BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II UJUNG PANDANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 8 TAHUN 2014

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

ALUR PERADILAN PIDANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II MAROS NOMOR : 01 TAHUN 1989 T E N T A N G

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat yang lazim disebut dengan UUD 1945. Ketentuan-ketentuan didalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang lazim disebut dengan KUHAP adalah merupakan realisasi dari asas negara hukum yang mengatur ketentuan tentang cara proses pidana mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan dan Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang didalamnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang dalam proses pidana. Proses pidana yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang penangkapan yang error in persona (kesalahan mengenai orangnya) dan hal ini tidak lepas dari tahapan-tahapan penangkapan, pemeriksaan tersangka (introgasi) pada tingkat penyidikan. Penyelidikan ada kalanya dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan kecuali dalam hal tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP), dimana didalam Pasal 1 butir 5 KUHAP menyebutkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatlah diketahui bahwa fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi serta dituangkan 1

2 dalam bentuk laporan yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Penyidikan yang dimaksud didalam Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan pada rumusan tersebut secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya suatu tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang kebenaran terjadinya suatu tindak pidana, kapan tindak pidana itu dilakukan (tempus delicti), dimana tindak pidana itu dilakukan (locus delicti), dengan apa tindak pidana itu dilakukan, bagaimana tindak pidana itu dilakukan, mengapa tindak pidana itu dilakukan dan siapa pelakunya. KUHAP telah mengatur mengenai tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti telah terjadi suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana tercantum didalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagai berikut ; 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama di tempat terjadinya perkara; 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

3 tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan surat; 5. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 6. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8. Mengadakan penghentian penyidikan; 9. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik dalam melakukan penangkapan harus benar-benar memperhatikan ketentuan atau aturan hukum yang berlaku. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik ketika hendak melakukan penangkapan sebagaimana diatur didalam Pasal 17 KUHAP haruslah memenuhi unsurunsur sebagai berikut, yaitu : 1. Seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana. 2. Dugaan yang kuat itu harus didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Pengertian dari bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana antara lain berupa laporan pengaduan, keterangan, dan barang bukti yang ditemukan ditempat kejadian perkara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 17 jo Pasal 1 butir 14 KUHAP. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP juga menunjukan bahwa penangkapan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang melainkan

4 hanya ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan suatu tindak pidana dan hanya boleh dilakukan untuk satu kali 24 jam setelah itu harus sudah dilepas jika tidak cukup bukti. Penangkapan sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Perihal mengenai penangkapan hanya terjadi apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan sehingga penyidik tidak bisa sewenang-wenang melakukan suatu penangkapan. Penyidik juga harus mengetahui tentang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka agar dalam hal penyidikan polisi tidak melanggar hak-hak tersebut. Tersangka dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik berhak memberikan keterangan secara bebas, harus dijauhkan dari rasa takut, oleh karenanya wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka, maksudnya supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya. Tersangka dalam pemeriksaan dimaksud tidak diperlakukan sebagai obyek melainkan harus diperlakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku melakukan suatu perbuatan dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancamanancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam Pasal 52 KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik bukan untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi adalah untuk mendapatkan

5 keterangan tersangka mengenai kebenaran telah terjadi suatu perbuatan pidana yang dipersangkakan kepada tersangka tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat terlihat bahwa penyidik diberi wewenang untuk menangkap seseorang, tetapi dalam realitasnya kadang kala terjadi kasus kasus salah tangkap yang antara lain sebagai berikut: 1. Kejadian salah tangkap pernah terjadi pada tahun 1974 yaitu kasus yang menimpa Sengkon dan Karta yang terpaksa harus menjalani pidana penjara bertahun-tahun atas suatu kejahatan pembunuhan yang tidak pernah sama sekali mereka lakukan. 1 2. Ada juga kasus salah tangkap yang menimpa salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di daerah yogyakarta yang bernama halis sabri. Halis sabri ditangkap oleh polisi hari Jum at tanggal 4 Juni 2010 dengan tuduhan sebagai pelaku pemerkosaan. 2 3. Peristiwa Gorontalo pada tahun 2002 dimana sepasang suami istri yakni Risman Lakoro dan Rostin Mahaji disangka dan didakwa melakukan pembunuhan terhadap putri kandung mereka Alta Lakoro dan akhirnya dijatuhi pidana 3 tahun penjara namun beberapa tahun kemudian setelah mereka selesai menjalani pidana, putri kandung mereka tersebut kembali kerumah dalam keadaan sehat walaffiat. 3 1 http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html, senin 12 September 2010 2 http://www.zonaindo.com/2010/06/salah-tangkap-mahasiswa-polda-diy.html, tanggal 15 September 2010 3 http://www.antaranews.com/print/69586/pln-plans-to-allocate-rp62-tln-for-capex-next-year, tanggal 11 september 2011

