BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP MTA Gemolong yang berlokasi di

BAB 1 PENDAHULUAN. murid, siswa, mahasiswa, pakar pendidikan, juga intektual lainnya.ada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional Memahami makna dan tujuan suatu tindakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis

Keywords: islamic boarding school, MTA, rational choice

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dikenal sebagai satu wadah untuk membangun dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN BAB IV

SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2015 PUSAT PENGEMBANGAN PPL & PKL STANDAR KOMPETENSI GURU KURIKULUM 2006 (KTSP)

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB 1 PENDAHULUAN. terelakkan. Seluruh lapisan masyarakat tidak terkecuali anak-anak bangsa

STANDAR KOMPETENSI MATA PELAJARAN PJOK

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA REMAJA MUSLIM DENGAN MOTIVASI MENUNTUT ILMU DI PONDOK PESANTREN

URGENSI SATUAN ACARAPERKULIAHAN (SAP)DALAM PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan karakter merupakan aspek penting bagi setiap

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, [terhubung berkala]. [3 April 2009]. 2

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan peralihan transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah proses pengembangan, pembentukan, bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Bangsa yang memiliki karakter tangguh lazimnya tumbuh berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) / MADRASAH TSANAWIYAH (MTs)

Pendidikan seksualitas remaja. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. sering diartikan juga sebagai sekolah agama bagi pelajar muslim (Sumadi,

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. agar pelajaran yang diterapkan oleh guru dapat dipahami oleh siswa sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, serta kepercayaan.

HUBUNGA SEKSUAL SKRIPSII. Diajukan Oleh: F HUBUNGA

I. PENDAHULUAN. teknologi, pergeseran kekuatan ekonomi dunia serta dimulainya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. saat ini, para bapak pendiri bangsa (the founding fathers) menyadari bahwa paling

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. hlm Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung : 2005, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

BAB I PENDAHULUAN. maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu. diantara sifat beliau adalah benar, jujur, adil, dan dipercaya.

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi permasalahan serius, maraknya kasus-kasus yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. baik pada fisik jasmaniah, maupun mental.perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha membina kepribadian dan kemajuan manusia

BAB I PENDAHULUAN. mencuri, tawuran antara remaja, pembegalan, pemerkosaan bahkan sampai

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Pasal I Ayat I,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Guru merupakan pihak yang bersinggungan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. usia remaja yaitu tahun yang terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setelah berlangsung beberapa tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Tindakan,

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 7 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2014 PENGARUH PAI DAN KEGIATAN EKSTRAKULIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PENINGKATAN AKHLAK MULIA SISWA

Banyaknya fenomena penyimpangan perilaku yang bisa dilihat secara. setiap hari, membentuk keprihatinan bahwa bangsa ini sedang

2015 STUDI TENTANG PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN SANTRI AGAR MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

Upaya untuk Menyiapkan Insan Yang Berkarakter Melalui Program Leader Class di Kabupaten Cilacap Oleh : Nur Fajrina R.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri di tengah-tengah

BAB I PENDAHULUAN. dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan. demokratis serta bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 Tentang STANDAR KOMPETENSI KELULUSAN (SKL)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menuju masa dewasa. Pada masa remaja banyak sekali permasalahan yang

BAB I PENDAHULUAN. mendatang, akan tetapi teknologi informasi serta ilmu pengetahuan dan tekhnologi (Iptek) yang

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung tinggi nilai nilai kesopanan, sehingga dikenal sebagai bangsa yang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda bangsa. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekaligus menjadi

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Lokasi SMKN Wonorejo di lingkungan pesantren yang merupakan. lembaga sekolah kejuruan yang bernuansa pesantren, siswa SMKN Wonorejo

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini permasalahan pendidikan merupakan permasalahan yang. merupakan bagian dari upaya membangun karakter dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 Tentang STANDAR KOMPETENSI KELULUSAN (SKL)

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

PENDIDIKAN KARAKTER CERDAS FORMAT KELOMPOK (PKC - KO) DALAM MEMBENTUK KARAKTER PENERUS BANGSA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berakhlak mulia dan mampu menempatkan dirinya dalam situasi apapun. Karakter

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak hanya pada masalah belajar seperti membolos, mencontek, dan prestasi belajar yang rendah, namun telah merambah pada kasus yang semakin serius seperti pergaulan bebas dan tindak kriminal. Berdasarkan data informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada tahun 2009, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang. Sebesar 2.797 orang pelaku berjenis kelamin laki-laki, sedangkan sebesar 483 orang pelaku berjenis kelamin perempuan (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2009). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pada tahun 2012 juga mencatat jumlah tersangka narkoba usia remaja yakni usia 16-19 tahun mencapai angka 2.106 jiwa. Jumlah pengguna narkoba terbanyak kelima diduduki provinsi Jawa Tengah (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2012, kemenkes kembali mencatat sebesar 5,2 % remaja usia 15-19 tahun telah melakukan hubungan seks pra nikah (Kemenkes, 2015). Sementara itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah mencatat sejak tahun 2010 2014 setiap tahun terdapat 65 85 kasus Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sebagian besar adalah siswa usia 15 18 th (PKBI Jawa Tengah, 2015). Tingginya angka kenakalan remaja yang telah dipaparkan mengundang kecemasan yang semakin mendalam dari berbagai pihak yang berkepentingan khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah, orang tua dan masyarakat pada umumnya (Saad, 2003:3). Salah satu alternatif yang digunakan Depdiknas sebagai utusan pemerintah untuk mengurangi angka kenakalan remaja adalah melalui optimalisasi fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga sosialisasi nilai dan norma yang cukup penting setelah keluarga diharapkan mampu mencetak generasi bangsa yang memiliki karakter sehingga tidak lagi terjerumus pada kenakalan remaja. 1

2 Optimalisasi fungsi sekolah dilakukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan kurikulum 2013 dimana menekankan pentingnya aspek afektif bagi siswa. Pada kurikulum tersebut terdapat berbagai macam nilai yang ingin diimplementasikan kedalam diri siswa baik pada jenjang SD, SMP, maupun SMA. Nilai yang diimplementasikan diantaranya adalah membentuk siswa yang beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi internal, toleransi, gotong royong, kerjasama, musyawarah, pola hidup sehat, ramah lingkungan, patriotik, dan cinta perdamaian (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Melalui penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan siswa dapat terbentuk kepribadian yang baik sehingga mampu mengendalikan perilakunya sendiri. Selaras dengan pemerintah, orang tua juga mempercayakan sekolah sebagai lembaga pendidikan di luar keluarga. Bahkan pemilihan lembaga pendidikan menjadi sesuatu yang dipikirkan orang tua secara matang. Tidak secara serta merta orang tua memilihkan lembaga pendidikan bagi anaknya. Berbagai pertimbangan dan perhitungan dilakukan orang tua untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari pemilihan lembaga pendidikan tersebut. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jenis pendidikan yang ada di Indonesia mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan jenis keagamaan seperti pesantren, saat ini cukup banyak diminati oleh masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah tahun 2014 jumlah santri di Jawa Tengah mencapai 507,853 santri. Jumlah santri tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2015 yakni menjadi 638.288 santri. Eksistensi pesantren ini cukup memberikan kontribusi di bidang pendidikan. Berdasarkan analisis statistik Pendidikan Islam, jika dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) pada pondok pesantren, pondok pesantren mempunyai kontribusi 7,18% dari APK nasional terhadap anak usia sekolah.

3 Keberadaan pesantren cukup berkembang pesat di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Jumlah santri di Kabupaten Sragen menduduki peringkat pertama se eks-karesidenan Surakarta. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 dimana jumlah santri di Kabupaten Sragen mencapai angka 13.274 siswa. Gambar 1.1. Histogram Data Jumlah Santri se-eks Karesidenan Surakarta Tahun 2015 (Sumber: jateng.bps.go.id) Salah satu pesantren modern yang terkenal di Sragen adalah SMP MTA Gemolong. Pesantren jenjang SMP di bawah naungan yayasan Majlis Tafsir Qur an (MTA) tersebut mengajarkan mata pelajaran umum serta pelajaran agama. Pesantren ini banyak diminati oleh masyarakat baik dalam kota maupun luar kota. Siswa dari dalam kota atau sekitar SMP MTA biasanya boleh pulang kerumah atau lajo, sementara siswa dari luar kota biasanya berada di asrama. Perkembangan pesantren dalam dunia pendidikan memperlihatkan beberapa hal yang cukup menarik. Pasalnya, sekolah umum dan pesantren memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Siswa di sekolah umum hanya menempuh proses belajar mengajar 7 sampai 8 jam perhari. Setiap hari siswa dapat pulang ke rumah dan berinteraksi dengan orang tuanya. Orang tua tetap berperan memantau dan mengikuti proses pendidikan anaknya. Sementara itu,

4 proses belajar mengajar di pesantren dilakukan hampir 24 jam perhari. Selama 7 jam diantaranya pembelajaran materi umum di sekolah dan sisanya pembiasaan diri melalui penanaman nilai-nilai agama Islam di asrama. Setiap kegiatan seperti belajar, makan, mengaji, tidur, dan sebagainya telah diatur sedemikian rupa oleh pesantren. Selama di pesantren siswa hanya boleh menghubungi orang tuanya pada jam-jam tertentu. Selain itu jadwal kepulangan siswa juga telah diatur pesantren sehingga intensitas bersama orang tua menjadi sangat terbatas. Dengan demikian peran orang tua menjadi sedikit bila dibandingkan dengan orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Padahal secara sosiologis orang tua merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama yang seharusnya mendidik anak-anaknya. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang Rasionalitas Pilihan Orang Tua Terhadap Pesantren Modern MTA Sebagai Lembaga Pendidikan Bagi Remaja Putri. Secara rasional bagaimana tujuan dan manfaat yang ingin dicapai orang tua atas pilihannya terhadap MTA, padahal masih terdapat berbagai jenis sekolah yang memberikan fasilitas dan jaminan yang lebih baik. B. Rumusan Masalah Bagaimana rasionalitas orang tua dalam memilih pesantren modern MTA sebagai lembaga pendidikan bagi remaja putri? C. Tujuan Penulisan Menjelaskan rasionalitas orang tua dalam memilih pesantren modern MTA sebagai lembaga pendidikan remaja putri. D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya tentang memahami konsep purposive pilihan orang tua terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan anak melalui pendekatan teori pilihan rasional yang dipopulerkan oleh James S Coleman. Dalam teori pilihan rasional menyebutkan bahwa setiap pilihan yang dilakukan

5 oleh individu pasti ada purposive yang mendasarinya. Purposive tersebut berkaitan dengan nilai yang berkembang di dalam masyarakat. b. Memberikan gambaran tentang upaya maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi resiko orang tua atas pilihannya terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan anak. Coleman menyebutkan bahwa inti pemikiran dari teori pilihan rasional adalah memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana orang tua memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasi resiko pada anak dengan menyekolahkannya di pesantren. 2. Manfaat Praktis a. Orang Tua Siswa Sebagai bahan pemikiran bagi orang tua untuk turut serta melaksanakan proses pendidikan terhadap anak di luar asrama agar mampu membentuk kepribadian yang baik pada anak. b. Asrama Putri SMP MTA Gemolong Sebagai bahan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan agar mampu mencapai tujuan yang optimal sesuai visi dan misi yang telah dirumuskan. c. Siswa Sebagai gambaran dan arahan dalam berperilaku di dalam keluarga dan sekolah agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter. d. Organisasi MTA Menunjukkan eksistensi organisasi dan loyalitas anggota terhadap MTA.