RELATIONS OF NUTRITIONAL AND IMMUNIZATION STATUS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) ON UNDER-FIVE IN PUBLIC HEALTH CENTER CEMPAKA BANJARBARU 2014

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

Kata Kunci: Kejadian ISPA, Tingkat Pendidikan Ibu, ASI Eksklusif, Status Imunisasi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

HUBUNGAN PEMBERIAN IMUNISASI DPT DAN CAMPAK TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK USIA 10 BULAN - 5 TAHUN DI PUSKESMAS SANGURARA KOTA PALU TAHUN 2015

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016

SUMMARY ABSTRAK BAB 1

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

HUBUNGAN UMUR DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS TEMBILAHAN HULU

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

FAKTOR RISIKO DENGAN PERILAKU KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

Kata Kunci: anak, ISPA, status gizi, merokok, ASI, kepadatan hunian

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3

Jurnal Husada Mahakam Volume IV No.4, November 2017, hal

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: Penta Hidayatussidiqah Ardin

JUMAKiA Vol 3. No 1 Agustus 2106 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN

Healthy Tadulako Journal (Enggar: 57-63) 57

HUBUNGAN USIA ANAK, JENIS KELAMIN DAN BERAT BADAN LAHIR ANAK DENGAN KEJADIAN ISPA

ABSTRAK. Ika Dewi Wiyanti, 2016; Pembimbing I : dr. Dani, M.kes Pembimbing II : dr.frecillia Regina,Sp.A

Faktor-Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun

Eva Silviana Rahmawati STIKES NU TUBAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS PEMBANTU (PUSTU) TOMPEYAN TEGALREJO DI KOTA YOGYAKARTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT ( ISPA) PADA BALITADI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK (RSIA) HARAPAN BUNDATAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

Cakupan Imunisasi Dasar dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-3 Tahun di Wilayah Puskesmas Wonosari 1 Kabupaten Gunungkidul

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG

The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batuk pilek merupakan gangguan saluran pernafasan atas yang paling

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PENANGANAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI. Nurlia Savitri

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan istilah Millenium Development

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

Purnama Sinaga 1, Zulhaida Lubis 2, Mhd Arifin Siregar 3

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. (1)

Puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN PRAKTIK IMUNISASI CAMPAK PADA BAYI USIA 9-12 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOJONG II KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MELONGUANE KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD

PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JETIS 1 BANTUL 2012

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

Volume 3 No. 1 Maret 2012 ISSN : SURVEI KELENGKAPAN IMUNISASI PADA BAYI UMUR 1-12 BULAN DI DESA PANCUR MAYONG JEPARA INTISARI

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

Oleh : Tintin Purnamasari ABSTRAK

Jurnal Darul Azhar Vol 5, No.1 Februari 2018 Juli 2018 : 17-22

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS (TBC) PADA KELOMPOK USIA PRODUKTIF DI KECAMATAN KARANGANYAR, DEMAK

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANGTUA TENTANG ISPA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GATAK SUKOHARJO

Puskesmas Guntung Payung Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

PERAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN IMUNISASI CAMPAK PADA ANAK SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR LUAR BIASA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN PENANGANAN BALITA ISPA

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN

ABSTRAK. Kata Kunci: Karakteristik Umum Responden, Perilaku Mencuci Tangan, Diare, Balita

ABSTRAK TINGKAT KEPATUHAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN KOTRIMOKSAZOL SUSPENSI KEPADA BALITA YANG MENGALAMI ISPA DI PUSKESMAS TERMINAL BANJARMASIN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP JAMANIS KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 2010.

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP KEPATUHAN PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DI DESA MOROREJO KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG ISPA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

Sugiarti, et al, Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPA Usia Bawah Lima Tahun...

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Campak merupakan penyakit pernafasan yang mudah menular yang

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

CHMK NURSING SCIENTIFIC JOURNAL Volume 1. No 2 OKTOBER Joni Periade a,b*, Nurul Khairani b, Santoso Ujang Efendi b

GAMBARAN PELAYANAN KUNJUNGAN BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG

Transkripsi:

RELATIONS OF NUTRITIONAL AND IMMUNIZATION STATUS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) ON UNDER-FIVE IN PUBLIC HEALTH CENTER CEMPAKA BANJARBARU 2014 Darmayanti 1 ABSTRACT Background: Indonesia is one of the six countries in the world with the highest incidence of Acute Respiratory Infection (ARI) in children-under five which includes 44% (68.6 million) from 156 million cases in the world (Ministry of Health Republic of Indonesia, 2010). According Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, ARI is the second leading cause of all under five mortality in Indonesia is 15.5%. ARI is one of the main causes of patient visits in health centers (40-60%) and hospitals (15-30 %) ( Health Departement of Indonesia, 2012). Percentage of ARI in Cempaka Health Center was ranked first out of eight health centers located in the Banjarbaru District is 92.6 % (Public Health Office Banjarbaru, 2014). Three risk factors for ARI are environmental factors, individual factors of children, and behavioral factors. Individual factors include the child's age, birth weight, nutritional status, vitamin A, and immunization status ( Maryunani, 2010), while according to the Health Departement of Indonesia (2001) under-five who are at risk for respiratory infection is deficient in vitamin A, lived in the densely housing, malnutrition, did not receive exclusive breastfeeding, incomplete immunization, and the immunocompromised. Objective: The purpose of this study to determine the relationship of nutritional and immunization status with ARI in under-five, especially in Public Health Center Cempaka Banjarbaru 2014. Methods: This research method using analytic survey research with cross sectional approach. The population in this study were all sick under-five who visit Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Public Health Center Cempaka Banjarbaru in January-May 2014 as many as 1011 children. Saturated sampling technique. Instruments with secondary data based on registers data Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Public Health Center Cempaka Banjarbaru. The data analysis uses a chi-square test (α 0.05). Result: Research results is under-five who have ARI as many as 509(50.3%). Nutritional status of under-five with bad category as many as 104 children (10.3%) and less as many as 373 children (36.9%). Complete immunization status of sick under-five as many as 855 children (84.6%). The results of chi-square test variables associated with ARI in under-five is the nutritional status (p= 0.000) and immunization status (p = 0.000). Suggestions research is to increasing activities of health education to parents and the public about the causes and dangers of ARI,nutritional and immunization myths by using posters and leafleat. Key Words: Acute Respiratory Infection (ARI), nutritional status, immunization status Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka 151

152 HUBUNGAN STATUS GIZI 1 DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARBARU TAHUN 2014 Darmayanti 1 INTISARI Latar Belakang: Indonesia merupakan salah satu dari enam negara di dunia dengan insiden ISPA pada anak-balita paling tinggi yaitu mencakup 44% (68,6 juta) dari 156 juta kasus di dunia (Kemenkes RI, 2010). Menurut Riskesdes tahun 2007, ISPA merupakan penyebab kedua dari seluruh kematian balita di Indonesia yaitu 15,5 %. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%) (Depkes RI, 2012). Persentasi kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka menduduki peringkat pertama dari 8 Puskesmas yang berada di Wilayah Kota Banjarbaru yaitu sebesar 92,6% (Dinkes kota Banjarbaru, 2014). Tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi (Maryunani, 2010), sedangkan menurut Depkes RI (2001) balita berisiko menderita ISPA yaitu kekurangan vitamin A, tinggal di lingkungan rumah padat, gizi buruk, tidak mendapat ASI Eksklusif, imunisasi tidak lengkap, dan daya tahan tubuh rendah. Tujuan: mengetahui hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita khususnya di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014. Metode: jenis penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik sampling jenuh. Instrumen dengan data sekunder berdasarkan data register MTBS di Puskesmas Cempaka Banjarbaru. Analisis data dengan Uji chi-square (α 0,05). Hasil: Hasil penelitian 509 balita (50,3%) yang mengalami ISPA; Status gizi balita dengan kategori Gizi buruk 104 balita (10,3%), gizi kurang 373 balita (36,9%), gizi baik 521 balita (51,5% ) dan gizi lebih 13 balita (1,3%); Status imunisasi lengkap pada balita sakit yaitu sebanyak 855 balita (84,6%). Hasil uji chi-square variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita adalah status gizi (p = 0,000) dan status imunisasi (p = 0,000). Saran penelitian peningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat (terutama orangtua balita dan kader) tentang penyebab dan bahaya penyakit ISPA, gizi balita dan imunisasi dengan menggunakan alat bantu lembar balik, poster dan leafleatsaran penelitian peningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat (terutama orangtua balita dan kader) tentang penyebab dan bahaya penyakit ISPA, gizi balita dan imunisasi dengan menggunakan alat bantu lembar balik, poster dan leafleat. Kata Kunci: ISPA, Status Gizi, Status Imunisasi 1 Politeknik Kesehatan Banjarbaru PENDAHULUAN

153 PENDAHULUAN Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan Angka Kematian Balita (AKABA) yaitu 40 per 1000 kelahiran hidup. Hasil ini menunjukkan sedikit sekali perbedaan dibandingkan dengan SDKI tahun 2007 yang sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). AKABA di Indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN atau Association of South East Asia Nation (Maryunani, 2010). Indonesia merupakan salah satu dari enam negara di dunia dengan insiden ISPA pada anak balita paling tinggi yaitu mencakup 44% (68,6 juta) dari 156 juta kasus di dunia (Kemenkes RI, 2010). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%) (Kemenkes RI, 2012). ISPA merupakan penyebab kedua dari seluruh kematian balita di Indonesia yaitu 15,5 % dengan prevalensi nasional ISPA adalah 25,50%. Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari 16 provinsi yang mempunyai prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional (Kemenkes RI, 2010). Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Kemenkes, 2013). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit ISPA pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Kemenkes, 2013). Secara umum terdapat tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi (Maryunani, 2010). Faktor yang menyebabkan balita berisiko menderita ISPA yaitu kekurangan vitamin A, tinggal di lingkungan rumah padat, gizi buruk, tidak mendapat ASI Eksklusif, imunisasi tidak lengkap, dan daya tahan tubuh rendah (Depkes RI, 2001). Selain itu masih banyak faktor yang menurut kepustakaan berperan pada terjadinya ISPA, antara lain jenis kelamin, usia balita, status gizi, imunisasi, berat lahir balita, suplementasi vitamin A, riwayat pemberian ASI ekslusif, pendidikan dan prilaku ibu (Pediatri S, 2012). Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA (Maryunani, 2010). Jumlah kematian balita di Kalimantan Selatan tahun 2012 yaitu sebanyak 218 kasus kematian. Penyebab kematian anak adalah diare (25,2%), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (15,5%) dan enterokolitis (10,7%) (DinKes Prov.Kal- Sel, 2013) Kasus ISPA pada balita di wilayah Kota Banjarbaru tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu sebanyak 14.428 kasus dari 20.955 jumlah balita diantaranya dengan pneumonia sebanyak 1.204 kasus (8,3%) dan penderita batuk bukan pneumonia sebanyak 13.224 kasus (91,7%). Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka menduduki peringkat pertama dari 8 Puskesmas yang berada di wilayah Kota Banjarbaru yaitu sebesar 92,6% (Dinkes kota Banjarbaru, 2014).

154 Berdasarkan data MTBS di Puskesmas Cempaka, balita sakit yang berkunjung pada tahun 2012 terdapat 1888 kasus ISPA pada balita (68,1%) dari 2771 balita dan pada tahun 2013 terdapat 1778 kasus ISPA pada balita (72,5%) dari 2453 balita. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ISPA mengalami peningkatan 4,4% dan menempati urutan pertama penyakit yang menyerang balita di Puskesmas Cempaka tahun 2013. meningkat sebesar 4,4%, status nutrisi pada balita ISPA meningkat pada katagori gizi kurang sebesar 1,7% dan gizi buruk sebesar 1,8% serta status imunisasi balita yang tidak lengkap meningkat sebesar 0,8% maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita khususnya di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014. Tabel 1 Data Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru Tahun 2012 dan 2013 Status Gizi Tahun 2012 2013 F % f % Lebih 42 2,3 31 1,7 Baik 1062 56,2 948 53,3 Kurang 665 35,2 656 36,9 Buruk 119 6,3 143 8,1 Jumlah 1888 100 1778 100 Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa kasus ISPA dengan status gizi kurang dan buruk pada balita mengalami peningkatan dari tahun 2012 ke tahun 2013 yaitu sebanyak 1,7 % dengan gizi kurang dan 1,8 % dengan gizi buruk. Tabel 2 Data Frekuensi Status Imunisasi Berdasarkan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2012 dan 2013 Tahun Status 2012 2013 Imunisasi F % F % Lengkap 1497 79,3 1395 78,5 Tidak Lengkap 391 20,7 383 21,5 Jumlah 1888 100 1778 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa kasus ISPA pada balita dengan status imunisasi tidak lengkap dari tahun 2012 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 0,8%. Berdasarkan data register MTBS tahun 2012-2013 yaitu kejadian ISPA yang METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk survei analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada waktu yang suatu saat/ point time approach. Artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik pemilihan sampel penelitian menggunakan teknik sampling jenuh yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel penelitian, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik pengumpulan data dengan study dokumentasi (data sekunder) dengan instrumen penelitian menggunakan data sekunder register MTBS di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014 (data kejadian ISPA, status gizi dan status imunisasi). Analisis data univariat dilakukan dengan cara setelah data terkumpul kemudian

155 ditabulasi, dipersentasikan dan disajikan. dalam bentuk tabel distribusi frekuensi tentang data kejadian ISPA, status gizi dan status imunisasi. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square untuk mengetahui adanya hubungan variabel bebas dan variabel terikat yaitu untuk mengetahui adanya hubungan status gizi dengan ISPA; dan untuk mengetahui adanya hubungan status imunisasi dengan ISPA. HASIL Hasil penelitian yang didapatkan dari karakteristik responden sebagai berikut. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Umur di Puskesmas Cempaka Kota Umur Jumlah f % 12 23 bulan 396 39,2 24 35 bulan 236 23,3 36 47 bulan 202 20,0 48 59 bulan 177 17,5 Total 1011 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS terbanyak pada umur 12-23 tahun (39, 2%) dan dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah usia balita semakin menurun terjadinya kesakitan. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah F % Laki-laki 530 52,4 Perempuan 481 47,6 Total 1011 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS terbanyak dengan jenis kelamin laki-laki (52,4%) Tabel 5. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Kejadian ISPA Kejadian ISPA Jumlah f % Terjadi 509 50,3 Tidak terjadi 502 49,7 Total 1011 100 Dari 1011 balita yang berkunjung ke Poli MTBS yang mengalami ISPA sebanyak 509 orang (50,3%) dan dari 509 balita ISPA terbanyak terjadi pada umur 12-23 tahun sebanyak 192 (37,72%). Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA berdasarkan Umur Umur Jumlah f % 12 23 bulan 192 37,7 24 35 bulan 112 22,0 36 47 bulan 105 20,6 48 59 bulan 100 19,7 Total 509 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa kejadian ISPA terbanyak pada umur 12-23 bulan dan dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya umur balita maka semakin menurun kejadian ISPA. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Status Gizi Status Gizi Jumlah f % Buruk 104 10,3 Kurang 373 36,9 Baik 521 51,5 Lebih 13 1,3 Total 1011 100 Berdasarkan tabel 7. bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS dengan status gizi buruk sebanyak 104 balita (10,3%) dan gizi kurang sebanyak 373 balita (36,9%).

