BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG PENUNTUTAN KEMBALI MUHAL KEPADA MUHIL SELAMA TIDAK ADA SYARAT KHIYAR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

RAHN, DAN KETENTUAN FATWA DEWAN SYARIAH

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB II KONSEP DASAR TENTANG HIWALAH. ialah memindahkan atau mengoperkan, Abdurrahman al-jaziri berpendapat,

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. di dalamnya juga mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan cakupannya

BAB VI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI GADAI SAWAH DI DESA MORBATOH KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

MAKALAH FIQIH MUAMALLAH DEFINISI, DASAR HUKUM, RUKUN DAN SYARAT HAWALAH. (diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah fiqih muamallah)

BAB IV ANALISIS TERHADAP MEKANISME PEMBIAYAAN EMAS DENGAN AKAD RAHN DI BNI SYARIAH BUKIT DARMO BOULEVARD CABANG SURABAYA

Rahn - Lanjutan. Landasan Hukum Al Qur an. Al Hadits

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. melalui Rasulullah saw yang bersifat Rahmatan lil alamin dan berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Melakukan kegiatan ekonomi dan bermuamalah merupakan tabi at. manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu. Menurut madzhab Maliki, Syafi i, dan Hanbali, jual beli sendiri

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Nadhifatul Kholifah, Topowijono & Devi Farah Azizah (2013) Bank BNI Syariah. Hasil Penelitian dari penelitian ini, yaitu:

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI IJĀRAH JASA SIMPAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG BLAURAN SURABAYA

Rahn /Gadai Akad penyerahan barang / harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. wawancara kepada para responden dan informan, maka diperoleh 4 (empat) kasus

BAB IV ANALISIS TERHADAP HUKUM JUAL BELI CABE TANPA KESEPAKATAN HARGA

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang Dengan Jaminan. bab sebelumnya, bahwa praktek utang piutang dengan jaminan barang

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min allah) dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Hukum

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Gadai

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Praktek Pinjam Pakai Sepeda Motor

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Praktik Denda bagi Pihak Penggadai Sawah oleh Penerima Gadai di Desa

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PENETAPAN HARGA PADA JUAL BELI AIR SUMUR DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai alhabsu.

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI GANDA KENDARAAN BERMOTOR DI KELURAHAN PAGESANGAN KECAMATAN JAMBANGAN KOTA SURABAYA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN PESANAN CATERING DAN STATUS UANG MUKA YANG DIBATALKAN DI SARAS CATERING SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang lengkap dan bersifat universal, berisikan ajaran-ajaran

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN

BAB IV ANALISIS. A. Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan pada Perum Pegadaian Cabang Bandar Lampung

MURA>BAH}AH DAN FATWA DSN-MUI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK BISNIS JUAL BELI DATABASE PIN KONVEKSI. A. Analisis Praktik Bisnis Jual Beli Database Pin Konveksi

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH

BAB IV. Sebagaimana deskripsi pada dua bab terdahulu dapat dipahami. bahwa dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia menjelaskan

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KENAIKAN DENGAN SISTEM BON DI WARKOP CAHYO JAGIR SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BAB IV ANALISIS DUA AKAD (MURA>BAH}AH DAN RAHN) DALAM PEMBIAYAAN MULIA (MURA>BAH}AH EMAS LOGAM MULIA UNTUK INVESTASI ABADI) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV SUMUR DENGAN SISTEM BORONGAN DI DESA KEMANTREN KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah ISSN:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM JUAL BELI IKAN DENGAN PERANTAR PIHAK KEDUA DI DESA DINOYO KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual beli.

Hawalah, Dhaman dan Kafalah

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

AKAD RAHN DAN AKAD-AKAD JASA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijawab dengan tuntas oleh ajaran Islam melalui al-qur an sebagai

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JASA PENGETIKAN SKRIPSI DENGAN SISTEM PAKET DI RENTAL BIECOMP

BAB IV ANALISIS DATA

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

RAHN (HUTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN) DALAM HUKUM

UAS Ushul Fiqh dan Qawa id Fiqhiyyah 2015/2016

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN, PERBEDAAN, DAN AKIBAT HUKUM ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA DALAM MENGATUR OBJEK JAMINAN GADAI

BAB II MEKANISME GADAI SYARIAH (RAHN) harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang amat damai dan sempurna telah diketahui dan dijamin

Penggadaian (Rahn) Satu sha sama dengan empat mud. Dan satu mud adalah sepenuh kedua telapak tangan orang yang sedang. (penerjemah).

