BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI I. kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat. mengikat untuk semua yang beragama Islam.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB III KETENTUAN PASAL 191 DAN KITAB-KITAB REFERENSINYA

Fiqh dan Pengurusan Harta Warisan: Dengan Fokus kepada Faraid

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB II KONSEP WARIS DAN HAK WARIS

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek

BAB II KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB II KEDUDUKAN JANDA TANPA KETURUNAN DALAM KEWARISAN ISLAM

MAKALAH PESERTA. Hukum Waris dalam Konsep Fiqh. Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN GARRA>WAIN SEBAGAI Z AWI<>L FURU><D{ DALAM SURAT KEPUTUSAN MA NO. KMA/032/SK/IV/2006

BAB IV ISTINBATH HUKUM DAN NATIJAH. nash yang menerangkan tentang pembagian waris seorang transseksual yang

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB IV SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS DI KAMPUNG ADAT PULO KABUPATEN GARUT DALAM PERSEPSI HUKUM ISLAM

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

Spirit Keadilan Dalam Warisan :Dirasah Hadis Edisi 37

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

KEDUDUKAN KELEBIHAN HARTA WARISAN (RADD) UNTUK JANDA DAN DUDA DALAM HUKUM WARIS ISLAM

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KONDISI EKONOMI AHLI WARIS DI DESA KRAMAT JEGU KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. dengan ahli waris. Adanya pewarisan berarti adanya perpindahan hak, berupa. harta benda dari si pewaris kepada ahli waris.

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM. Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-mīrath, dalam bahasa arab

BAB 2 LANDASAN TEORI

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN FIQH MAWARITS DI MADRASAH ALIYAH

Daftar Terjemah. Lampiran 1

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah

بسم االله الرحمن الرحیم

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts,

BAB IV ANALISIS TERHADAP SEBAB-SEBAB JANDA TIDAK MENDAPAT WARIS

BAB II PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. yang memiliki beberapa arti yakni mengganti, memberi dan mewarisi. 15

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Waris Kata waris berasal dari bahasa Arab, waris\a-yaris\u yang artinya mempusakai harta, 1 bentuk jamaknya adalah mawa>ris\, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. 2 Menurut Abdul Ghafur, kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik. 3 Jadi kewarisan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan peralihan harta antara pewaris dan ahli warisnya. Ditinjau dari segi bahasa, pengertian al-mi>ra>s\ adalah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Dengan demikian, obyek kewarisan sangat luas tidak hanya terbatas pada harta benda melainkan bisa juga berupa ilmu, kebesaran kemulian, dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari segi istilah Ilmu Faraidh, pengertian al-mi>ra>s\ adalah perpindahan hak pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli 1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h. 496 2 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 11 3 Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, h. 39 21

22 warisnya yang masih hidup, baik pemilikan tersebut berupa harta, tanah, maupun hak-hak lain yang sah. 4 Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah fara>id}. Hasbi Ash Shiddiqy, dalam bukunya Fiqih Mawaris mendefinisikan Ilmu Faraidh yaitu Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak dapat menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahlim waris dan cara pembagiannya. 5 B. Hukum Kewarisan Bagi setiap pribadi muslim adalah merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan peraturan-peraturan hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturanperaturan yang jelas ( nas}-nas} yang s}ari>h}). Selama peraturan tersebut ditunjuk oleh peraturan atau ketentuan lain yang menyebabkan ketidakwajibanya, maksudnya setiap ketentuan hukum agama Islam wajib dilakukan selama tidak ada ketentuan lain yang menyatakan ketentuan terdahulu tidak wajib. 6 Demikian pula halnya mengenai hukum faraidh tidak ada satu ketentuan pun (nas}) yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan fara>id} itu tidak wajib, bahkan sebaliknya. Dengan demikian, ketentuan tentang pembagian harta warisan yang terdapat dalam Al-Qur an dan Sunnah merupakan 4 Muhammad Ali > As}-S}a>buny, Hukum Kewarisan menurut Al-Qur an dan Sunnah, h. 41 5 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 14 6 Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, h. 3