156 Tabel 8 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Status Imunisasi Status Imunisasi Jumlah f % Tidak Lengkap 156 15,4 Lengkap 855 84,6 Total 1011 100 lengkap memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan balita dengan status imunisasi lengkap. PEMBAHASAN a. Kejadian ISPA Berdasarkan tabel 8 status imunisasi subyek lengkap sebnyak 855 orng (84,6%). Tabel 9. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru Kejadian ISPA Status Terjadi Tidak Terjadi Gizi f % f % n Buruk 61 6,0 43 4,3 104 Kurang 241 23,8 132 13,1 373 Baik 201 19,8 320 31,7 521 Lebih 6 0,6 7 0,7 13 Total 509 50,3 502 49,7 1011 Hasil uji chi-square p = 0,000 (<α 0,05) Hasil uji chi-square tentang hubungan status gizi dengan kejadian ISPA tabel 3.41 diperoleh nilai p = 0,000 (<α 0,05) yang berarti ada hubungan bermakna antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Tabel 10. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Kejadian ISPA Status Tidak Terjadi Imunisasi Terjadi n f % f % Tidak lengkap 120 11,8 36 3,6 156 Lengkap 389 38,5 466 46,1 855 Total 509 50,3 502 49,7 1011 Hasil uji chi-square p = 0,000 (<α 0,05) OR 3,99 (CI95%=2,69-5,93) Hasil uji chi-square tentang hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p = 0,000 (<α 0,05) yang berarti ada hubungan bermakna antara status imunisasi balita dengan kejadian ISPA dengan Odds Ratio 3,99 yang berarti balita dengan status imunisasi tidak Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kunjungan balita ke Poli MTBS dengan kejadian ISPA sebanyak 509 balita (50,3%). Prevalensi Nasional ISPA adalah 25,50%. Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai prevalensi ISPA diatas Prevalensi Nasional (Riskesdas, 2007). Menurut Depkes RI (2012), ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka melebihi angka Prevalensi Nasional dan sebagian besar kunjungan balita ke poli MTBS Puskesmas Cempaka disertai dengan keluhan ISPA serta menempati urutan pertama kunjungan balita ke poli MTBS Puskesmas Cempaka. Menurut Depkes (2005) Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah Bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu: Infeksi, Saluran pernafasan dan Akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian

157 atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). Penyakit ISPA sering terjadi pada anakanak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3 6 kali setahun (Kunoli, 2012). Hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar dari pada di desa. Hal ini disebabkan oleh didukungnya tingkat kepadatan tempat tinggal (penduduk) dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi dari pada di desa Kunoli (2012). Pada penelitian ini Puskesmas Cempaka berada di wilayah yang tidak jauh dari pusat perkotaan dan merupakan arus lalu lintas menuju Kabupaten Tanah Laut juga sering dilalui oleh angkutan seperti mobil truk sehingga debu dan asap dapat memudahkan balita terpapar ISPA. Di wilayah kerja Puskesmas Cempaka, jarak antar rumah penduduk ±<5 meter sehingga dengan tingkat kepadatan tempat tinggal/penduduk akan mempermudah terjadinya penularan ISPA pada balita, hal ini searah dengan teori menurut Kunoli (2012). Penelitian ini juga didukung dengan kunjungan balita sakit dengan kejadian ISPA terbanyak pada umur 12-23 bulan. Hal ini sesuai dengan teori Maryunani (2010) yang mengatakan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anakanak dan menurun sesuai pertambahan usia anak. Adapun menurut Depkes RI (2001) mencegah ISPA bisa dilakukan dengan cara memberikan makanan yang bergizi: memberikan imunisasi yang lengkap pada bayi; ciptakan udara yang segar dan bersih dirumah; jagalah kebersihan tubuh dan lingkungan sera jauhkan anak yang sehat dari penderita batuk pilek b. Status Gizi Sebagian besar balita di Puskesmas Cempaka memiliki status gizi baik, tetapi masih terdapat balita dengan status gizi kurang dan buruk. Menurut Almaster (2001) dalam Marmi dan Kukuh (2012), status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi didalam tubuh. Pedoman untuk mengetahui anak kurang gizi/ gizi buruk adalah dengan melihat berat dan tinggi badan yang kurang dari normal. Apabila kekurangan gizi, anak akan mudah sekali terkena berbagai macam penyakit. Apabila terkena penyakit, anak yang kurang gizi/ gizi buruk akan sembuh dalam waktu yang lama (Maryunani, 2010). Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4% dan gizi kurang pada balita adalah 13,0% (Riskesdas, 2007). Menurut Marmi dan Kukuh, 2012 faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu faktor langsung, faktor tidak langsung dan akar masalah. Faktor penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi adalah

158 konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah terserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang. Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah ketahanan pangan keluarga, pola pengasuh anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi. Adapun akar masalah status gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Gizi kurang dan buruk secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Marmi dan Kukuh, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat balita dengan status gizi buruk dan kurang. Hal ini karena di wilayah kerja Puskesmas Cempaka sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai buruh, jasa, petani dan pengangkutan dengan penghasilan sebagian besar tidak menentu setiap harinya sehingga menyebabkan ketahanan pangan dan kebutuhan gizi keluarga khususnya anak-anak mereka menurun ataupun belum dapat tercukupi dengan baik. Rendahnya pendapatan (sosial ekonomi) menyebabkan keluarga tidak dapat selalu membeli makanan dengan gizi yang baik atau memenuhi kebutuhan nutrisinya, hal ini sesuai dengan teori Marmi dan Kukuh (2012). c. Status Imunisasi Hasil penelitian menunjukkan dari 1011 balita yang berkunjung ke poli MTBS sebanyak 154 balita (15,4%) tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan sebanyak 855 balita (84,6%) mendapatkan imunisasi lengkap. Imunisasi mempunyai pengertian sebagai tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan) didalam tubuh bayi dan anak, agar terlindung dan terhindar dari penyakit-penyakit menular dan berbahaya (Rukiyah dan Lia, 2010). Indonesia telah melaksanakan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) sejak tahun 1977 (Maryunani, 2010). Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomielitis, campak dan hepatitis B. Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tujuan dari pemberian imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu, apabila terjadi penyakit tidak akan

159 terlalu parah dan dapat mencegah gejala yang dapat menimbulkan cacat dan kematian (Rukiyah dan Lia, 2010). dari risiko tertular; anak akan menderita reaksi terhadap imunisasi yang menyakiti. Dalam mengoptimalkan pelayanan dan mencapai keberhasilan program imunisasi telah tersedia tempat pemberian imunisasi diantaranya posyandu, puskesmas, rumah sakit, polindes, praktek dokter dan bidan. Fasilitas pelayanan untuk imunisasi telah tersedia di masyarakat, akan tetapi tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi lengkap serta banyak terdapat mitos-mitos yang tidak benar berkembang di masyarakat tentang imunisasi (Mulyani dan Mega, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan masih terdapat sebagian kecil balita tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal ini disebabkan oleh sikap orangtua yang percaya dengan budaya terdahulu (anak sehat dan aktif tidak perlu diimunisasi) dan mitos yang ada di masyarakat (percaya bahwa vaksin imunisasi mengandung bahan dari tubuh babi) serta tidak ingin anaknya sakit (panas) atau rewel jadi dapat menggangu pekerjaan orangtua. Hal ini searah dengan teori Mulyani dan Mega (2013) bahwa tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi lengkap serta banyak terdapat mitos-mitos yang tidak benar berkembang di masyarakat tentang imunisasi. Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang imunisasi yaitu terlalu banyak memberikan sistem imun; tidak boleh memberikan ASI sesudah vaksin polio; anak sakit flu tidak boleh diimunisasi; anak tidak perlu imunisasi asal sehat, aktif, dan makan cukup bergizi; percaya jika semua anak lain bisa menerima imunisasi, berarti anakku terlindung d. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka tahun 2014. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Selain itu, balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Maryunani, 2010). Hasil penelitian Sukmawati dan Ayu (2010) juga menyebutkan bahwa balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara status gizi dan penyakit infeksi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama. Pada penelitian telah membuktikan hal tersebut dan menggambarkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan status gizi kurang. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa dari jumlah balita yang mengalami ISPA dengan status

