BAB II KERANGKA TEORI. peneliti akan menjelaskan kerangka teori (landasan teori) yang merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

KERENTANAN (VULNERABILITY)

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

II. TINJAUAN PUSTAKA. sama penting dan setara dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Koordinasi

Powered by TCPDF (

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

GULANG BENCANA BENCAN DAERAH KABUPATEN KABUPATE MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN KENDAL

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

Empowerment in disaster risk reduction

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 6 Tahun : 2013

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI JAYAPURA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 4 TAHUN 2011

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 5 SERI E

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR: 10 TAHUN 2010

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah;

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

QANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHAKUASA GUBERNUR ACEH,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 2 TAHUN : 2010 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DARURAT BENCANA TSUNAMI ACEH

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E NOMOR 7 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012

- 1 - WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 1 TAHUN2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN BANYUMAS

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

MITIGASI BENCANA BENCANA :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR... TAHUN... TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN,

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KONTINJENSI BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORI Dalam melengkapi penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, maka peneliti akan menjelaskan kerangka teori (landasan teori) yang merupakan landasan berpikir dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti sehingga tergambarlah masalah yang disoroti oleh peneliti. II. 1. Koordinasi II. 1. 1. Pengertian Koordinasi Menurut Pearce II dan Robinson yang dimaksud dengan koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama. 15 Sedangkan menurut Stoner koordinasi adalah proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mncapai tujuan organisasi secara efisien. 16 Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa koordinasi merupakan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang mempunyai tujuan bersama yang menjadi sasaran dari kegiatan tersebut. 15 Ulber Silalahi, Pemahaman Praktis Asas-Asas Manajemen (Bandung: Mandar Maju), hlm. 242. 16 Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia, 1991), hlm. 12.

Sedangkan Brech, memberikan pengertian koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. 17 Fayol, menjelaskan bahwa coordinate (koordinasi) dalam bahasa Arab Tanssiq : yaitu usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Pada hakekatnya, yang dikoordinir itu adalah manusianya. 18 Fayol juga menambahkan bahwa koordinasi yang merupakan salah satu unsur manajemen mengartikan bahwa koordinasi adalah penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan. 19 Dalam melakukan koordinasi, diperlukan adanya kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain dan semua usaha dan kegiatan yang dilakukan bgerjalan sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Menurut PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah Pasal 1 ayat (1), koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh Kepala Wilayah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik 17 S. P. Melayu Hasibuan, Manajemen Pasar, Pengetian dan Masalah (Bandung: Bumi Aksara, 2001), hlm. 85. 18 Azhar Arsyad, Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan Eksekutif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 15. 19 Moekijat, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen Perusahaan (Bandung: Mandar Maju, 1985), hlm. 3.

perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua Instansi Vertikal, dan antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agar tercapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. Dari beberapa pengetian koordinasi di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah kerjasama antar unit atau bagian yang menciptakan keharmonisan kerja dalam melakukan proses kegiatan dalam mencapai tujuan bersama. II. 1. 2. Ciri-ciri Koordinasi Handayaningrat 20 mengatakan yang menjadi ciri-ciri koordinasi adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab dari pimpinan. Dikatakan bahwa pimpinan yang berhasil, karena telah melakukan koordinasi dengan baik. Yang kedua adalah koordinasi adalah suatu usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena kerjasama merupakan syarat mutlak terselenggaranya koordinasi dengan sebaik-baiknya. Lalu koordinasi adalah proses kerja yang terus-menerus, artinya suatu proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka tercapainya tujuan organisasi. Selanjutnya, adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini disebabkan koordinasi adalah konsep yang diterapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu tetapi sejumlah individu yang bekerja sama di dalam kelompok untuk tujuan bersama. Dan didukung oleh adanya konsep kesatuan 20 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm. 89-90.

tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti dari koordinasi. Hal ini berarti bahwa pimpinan harus mengatur usaha-usaha/tindakan-tindakan dari setiap kegiatan individu yang bekerjasama sehingga diperoleh adanya keserasian di dalam mencapai hasil bersama. Dan memiliki tujuan organisasi, yaitu tujuan bersama (common purpose). Kesatuan usaha/tindakan manusia/kesadaran/pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan bersama sebagai kelompok dimana mereka bekerja. Dari ciri-ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa yang merupakan ciri-ciri koordinasi adalah suatu usaha kerjasama yang dilakukan secara terus-menerus yang didukung adanya kesatuan usaha atau tindakan yang ditanggungjwabi oleh pimpinan. II. 1. 3. Jenis-Jenis Koordinasi Menurut Sugandha 21, beberapa jenis koordinasi sesuai dengan lingkup dan arah jalurnya yaitu menurut lingkupnya, terdapat koordinasi intern, yaitu koordinasi antar pejabat antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern, yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Kemudian menurut arahnya, terdapat koordinasi horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar yang mempunyai tingkat hierarki yang sama dalam suatu organisasi dan antar pejabat dari organisasi-organisasi yang setingkat, 21 Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia, 1991), hlm. 25.

koordinasi vertikal yaitu koordinasi antar pejabat dari unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasannya langsung, juga cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi induknya, koordinasi diagonal koordinasi antar pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkinya dan koordinasi fungsional yaitu koordinasi antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah, terdapat koordinasi fungsional, antara dua atau lebih instansi yang mempunyai program yang bekaitan erat, koordinasi instansional, terhadap beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang bersangkutan dan koordinasi territorial, terhadap dua atau lebih wilayah dengan program tertentu. II. 1. 4. Prinsip-Prinsip Koordinasi Menurut Sugandha 22, beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adanya kesepakatan dan keastuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama, adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masingmasing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau 22 Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia, 1991), hlm.47.

loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan. Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalahmasalah yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu. Dari pendapat Sugandha di atas, dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah adanya tindakan dalam menyatukan informasi yang disetai dengan ketaatan terhadap pertauran dan kepemimpinan. II. 1. 5. Mekanisme dan Proses Koordinasi Menurut Sugandha, mekanisme koordinasi 23 yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi (untuk kerjasama antarinstansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya dan peranan dari tiap pihak yang terlibat, harus dapat menciptakan organisasinya sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang 23 Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia, 1991), hlm. 27-46.

mampu memimpin organisasi-organisasi lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan disiplin kerja tiap pihak yan terlibat, terciptanya koordinasi di dalam suatu organisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu system, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong. Siagian 24 berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi. Dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga komunikasi dan hubungan antara pimpinan dengan bawahannya dalam kegiatan koordinasi. 24 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan (Jakarta: Gunung Agung, 1991), hlm. 11.

II. 1. 6. Hambatan dalam Pengkoordinasian Menurut Handayaningrat 25, yang menjadi hambatan-hambatan dalam mengkoordinasi adalah sebagai berikut, yaitu hambatan-hambatan dalam koordinasi vertical (struktural). Dalam koordinasi vertical (struktural) sering terjadi hambatan-hambatan, disebabkan perumusan tugas, wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap satuan kerja (unit) kurang jelas. Di samping itu adanya hubungan dan tata kerja yang kurang dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan kadang-kadang timbul keragu-raguan di antara yang mengkoordinasi dan yang dikoordinasi ada hubungan dalam susunan organisasi yang bersifat hierarki. Dan ada pula hambatan-hambatan dalam koordinasi fungsional. Hambatan-hambatan yang timbul pada koordinasi fungsional, baik yang horizontal maupun diagonal, disebabkan karena antara yang mengkoordinasi keduanya tidak dapat hubungan hierarki (garis komando). Hambatan-hambatan di atas menimbulkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan seseorang dalam melakukan usaha pengkoordinasian (dalam buku Sugandha) 26, yaitu kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri, 25 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm. 129. 26 Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia, 1991), hlm. 24-25.

kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya, kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di Pusat. II. 2. Penanggulangan Bencana II. 2. 1. Penanggulangan Diambil dari kata disaster management (penganggulangan bencana atau manajemen bencana), maka penanggulangan dapat diartikan sebagai manajemen. Fuad, dkk 27 berpendapat bahwa manajemen merupakan suatu proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan. Dan pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Pernyataan yang sama juga dikemukanan oleh Terry 28, yang mengatakan bahwa manajemen adalah suatu proses khusus yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber lainnya. Dengan kata lain, berbagai jenis kegiatan yang berbeda itulah yang membentuk manajemen sebagai suatu proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan sangat erat hubungannya. 27 M. Fuad, et. al,.pengantar Bisnis (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 94. 28 Inu Kencana Syafiie, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI) (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 117.

Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa adanya aktivitas-aktivitas khusus dalam manajemen yang terdiri dari beberapa proses, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Sementara Arsyad 29 mengatakan bahwa manajemen merupakan strategi dan cakupan pikiran yang tercanangkan sebelum proses atau aplikasi rutin di lapangan dilaksanakan. Namun, proses manajemen berlaku sepanjang masa dan tiada berhenti pada satu titik waktu tertentu. Gibson 30 mengatakan bahwa manajemen dapat didefinisikan sebagai suatu proses, yakni sebagai suatu rangkaian tindakan, kegiatan, atau operasi yang mengarah kepada beberapa sasaran tertentu. Sedangkan Thoha 31 berpendapat bahwa manajemen merupakan jenis pemikiran yang khusus dari kepemimpinan di dalam usahanya mencapai tujuan organisasi. Dari beberapa pendapat mengenai manajemen di atas, mengartikan bahwa manajemen merupakan sebuah pemikiran dan tindakan yang dilakukan secara rutin untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, dapat disimpulkan bahwa penanggulangan merupakan suatu pemikiran dan tindakan dengan beberapa proses yang dilakukan secara rutin untuk mencapai tujuan tertentu. 29 Azhar Arsyad, Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan Eksekutif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 9. 30 Gibson, et. al,. terj. Djarkasih, Organisasi (Jakarta: Erlangga, 1994), hlm. 36. 31 Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 8.

II. 2. 2. Bencana Menurut Asian Disaster Resources and Respons Network (ADDRN) 32, bencana merupakan sebuah gangguan serius terhadap berfungsinya sebuah komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian dan dampak yang meluas terhadap manusia, materi, ekonomi dan lingkungan, yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Sedangkan menurut Purnomo dan Sugiantoro istilah bencana dari beberapa orang, meskipun beragam, namun pada akhirnya, semuanya mengindikasikan sebagai peristiwa buruk yang merugikan kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (1), bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana itu dibagi tiga jenis menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu: 33, pemahaman tentang 32 Asian Resources and Response Network (ADDRN). Terminologi Pengurangan Risiko Bencana. 2010. 33 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 9.

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. (Pasal 1 ayat (2)) 2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. (Pasal 1 ayat (3)) 3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. (Pasal 1 ayat (4)) Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bencana merupakan suatu peristiwa yang terjadi secara sengaja dan tidak sengaja yang pada akhirnya mengganggu dan merugikan kehidupan banyak orang. II. 2. 3. Penanggulangan Bencana Manajemen bencana seperti yang didefinsikan Agus Rahmat 34, merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen bencana. Dan menurutnya, tujuan kegiatan ini adalah untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak 34 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 93.

berwenang mengenai risiko, dan mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Adapun Carter 35 mendefinisikan pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan. Dan menurutnya, tujuan dari manajemen bencana di antaranya, yaitu mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat negara, mengurangi penderitaan korban bencana, mempercepat pemulihan, dan memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa asas-asas penanggulangan bencana, yaitu kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, keselarasan, dan keserasian, ketertiban dan 35 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 93.

kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di ayat (2) digambarkan prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana, yaitu cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, nondiskrimatif dan nonproletisi. Adapun yang menjadi tujuan dari penanggulangan bencana (Undang- Undang No. 24 tahun 2007 Pasal 4), yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat dan ancaman bencana, menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan public serta swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan dan, menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam penanggulangan bencana di atas, dapat dilihat bahwa yang merupakan salah satu prinsip dan tujuan penanggulangan bencana adalah koordinasi sehingga dapat disimpulkan koordinasi sangat berhubungan erat dengan penanggulangan bencana melalui tahapan-tahapan yang dilakukan pada sebelum, saat dan sesudah bencana terjadi.

