BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara mengenai anak, adalah merupakan hal yang sangat penting

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

I. METODE PENELITIAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

Presiden, DPR, dan BPK.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. menindaklanjuti adanya laporan atau pengaduan tentang suatu perbuatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain baik secara preventif maupun represif. Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa, maka sudah barang tentu penegak hukum tidak akan mencapai sasarannya. Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum, sehingga segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadiladilnya, dan dengan adanya hukum pula diharapkan dapat dihindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun para penegak hukum itu sendiri. Hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera dan cepat, karena hukum membutuhkan adanya pembuktian untuk membuktikan benar atau tidak suatu tindak pidana telah terjadi, yang bisa jadi memakan waktu lama, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan kepentingan umum. 1 Proses pembuktian tindak pidana diatur dalam hukum acara pidana, sehingga melalui hukum acara ini, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dapat guna mencapai tujuan negara menegakan hukum pidana. 1 Sudarto, 1986, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hal. 111. 1

2 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukun dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2 Demikian pula setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tepat, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut. Apa yang diatur di dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, namun sekaligus juga bertujuan melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum. 3 Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah menyatakan hukum acara pidana sebagai berikut: Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 4 Hukum acara pidana sangat erat hubunganya dengan hukum pidana, bahkan hakekatnya hukum acara pidana itu termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hukum pidana sering disebut hukum sanctie yaitu merupakan suatu ancaman yang akan dilaksanakan dengan perantaraan alat masyarakat (Negara) badan pengadilan, apabila suatu kaidah hukum ternyata dilanggar. Dengan kata lain hukum pidana adalah semua peraturan-peraturan yang meliputi seluruh peraturan yang jika dilanggar diancam dengan hukuman badan atau denda. 5 2 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 8. 3 Moch.Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, hal. 1. 4 Andi Hamzah, op.cit., hal. 7. 5 Ibid., Hal. 2.

3 Hukum acara pidana Indonesia sejak 1981 diatur oleh undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berlakunya Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan yang dianut melalui undang-undang dimaksud sudah barang tentu mengakibatkan adanya perubahan dalam cara berpikir, yang kemudian mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara bertindak para aparat pelaksana penegak hukum secara keseluruhan. Dilihat dari segi ilmu pengetahuan hukum acara pidana, perubahan cara berpikir ini sangat penting artinya oleh karena kaitan dan konsekuensinya terhadap cara bersikap dan bertindak. Suatu undang-undang yang sekaligus akan menjadi tidak memiliki nilai-nilai (values) yang dianggap baik dan adil apabila tidak didukung oleh penghayatan yang baik atas nilai yang terkandung pada konsep undang-undang yang dimaksud. Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana vide undang- undang no. 8 tahun 1981, telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Dalam undang-undang ini tampaknya tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan yang diutamakan dan merupakan masalah dasar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian rupa sehingga perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindarkan.

4 Dalam rangka untuk mewujudkan idealisme tersebut Kitab Undangundang hukum acara pidana, menetapkan berbagai macam asas, diantara asas tersebut adalah asas diferensiasi fungsional serta asas saling koordinasi. Asas diferensiasi fungsional artinya asas tentang pemisahan secara tegas tugas dan kewajiban masing-masing instansi penegak hukum. Tentang hal ini dikatakan, misalnya kepolisian bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan bertugas untuk menuntut perkara, serta pengadilan bertugas untuk memeriksa dan memberikan putusan atas suatu perkara pidana. Meskipun ditentukan pemisahan kekuasaan masing-masing instansi penegak hukum. Asas saling koordinasi misalnya kepolisian di alam melakukan tugasnya berkoordinasi dengan kejaksaan serta pengadilan. Demikian halnya kejaksaan didalam melakukan penuntutan perkara di depan persidangan melakukan koordinasi dengan pengadilan. Meskipun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menetapkan tujuan perlindungan harkat dan martabat manusia serta memiliki asas-asas tersebut diatas, akan tetapi didalam praktek tidak selalu demikian. Perihal yang demikian ini misalnya tentang keterangan saksi dalam hukum acara pidana. Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa: Saksi

5 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Menurut ketentuan Undang-Undang No. Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa pemeriksaan terhadap saksi pada prinsipnya bersifat bebas tanpa tekanan. Tetapi masih sering terjadi saksi memberikan keterangan berbeda antara keterangan di depan penyidik dengan di depan persidangan. Mengenai hal ini, menurut ketentuan Pasal 163 KUHAP, keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai pembedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang. Mengenai penyebab timbulnya keterangan berbeda antara keterangan di depan penyidik dengan di depan persidangan, oleh karena hingga saat ini pemeriksaan terhadap saksi yang dilakukan oleh penyidik seringkali dengan kekerasan secara fisik dan psikis. Kondisi pemeriksaan yang demikian ini biasanya berakibat saksi memberikan keterangan sesuai dengan kehendak atau arahan aparat kepolisian yang melakukan pemeriksaan. Meskipun sebenarnya hal ini bertentangan dengan kondisi yang senyatanya, akan tetapi karena saksi tidak tahan untu merasakan penderitaan dan tekanan yang diberikan oleh penyidik maka saksi lebih memilih menghindar dari siksaan dengan memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Dalam praktek tidak begitu mudah untuk membuktikan bahwa pemeriksaan terhadap saksi dilakukan dengan kekerasan. Hal ini disebabkan

6 andaikata kekerasan secara fisik terhadap saksi menimbulkan luka-luka pada tubuh saksi biasanya luka-luka tersebut mudah sembuh. Hal ini dikarenakan jangka waktu penyidikan dengan pemeriksaan di depan persidangan memiliki tenggang waktu yang cukup lama sehingga luka-luka yang ada di tubuh saksi yang diperiksa penyidik dengan kekerasan sudah hilang. Disamping ini pelaksanaan pemeriksaan terhadap saksi dilakukan di tempat tertutup, maka segala yang terjadi dalam ruang pemeriksaan yang mengetahui secara pasti hanya aparat kepolisian yang melakukan pemeriksaan serta saksi yang menjalani pemeriksaan. Terlebih pemeriksaan terhadap saksi yang sekaligus sebagai tersangka, khususnya dalam tindak pidana yang pelakunya lebih dari satu orang, dimana seseorang saling menjadi saksi atas tindak pidana yang mereka lakukan secara bersama atau dalam pengertian hukum pidana dinamakan tindak pidana penyertaan. Secara teori hukum pidana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyertaan dihadapan hukum tidak sama. Atas dasar hal yang demikian, maka keterangan saksi di depan penyidik menjadi sangat penting, mengingat keterangan saksi ini akan dijadikan pedoman hakim dalam rangka menemukan alat bukti keterangan saksi. Mengingat keterangan saksi yang memiliki kekuatan alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 KUHAP, maka permasalahan tentang adanya perbedaan antara keterangan saksi di depan penyidik yang berbeda dengan keterangan saksi di depan persidangan merupakan masalah yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Dikatakan demikian oleh karena hakim yang bertugas untuk memeriksa serta memutus perkara harus dapat

7 menentukan secara tegas keterangan saksi di depan penyidik atau di persidangan yang benar. Sebab seperti dijelaskan, keterangan saksi yang memiliki kekuatan sebagai alat bukti adalah keterangan di depan persidangan. Namun demikian keterangan saksi di depan persidangan sebaiknya mengacu kepada keterangan saksi di depan penyidik. Berdasarkan pada uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan hukum dengan judul TINDAKAN HAKIM DALAM MENILAI KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG BERBEDA ANTARA DI DEPAN PENYIDIK DENGAN DI PERSIDANGAN. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tindakan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi yang berbeda antara di depan penyidik dengan di persidangan? 2. Apa kriteria alat bukti keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi dengan pembahasan masalah tentang tindakan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui tindakan hakim dalam mengambil keputusan jika terjadi perbedaan keterangan saksi yang berbeda di depan penyidik dengan di persidangan.

8 b. Untuk mengetahui kriteria alat bukti keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data yang nantinya akan digunakan peneliti dalam penyusunan skripsi untuk memperoleh gelar Kesarjanaan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Surakarta. b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam bidang penelitian. c. Untuk menambah pengetahuan dalam praktek,sehingga dengan memperoleh pengetahuan dalam praktek lebih memperdalam wawasan bagi penulis dalam memahami bidang hukum. Salah satu aspek penting dalam kegiatan penelitian adalah menyangkut kegunaan atau manfaat penelitian baik kegunaan teoritis maupun kegunaan praktis. Adapun diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Dapat mengadakan perbandingan pengetahuan secara teori yang didapat dibangku kuliah dengan fakta-fakta dalam dunia peradilan. b. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang dunia peradilan dan proses-proses peradilanya. 2. Manfaat Praktis a. Untuk menambah dan memperkaya bahan kuliah hukum secara pidana juga bidang lain yang terkait. b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan pengetahuan penulisan khususnya tentang hukum pidana.

9 D. Kerangka Pemikiran Acara Pemeriksaan Keterangan Saksi Keterangan Saksi di Depan Penyidik Keterangan Saksi di Depan Persidangan Terjadi Perbedaan Keterangan yang Dikemukakan oleh Saksi Tindakan Hakim dalam Menilai Keterangan Saksi yang Berbeda Penjelasan: Dalam pemeriksaan alat bukti keterangan saksi di dalam persidangan seringkali terjadi perbedaan keterangan yang

10 diucapkan oleh saksi pada saat memberikan keterangan di depan penyidik dengan keterangan saksi pada saat di depan persidangan sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian keterangan saksi dalam suatu persidangan. Dalam hal ini hakim dapat memberikan suatu kebijakan dalam menilai keterangan saksi tersebut sesuai dengan keyakinan hakim dalam menilai, sehingga dibutuhkan suatu pertimbangan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tertentu yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memberikan penilaian terhadap keterangan saksi tersebut. E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala tertentu dengan jalan menganalisisnya. 6 Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu penelitian. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Penelitian yang penulis susun merupakan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum empiris dimaksudkan sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti guna mengetahui hukum dalam gerak operasionalnya. Dalam hal ini tindakan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam memberikan 6 Khuzalifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 3.

11 putusanya terkait hal perbedaan keterangan saksi di depan penyidik dan dengan depan persidangan. 2. Jenis Penelitian Sifat penelitian yang digunakan penulis adalah deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia atau keadaan atau gejala-gejala lainya yang berhubungan dengan objek penelitian. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka penyusun teori baru. 7 Dalam penelitian ini penulis ingin mendeskripsikan tindakan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi yang berbeda dan kriteria alat bukti keterangan saksi yang sah dari penelitian di PN Surakarta. 3. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu tatacara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tulisan dan lisan dan juga perilakunya yang nyata yang diteliti atau dipelajari sebagai suatu yang utuh. 4. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Pengadilan Negeri 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmud, 2014, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hal.13-14.

12 Surakarta dengan pertimbangan instansi tersebut dapat memberi informasi yang dibutuhkan penulis berkaitan dengan judul yang diambil. 5. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer yang langsung diperoleh di lokasi penelitian (PN Surakarta) dan data sekunder yang berasal dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder di bidang hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya, menurut Soerjono Soekanto dibedakan menjadi: 8 a. Bahan hukum primer Bahan-bahan hukum yang berlakunya bersifat mengikat. Dalam penelitian ini adalah: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 5) Putusan Pengadilan b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang berlakunya tidak mengikat atau bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur di bidang hukum pidana, hasil penelitian terdahulu dan lain-lain. 8 Soekanto, Soejono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Hal. 34.

13 c. Bahan hukum tersier Adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini adalah kamus, kamus hukum, dan ensiklopedia. 6. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data, penulis menggunakan teknik pengumpulan sebagai berikut: a. Wawancara Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara bertanya secara langsung kepada hakim di Pengadilan Negeri Surakarta. b. Studi kepustakaan Teknik pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan atau library research merupakan teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan data dari bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainya yang ada hubunganya dengan hal yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Tiga komponen utama analisis kualitatif adalah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses dan saling berkaitan serta menentukan hasil akhir analisis. 9 9 Lexy J Moleong, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosda Karya, Hal. 179.

14 Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Pembahasan yang dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan serta menafsirkan dan mendiskusikan data-data primer yang telah diperoleh dan diolah sebagai satu yang utuh. Sedangkan teknik pengambilan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu dengan meneliti kasus-kasus atau data-data konkrit di Pengadilan Negeri Surakarta untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum dalam praktik hukum pidana di Indonesia. F. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang isi pembahasan dalam penulisan ini, maka secara global di sistematisir menjadi empat bab sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sisitematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka, bab ini berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari 3 sub bab yang meliputi: Tinjauan umum tentang hakim dan kekuasaan kehakiman: pengertian hakim, kekuasaan kehakiman; Tinjauan tentang alat bukti dan sistem pembuktian: Tinjauan tentang alat bukti dalam hukum acara pidana, tinjauan tentang sistem pembuktian; Tinjauan

15 umum tentang saksi dan perlindunganya: pengertian saksi dan perlindungan saksi. Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan, terdiri dari dua sub bab yaitu: Tindakan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi yang berbeda antara di depan penyidik dengan di persidangan,dan kriteria alat bukti keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim. Bab IV Penutup, bab ini berisi kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.