23 ketentuan hukum yang bersifat memaksa, dan karenanya wajib bagi setiap pribadi muslim untuk melaklsanakanya. Adapun yang melatarbelakangi wajibnya melaksanakan ketentuan pembagian harta warisan sesuai petunjuk Al-Qur an dan Sunnah didasarkan ketentuan surat An-Nisa ayat 13 dan 14 dan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud yang artinya sebagai berikut, Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur an). 7 C. Sumber-Sumber Hukum Kewarisan Hukum-hukum pembagian waris bersumber pada : a. Al-Qur an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard} tiap ahli waris, 8 seperti dalam surat An- Nisa ayat 11 : 7 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 34 8 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 15

24 Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) atau sesudah dibayar utangnya, (tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 9 b. Al-Hadits, yang antara lain diriwayatkan oleh Imam Bukhori : Artinya : Menceritakan Musa> bin Isma>il menceritakan Wuhaib menceritakan Ibnu Tha>wus dari ayahnya dari Ibnu Abba>s, dari Nabi Muhammad S.A.W Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada asabah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama. 10 9 Departemen Agama, Al-Qur an al-kari>m, h. 79 10 Ima>m Bukha>ry>, S}ah}i>h} Bukha>ry>>, h. 8

25 c. Ijtihad, yaitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasuskasus pembagian waris, yang belum atau tidak disepakati. Meskipun hukum kewarisan adalah ketentuan yang dibakukan bagiannya, dalam penerapannya sering dijumpai kasus-kasus yang menyimpang atau tidak sama persias seperti yang dikehendaki al-qur an. Yang jelas, penyelesaian pembagian warisan, ketentuan baku dalam al-qur an dan Hadits tetap dipedomani untuk menentukan proporsional atau tindaknya penyelesaian pembagian waris. 11 D. Rukun dan Syarat Pembagian Kewarisan Adapun rukun-rukun kewarisan ada tiga yaitu : 12 a. Al-Muwarris\ (pewaris), yaitu seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Pewaris menjelang kematiannya tidak berhak menentukan siapa yang akan mendapatkan harta yang ditinggalkannya itu, karena semuanya telah ditentukan secara pasti oleh Allah. Kebebasannya untuk bertindak atas harta itu terbatas pada jumlah sepertiga hartanya itu. Adanya pembatasan bertindak terhadap seseorang dalam hal penggunaan hartanya menjelang kematianya adalah untuk menjaga hak ahli waris. Tidak berhaknya pewaris untuk menentukan yang menerima hartanya ialah untuk 11 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, h. 382 12 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, h. 4

26 tidak terlanggarnya hak pribadi ahli waris menurut apa yang telah ditentukan oleh Allah. 13 b. Al-Wa>ris\ (ahli wa ris), yaitu orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Dan orang yang berhak menerima harta warisan itu adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya syarat sebagai berikut : 1. Ahli waris tersebut telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris. 2. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan. 3. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. 14 c. Al-Mauru>s\ (harta warisan), yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, baik berupa uang, tanah, maupun yang lain. Al-Mauru>s} ini juga dinamakan alirs}, at-tu>ra>s}, al-mi>ra>s}, dan at-tarikah semuanya mempunyai pengertian sama. 15 Harta peninggalan itu setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang, dan meksanakan wasiat. 13 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 204 14 ibid, h. 211 15 Muhammad Ali > As}-S}a>buny, Hukum Kewarisan menurut Al-Qur an dan Sunnah, h.49

