BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Islahuzzaman (2012:369) profesionalisme adalah sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. auditor sebagai pihak yang dianggap independen dan memiliki profesionalisme

BAB I PENDAHULUAN. kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor independen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berlaku di Indonesia dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menggunakan informasi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. akuntan. Ada beberapa pengertian auditing atau pemeriksaan akuntan menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara yang diatur dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bisnis. Agar tetap bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin tinggi para

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan sebagai pihak yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Audit adalah jasa profesi yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. variabel kompetensi, independensi, dan profesionalisme memiliki pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. diantara pelaku bisnis semakin meningkat. Para pelaku bisnis melakukan berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN. keuangan historis suatu entitas yang berisi asersi yang dibuat oleh manajemen entitas

Perbedaan Standar Auditing Baru dan Standar Auditing Lama Lembaga standar internasional ISO telah menerbitkan standar audit terbaru ISO 19011:2011,

Ignatius Natanael Widjaya Ramot P. Simanjuntak Rutman Lumbantoruan

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak luar sangat diperlukan, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. diasumsikan bahwa seseorang yang profesional memiliki kepintaran, profesionalismenya dalam melaksanakan tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata mata bekerja untuk. dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.

2.4 KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap

Gambar 2.1 Hirarki Standar Auditing Sumber: SPAP Per 1 Januari 2001 (IAI, 2001: )

DAN KODE ETIK AKUNTAN PUBLIK by Ely Suhayati SE MSi Ak Ari Bramasto SE Msi Ak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sebagai auditor eksternal (Kurniawanda, 2013). laporan disetiap kali melakukan audit. Kantor Akuntan Publik (KAP) dapat

STANDAR AUDITING. SA Seksi 200 : Standar Umum. SA Seksi 300 : Standar Pekerjaan Lapangan. SA Seksi 400 : Standar Pelaporan Pertama, Kedua, & Ketiga

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa. Keuangan pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum auditing adalah suatu proses sistemik untuk memperoleh dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.2,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. seorang auditor adalah melakukan pemeriksaan atau audit dan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan profesi auditor berbanding sejajar dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semakin banyaknya kebutuhan akan jasa profesional akuntan publik

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik kewajarannya lebih dapat

BAB I PENDAHULUAN. atas kinerja perusahaan melalui pemeriksaan laporan keuangan. Laporan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Pengertian audit menurut Arens et al (2008 : 4) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dalam melakukan audit (Mulyadi dan Puradiredja, (1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kinerja auditor.

BAB I PENDAHULUAN. suatu perusahaan digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sedangkan pengauditan biasanya tidak menghasilkan data akuntansi, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. akuntan publik kewajarannya lebih dapat dipercaya dibandingkan laporan keuangan yang tidak

SA Seksi 508 LAPORAN AUDITOR ATAS LAPORAN KEUANGAN AUDITAN. Sumber: PSA No. 29. Lihat SA Seksi 9508 untuk interprestasi Seksi ini PENDAHULUAN

MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pada laporan keuangan perusahaan terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas,

BAB I PENDAHULUAN. Kantor Akuntan Publik atas auditor internal di sebuah perusahaan.

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: a. Keandalan pelaporan keuangan

SEKSI 100 A. PRINSIP-PRINSIP DASAR ETIKA PROFESI

PERIKATAN AUDIT TAHUN PERTAMA SALDO AWAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. belakangan ini telah menjadi sorotan bagi akuntan publik. Banyaknya kasus

BAB I PENDAHULUAN. penilai yang bebas terhadap seluruh aktivitas perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. dan dilaksanakan oleh seorang auditor yang sifatnya sebagai jasa pelayanan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. berdasarkan standar auditing yang berlaku umum. Berdasarkan definisi

STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia

Standar Auditing & Kode Etik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002) ada 8 prinsip. dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULAN. mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan

KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan laporan hasil audit atas laporan keuangan oleh akuntan publik

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

IKATAN AKUNTANSI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin untuk

BAB I PENDAHULUAN. pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan. Menurut FASB, dua

ARUM KUSUMAWATI B

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan dunia usaha dan industri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas audit termasuk salah satu jasa yang sulit untuk diukur secara

