diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan anak khususnya emosional sebagai bekal kehidupannya di masyarakat luas.

10 Mengingat bahwa kematangan emosi merupakan masalah yang terjadi pada remaja slow learner, maka peneliti tertarik untuk menguji perbedaan tingkat kematangan emosi ditinjau dari persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin yang diterapkan kepada remaja. 1.2. Batasan Masalah Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang yaitu faktor lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial serta faktor pengalaman. Namun fokus penelitian ini hanya pada lingkungan keluarga yaitu persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin yang diterapkannya. Kematangan emosi meliputi kematangan emosi dalam diri individu itu sendiri (pemikiran dan perasaan) dan ketika berhubungan dengan orang lain. Sedangkan untuk teknik penanaman disiplin yang diterapkan oleh orangtua dibatasi pada teknik yang berorientasi pada kasih sayang (love oriented technique) dan teknik yang bersifat material (power oriented technique). Penelitian ini adalah komparatif, yakni untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kematangan emosi ditinjau dari persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin yang diterapkannya. Sedangkan populasi penelitian ini dibatasi hanya pada remaja menengah dan akhir slow learner dan orangtua dari masing-masing remaja. Pemilihan penelitian dilakukan pada remaja menengah dan akhir slow learner karena menurut Monks, Knoers & Haditono (2002: 262) batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hal ini didukung pula oleh Rousseau (dalam Santrock,

11 2003:9), individu yang berusia 15-20 tahun memasuki tahap keempat dimana individu mulai matang secara emosional, sifat mementingkan diri sendiri diganti dengan minat pada orang lain. Maka subjek penelitian ini adalah remaja slow learner yang memiliki rentang usia 15-21 tahun. Selain dari faktor usia, remaja slow learner yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki IQ 80-90. Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa populasi penelitian ini adalah remaja slow learner yang berusia 15-21 tahun dan mempunyai IQ 80-90 serta orangtua dari masing-masing remaja. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan batasan masalah, maka masalah yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada perbedaan tingkat kematangan emosi remaja slow learner ditinjau dari persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin?. 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kematangan emosi remaja slow learner ditinjau dari persepsi orangtua terhadap teknik penanaman disiplin. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

12 a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi atau sumbangan bagi perkembangan teori di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan remaja yang berkaitan dengan kondisi psikologis remaja slow learner. Selain itu, bermanfaat pula untuk perkembangan teori dalam psikologi keluarga yang berkaitan dengan peran dan teknik penanaman disiplin yang diterapkan oleh orangtua terhadap kematangan emosi remaja menengah dan akhir slow learner. b. Manfaat Praktis 1. Bagi orangtua Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi bagi orangtua dalam memilih dan menerapkan teknik penanaman disiplin yang sesuai untuk membentuk dan mengembangkan kematangan emosi bagi anak-anaknya, terutama bagi remaja menengah dan akhir slow learner. 2. Bagi pihak sekolah Mengingat bahwa kematangan emosi tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga saja namun juga lingkungan sekolah, maka diharapkan pihak sekolah dapat bekerjasama dengan orangtua untuk menerapkan teknik penanaman disiplin yang baik bagi remaja menengah dan akhir slow learner sehingga dapat meningkatkan kematangan emosi mereka.

13 3. Bagi remaja menengah dan akhir slow learner Mengingat bahwa remaja menengah dan akhir adalah tahap dimana seharusnya individu dapat mencapai kematangan emosi, maka penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi remaja menengah dan akhir slow learner agar menyadari kondisi kematangan emosinya dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi khususnya dalam hal kematangan emosi agar tidak menghambat pencapaian tugas perkembangan di tahap berikutnya (dewasa awal).