BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN TRADISI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian sangat memerlukan tanah pertanian. Dalam perkembangan

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PENJELASAN A T A S RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

KANTOR PEMERINTAH KABUPATEN DAN DPRD BEKASI (Penekanan Desain Arsitektur Regionalisme)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tidak mungkin dihindari oleh setiap negara.dewasa. penduduk dan kepentingan untuk mensejahterakan rakyat.

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan ini dalam artian bahwa karena lapangan retribusi daerah berhubungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERAN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PERENCANAAN WILAYAH

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR. Ir. Suprapti

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PRT/M/2015 TENTANG PENGELOLAAN ASET IRIGASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BUPATI KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 39 TAHUN 2013 STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERUMAHAN RAKYAT KABUPATEN BELITUNG

WALIKOTA PALANGKA RAYA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEBUN RAYA KUNINGAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT.

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA ADAT MELAYU RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah pada dasarnya menuntut Pemerintah Daerah untuk

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. maupun badan hukum. Usaha pemerintah ini tidak terlepas dari tujuan negara

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

Analisis Isu-Isu Strategis

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN PANGGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Mencermati Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada. Ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya. Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak. Manusia dan lingkungannya, yakni seperti manusia membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan pernapasan, karena tumbuhan menjadi produsen oksigen tetap sepanjang masa. Bersama tumbuhtumbuhan manusia makan dan minum, karena pada tumbuhan ini air tersimpan sempurna dalam tanah dan manusia dapat menggunakan tumbuhan itu secara langsung. Agar harmonisasi kehidupan ini tetap tercipta dan tetap terjaga, manusia harus bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.

2 Setiap bangsa atau masyarakat memiliki kebudayaannya sendiri, memiliki hukumnya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Perbedaan inilah yang menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khasnya masingmasing sebagai identitas bangsa yang bersangkutan. Ciri khas ini disebut local genius atau local prudencia atau kearifan-kearifan lokal (Dominikus Rato, 2009:3). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turuntemurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dari sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam wajah atau wacana ke-indonesiaan niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam pemukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam pemukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Local wisdom (kearifan lokal/setempat), dapat dipahami sebagi gagasangagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. (antariksaarticle.blogspot.com, 2009) Berkaitan dengan pemanfaatan lahan untuk perumahan, pemerintah memang menyediakan lahan yang diperuntukkan bagi masyarakat sebagai hunian yang layak dan sehat seperti yang diatur dalam Pasal 5 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 (tentang Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669), yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak

3 untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah dan perumahan yang layak merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan merupakan faktor penting untuk meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan, seperti diatur juga dalam Pasal 28H Angka 1 Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Perumahan merupakan cerminan dari jati diri manusia baik perorangan maupun kelompok dan kebersamaan dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669), disebutkan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Secara umum, bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 (tentang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134), menyebutkan bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Pembangunan gedung sebagai hunian atau perumahan ini diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan

4 mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana dan prioritas pembangunan perumahan. Pemerintah mempunyai wewenang dalam pelaksanaan penataan ruang seperti termuat dalam Pasal 11 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68), yang menyebutkan bahwa wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: a. Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota; b. Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Faktor penentu efisiensi dan efektivitas dalam konteks penataan ruang lebih ditentukan oleh kualitas koordinasi antarpelaku pelaksanaan penataan ruang, bukan hanya ditentukan oleh pola hubungan antarpemerintah kabupaten/kota (Herman Hermit, 2008:220). Laju kebutuhan perumahan yang semakin meningkat, terutama di kawasan perkotaan, harus menjadi prioritas pembangunan dalam berbagai program pembangunan daerah. Pembangunan perumahan seiring dengan perkembangan penduduk dan aktivitas manusia, akan berpengaruh pada kehancuran sosial budaya pada masa yang akan datang. Berkenaan dengan itu, adanya suatu strategi untuk pembangunan di segala bidang termasuk perencanaan perumahan agar memberikan hal positif baik terhadap kehidupan sosial budaya, pariwisata dan kehidupan lainnya untuk masa kini dan masa yang akan datang. Mengatasi keterbatasan lahan, diperlukan strategi di dalam perencanaan, sehingga memenuhi persyaratan perumahan yang sehat dan dicapai dengan terpenuhinya unsur-unsur fisik, psikologi, dan sosial oleh penghuni dalam