II. 2. 4. Upaya Penanggulangan Bencana Ada beberapa upaya dalam menanggulangi bencana seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu: 1. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. (Pasal 1 ayat (6)) 2. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (Pasal 1 ayat (7)) 3. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. (Pasal 1 ayat (8)) 4. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (Pasal 1 ayat (9)) 5. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. (Pasal 1 ayat (10))

6. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (Pasal 1 ayat (11)) 7. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. (Pasal 1 ayat (12)) Dari pengertian-pengertian di atas mengenai beberapa upaya penanggulangan bencana, maka dapat disimpulkan bahwa ada banyak kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan untuk mengatasi dan mencegah resiko bencana terjadi yang bertujuan untuk mengembalikan sumber-sumber daya di wilayah yang terkena bencana tersebut. Berikut merupakan tahapan-tahapan bencana yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian protection (perlindungan) dan recovery (pemulihan).

Gambar II. 1. Lingkaran Tahapan Manajemen Bencana 36 RISK MANAGEMENT Preparedness Early warning Mitigation Protection Reconstruction CRISIS MANAGEMENT Rehabilitation Recovery Damages, Losses & Needs Assessment, and Master Plan/Action Plan Formulation Emergency Responses/ Humanitarian Relief Lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) yang terdiri dari dua kegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness Ada beberapa ahli yang menyebutkan istilah tahapan yang berbeda-beda. 36 www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8842/

Tabel II. 1. Tahapan Bencana Menurut Para Ahli 37 Peneliti Tahapan Wolensky (1990) Sebelum bencana (mitigation and preparedness) Tanggap darurat (immadiate pre and post impact) Pemulihan jangka dekat (dua tahun) Pemulihan jangka panjang (sepuluh tahun) Waugh (2000) Peringatan (prevention) Perencanaan dan persiapan (planning and preparedness) Tanggapan (response) Pemulihan (recovery) Helsloot Ruitenberg (2004) dan Peringatan (preparedness) Emergensi (emergency) Pemulihan (recovery) Menurut UNDP (dalam Purnomo dan Sugiantoro) 38, tahapan-tahapan tersebut dapat dibedakan berdasarkan serangan bencana yang datangnya cepat dan lambat. 37 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 87. 38 Ibid.

Gambar II. 2. Serangan Bencana yang Cepat 39 (Fase Pengurangan Resiko Prabencana) Dampak Bencana Kesiapan Bantuan Mitigasi Rekonstruksi Rehabilitasi Fase Pemulihan Bencana Pada gambar di atas, dapat dilihat bagaimana fase serangan bencana yang cepat. Ketika bencana terjadi dan menimbulkan dampak bencana, maka tahaptahap yang segera dilakukan adalah mengirimkan bantuan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini merupakan fase pemulihan pasca bencana. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan mitigasi dan kesiapsiagaan dengan tujuan untuk kewaspadaan apabila bencana tersebut datang lagi. Dua tahap ini merupakan fase pengurangan risiko pra-bencana. 39 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 88.

Gambar II. 3. Serangan Bencana yang Lambat 40 (Fase Pengurangan Resiko Prabencana) Dampak Bencana Peringatan Dini Emergensi Kesiapan Bantuan Mitigasi Rehabilitasi Fase Pemulihan Bencana Gambar di atas menunjukkan bagaimana fase serangan bencana yang lambat. Berbeda dengan fase serangan bencana yang cepat, fase ini dimulai dari tahap peringatan dini dan peringatan dini ini dilakukan saat bencana terjadi sehingga menimbulkan tindakan darurat (emergensi) dan pada akhirnya bantuan datang saat dampak bencana terjadi. Tahap yang dilakukan selanjutnya adalah rehabilitasi. Ini merupakan fase pemulihan pasca bencana. Karena serangan yang terjadi lambat dan telah dilakukan peringatan dini sebelumnya, maka kerusakan yang terjadi pada sarana dan pra sarana tidak terlalu parah sehingga tidak perlu 40 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 88.

dilakukan rekonstruksi. Setelah itu, dilakukanlah tahap mitigasi dan kesiapsiagaan yang merupakan fase pengurangan risiko pra-bencana. Dalam bukunya, Purnomo dan Sugiantoro 41 menjelaskan tentang tahapantahapan atau fase-fase dalam bantuan bencana yang dikenal dengan siklus penanganan bencana (disaster management cycle). Siklus manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan bencana yang pada intinya merupakan tindakan prabencana, menjelang bencana, saat bencana, dan pascabencana. Gambar II. 4. Diagram Siklus Pengelolaan Bencana 42 Saat Menjelang Dampak Becana Saat Bencana Pra Bencana Persiapan dan Kesiagaan Respons/tindakan darurat dan pertolongan (relief) Mitigasi (Pengurangan Pencegahan (Precentif) Action Jauh Sebelum Bencana Pemulihan/Recover Penelitian/Studi Perencanaan dan pengembangan Pasca Bencana Ket: = fokus masalah 41 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010), hlm. 89. 42 Ibid, hlm. 90.