27 Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu dengan lainnya. Ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di antara ketiga unsur di atas tidak ada. 16 Syarat-syarat kewarisan ada tiga yaitu : 1. Wafatnya al-muwarris\ (pewaris), baik meninggal sebenarnya (hakikat) maupun dianggap meninggal (hukum). Harta peninggalan seseorang tidak boleh dibagi sebelum pemiliknya benar-benar wafat, atau sebelum hakim memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat (kematian secara hukum). Misalnya orang yang hilang dan tidak diketahui keadaannya, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Dengan demikian syarat pertama adalah ia benar-benar telah wafat secara pasti, atau didasarkan pada keputusan hakim bahwa ia dinyatakan wafat. Hal ini disebabkan, karena selama manusia masih hidup ia berhak mengelola hartanya dan pemilikanya, sehingga tidak boleh digantikan oleh orang lain. Jika ia sudah wafat, maka ia tidak berdaya sama sekali untuk mengelola harta kekayaan yang menjadi miliknya, sehingga hilanglah hak pemilikanya dan berpindah kepada ahli waris. 2. Adanya kepastian masih hidupnya al-wa>ris\ (ahli waris) ketika pada waktu pewaris wafat. 16 Suparman Usman, Fiqh Mawaris, h. 24

28 Berhubung ahli waris adalah orang yang menggantikan kepemilikan harta melalui proses kewarisan, maka ketika pewaris wafat ia harus benarbenar dalam keadaan hidup. Dengan demikian ia benar-benar layak menerima kedudukan sebagai pengganti. Karena, bila sudah mati tidak layak memiliki sesuatu, baik melalui proses kewarisan atau yang lainnya. 3. Mengetahui sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya seperti ikatan suamiistri, ikatan kekerabatan, dan tingkat kekerabatan. Hal ini dimaksudkan agar seseorang yang akan melaksanakan pembagian harta warisan dapat melakukanya dengan mudah dan benar. Karena, hukum kewarisan berbeda-beda menurut perbedaan jalur kewarisan dan tingkat kekerabatan. Oleh karena itu tidak cukup hanya mengatakan dia saudara laki-laki mayit, tanpa menjelaskan apakah saudara laki-laki sekandung, seayah, atau seibu, karena masing-masing mempunyai hukum yang berbeda antar yang satu dengan yang lainnya. Jalur pewarisan, seperti ikatan suami istri, kekerabatan dan tingkat kekerabatan, haruslah diketahui oleh para hakim atau orang alim (pemberi fatwa) sehingga memudahkan mereka melakukan pembagian harta warisan kepada para ahli waris, sebab hukum-hukum pewarisan dan penentuan bagian-bagian ahli waris sangat dipengaruhi oleh perbedaan jalur pewarisan dan tingkat kekerabatan. 17 E. Sebab-sebab Menerima Warisan 17 ibid, h. 25

29 Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru terjadi manakalah ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. 18 Adapun Sebab-sebab kewarisan yang menjadikan seseorang berhak mewarisi harta peninggalan mayit ada tiga yaitu : 19 a. Hubungan nasab Seperti orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara serta paman dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab denganya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur an surat al-anfa>l 75 : Artinya : Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 20 b. Hubungan nikah Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukanya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris. Pernikahan yang sah menurut syari at Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan 18 ibid, h. 28 19 Muhammad Ali > As}-S}a>buny, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur an dan Sunnah, h. 48 20 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 17

30 pernikahan itu masih terjadi. Oleh karena itu, merupakan bijaksana bila Allah memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dan jerih payahnya, bila salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka. Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris siapapun. Mereka hanya dapat terhijab nuqs}an (dikurangi bagiannya) oleh anak turun mereka atau ahli warisnya. Perkawinan yang menyebabkan dapat mewarisi terdapat dua syarat : a. Akad nikah itu sah, baik keduanya telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan : 1. Keumuman ayat-ayat mawaris. 2. Tindakan Rasulullah SAW. Bahwa beliau telah memutuskan kewarisan Barwa binti Wasyiq yang suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan sebelum menetapkan maskawin. Suatu perkawinan yang fasid tidak dapat digunakan alasan untuk menuntut harat pusaka bila salah seorang suami-istri telah meninggal dunia walaupun terjadi hubungan kelamin antara keduanya. Hal ini karena perkawinan yang fasid bukanlah perkawinan yang sah menurut syari at. b. Ikatan perkawinan suami-istri masih utuh atau dianggap masih utuh Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan itu diputuskan dengan talak raj i, tapi masih dalam masa iddah.

31 Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena saat pihak istri masih berada dalam masa iddah, suaminya masih mempunyai hak penuh untuk merujuknya. Dengan demikian, hak sumi istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang masih dalam iddah talak raj i, istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dalam masa iddah talak raj i. Akan tetapi, bila istri habis masa iddahnya, menurut ijma keduanya tidak dapat saling mewarisi. c. Hubungan wala Wala adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang memerdekakanya berhak mendapatkan warisan. Wala yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga wala ul itqi atau wala un ni mah. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai hamba sahaya. 21 Oleh syari at Islam, wala digunakan untuk memberi pengertian : 21 ibid, h. 22-24

32 1. kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan kepada hamba sahayanya. 2. kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seorang dengan seorang yang lain. 22 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa sebab-sebab pewarisan dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu sebab nasabiyah (adanya hubungan nasab) dan sebab sababiyah (adanya nasab). Kekerabatan termasuk kategori sebab nasabiyah, sedangkan perkawinan dan wala termasuk kategori sebab sababiyah. 23 F. Ahli waris dan Macam-macamnya Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala ). 24 Para ahli waris dari kelompok laki-laki yang telah disepakati kewarisan mereka secara garis besar ada sepuluh orang dan jika dirinci ada lima belas orang, yaitu : 25 1. Anak laki-laki 22 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 121 23 Suparman Usman, Fiqh Mawaris, h. 29 24 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 43-45 25 Muhammad Ali > As}-S}a>buny, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur an dan Sunnah, h. 58

33 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah 3. Ayah 4. kakek yang s}ahi>h dan seterusnya keatas 5. Saudara laki-laki sekandung 6. Saudara laki-laki seayah 7. Saudara laki-laki seibu 8. Anak lelaki dari saudara laki-laki sekandung 9. Anak lelaki dari saudara laki-laki seayah 10. Saudara laki-laki ayah (paman) sekandung 11. Saudara laki-laki ayah (paman) seayah 12. Anak lelaki dari paman sekandung 13. Anak lelaki dari paman seayah 14. Suami 15. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya Adapun para ahli waris dari kelompok perempuan, berjumlah tujuh orang jika dihitung secara garis besar dan sepuluh orang jika dihitung secara rinci sebagai berikut : 1. Anak perempuan 2. Ibu 3. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah 4. Nenek yang s}ahi>h dan seterusnya keatas (ibu dari ibu) 5. Nenek yang s}ahi>h dan seterusnya keatas (ibu dari ayah)

34 6. Saudara perempuan sekandung 7. Saudara perempuan seayah 8. Saudara perempuan seibu 9. Istri 10. Perempuan yang memerdekakan budak. 26 Secara garis besar hukum kewarisan Islam menetapkan dua macam ahli waris, yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan dalam al-qur an maupun hadits, dan ahli waris yang bagiannya masih terbuka karena tidak ditentukan bagiannya secara pasti. Dalam bahasan ini akan dijelaskan hak masing-masing sebagai berikut : a. Ahli waris dengan bagian tertentu Di dalam al-qur an dan hadits disebutkan bagian-bagian tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu. Bagian tertentu dalam al-qur an disebut furu>d} adalah dalam bentuk pecahan yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/6, 1/3, dan 2/3. 27 adapun bagian atau furu>d} dan ahli waris yang berhak atas furu>d} tersebut sebagai berikut : 1. Bagian (1/2), adapun yang berhak bagian setengah ini adalah : - Anak perempuan bila sendiri 26 ibid, h. 59 27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 225