BAB I PENDAHULUAN. pendapat yang diberikan, profesionalisme menjadi syarat utama bagi. orang yang bekerja sebagai auditor. Ketidakpercayaan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persaingan diantara para pelaku bisnis. Berbagai usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi seseorang yang ingin menjadi seorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002: 2). Kepercayaan yang besar dari

BABI PENDAHULUAN. Profesi akuntan merupakan profesi yang berlandaskan kepercayaan dari

Perencanaan audit meliputi pengembangan strategi menyeluruh pelaksanaan dan lingkup audit yang

BAB I PENDAHULUAN. bertanggung jawab dalam mempersiapkan pelaporan informasi keuangan

BAB II LANDASAN TEORI. mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun di sisi lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), profesi

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kantor Akuntan Publik

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Profesionalisme 2.1.1.1 Pengertian Profesionalisme Menurut Islahuzzaman (2012:369) profesionalisme adalah sebagai berikut: Tanggung jawab untuk bertindak lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun ketentuan hukum dan peraturan masyarakat. Akuntan publik, sebagai profesional, mengakui adanya tanggung jawab kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi, termasuk perilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan diri. Sedangkan menurut Arens, et al., (2014:129) mengartikan profesionalisme adalah sebagai berikut: Professional means a responsibility for conduct that extends beyond satisfying individual responsibilities and beyond the requirements of our society s laws and regulations. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah tanggung jawab atas tindakan yang melampaui tanggung jawab kepuasan seorang individu berdasarkan persyaratan hukum dan peraturan masyarakat. Seorang yang profesional mempunyai kewajiban untuk memenuhi aturan perilaku yang spesifik, yang menggambarkan suatu sikap atau hal-hal yang ideal. Kewajiban tersebut berupa tanggung jawab bagi profesi untuk memantapkan jasa yang ditawarkan. Seseorang yang profesional mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena diasumsikan bahwa seorang profesional memiliki kepintaran, 10

11 pengetahuan, dan pengalaman untuk memahami dampak aktivitas yang dilakukan (Iriyadi dan Vannywati, 2011). Profesionalisme juga merupakan elemen dari motivasi yang memberikan sumbangan pada seseorang agar mempunyai kinerja tugas yang tinggi. Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugastugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan, dan menghindari kelalaian dan ketidakjujuran (Ifada dan M. Ja far, 2005). Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi. Seorang auditor dapat dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standarstandar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) (Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M, 2006). 2.1.1.2 Dimensi Profesionalisme Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: 1. Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap

12 ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. 2. Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3. Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. 4. Keyakinan terhadap profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5. Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok

13 kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional. Ada beberapa prinsip etika profesi menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2011; Seksi 100) yang harus dimiliki oleh seseorang yang profesional untuk menunjang sikap profesionalismenya, yaitu: 1. Prinsip integritas Setiap Praktisi harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya. 2. Prinsip objektivitas Setiap praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain yang mempengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya. 3. Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional (professional competence and due care) Setiap praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan, sehingga klien atau pemberi kerja dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap praktisi harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya.

14 4. Prinsip kerahasiaan Setiap praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku. Informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis tidak boleh digunakan oleh praktisi untuk keuntungan pribadinya atau pihak ketiga. 5. Prinsip perilaku profesional Setiap praktisi wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip atau nilai-nilai moral yang mengindikasikan bagaimana seseorang harus bertingkah laku, dan etika profesional adalah sekumpulan prinsip atau nilai moral yang dikeluarkan oleh organisasi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya bagi masyarakat (Islahuzzaman, 2012:139). 2.1.1.3 Standar Profesional Akuntan Publik Seorang yang profesional juga harus memiliki standar profesi dalam setiap menjalankan setiap kegiatan profesionalnya. Standar Profesional Akuntan Publik adalah standar auditing yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), terdiri dari 10 standar yang dibagi dalam 3 bagian, yaitu standar umum, standar pekerjaan