Gambar di atas menunjukkan tahap-tahap yang dilakukan dalam pengelolaan bencana. Jauh sebelum bencana terjadi, tahap-tahap yang dilakukan adalah perencanaan dan pengembangan melalui penelitian yang telah dilakukan, action plan, dan pencegahan. Ketika pra-bencana, tahap-tahap yang perlu dilakukan adalah melanjutkan pencegahan yang telah dilakukan jauh sebelum bencana dan mitigasi. Saat menjelang bencana perlu dilakukan persiapan dan kesiagaan untuk kewaspadaan apabila bencana tiba-tiba terjadi. Ketika bencana terjadi, maka akan menimbulkan dampak bencana dan harus segera dilakukan tindakan darurat dan pertolongan. Pasca-bencana dilakukan tahap pemulihan dan penelitian agar dapat ditemukan solusi bagaimana mencegah dan mengurangi bencana tersebut datang kembali dalam bentuk perencanaan. Demikianlah siklus pengelolaan bencana terus berputar. II. 3. Banjir Menurut Departemen Komunikasi dan Informatika 43 banjir adalah meluapnya air dari saluran dan menggenangi kawasan sekitranya. Sedangkan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana 44 banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. 43 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Memahami Bencana (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2008), hlm. 29. 44 http://www.bnpb.go.id/website/asp/benc.asp?p=10, diakses pada tanggal 6 Nopember 2011 pukul 20:15 WIB.

UNDP (United Nations Development Programme) mengatakan bahwa bencana yang selalu terjadi setiap tahun di Indonesia terutama pada musim hujan. Berdasarkan kondisi morfologinya, bencana banjir disebabkan oleh relief bentang alam Indonesia yang sangat bervariasi dari bnayaknya sungai yang mengalir di antaranya. Sedangkan Kodoatie dan Sugiyanto 45 mengatakan bahwa penyebab banjir ada dua kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Berikut adalah banjir yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainasi yang tidak memadai dan pengaruh air pasang. Dan penyebab banjir yang termasuk sebab-sebab karena tindakan manusia adalah perubahan kondisi DPS, kawasan kumuh, sampah, drainasi lahan, bendung dan bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir dan perencanaan system pengendalian banjir tidak tepat. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa banjir merupakan mengalirnya air melebihi biasanya yang dapat terjadi secara sengaja dan tidak sengaja. 45 Robert J. Kodoatie dan Sugiyanto, Banjir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 78-79.

II. 4. Defenisi Konsep Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. 46 Defenisi konsep bertujuan untuk menghindarkan interpretasi ganda atas variabel yang diteliti. Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan-batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka defenisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Koordinasi adalah kerjasama antar unit atau bagian yang menciptakan keharmonisan kerja dalam melakukan proses kegiatan dalam mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini yang menjadi indikator dari koordinasi adalah pendelegasian wewenang, pembagian kerja dan komunikasi. 2. Penanggulangan bencana adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana, baik bencana yang terjadi karena alam maupun bencana yang terjadi akibat ulah manusia, melalui beberapa tahapan yang dilakukan sebelum, pada saat, dan sesudah bencana terjadi. Dan yang menjadi fokus peneliti adalah pada pasca bencana dengan tahapan pemberian bantuan, rehabilitasi, rekonstruksi dan perencanaan jauh sebelum bencana itu terjadi lagi. 46 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1995), hlm. 33.

3. Banjir merupakan mengalirnya air melebihi biasanya yang dapat terjadi secara sengaja dan tidak sengaja. Dalam hal ini yang menjadi indicator dari banjir adalah tinggi muka air dan curah hujan. 4. Koordinasi dalam upaya penanggulangan bencana banjir adalah bagaimana kerjasama antar unit bagian, lembaga intern dan lembaga ekstern serta masyarakat dalam menciptakan keharmonisan kerja sehingga tercapailah upaya yang dilakukan untuk menanggulangi bencana banjir, yang merupakan tujuan bersama.