160 gizi kurang sebesar 23,8% sedangkan dengan status gizi baik sebesar 19,8%. Balita yang mengalami ISPA dengan status gizi kurang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mengalami ISPA dengan status gizi baik. Balita dengan status gizi buruk dan kurang memiliki faktor daya tahan tubuh yang kurang sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi salah satunya yaitu ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal. i. Hubungan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka tahun 2014. Bayi yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia/ispa sebagai komplikasi campak. Guna mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Maryunani, 2010). Menurut Rahajoe NN dkk (2013) campak, pertusis dapat meningkatkan risiko terkena ISPA dan memperberat IRA itu sendiri, tetapi sebelumnya hal ini dapat dicegah dengan imunisasi. tidak lengkap yang terjadi ISPA sebesar 11,8%, sedangkan yang tidak terjadi ISPA sebesar 3,6%, berarti balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki persentase lebih tinggi kejadian ISPA, hal ini membuktikan bahwa imunisasi tidak lengkap merupakan salah satu faktor risiko mempermudah terjadinya ISPA pada balita. Hasil odds ratio sebesar 3,993 yang berarti balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan balita dengan status imunisasi lengkap. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014 dari 1011 balita yang berkunjung ke poli MTBS, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Balita yang mengalami ISPA sebanyak 509 balita (50,3%). b. Status gizi balita dengan kategori buruk sebanyak 104 balita (10,3%) dan kurang sebanyak 373 balita (36,9%). c. Status imunisasi tidak lengkap pada balita sakit yaitu sebanyak 156 balita (15,4%). d. Ada hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai ρ=0,000 (α<0,05). e. Ada hubungan bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai ρ=0,000 (α<0,05) dan OR 3,99 (CI95%=2,69-5,93). DAFTAR RUJUKAN Alsagaf. H. (2009). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press Pada penelitian ini didapatkan ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Balita dengan status imunisasi BAPPENAS, 2010. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia, Jakarta, tersedia dalam

161 (http://www.bappenas.go.id) diakses Mei 2013 Departemen Kesehatan RI, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Jakarta, Tersedia di website http://pppl.depkes.go.id/ - Diakses April 2014 Depkes. RI. (2005). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes. Departemen Kesehatan RI, 2001. Buku Ajar ISPA Program DIII Kebidanan, DITJEN PPM dan PL Pusat DIKNAKES Dinkes Kalsel, 2012. Profil Kesehatan Kalimantan Selatan, Dinkes Provinsi Kalsel, Banjarmasin Kemenkes. RI. 2013. Surveilans ISPA Berat Indonesia. Sub Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia di website http://ispa.pppl.depkes.go.id diakses Mei 2014 Kemenkes RI, 2012. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi, Jakarta, Tersedia di website http://www.datastatistik- Indonesia.com- diakses Mei 2014 Kunoli FJ, 2012. Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis, Trans Info Media. Jakarta Marhamah dkk, 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang. Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar. Tersedia di website http://jurnalmediagizipangan.files.wo rdpress.com- diakses Mei 2014 Marmi dan Kukuh R, 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah, Pustaka Belajar. Yogyakarta Maryunani A, 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, Trans Info Media. Jakarta Mulyani NS dan Mega R, 2013. Imunisasi untuk Anak, Nuha Medika. Yogyakarta Muttaqin. A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem. Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Pediatri S. 2012. Karakteristik Klinik Penyakit Saluran Nafas pada Anak. Tersedia dalam http://saripediatri.idai.or.id diakses Mei 2014 Sukmawati dan Sri Dara Ayu, 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros. KTI. Poltekkes Makasar. Tersedia di website http://jurnalmediagizipangan.files.wo rdpress.com- diakses Mei 2014 Sulistyoningsih H, 2012. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Graha Ilmu, Yoyakarta WHO, 2007. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan, WHO, Indonesia.

162 Tersedia di website http://apps.who.int- di akses Mei 2014