5 menggunakan rumah tersebut. Setiap komunitas masyarakat biasanya mempunyai tata aturan di dalam kehidupannya. Tata aturan ini mengatur kehidupan manusia dalam kaitan dengan antar manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa. Tata aturan ini seringkali disebut adat-istiadat atau adat, hukum adat. Suatu realita bahwa sebagian besar masyarakat adat ada yang masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan terus-menerus secara turun-temurun. Perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan perkembangan perkotaan yang sangat pesat, tampaknya sangat sulit untuk membendung konversi lahan pertanian, namun yang perlu dilakukan adalah mengarahkan proses ini secara lebih bijaksana, tidak hanya menguntungkan sekelompok pihak tertentu saja dan mengikuti suatu rencana dan prosedur serta proses yang dampaknya tidak merugikan masyarakat luas. Perlunya mempertahankan fungsi lahan sebagai sumber daya ekonomi dan sumber daya ekologis untuk penunjang kehidupan masyarakat, sehingga tetap berfungsi optimal dan layak unuk diwariskan kepada generasi mendatang. Secara garis besar alih fungsi lahan pertanian, khususnya sawah ke non-pertanian telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Alih fungsi kawasan pertanian subur beririgasi teknis, jelas merupakan pemborosan dalam investasi pembangunan irigasi yang telah dilakukan. Dalam perkembangan kota yang sangat cepat, penyediaan lahan merupakan kendala utama. Tidak mengherankan bila harga lahan di pusat perkembangan atau kota, membumbung dengan luar biasa. Kehadiran suatu kebijakan pengembangan lahan perkotaan,

6 termasuk penyediaan lahan untuk perkembangan kota, semakin penting untuk diagendakan. Salah satu komponen perkotaan yang membutuhkan lahan yang sangat luas adalah perumahan. Untuk itu perlu dilihat secara spesifik mengenai kecenderungan kebutuhan lahan bagi perumahan, khususnya bagi perumahan sederhana dan sangat sederhana. Masalah kelangkaan lahan khususnya di perkotaan di masa yang akan datang akan semakin memacu konversi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Pengupayaan peningkatan efektifitas perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi untuk pendayagunaan sumber daya tanah, yakni dengan memperkuat proses dan prosedur perencanaan, perbaikan pelaksanaan pengembangan sumber daya tanah, memperkuat proses dan prosedur perencanaan, perbaikan mekanisme dan pelaksanaan serta pengembangan sumber daya manusia perencana. Ukuran keberhasilan kinerja pembangunan seharusnya mulai digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Perbaikan sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya. Kebijakan perumahan ke depan harus lebih berani melakukan reorientasi strategi dari yang sebelumnya hanya bertumpu pada pelaku bisnis perumahan dengan orientasi mengambil keuntungan sebanyak mungkin menjadi fokus pada pelaku pembangunan yang lain yang lebih luas dan lebih berorientasi pada kepentingan pembangunan perumahan yang berkesinambungan. Upaya-upaya kebijakan yang akan dilakukan dapat terarah pada peningkatan kemampuan dari kapasitas kelembagaan, administrasi, dan manajemen pertanahan; peningkatan efisiensi, keberlanjutan dan pemerataan; peningkatan efektivitas peraturan-peraturan terkait dan pengembangan sumber daya manusia. Menurut Kepala Badan Pengendali Pertanahan Daerah (BPPD)

7 Sleman Sunaryo, pengembangan perumahan di kawasan perkotaan tesebut dilaksanakan sesuai dengan rencana detail tata ruang dan atau rencana tata ruang yang lebih rinci. Untuk lokasi pengembangan perumahan yang belum diatur, pembangunan perumahan harus memenuhi sejumlah ketentuan. Di antaranya, kapling minimal untuk kawasan resapan air 200 m2 dan di luar kawasan resapan air 125 m2, koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum untuk kawasan resapan air 40% dan di luar kawasan resapan air 50%, koefisien tutupan lahan kapling (KTLK) maksimum untuk kawasan resapan air 70% dan di luar kawasan resapan air 80% serta koefisien tutupan lahan lingkungan (KTLL) maksimum untuk kawasan resapan air 60% dan di luar kawasan resapan air 70% (www.bppd.slemankab.go.id, 8 April 2008). Mensinergikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengutamakan peran masyarakat secara intensif. Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berkeadilan sosial dalam lingkungan hidup yang lestari dan berkesinambungan melalui penataan ruang. Penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang mutlak dibutuhkan dalam rangka menjamin hak kepemilikan setiap orang, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dan mengelola perkembangan pembangunan yang terjadi. Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah, tertarik untuk melakukan penelitian tentang: Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Kebijakan

8 Pemerintah Daerah Untuk Pengembangan Lahan Perumahan Di Kabupaten Sleman. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal tercermin dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman? b. Bagaimanakah perwujudan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengembangan lahan perumahan yang dilakukan oleh pengembang di kabupaten Sleman? 2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan menarik untuk diteliti. Berdasarkan ketertarikan, maka penelitian ini diadakan dengan mengambil permasalahan bagaimana nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan dan bagaimana pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman. Sepanjang pengetahuan, penelitian serupa belum pernah diadakan. Ada penelitian yang juga mengemukakan hal kebijakan pemerintah, seperti: a. Judul: Upaya Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bentuk kerjasama yang selama ini dilakukan oleh pihak investor dan masyarakat setempat sehingga dapat saling memberikan keuntungan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dalam pengembangan usaha pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta.Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui

9 Kerjasama Swasta Dan Masyarakat Dalam Rangka Kebijakan Otonomi Daerah Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Diajukan Oleh: Lusia Nia Kurnianti, No. Mhs.: 99.474/PS/MIH Tujuan penelitian: 1) Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bentuk kerjasama yang selama ini dilakukan oleh pihak investor dan masyarakat setempat sehingga dapat saling memberikan keuntungan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dalam pengembangan usaha pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2) Untuk mengetahui realisasi dari upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai hasil kerjasama dari pihak swasta tersebut dengan masyarakat setempat. 3) Untuk mengetahui lebih lanjut upaya pemerintah daerah dalam memainkan peranannya sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan proyek penanaman modal di daerah sehingga optimalisasi fungsi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya dapat terwujud berdasarkan harapan masyarakat. Hasil penelitian: Adanya upaya dan tanggung jawab dalam membentuk suatu koordinasi yang baik dengan melakukan kerjasama antar daerah akan dapat ikut membantu menyelesaikan timbulnya permasalahan yang terjadi di daerah yang satu maupun di daerah yang lain dengan cara bertukar pengalaman untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap positif bagi peningkatan pelaksanaan investasi melalui pengembangan potensi pariwisata di daerah.

10 b. Judul: Kebijakan Hukum Pemerintah Provinsi Papua Terhadap Pengembangan Usaha Kecil. Diajukan oleh: Subani, No. Mhs.: 071167/PS/MIH Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kebijakan hukum pemerintah provinsi Papua terhadap pengembangan usaha kecil terhadap kebijakan peningkatan usaha kecil masyarakat Papua dalam penegakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil serta proses tersebut mampu dilakukan oleh pemerintah daerah sekaligus yaitu masyarakat Papua. Hasil penelitian: Pembinaan dan pengebangan upaya yang dilakukan pemerintah, dunia usahadan masyarakat melalui pembinaan bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh. Pada saat yang sama, tidak dapat menutup mata terhadap tuntutan dan harapan dari orang-orang asli Papua agar tingkat kehidupan orang asli Papua menjadi lebih baik, khususnya dalam era otonomi khusus. Hal ini penting, karena menyadari adanya kesenjangan pelaku-pelaku ekonomi rakyat antara orang asli Papua dengan masyarakat pendatang. Otonomi khusus bagi provinsi Papua pada hakekatnya, adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perekonomian nasional dan pasar global membutuhkan adanya keputusan oleh penguasa daerah yang mampu memproteksi segala kepentingan di provinsi Papua.

11 3. Manfaat Penelitian a) Secara teoritis, hasil penelitian ini selain untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Magister Hukum di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum dalam bentuk wacana atau pustaka tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman. b) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat tentang bagaimana nilai-nilai kearifan lokal dapat tercermin dalam kebijakan pemerintah daerah dan bagaimana pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman. B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui perwujudan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengembangan lahan perumahan yang dilakukan oleh pengembang di kabupaten Sleman.

12 C. Kerangka Penulisan Bab I Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, dan kerangka penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman, menguraikan tentang perwujudan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengembangan lahan perumahan yang dilakukan oleh pengembang di kabupaten Sleman. Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan antropologi hukum tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan nilainilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah dalam pengembangan lahan perumahan di kabupaten Sleman, bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel, jurnal, pendapat hukum dari para sarjana hukum dan praktisi hukum, bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini menguraikan monografi daerah kabupaten Sleman, nilai-nilai kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan perumahan di kabupaten Sleman, dan pendapat narasumber mengenai kebijakan

13 pemerintah daerah yang mengatur tentang pengembangan perumahan di Kabupaten Sleman. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang dikemukakan dan saran-saran yang diajukan oleh penulis terhadap hasil penelitian.