6 Mengacu pada peristiwa-peristiwa tersebut diatas maka seorang penyidik didalam melakukan kewenanganya pada proses penyidikan tidak diperbolehkan melakukan penangkapan secara sewenang-wenang karena suatu penangkapan harus berdasarkan bukti awal yang cukup untuk menentukan apakah benar-benar seseorang telah melakukan suatu tidak pidana. Seseorang berdasarkan bukti awal yang tidak cukup untuk dikatakan telah malakukan suatu tindak pidana seyogyanya penyidik tidak diperkenankan melakukan suatu penangkapan terhadap seseorang tersebut, bilamana penyidik melakukan hal tersebut berarti dia telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur didalam KUHAP dan juga akan menimbulkan penderitaan bagi orang yang menjadi korban salah tangkap terebut. Oleh karena hal-hal yang telah diungkapkan diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PENYIDIK DAN PERLINDUNGAN KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PROSES PENYIDIKAN. B. Rumusan Masalah 1. Apa akibat hukum bagi penyidik yang terbukti melakukan salah tangkap? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian

7 a. Mengetahui bagaimana pertanggungjawaban hukum seorang penyidik yang terbukti telah melakukan tindakan salah tangkap serta apa akibat hukum yang dijatuhkan oleh korp Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap penyidik tersebut. b. Mengetahui bagaimana penegakan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap agar korban salah tangkap dapat memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak penyidik selama dalam proses penyidikan. 2. Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperdalam pemahaman penulis di bidang hukum pidana mengenai langkah-langkah pihak kepolisian khususnya dalam proses penyidikan oleh penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang yang patut diduga melakukan suatu tindak pidana berdasar pada bukti-bukti permulaan yang ditemukan oleh pihak penyelidik dalam proses penyelidikan. b. Bagi Ilmu Pengetahuan 1) Hasil yang akan didapat dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan ilmu bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya untuk pengembangan bidang ilmu hukum. 2) Hasil yang didapat diharapkan bermanfaat karena dapat memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran mengenai

8 bagaimana langkah-langkah pihak kepolisian dalam proses penyelidikan guna menentukan seorang tersangka yang akan diajukan ke proses penyidikan oleh pihak kepolisian serta akibat hukum bagi penyidik yang terbukti melakukan salah tangkap. c. Bagi Masyarakat Hasil yang akan didapat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan tambahan pengetahuan umum terhadap masyarakat agar masyarakat dapat lebih mengerti dan memahami mengenai bagaimana kinerja dan langkah-langkah pihak penyidik kepolisian pada proses penyidikan dalam menentukan tersangka yang akan diperiksa. d. Bagi Kepolisian Hasil yang akan didapat dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kepolisian terutama penyidik agar lebih teliti dalam proses penyidikan dan lebih hati-hati dalam menentukan tersangka yang akan diperiksa oleh pihak penyidik. D. Keaslian Penelitian Sepengetahuan saya sebagai penulis penelitian ini, permasalahan hukum yang saya teliti belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Namun apabila sudah ada peneliti lain yang telah meneliti sebelumnya dengan obyek yang sama, maka penelitian ini dapat menjadi pelengkap bagi hasil penelitian sebelumnya tersebut.

9 Dengan ini penulis menyatakan bahwa Penulisan Hukum / Skripsi ini merupakan hasil karya penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika Penulisan Hukum / Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan / atau sanksi hukum yang berlaku. E. Batasan Konsep Pengertian salah tangkap atau error in persona adalah suatu salah paham atau kekeliruan dari pihak kepolisian terhadap orang yang akan dituju. 4 Perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diperoleh dari pengertian tentang arti kata lindung, yaitu menempatkan diri atau bernaung dibawah suatu benda atau barang dengan tujuan untuk menghindar dari suatu hal yang dianggap dapat membahayakan diri. Pengertian hukum menurut M.H. Tirtaamiddjaja, SH adalah semua aturan yang harus ditaati dalam tingkah laku, tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahayakan diri sendiri atau harta. Pengertian proses adalah jalannya suatu perkara atau pemeriksaan suatu perkara. 5 Pengertian Penyidikan berdasar pada Pasal 1 butir 2 KUHAP jo Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara 4 Prof.Moeljatno,S.H, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm 193 5 J.C.T.Simorangkir, dkk, 2000, Kamus Hukum, Sinar Grafika Offset, jakarta, hlm 134