35 - Cucu perempuan bila sendiri - Saudara perempuan kandung bila sendiri - Saudara perempuan seayah bila sendiri - Suami bila tidak bersamaan anak atau cucu 2. Bagian (1/4), adapun yang berhak bagian seperempat adalah : - Suami bila mewarisi besamaan dengan anak atau cucu - Istri bila bersamaan anak 3. Bagian (1/8), adapun yang berhak bagian seperdelapan adalah : - Istri bila bersamaan dengan anak atau cucu 4. Bagian (2/3), adapun yang berhak bagian dua pertiga adalah : - Dua anak perempuan atau lebih, dan tidak bersamaan dengan anak laklaki - Dua cucu perempuan atau lebih dan tidak bersamaan dengan cucu laki-laki - Dua saudara kandung perempuan atau lebih, tanpa laki-laki - Dua saudara Perempuan seayah atau lebih, tanpa laki-laki 5. Bagian (1/3), adapun yang berhak bagian sepertiga adalah : - Ibu bila tidak ada anak atau cucu, atau saudara - Beberapa saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan 6. Bagian (1/6), adapun yang berhak bagian seperenam adalah : - Ayah bila bersamaan dengan anak atau cucu laki-laki - Ibu bila bersamaan dengan anak, cucu atau saudara

36 - Kakek bila bersamaan anak atau cucu laki-laki - Nenek melalui ayah atau melalui ibu, seorang atau lebih - Cucu perempuan bila bersamaan dengan seorang anak perempuan - Saudara seayah perempuan bila bersamaan dengan seorang saudara kandung perempuan - Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan b. Ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan Dalam Hukum Kewarisan Islam, disamping terdapat ahli waris dengan bagian yang ditentukan, terdapat pula ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara furu>d}, baik dalam al-qur an maupun hadits. Mereka mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak adannya ahli waris z\awi>l furu>d} yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan, terbuka, dalam arti mendapat banyak atau sedikit, atau tidak ada sama sekali. Adanya ketentuan ahli waris yang mendapat bagian seluruh harta atau sisa harta secara pembagian terbuka, yang pada umumnya adalah laki-laki, dikembangkan kepada ahli waris laki-laki yang lain yang tidak disebutkan dalam al-qur an atau hadits. Anak laki-laki dikembangkan kepada cucu lakilaki, ayah dikembangkan kepada kakek atau kepada paman dan seterusnya anak paman, saudara dikembangkan kepada anak saudara hingga komplitlah kerabat dalam garis laki-laki. Kelompok garis laki-laki ini dalam penggunaan Bahasa Arab disebut as}a>bah. Oleh karena yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta itu

37 menurut Ahlus Sunnah pada dasarnya adalah laki-laki, maka untuk selanjutnya kata as}a>bah itu digunakan untuk ahli waris yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta setelah diberikan kepada ahli waris z\awi>l furu>d}. 28 Ulama golongan Ahlus Sunnah membagi as}a>bah kepada tiga macam yaitu : 1. As}a>bah bi Nafsihi, yaitu ahli waris yang berhak mendapat seluruh harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris yang lain. As}a>bah bi nafsihi seluruhnya adalah laki-laki secara berurutan adalah anak, cucu (dari garis laki -laki, ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman seayah. 29 2. As}a>bah bi Ghairihi, yaitu seseorang yang sebenarnya bukan as}a>bah karena ia adalah perempuan, namunkarena bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi as}a>bah. Mereka sebagai ashabah berhak atas semua harta bila hanya mereka yang menjadi ahli waris, atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris furu>d} yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian perempuan. Yang berhak menjadi as}a>bah bi ghairihi adalah Anak laki-laki bila bersama dengan anak laki-laki atau anak dari anak laki-laki, 28 ibid, h. 229-232 29 ibid, h. 233

38 cucu perempuan bila bersama dengan cucu laki-laki atau anak laki-laki dari cucu laki-laki, saudara perempuan kandung bila bersama saudara laki-laki kandung, saudara seayah perempuan bila bersama saudara seayah lakilaki. 30 3. As}a>bah ma a ghairihi, yaitu as}a>bah karena bersama dengan orang lain. Orang yang menjadi as}a>bah ma a ghairihi itu sebenarnya bukan as}a>bah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris yang juga bukan as}a>bah, ia dinyatakan sebagai as}a>bah sedangkan orang yang menyebabkannya menjadi as}a>bah itu tetap bukan as}a>bah. c. Ahli waris z awi>l arha>m Ahli waris z awi>l arha>m yaitu ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun pengertian hubungan kerabat itu terlalu luas dan tidak semuanya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Semua ahli fiqih menyebut ahli waris z\awi>l arha>m sebagai ahli waris dalam hubungan kerabat yang bukan z\awi>l furu>d} dan bukan as a>bah. 31 G. Z awi>l Arha>m G.1. Pengertian Z awi>l arha>m 30 ibid, h. 243-246 31 ibid, h. 247