BAB III STUDI PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

Al Wajibu La Yutraku Illa Liwajibin

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM. etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan. 1

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO

BAB IV ANALISIS TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI HASIL BUMI DENGAN SISTEM PANJAR DI DESA JENARSARI GEMUH KENDAL

utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANA DEPOSITO DI BNI SYARI AH CAB. SURABAYA

BAB IV PEMANFAATAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT DESA SANDINGROWO DILIHAT DARI PENDAPAT FATWA MUI DAN KITAB FATH}UL MU I<N

BAB IV ANALISIS PRAKTEK MAKELAR. A. Praktek Makelar Dalam Jual Beli Mobil di Showroom Sultan Haji Motor

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM TENTANG PERILAKU JUAL BELI MOTOR DI UD. RABBANI MOTOR SURABAYA

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV. A. Analisis terhadap Sistem Bagi Hasil Pengelolaan Ladang Pesanggem Antara

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HADIAH/ UANG YANG DIBERIKAN OLEH CALON ANGOTA DPRD KEPADA MASYARAKAT DI KECAMATAN DIWEK

BAB IV ANALISIS DATA. Yogyakarta, 2008, hlm Dimyauddin Djuwaini, Pengantar fiqh Muamalah, Gema Insani,

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG PENUNTUTAN KEMBALI MUHAL KEPADA MUHIL SELAMA TIDAK ADA SYARAT KHIYAR A. Analisis Pendapat Ibnu Abidin tentang penuntuan kembali muhal kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar Dalam pemikiran Ibnu Abidin, muhal bisa menuntut kembali kepada muhil selama tidak disyaratkan khiyar. Terhadap pemikiran ini dapat dianalisis sebagai berikut: Ibnu Abidin berpendapat bahwa dengan tidak mensyaratkan khiyar muhal bisa menuntut haknya kepada muhil karena muhal alaih dalam keadaan pailit. Sehingga hal ini mengindikasikan keadilan bagi kedua belah pihak. Disamping itu pengertian khiyar adalah memilih antara dua meneruskan akad atau mengurungkannya. Dalam pendapatnya Ibnu Abidin tidak mensyaratkan khiyar karena dengan tidak adanya syarat khiyar membuka peluang muhal untuk bisa mendapatkan haknya dari muhil. Menurut Ibnu Abidin yang dimaksud hiwalah ialah: المختال عليه ذمة إلى المحيل ذمة من ين الد نقل 56

57 Artinya: Memindahkan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (muhtal alaih). 1 Dari definisi di atas dapat diindikasikan bahwa dalam pemindahan atau pengalihan hutang dalam transaksi hiwalah terdapat unsur kepercayaan dan amanah, dengan adanya unsur kepercayaan dan amanah ini dimana masing-masing pihak saling mempercayai untuk melaksanakan amanah, maka pengalihan tersebut tidak secara otomatis melahirkan akibat lepasnya kewajiban pihak pertama (muhil) untuk membayar hutangnya kepada pihak kedua (muhal) sebelum pihak ketiga (muhal alaih) membayar hutangnya. Karena muhal alaih tidak bisa melaksanakan kewajibannya terhadap muhal maka muhillah yang menggantikannya. Dalam transaksi hiwalah terdapat syarat persetujuan atau ridho bagi masing-masing pihak khususnya muhal, persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan pembayaran itu merupakan hak muhal, jika transaksi hiwalah dilakukan sepihak saja muhal dapat saja merasa dirugikan misalnya apabila muhal alaih sulit membayar hutang tersebut. Didalam hadits Nabi tentang hiwalah 2 terdapat kalimat perintah yang artinya maka terimalah atau maka hendaknya ia beralih menunjukkan bahwa 1 Ibnu Abidin Raad Almukhtar,Juz VIII,beirut: Darul Kitab Il-Miyah,1994, h.3 2 Al-Imam Abi Abdillah Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I,Beirut : Daar al-fikr,1981,h. 683.

58 akad hiwalah hukumnya sunnah, bukan wajib. Dengan demikian, muhal tidak dapat dipaksa untuk menerima akad hiwalah sehingga ada indikasi unsur kerelaan harus ada dalam muhal. Sementara itu, ulama Hambali tidak menetapkan persyaratan ini pada muhal, karena mereka berpendapat bahwa kalimat perintah itu menunjukkan wajib. Sehingga tidak diperlukan persetujuan dari muhal dan muhal alaih. Apabila muhal dan muhal alaih tidak menyetujui tindakan itu, mereka dapat dipaksa untuk melaksanakannya, sepanjang mereka mengetahui tindakan muhil. Sedangkan adanya persyaratan ridho dari pihak muhal alaih karena tindakan hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada muhal alaih untuk membayar hutang kepada muhal, sedangkan kewajiban membayar hutang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berhutang kepada muhal. Karena itu, kewajiban tersebut hanya dapat dibebankan kepadanya jika ia menyetujui hiwalah tersebut. Mengenai muhil inisiatif pertama kali harus bersumber kepada pihak pertama atau muhil, karena pihak pertama inilah yang berkeinginan memindahkan hutangnya kepada muhal alaih atau pihak ketiga untuk membayar kepada muhal atau pihak kedua karena muhil punya piutang terhadap muhal alaih. Dari adanya persyaratan persetujuan dari masing-masing pihak terasa ada rasa keadilan bagi masing-masing pihak sehingga kemudharatan dapat

59 dihindari. Jika kemudharatan dapat dihindari maka jenis transaksi ini dapat diterima di masyarakat. Untuk sekedar perbandingan tentang apa yang dikemukakan Ibnu Abidin, ada baiknya dikemukakan pendapat ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa dalam pengalihan pembayaran hutang, jika ternyata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya tersebut, sehingga yang memberi hutang tidak mendapatkan apa-apa dari orang tersebut, ia tidak dibolehkan kembali lagi kepada muhil (untuk menagih hutang) kecuali jika muhil telah menipu kepada muhal atau muhtal, yaitu dengan mengalihkan pembayaran hutang kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir) 3. Selanjutnya Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila hiwalah dilakukan dengan sah, maka tanggungan menjadi gugur atau berakhir jika muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia atau tidak memenuhi proses pengalihan maka muhal tidak diperbolehkan kembali nenuntut kepada muhil 4. Transaksi hiwalah termasuk tindakan hukum yaitu tindakan hukum berupa perkataan yang bersifat akad. Dalam akad terdapat tujuan yang ingin dicapai sejak semula sehingga akad bersifat mengikat bagi pihak yang berakad tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan oleh hal-hal yang dibenarkan syara. 3 Abdurrahman Aljaziri, Fiqih ala Madzabil Arbaah, maktabah altijariyah,h. 155. 4 Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: pena pundit aksara, 2004, h. 224.

60 Jika mencermati pendapat Ibnu Abidin, ulama Malikiyah dan jumhur ulama di atas dapat dikemukakan bahwa pendapat Ibnu Abidinlah yang lebih adil bagi masing-masing pihak karena muhal mendapatkan haknya untuk dilunasi. Muhil bisa menunaikan kewajibannya kepada muhal. Urusan piutang muhil kepada muhal alaih menjadi urusan hutang piutang biasa tanpa menggunakan transaksi hiwalah. Menurut Ibnu Abidin hak muhal tidak dapat terpenuhi oleh muhal alaih karena attawa yaitu muhal alaih mengalami pailit (muflis, bangkrut), padahal yang punya inisiatif pertama kali untuk mengalihkan hutang adalah pihak muhil sedangkan dalam akad terdapat sifat yang mengikat sesuai sabda Rasulullah: مسعد) ن عبداالله عن والحاكم الترمذى شروطهم(رواه على المسلمون Artinya : kaum muslimin terikat dengan syarat yang telah ditetapkan (HR At-Tirmidzi dan al-hakim dari Ibnu Mas ud). Dari sini pihak pertama atau muhil harus menjalankan kewajibannya sehingga hak muhal dapat terpenuhi karena akad bersifat mengikat. Sudah menjadi ciri khas dari fiqih madzab Hanafi tentang penghargaan khusus terhadap hak-hak seseorang, baik pria maupun wanita. Sehingga wajar jika hak muhal harus dipenuhi oleh muhil sebagai pihak yang berinisiatif untuk menghiwalahkan (memindahkan hutang). Selain paparan di atas mengenai pendapat Ibnu Abidin tentang penuntutan kembali muhal kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar,

61 nampaknya dilatar belakangi oleh faktor tempat, faktor zaman dan kondisi sosial, faktor niat dan faktor adat kebiasaan. Ibnu Abidin dilahirkan di Damaskus Syiria. Tempat itu jauh dari Mekah dan Madinah sehingga metode istinbath hukum dengan akal (ra yi) sering digunakan untuk menghadapi permasalahan yang ada ditempatnya, metode istinbath ini (qiyas,istihsan) tidak berdiri sendiri karena metode ini harus merujuk pada Kitabullah. Ibnu Abidin hidup pada masa Sultan Abdul Hamid (Dinasti Usmaniyah) yaitu pada abad ke-18 sampai abad ke-19 Masehi. Dalam catatan sejarah dunia Islam, situasi ekonomi pada masa ini terjadi kemerosotan akibat perang. Sehingga pendapatan berkurang dalam situasi ini seorang mujtahid dalam berpendapat pasti memikirkan keadilan bagi masing-masing pihak sehingga kerugian bisa dihindarkan. 5 Dalam hukum Islam faktor niat sangat mempengaruhi keabsahan suatu bentuk muamalah, kalau niat dari pihak-pihak yang bertransaksi tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh syara pada suatu bentuk muamalah, maka transaksi tersebut tidak dapat dibenarkan. Atas dasar itu sasaran dari suatu akad harus senantiasa mengacu kepada tujuan yang dikehendaki syara dalam setiap pensyariatan hukum, yaitu kemaslahatan 2003, h. 168. 5 Dr. Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

62 manusia secara keseluruhan. Jika pada suatu transaksi terdapat indikasiindikasi kemaslahatan berarti disitu terdapat hukum Allah. 6 Faktor adat kebiasaan sangat mempengaruhi mujtahid dalam mengambil hukum 7, pendirian ulama Hanafiyah adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercaya dari keburukan serta mempertahankan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Adat kebiasaan yang mempengaruhi Ibnu Abidin adalah adat kebiasaan yang benar sesuai dengan yang dikehendaki syara dalam setiap pensyariatan hukum, yaitu kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Kemaslahatan bagi masingmasing pihak yang terlibat dalam transaksi hiwalah. Ibnu Abidin adalah ulama Hanafiyah generasi mutakhirin, ia adalah seorang pedagang sejak kecil, karena latar belakang inilah secara tidak langsung mempengaruhi pendapat-pendapat Ibnu Abidin. Dimana seorang pedagang yang baik adalah pedagang yang meminimalisir risiko kerugian. Selain itu demi menjaga risiko kredit macet, muhal perlu kembali untuk menuntut haknya kepada muhil karena muhal alaih bangkrut selama tidak ada syarat khiyar. 6 Nasrun Haroen, fiqh muamalah, jakarta: gaya media pratama, 2007, h. 23. 7 Ibid, h. 23.

63 B. Analisis Istinbath Hukum Ibnu Abidin Pada sub bab ini penulis akan berusaha menganalisis metode istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Abidin dalam menentukan hukum tentang penuntutan kembali muhal kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar. Dalam hal kaitannya dengan penuntutan kembali muhal kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar, Ibnu Abidin berpegang kepada qiyas, qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyatakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum sebab sama dengan illat hukumnya. Sedangkan illat adalah sifat hukum asal yang dijadikan dasar hukum, yang dengan sifat tersebut dapat diketahui hukum pada masalah baru. Illat adalah yang menentukan hukum, ia disebut juga hubungan, sebab dan tanda hukum 8. Mengenai hukum pemindahan hutang ini terdapat kemiripan antara hiwalah atau pengalihan hutang dengan ar-rahn atau gadai. 9 Sehingga transaksi hiwalah ini diqiyaskan dengan nash yang menjadi landasan syariah dari transaksi ar-rahn.untuk menqiyaskan transaksi ini harus ada unsur-unsur qiyas yaitu: pertama, peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebut juga asal atau maqis alaih yaitu: ان رسول االله صلي االله عليه و سلم اشترى طعاما من يهودي الي اجل ورهنه درعا من حديد 8 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani,2003, h, 65. 9 Ibnu Abidin. Op. Cit. h. 4.

64 Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan dia menggadaikan sebuah baju besi kepadanya ( HR. al-bukhari dan Muslim). 10 Hadits di atas merupakan dasar hukum dari transaksi ar-rahn karena peristiwa penuntutan kembali muhal kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar harus diqiyaskan dengan transaksi ar-rahn atau gadai. Dimana dalam hadits di atas terdapat rukun dan syarat ar-rahn yaitu pihak penerima baranglmurtahin, pihak penggadai/rahin dan barang jaminan yaitu baju besi. Kedua, cabang (furu ) yaitu peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya oleh nash, Muhal dalam hal ini sebagai pihak yang menggadaikan barang/rahin, muhil sebagai pihak yang menerima barang dan piutang muhal adalah barang yang dijadikan jaminan. Ketiga, hukum asal atau hukum yang dibawa oleh nash terhadap peristiwanya yaitu kebolehan melakukan transaksi gadai. Keempat, illat hukum yaitu sifat hukum asal yang dijadikan dasar hukum, yang dengan sifat tersebut dapat diketahui hukum pada masalah baru. Dalam transaksi ini illatnya adalah menolak kesusahan. 11 Dari paparan di atas, peristiwa penuntutan kembali muhal kepada muhil untuk mendapatkan haknya dalam transaksi hiwalah diqiyaskan dengan arrahn karena dalam ar-rahn jika rahin sudah membayar hutangnya kepada murtahin maka rahin punya hak untuk mengambil barang yang dijadikan jaminannya kembali sehingga murtahin memiliki kewajiban untuk mengembalikannya, dalam hal ini muhal adalah rahin dan muhil adalah 10 Al-Imam Abi Abdillah Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I,Beirut : Daar al-fikr,1981,h. 663. 11 Abdul Wahhab Khallaf, op. cit. h. 68.

65 murtahin, karena dalam ar-rahn rahin mendapatkan haknya dari murtahin maka dalam hiwalah muhal mendapatkan haknya dari muhil. Dari sini terdapat maslahah bagi pihak yang bersangkutan yaitu muhal bisa mendapatkan haknya dan muhil bisa memenuhi kewajibannya sehingga muhil dapat dikatagorikan orang yang amanah. Disamping itu yang dijadikan acuan dalam menetapkan hukum suatu persoalan muamalah adalah tercapainya maqashid asy-syari ah (tujuan yang hendak dicapai dalam mensyariatkan suatu hukum, sesuai dengan kehendak syara ) yaitu kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Jika pada suatu transaksi terdapat indikasi-indikasi kemaslahatan berarti disitu terdapat hukum Allah. Untuk itu, dengan cara apapun kemaslahatan itu bisa dicapai, maka cara-cara itu pun disyariatkan. Agar muhal bisa mendapatkan haknya dari muhil maka seorang mujtahid harus mengqiyaskan peristiwa ini Sehingga muhal boleh menuntut kembali kepada muhil selama tidak ada syarat khiyar lebih memberikan keadilan dan kemaslahatan bagi masing-masing pihak. Dan ini sesuai dengan prinsip umum syariat Islam yang sesuai dengan syara yaitu memberikan manfaat bagi umat manusia dan tidak membawa mudharat bagi mereka.