10 republik Indonesia adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Penyidikan berdasarkan Kamus Hukum adalah usaha dari kepolisian dan kejaksaan dalam pemeriksaaan pendahuluan untuk mencari dan mengumpulkan keterangan dan bukti-bukti yang menyangkut suatu tindak pidana. 6 Pengertian proses Penyidikan adalah suatu urutan pelaksanaan atau tahapan-tahapan yang dilakukan oleh kepolisian yang diatur oleh undangundang untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat membuat terang suatu peristiwa serta menentukan tersangkanya. Pengertian Penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP jo Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pengertian Penyidik Pembantu menurut Pasal 1 butir 3 KUHAP adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. 6 Ibid., hlm 125

11 Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, selanjutnya syarat-syarat untuk dapat menjadi penyidik lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP didalam Pasal 2 dan Pasal 3. Didalam Pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 tersebut mengatur mengenai syaratsyarat menjadi penyidik sebagai berikut : 1. Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda Pol). 2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. Penyidik Pegawai Negeri Sipil disini diangkat oleh menteri atas usul dari departemen yang membawakan departemen tersebut, yang sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada penjabat penyidik dimaksud dalam point 1 maka komandan sektor kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua polisi, karena jabatanya adalah penyidik. Didalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 tersebut mengatur mengenai syaratsyarat menjadi penyidik pembantu sebagai berikut:

12 1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Sersan Dua polisi. 2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu. Penyidik pembantu dalam point 1 dan 2 diangkat oleh kepala kepolisian republik indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masingmasing. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Ada pun jenis penelitian terbagi dalam beberapa bagian, yaitu: a. Penelitian hukum normatif Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum terdiri dari: 1) Penelitian tehadap asas-asas hukum. 2) Penelitian terhadap sistematika hukum. 3) Penelitian terhadap taraf sinkonisasi hukum. 4) Penelitian sejarah hukum. 5) Penelitian perbandingan hukum. b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris Penelitian hukum sosiologis atau emperis adalah penelitian hukum terdiri dari: 1) Penelitian terhadap identifikasi hukum. 2) Penelitian terhadap efektivitas hukum

13 c. Penelitian Doktrinal Penelitian hukum Doktrinal adalah penelitian hukum terdiri dari: 1) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif. 2) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif. 3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. 7 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap norma-norma hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. 8 Berdasarkan uraian diatas maka penulisan hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif yang memfokuskan pada norma hukum positif yang berapa peraturan perundang-undangan tentang kepolisian untuk menyelesaikan penulisan hukum mengenai pertanggungjawaban hukum penyidik dan perlindungan korban salah tangkap dalam proses penyidikan. d. Sumber data a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari : 1) Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 7 Bambang Sunggono, SH., M.S., 1996,Metodoli Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 41 8 Ibid., hlm. 42.

14 2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang dipakai berupa pendapat hukum yang diperoleh melalui kepustakaan, seperti : teori, asas asas, pendapat ahli, hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan mengenai pertanggungjawaban hukum penyidik dan perlindungan korban salah tangkap dalam proses penyidikan. e. Metode Pengumpulan Data Cara pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan bacaan yang berupa pendapat atau tulisan para ahli atau pihak yang berwenang, naskah-naskah resmi yang ada dan sumber-sumber lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yakni mengenai pertanggungjawaban

15 hukum penyidik dan perlindungan korban salah tangkap dalam proses penyidikan. b. Wawancara Wawancara yaitu dengan melakukan tanya jawab kepada narasumber untuk memperoleh jawaban mengenai salah tangkap dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, dengan melakukan wawancara kepada Bapak AKBP Budi Prayitno, S.H di kepolisian daerah istimewa yogyakarta, dimana peneliti telah menyusun pertanyaan secara terperinci dengan mengambil intinya, sehingga datadata yang diperoleh ada kaitannya dengan obyek yang diteliti yaitu mengenai pertanggungjawaban hukum penyidik dan perlindungan korban salah tangkap dalam proses penyidikan. f. Metode Analisis Data dari hasil penelitian baik di perpustakaan maupun di lapangan akan dianalisis secara diskriptif kualitatif yang berarti data diolah dan disusun dengan sistemetis dan kemudian disajikan dalam bentuk uraian kalimat yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh kesimpulan dari hasil penelitian dipergunakan metode berpikir deduktif yaitu pengambilan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan atau faktafakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. G. Sistematika Penulisan Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan

16 hukum ini menjadi 3 bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep dan metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini. BAB II : PEMBAHASAN Secara garis besar bab ini berisikan tinjauan umum tentang Kepolisian, tinjauan umum tentang Penyidikan, tinjauan umum tentang Penangkapn, Tanggung jawab Penyidik dan Perlindungan Korban Salah Tangkap Dalam Proses Penyidikan. BAB III : PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan pembahasan penulisan hukum ini.