39 Kata al-arh}a>m adalah bentuk jamak dari kata ar-rah}im. Pengertian ar-rah}im menurut bahasa adalah tempat pembentukan janin di dalam perut ibu. Dalam perkembangannya ar-rah}im diartikan sebagai hubungan kekerabatan secara umum, baik dari garis ayah maupun dari garis ibu, karena kesatuan kekerabatan mereka. Pengertian ar-rah}im ini pada akhirnya tidak hanya digunakan dalam bahasa namun juga dalam istilah syara. Sebagaimana firman Allah SWT surat an-nisa ayat 1 : Artinya : Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. 32 Demikian pula firman Allah surat Muhammad ayat 22 : Artinya : Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. 33 Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan degan si pewaris selain ashabul furud dan ashabah, termasuk kelompok z\awi>l arh}a>m. Sedangkan orang-orang yang termasuk kelompok \zawi>l arh}a>m adalah : 1. Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya ke bawah 32 Departemen Agama, Al-Qur an al-kari>m, h. 78 33 ibid, h. 510

40 2. Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya ke bawah 3. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah 4. Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah 5. Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah 6. Anak perempuan saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah 7. Anak laki-laki saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah 8. Kakek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas

41 34 G.2. Penyerahan Harta Waris Kepada Z awi>l arha>m Z \awi>l arh}a>m berhak mendapat warisan jika mayit tidak mempunyai ahli waris dari as}h}a>bul furud} ataupun as}a>bah. Z\\\\\\ awi>l arh}a>m, menurut pendapat ini lebih berhak atas warisan mayit dari pada yang lain, karena hubungan kekerabatan lebih didahulukan dari pada baitul ma>l. Ini adalah pendapat Abu> Hani>fah, Ahmad bin Hanbal, dan jumhur ulama yang diambil dari pendapat Ali> bin Abu> T{a>lib, Umar bin Al-Khat{t{a>b, Abdulla>h bin Mas u>d dan para sahabat lainnya. 35 Pandangan kelompok yang kedua ini berdasarkan kepada pemikiran bahwasanya memberikan hak kewarisan kepada z\awi>l arh}a>m bukan merupakan hukum tambahan di luar al-qur an dan hadits, tapi mengikuti alur ketentuan berurutan setelah yang khusus lalu berlaku ketentuan yang umum. Kalau ayat mawaris berisi ketentuan rinci siapa dan berapa besar bagian atau hak memperoleh harta tinggalan itu, maka ayat yang lain telah memberi petunjuk dan pernyataan mengenai hak-hak sesama kerabat, termasuk hak untuk kewarisan, dan demikian pula beberapa kandungan dari hadits Rasulullah SAW. Sekalipun bisa dinilai sifatnya lebih umum. 34 Ibid, h. 80-81 35 ibid, h. 209

42 Firman Allah yang dimaksud lebih umum dari ayat mawaris adalah surat al-anfal ayat 75 :. Artinya : Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaiman lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. 36 Kemudian menurut riwayat dari Aisyah dan Abu Umamah bahwa kha>l (saudara ibu berjenis laki-laki) termasuk yang mungkin mendapat harta tinggalan. Padahal dalam batasan makna kekerabatan yang dihubungkan dengan garis keturunan perempuan seperti kha>l ini adalah termasuk kategori z\awi>l arh}a>m. Jadi dengan riwayat ini Rasulullah SAW telah memungkinkan z\awi>l arh}a>m menerima hak kewarisan. Hadits tersebut berbunyi : Dari Abu> Umamah ia berkata saya bersama dengan Umar bin Khat{t{a>b menulis kepada Abu> Ubaidah bahwa Rasulullah SAW bersabda, Allah dan Rasulnya wali (pelindung dan penolong) orang yang tidak punya wali, dan saudara laki-laki ibu adalah ahli waris bagi siapa yang tidak mempunyai ahli waris, dan dalam masalah ini ada riwayat dari A>isyah. 37 H. Baitul Mal H.1. Pengertian Baitul Mal 36 Departemen agama, Al-Qur an al-kari>m, h. 187 37 Achmad Kuzari, Sistem Ashabah, h. 175-177

43 Baitul mal berasal dari kata bait dan al-ma>l artinya bangunan atau rumah, sedangkan al-ma>l berarti harta benda atau kekayaan. Jadi secara h}arfiyah, baitul mal berarti rumah harta benda atau kekayaan. Namun demikian, kata baitul ma>l bisa diartikan sebagai perbendaharaan umum dan negara. 38 Yang dimaksud dengan baitul ma>l adalah penyimpanan dan penjagaan uang atau harta. Yang mana uang dan harta tersebut merupakan bagian yang berlebih dari yang dibutuhkan dan dikelola serta disalurkan oleh Daulah Islamiyah. 39 Abu> al-a la> al-maudu>di, pemikir muslim asal Pakistan, memandang bahwa baitul ma>l adalah lembaga keuangan yang dibangun atas landasan syari at. Oleh sebab itu, pengelolahannya harus atas dasar syari ah pula. Menurutnya, baitul ma>l adalah amanat Allah SWT dan masyarakat muslim. Karenanya tidak diizinkan memasukkan sesuatu kedalamnya atau mendistribusikan sesuatu darinya dengan cara yang berlawanan dengan apa yang ditetapkan syari at. 40 Adapun yang dimaksud dengan baitul mal dalam istilah Fiqih Islam ialah suatu badan atau lembaga (instansi) yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolahan, maupun yang berhubungan dengan soal pengeluaran dan lain-lain. 38 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 161 39 Musthofa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, h. 207-208 40 A. Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 186

44 Dimasa sekarang, baitul ma>l agaknya identik dengan kantor perbendaharaan negara. Dan di Indonesia hal ini dilaksanakan oleh BAZ. H.2. Penyerahan Harta Waris Kepada Baitul Mal Bila mayit tidak memiliki ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada baitul ma>l yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum. Ini adalah pendapat mdzhab Syafi i dan maliki yang merupakan pendapat sebagian sahabat Nabi SAW seperti Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas. 41 Alasan yang dikemukakan oleh golongan yang menyatakan ketiadaan warisan bagi z\awi>l arh}a>m adalah, antara lain adanya firman Allah surat Maryam ayat 64 : Artinya : Dan tidaklah sekali-kali tuhanmu lupa. Dan hadits Atha bin Yassar yang diriwayatkan oleh Sa ad di dalam musnadnya : Artinya : Dari Abdillah bin Maslamah dari Abdul Azi>z bin Muhammad dari Zaid bin Aslamah dari Atha bin Ya>sar : Sesungguhnya Rasulullah SAW pergi 41 Muhammad Ali > As}-S}a>buny, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur an dan Sunnah, h. 207

45 ke Quba untuk beristikharah kepada Allah Ta ala tentang pusaka ammah dan khalah, kemudian Allah memberikan petunjuk, bahwa tidak ada hak waris bagi keduanya. 42 Ayat 64 surat Maryam diatas menunjukkan bahwa dalam ayat-ayat mawaris, Allah hanya menjelaskan hak waris golongan as}h}a>bul furu>d} dan as}a>bah, sedang hak waris z\awi>l arh}a>m tidak dijelaskan sama sekali. Tidak ada penjelasan hak waris dan ketentuan besar kecilnya penerimaan z\awi>l arh}a>m tersebut bukanlah suatu kealfaan Tuhan. Jadi, seandainya z\awi>l arh}a>m mempunyai hak dan bagian warisan,niscaya Allah akan menjelaskannya. Dengan demikian, menetapkan adanya hak waris dan ketentuan besar kecilnya penerimaan warisan bagi z\awi<l arh}a>m berarti menambah ketentuan hukum baru yang tidak tercantum dalam nash yang s}ari>h. Penambahan hukum terhadap nash-nash mutawat}t}irah dari hasil pemikiran semata-mata atau hasil petunjuk hadits ahad, secara yuridis tidak dapat diterima. Dan hadits Atha bin Yassar diatas menunjukkan pegangan bahwa z\awi>l arh}a>m yang dalam hadits tersebut adalah ammah dan kha>lah tidak mempunyai hak mendapatkan warisan. 43 Menurut Muhammad Abdurrahim al-kisyka dalam kitabnya al- Muha>d}arat fil Mi>ra>s\il Muqaran, bahwa pendapat yang terkuat di antara dua pendapat tersebut adalah pendapat jumhur yang menetapkan adanya hak pusaka bagi z\awi>l arh}a>m. Karena alasan-alasan yang dikemukakan oleh 42 Ima>m Baihaqy, As-Sunan al-kubra>, h. 350 43 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 352-353

46 jumhur berlandasan dengan keumuman al-qur an dengan dikuatkan oleh as- Sunnah dan amaliyah para Khulafaur Rasyidin. Beliau membantah argumentasi yang dikemukakan oleh para fuqaha yang meniadakan pusaka z\awi>l arh}a>m sebagai berikut : a. z\awi>l arh}a>m mempunyai kesamaan dan kelebihan dengan kaum muslimin pada umumnya. Adapun kesamaannya terletak pada ketundukan kedua belah pihak terhadap agama Islam, sedangkan kelebihannya terletak pada adanya hubungan kekerabatan dengan ahli warisnya yang meninggal dunia. Hubungan kekerabatan inilah yang menjadikan derajat z\awi>l arh}a>m lebih utama untuk mewarisi harta peninggalan tersebut dari pada orang Islam pada umumnya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, sewaktu ia masih hidup lebih berhak untuk dibantu nafkahnya, dikunjungi rumahnya, diringankan bebannya dan sewaktu ditinggal mati oleh kerabatnya ia berhak untuk di beri wasiat dan warisan. b. Hadits yang dipergunakan alasan oleh para fuqaha yang meniadakan pusaka z\awi>l arh}a>m adalah hadits mursal yang tidak layak dipakai untuk berhujjah. Andaikata hadits tersebut diterima sebagai hadits muttashil, hingga dapat digunakan sebagai dasar hukum, maka penerapanya ada dua kemungkinan.

47 Pertama, diterapkan pada waktu sebelum diturunkan surat al-anfal ayat 75. Oleh karena itu, sesudah diturunkan ayat tersebut, ketentuan hukum yang terkandung didalam hadits itu terhapus. Kedua, diterapkan bagi ammah dan kha>lah yang ketiadaannya menerima pusaka lantaran bersamaan dengan ahli waris as}a>bah, atau kalau tidak demikian, keduanya bersamaan dengan ahli waris as}h}a>bul furu>d} yang berhak menerima radd. Karena sebagaimana disepakati hampir seluruh fuqaha, bahwa mengembalikan ( radd) sisa lebih kepada z\awi>l furu>d} itu harus didahulukan daripada memberi pusaka kepada z\awi>l arh}a>m. Bila mereka bersamaan dengan as}h}a>bul furu>d} yang tidak berhak menerima radd seperti suami dan istri, maka mereka menerima pusaka. Oleh karena itu, kha>l itu oleh nabi ditetapkan sebagai waris\u man la waris\a lahu yaitu pewaris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dalam arti mereka berhak mendapat harta waris selama pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau meninggalkan ahli waris as}h}a>bul furu>d} yang tidak berhak menerima sisa lebih. 44 44 Fathur rahman, Ilmu Waris, h. 355-356