15 lapangan, dan standar pelaporan, beserta semua interpretasinya yang sering kali disebut standar auditing (Islahuzzaman, 2012:435). Berbagai jenis jasa yang disediakan oleh profesi akuntan publik bagi masyarakat didasarkan pada panduan yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Dimana menurut Sukrisno Agoes (2012:29) terdapat lima tipe standar profesional yang mengatur mutu jasa yang dihasilkan akuntan publik yaitu: 1. Standar auditing 2. Standar atestasi 3. Standar jasa akuntansi dan review 4. Standar jasa konsultasi 5. Standar pengendalian mutu Adanya standar profesional tersebut akan mengikat auditor profesional untuk menurut pada ketentuan profesi dan memberikan acuan bagi pelaksanaan pekerjaannya dari awal sampai akhir (Sukrisno Agoes, 2012:29). Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (SPAP, 2011; SA Seksi 150) terdiri atas sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: 1. Standar Umum a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

16 c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama 2. Standar Pekerjaan Lapangan a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3. Standar Pelaporan a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan standar akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat

17 diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. Standar-standar tersebut di atas dalam banyak hal sering berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. Materialitas dan risiko audit melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (Sukrisno Agoes, 2012:29). 2.1.2 Materialitas 2.1.2.1 Konsep Materialitas Menurut International Standard on Auditing 320 (2012:322) menjelaskan materialitas sebagai berikut: Materiality is a misstatements, including omissions, are considered to be material if they, individually or in the aggregate, could reasonably be expected to influence the economic decisions of users taken on the basis of the financial statements. Adapun definisi materialitas menurut Arens, et al., (2014:168) adalah: Materiality is the magnitude of an omission or misstatement of accounting information that, in the light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgment of a reasonable person relying on the information would have been changed or influenced by the omission or misstatement.

18 Sedangkan pengertian materialitas menurut SPAP (2011; SA Seksi 312) adalah sebagai berikut: Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut. Materialitas adalah suatu pertimbangan penting dalam menentukan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam situasi tertentu. Jika salah saji relatif tidak material terhadap laporan keuangan suatu entitas selama periode berjalan, maka tepat untuk menerbitkan pendapat wajar tanpa pengecualian. Bila jumlah salah saji begitu signifikan sehingga keseluruhan laporan keuangan akan dipengaruhi secara material, auditor perlu menolak memberikan pendapat atau menerbitkan pendapat tidak wajar, tergantung pada sifat salah saji tersebut (Arens, et al., 2014:79). Arens, et al., (2014:80) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat materialitas yang digunakan untuk menentukan pendapat untuk dikeluarkan yaitu: 1. Jumlahnya tidak material. Apabila ada salah saji dalam laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, hal tersebut dianggap sebagai tidak material. Karena itu, pendapat wajar tanpa pengecualian layak diterbitkan. 2. Jumlahnya material tetapi tidak memperburuk laporan keuangan secara keseluruhan. Tingkat materialitas yang kedua terjadi apabila salah saji dalam laporan keuangan akan mempengaruhi keputusan para pemakai laporan itu, tetapi

19 laporan keuangan secara keseluruhan tetap disajikan secara wajar dan karenanya masih berguna. 3. Jumlahnya sangat material atau begitu pervasif sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat materialitas tertinggi terjadi apabila pemakai mungkin akan membuat keputusan yang tidak benar jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. 2.1.2.2 Pertimbangan Materialitas Menurut Standar Perikatan Audit (2012; paragraf 2) kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas konsep materialitas dalam konteks penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka pelaporan keuangan mungkin membahas materialitas dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda, kerangka tersebut secara umum menjelaskan bahwa: Salah saji, Termasuk penghilangan, dianggap material bila salah saji tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan dapat mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan keuangan oleh pemakai laporan keuangan tersebut. Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memperhitungkan berbagai kondisi yang melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran sifat salah saji, atau kombinasi keuangan. Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pemakai laporan keuangan didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan yang umum yang diperlukan oleh pemakai laporan keuangan sebagai suatu grup.

20 Pertimbangan mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan penilaian kuantitatif maupun kualitatif. Metode penilaian kualitatif dan kuantitatif dapat membantu auditor untuk membentuk argumen pertimbangan profesional (Sukrisno Agoes, 2012:149). Sampai saat ini belum ada pedoman atau standar, baik dalam akuntansi maupun auditing untuk menentukan tingkat materialitas baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Pertimbangan materialitas secara kualitatif berkaitan dengan penyebab kesalahan saji. Kesalahan saji mungkin secara kuantitatif tidak material tetapi secara kualitatif material. Misalnya salah saji yang disebabkan oleh adanya ketidakberesan atau adanya unsur pelanggaran hukum yang dilakukan oleh klien. Walaupun jumlahnya tidak material namun secara kualitatif sangat material. Untuk menentukan tingkat materialitas secara kuantitatif, berikut adalah pedoman umum yang biasa digunakan (Mulyadi, 2008:162): Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari modal.

21 Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto. 2.1.2.3 Materialitas Dalam Proses Audit Menurut Standar Perikatan Audit (2012; Alinea 1) dalam melakukan suatu audit atas laporan keuangan, tujuan auditor adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kecurangan atau kesalahan. Oleh karena itu memungkinkan auditor untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku umum atau tidak. Auditor memperoleh keyakinan dengan memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk mengurangi risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima. Risiko audit adalah risiko bahwa auditor menyatakan opini yang tidak tepat ketika terdapat salah saji material dalam laporan keuangan. Risiko audit merupakan fungsi gabungan risiko salah saji material dan risiko deteksi. Materialitas dan risiko audit perlu dipertimbangkan sepanjang pelaksanaan audit, oleh karena itu materialitas dan risiko audit selalu berhubungan. Materialitas di dalam proses audit memiliki beberapa tahap seperti yang dikemukakan oleh Theodorus M. Tuanakotta (2013:157) yaitu: 1. Tahap penilaian risiko (risk assessment) a. Menentukan dua macam materialitas, yakni materialitas untuk laporan keuangan secara menyeluruh dan performance materiality (materialitas pelaksanaan).

22 b. Merencanakan prosedur penilaian risiko apa yang harus dilaksanakan. c. Mengidentifikasi dan menilai risiko salah saji yang material. 2. Tahap menanggapi risiko (risk response) a. Menentukan sifat (nature), waktu (timing), dan luasnya (extent) prosedur audit selanjutnya (further audit procedures). b. Merevisi angka materialitas karena adanya perubahan situasi (change ini cirmumstances) selama audit berlangsung. 3. Tahap pelaporan (reporting) a. Mengevaluasi salah saji yang belum dikoreksi oleh entitas itu. b. Merumuskan pendapat auditor. Terdapat dua tingkat dalam menyajikan konsep materialitas menurut Theodorus M. Tuanakotta (2013:166), yakni tingkat laporan keuangan serta tingkat jenis transaksi, saldo akun dan pengungkapan (disclosures). Tabel 2.1 Materialitas di Dua Tingkat Financial statement level Overall Materiality (for the financial statements as a whole) Overall Performance Materiality Account balance, class of transactions and disclosures level Specific Materiality (for particular financial statement areas) Specific Performance Materiality Sumber: Theodorus M. Tuanakotta (2013:166)

23 Dari kedua tingkat materialitas tersebut terdapat empat konsep materialitas yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Overall Materiality Overall materiality didasarkan atas apa yang layaknya diharapkan berdampak terhadap keputusan yang dibuat pengguna laporan keuangan. Jika auditor memperoleh informasi yang menyebabkan ia menentukan angka materialitas yang berbeda dari yang ditetapkannya semula, maka angka materialitas semula harus direvisi. 2. Overall Performance Materiality Performance materiality ditetapkan lebih rendah dari overall materiality. Performance materiality memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu (tanpa mengubah overall materiality), dan menurunkannya ke tingkat yang lebih rendah (appropriately low level), dan jika probabilitas salah saji yang tidak dikoreksi dan salah saji yang tidak terdeteksi secara agregat (aggregate of uncorrected and undetected misstatements) melampaui overall materiality, maka performance materiality perlu diubah berdasarkan temuan audit yang didapatnya. 3. Specific Materiality Specific materiality untuk jenis transaksi, saldo akun atau disclosures tertentu di mana jumlah salah sajinya akan lebih rendah dari overall materiality.

24 4. Specific Performance Materiality Specific performance materiality ditetapkan lebih rendah dari specific materiality. Hal ini memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu dan memperhitungkan kemungkinan adanya salah saji yang tidak terdeteksi dan salah saji yang tidak material, yang secara agregat dapat berjumlah material. Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam menerapkan materialitas. Arens, et al., (2014:269) menjelaskan langkah-langkah dalam menerapkan materialitas mencakup lima langkah seperti yang tertera pada gambar di bawah yaitu: Tabel 2.2 Langkah-langkah dalam Menerapkan Materialitas Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5 Set materiality for the financial statements as a whole Determine performance materiality Estimate total misstatement in segment Estimate the combined misstatement Compare combined estimate with preliminary or revised judgment about materiality Planning extent of tests Evaluating results Sumber: Arens, et al., (2014:269)

25 Berdasarkan gambar di atas, pertama auditor harus menetapkan angka materialitas laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) yang membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para pemakai laporan keuangan, lalu langkah kedua menetapkan besarnya performance materiality yang dimana harus ditetapkan lebih rendah dari angka materialitas laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) untuk mengumpulkan bukti sebagai salah saji yang dapat ditoleransi. Kedua langkah tersebut merupakan bagian dari perencanaan yang menjadi fokus utama dalam penetapan tingkat materialitas. Langkah ketiga berlangsung selama penugasan, dimana auditor mengestimasi jumlah salah saji dalam setiap segmen ketika sedang mengevaluasi bukti audit. Pada tahan ke empat, jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun kemudian digabungkan dalam kertas kerja. Menjelang akhir audit, langkah kelima yaitu auditor menggabungkan salah saji yang mungkin dapat dibandingkan dengan penetapan tingkat material yang ditetapkan di tahap perencanaan (Arens, et al., 2014:269). 2.2 Kerangka Pemikiran Menurut Sukrisno Agoes (2012:149) pertimbangan mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan penilaian kuantitatif maupun kualitatif.

26 Profesionalisme merupakan sifat memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai auditor eksternal. Auditor eksternal yang memiliki pandangan profesionalisme yang tinggi akan memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan. Kepercayaan yang besar inilah yang akhirnya mengharuskan auditor memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Untuk dapat mencapai mutu dan kualitas yang baik tentunya salah satu hal yang dipertimbangkan adalah tingkat materialitas (Milka, 2010). Gordeeva (2011) menyatakan the auditor s consideration of materiality is a professional judgment of perception of the financial information needs of users of the financial statements. The auditor is concerned with misstatements, including omissions, which could reasonably be expected to influence the economic decisions of users taken on the basis of the financial statements. The auditor often uses a precentage as benchmark in determining a materiality level for financial statements. Berdasarkan hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan auditor tentang materialitas adalah pertimbangan profesional dari persepsi para pengguna laporan keuangan. Pertimbangan materialitas berkaitan dengan salah saji, termasuk kelalaian, yang diperkirakan bisa mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil atas dasar laporan keuangan tersebut. Dalam menentukan pertimbangan materialitas, auditor sering menggunakan persentasi sebagai patokan dalam menentukan tingkat materialitas laporan keuangan (Gordeeva, 2011).

27 Sebagai auditor profesional, dalam melaksanakan proses audit dan penyusunan laporan keuangan, seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara profesional maka auditor harus membuat perencanaan audit sebelum memulai proses audit. Dalam perencanaan audit, auditor diharuskan untuk menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin seorang auditor itu profesional maka semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat materialitas (Sukrisno Agoes, 2012:149). Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003:11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: pengabdian auditor terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan sesama profesi. Dari hasil yang dilakukan oleh Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M (2006) menyatakan bahwa 4 dari 5 dimensi profesionalisme auditor yang berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu pengabdian pada profesi, kemandirian, keyakinan terhadap profesi, dan hubungan dengan rekan seprofesi. Sedangkan dimensi kewajiban sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Sedangkan dari hasil penelitian Febrianty (2012) dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 5 dimensi profesionalisme yaitu: pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan

28 hubungan dengan rekan seprofesi yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas adalah hanya dimensi keyakinan terhadap profesi. Sedangkan dimensi yang lain tidak mempunyai hubungan signifikan. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Profesionalisme Auditor (X) (Arens, et al., (2014), SPAP (2011), Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) (Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M (2006), Febrianty (2012), Herawati dan Susanto (2009)) Pertimbangan Tingkat Materialitas (Y) (ISA 320 (2012), SPAP (2011), Arens, et al., (2014), Theodorus M. Tuanakotta (2013), SPA (2012)) 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran dan uraian penelitian ini, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah profesionalisme auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan.