RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat


BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian.

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL IMIGRASI NOMOR IMI-1489.UM TAHUN 2010 TENTANG PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber:

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL

KEBIJAKAN BEBAS VISA KUNJUNGAN

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SATRESKRIM POLRES Kebumen. Pantai Mekaran Kebumen bahwa: Bangladesh dan Nepal.

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

PROVINSI SUMATERA BARAT PROVINSI RIAU PROVINSI JAMBI RUDENIM PEKANBARU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Imigrasi. Rumah Detensi.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

Analisis Kebijakan Keimigrasian dalam Upaya Pencegahan Penyelundupan Orang dan Imigran Gelap di Indonesia

ANAK INDONESIA. Adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

I. PENDAHULUAN. Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di muka maka dapat. disimpulkan bahwa:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

RechtsVinding Online

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan (Masukan Komnas Perempuan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia selanjutnya disebut sebagai 'Para Pihak';

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Institute for Criminal Justice Reform

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan Rohang dan saat ini lebih dikenal dengan Rakhine. Itu sebabnya orangorang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

FUNGSI LEGISLASI: PEmbENtUkAN dan PELAkSANAAN beberapa UNdANG-UNdANG republik INdoNESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1994 TENTANG: SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. (born) human beings has inherent dignity and is inviolable (not-to be-violated),

LAPORAN. Penelitian Individu

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DHAHANA PUTRA DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPPRES 116/1999, BADAN KOORDINASI NARKOTIKA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

UNDANG-UNDANG KEINSINYURAN: Harapan Baru Tingkatkan Profesionalisme Insinyur Oleh: Wiwin Sri Rahyani*

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak lama menghadapi masalah dengan orang asing pencari suaka dan pengungsi. Berada di antara negara negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000, 2001, dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi pada tahun 2003-2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun 2009 dengan jumlah 3,230 orang meminta perlindungan melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Saat ini mayoritas pencari suaka tersebut datang dari Afghanistan, Myanmar dan Somalia. (Data kedatangan pencari suaka yang mendaftarkan diri di UNHCR dari tahun ke tahun: 385 di tahun 2008; 3,230 pada tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010 dan 4,052 di tahun 2011, 7,223 di tahun 2012, dan 8,332 di tahun 2013). Sejauh ini penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal, karena terkendala belum adanya peraturan pelaksana berupa peraturan presiden yang diamanatkan Pasal 25 dan Pasal 27 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang mengamanatkan agar dibentuknya keputusan presiden terkait pelaksanaan kewenangan pemberian suaka kepada orang asing dan pokok-pokok kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri, namun nomenklatur aturan tersebut akhirnya diubah menjadi peraturan presiden, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juga tidak mengatur masalah orang asing pencari suaka dan pengungsi. Direktorat Jenderal Imigrasi berfungsi sebagai institusi penjaga pintu gerbang yang berwenang melakukan penanganan terhadap lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, termasuk di dalamnya orang asing pencari suaka dan pengungsi, namun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia, dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi sehingga menyebabkan Indonesia belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia saat ini hanya dapat memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pencari suaka dan pengungsi, dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.

Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Perundang- Undangan di Indonesia Dalam beberapa peraturan perundang-undangan Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain, seperti dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain, dalam TAP MPR Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain, serta dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengamanatkan peraturan pelaksana tentang penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi. Namun, rancangan peraturan pelaksana yang berupa rancangan peraturan presiden tersebut masih dalam proses pembahasan. Pada Pasal 25 kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan menteri. Pelaksanaan kewenangan tersebut diamanatkan diatur dengan Keputusan Presiden. Di Pasal 27 Presiden juga menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri juga dengan memperhatikan pertimbangan menteri. Pokok-pokok kebijakannya juga diamanatkan diatur dengan Keputusan Presiden. Adapun maksud Pasal 25 dan Pasal 27 UU Nomor 37 Tahun 1999 yang mengamanatkan aturan kebijakan masalah penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi diatur dengan Keputusan Presiden, karena pada masa itu Keputusan Presiden masih masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan. Setelah disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ditentukan bahwa Keputusan Presiden tidak lagi termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan. Implikasi Ketiadaan Peraturan Pelaksana tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengenal istilah pencari suaka ataupun pengungsi, serta dalam norma yang diatur, Indonesia sama sekali tidak dibebani kewajiban apapun (hukum, sosial, dan politik) dalam menangani masalah pencari suaka dan pengungsi. Indonesia menjadi salah satu tempat favorit para pencari suaka ataupun pengungsi internasional sebagai tempat singgah. Persoalan muncul ketika pemerintah tidak tanggap dalam menangani para pencari suaka dan pengungsi itu. Karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967, maka pemerintah tak bisa langsung menetapkan status sebagai pencari suaka atau pengungsi. Penentuan status dilakukan oleh UNHCR yang memakan waktu yang lama. Kondisi ini diperparah dengan belum adanya

peraturan pelaksana yang mengatur perihal serupa. Indonesia memang memiliki Hubungan Luar Negeri yang mengamanatkan tentang pengungsi dan pencari suaka. Seharusnya ketentuan itu ditindaklanjuti, tetapi sudah lima belas tahun berlalu peraturan pelaksana itu tak kunjung disahkan dan masih terus dalam proses pembahasan. Akibatnya, ketika ada sekelompok orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia, mereka dikategorikan sebagai imigran gelap yang melakukan pelanggaran administrasi imigrasi sebagaimana UU Keimigrasian. Sehingga kelompok orang asing itu dikelompokan menjadi satu dan ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Pemerintah Indonesia bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Oleh karena itu, penentuan status pengungsi atau pencari suaka terhadap para imigran dilakukan oleh UNHCR. Penentuan tersebut menjadi penting untuk mencegah para pembonceng yang memiliki motif yang berbeda. Pembonceng itu biasanya terkait dengan kegiatan pidana seperti human trafficking, terkait kejahatan perang dan lain sebagainya. Di sisi lain, lamanya masa tunggu bagi para pengungsi dan pencari suaka atas kejelasan statusnya berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Pasalnya lamanya proses kejelasan status itu dapat menimbulkan tekanan psikologis bagi para pengungsi dan pencari suaka. Pencari suaka dan pengungsi ini adalah masalah internasional tapi karena Indonesia menjadi tempat singgah maka masalah itu menjadi persoalan dalam negeri. Untuk mengatasinya perlu agar pemerintah meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Ada dua keuntungan yang diperoleh Indonesia jika meratifikasi. Pertama, pemerintah dapat menentukan sendiri status para pengungsi dan pencari suaka sehingga pemerintah dapat terlibat langsung dan berkontribusi dalam penanganan masalah ini sesuai kepentingan nasional. Dapat dipastikan juga bahwa pencarian suaka tidak dijadikan alat bagi pelarian orang yang terlibat tindak pidana dan kejahatan menurut hukum internasional. Kedua, pemerintah dapat menerima bantuan dan kerjasama internasional terkait penguatan kapasitas nasional dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komprehensif. Selain itu beban penanganan pencari suaka dan pengungsi tidak ditanggung seluruhnya oleh pemerintah tapi juga ditopang oleh solidaritas dan kerjasama dengan komunitas internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia dipilih sebagai negara transit diantaranya adalah pertama, Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang, namun, tidak didukung oleh aturan hukum yang tegas. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan bagi para pengungsi dan pencari suaka untuk memasuki wilayah Indonesia. Kedua, posisi Indonesia sangat lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Ketiga, kurangnya sarana dan

prasarana yang dimiliki dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka untuk mengawasi perairan Indonesia secara intensif. Keempat, keberadaan UNHCR di Jakarta juga menjadi daya tarik pengungsi. Kelima, kultur atau budaya masyarakat Indonesia yang dikenal dengan keramahannya, menimbulkan kesan masyarakat Indonesia dapat dengan mudah menerima kedatangan dan keberadaan para pengungsi. Dan keenam, Indonesia telah hidup rukun dengan berbagai macam suku, agama dan budaya yang beranekaragam. Keberadaan pencari suaka dan pengungsi yang jumlahnya cenderung meningkat inilah yang membuat usaha penanganannya terus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus atau peraturan hukum nasional mengenai pengungsi maupun pencari suaka. Indonesia memang memiliki acuan dalam pemberian suaka dan penanganan pengungsi seperti yang tertuang dalam UU Hubungan Luar Negeri. Akan tetapi pada pelaksanaanya peraturan tersebut kurang efektif dikarenakan sudah tidak up to date untuk menangani permasalahan pengungsi saat ini, dikarenakan undangundang tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana penanganan pengungsi yang harus dilakukan. Jika peraturan mengenai pencari suaka dan pengungsi ini tidak kunjung selesai diundangkan, bukan tidak mungkin suatu saat ekspansi pencari suaka dan pengungsi besar-besaran ke Indonesia akan mengancam kemanan nasional (misalnya penyusup, perdagangan orang, teroris, dan/atau peredaran narkoba). Seperti contoh pencari suaka banyak masuk ke Pekanbaru berasal dari Afghanistan yang jumlahnya lebih dari 400 orang dan rata-rata mereka berusia produktif 25-30 tahun. Masuknya pencari suaka dan pengungsi tersebut ke Indonesia, terjadi karena adanya sindikat internasional yang mencari keuntungan dari kondisi mereka di negara asal. Peraturan yang Diharapkan Peraturan pelaksanaan mengenai orang asing pencari suaka harus segera disusun walaupun amanat UU Hubungan Luar Negeri dalam bentuk keppres. Namun, dalam UU P3 ditentukan setiap keputusan Presiden yang bersifat mengatur yang sudah ada sebelum UU P3 berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan UU P3. Hal ini dikarenakan kedudukan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (regeling) dipersamakan dengan Peraturan Presiden. Perlu dipahami dalam teori perundangundangan, Peraturan Presiden merupakan peaturan yang besifat mengatur (regeling). Sedangkan, istilah Keputusan Presiden dibagi dalam dua bentuk, yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan menetapkan (beschikking). Adapun Keputusan Presiden yang dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 27 UU Hubungan Luar Negeri adalah yang bersifat mengatur (regeling), sehingga pengaturan Keputusan Presiden tersebut dalam bentuk Peraturan Presiden adalah benar menurut hukum.

Substansi rancangan peraturan presiden yang sudah ada harus berorientasi pada aspek keimigrasian dan tidak bertentangan dengan prinsip hukum keimigrasian Indonesia yang terkandung dalam UU Keimigrasian, agar semakin memperkuat koordinasi operasional antara UNHCR dan pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan pengungsi sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan internasional. * Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Perundang-Undangan pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia