Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaann Jauh, Lapan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

TOR (Term Of Reference) KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

PENGKAJIAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH MULTI SKALA/RESOLUSI UNTUK KEGIATAN MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN I-1

REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA

LAPORAN KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

ix

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

1 Sistem Pemantauan Bumi Nasional LAPAN

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)

ANALISA BANJIR BANDANG BERDASARKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN GARUT - PROVINSI JAWA BARAT TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Proof of Concept Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*)

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN RISIKO DAN MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. semakin kuat gempa yang terjadi. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika

Transkripsi:

ii

SUSUNAN REDAKSI Pengarah: Ir. Taufik Maulana, MBA. Deputi Bidang Penginderaan Jauh, LAPAN Ir. Agus Hidayat, M.Sc. Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN Penanggung Jawab: DR. M. Rokhis Khomarudin Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Editor/penyunting: DR. M. Rokhis Khomarudin STA. Munawar, B. Eng. Parwati, S.Si., M.Sc. Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Redaksi Ilmiah: DR. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si., DR. Indah Prasasti, DR. Wiweka Hartojo, Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si., Dra. Any Zubaidah, M.Si. Yenni Vetrita, M.Sc., Fajar Yulianto, S.Si. Desain & Layout: Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. BM. Subowo, ST. Kusumaning Ayu Diah Sukowati, Amd. ISBN 978-979-25-8364-2 Diterbitkan oleh: PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JL. Kalisari No. 8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, 13710, Indonesia 2013 iii

DAFTAR ISI Hal. SUSUNAN REDAKSI... ii DAFTAR ISI.... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL.... vii DAFTAR LAMPIRAN.... viii KATA PENGANTAR. ix SAMBUTAN... x PENDAHULUAN 1 PENGINDERAAN JAUH..... 2 PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN.. 6 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN... 6 Deteksi Perubahan Lahan Hutan 6 Deteksi Degradasi Hutan. 7 Deteksi Sebaran Asap.. 8 Pemetaan Daerah Bekas Terbakar 9 OPERASIONAL PEMANTAUAN LINGKUNGAN... 10 Fase Pertumbuhan Padi.. 10 Pemantauan Kekeringan dan Banjir Lahan Sawah. 12 TANTANGAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN.. 13 PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA... 18 KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MITIGASI BENCANA.. 18 Validasi Hotspot.... 18 Kekeringan Lahan.... 19 Zonasi Daerah Resiko Banjir... 20 Zonasi Daerah Resiko Merapi..... 22 Ekstraksi Parameter Fisis Penginderaan Jauh untuk Bencana... 22 KEGIATAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA..... 23 Pemantauan Potensi Banjir..... 23 Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran... 24 Pemantauan Hotspot..... 25 Sistem Tanggap Darurat Bencana..... 26 TANTANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA...... 28 iv

Hal DISEMINASI INFORMASI...... 30 Website SIMBA.... 30 Sentinel Asia.... 31 Diseminasi Langsung.... 31 TANTANGAN DISEMINASI INFORMASI.. 33 KERJASAMA......... 35 Kerjasama Nasional....... 35 Kerjasama Regional dan Internasional..... 37 Sentinel Asia......... 38 Kerjasama dengan GIC-AIT dan ADRC.... 40 Kerjasama dengan Organisasi PBB (RSO UN SPIDER, UN ESCAP, dan UN WFP)..... 41 Kerjasama dengan APSCO..... 43 PENUTUP....... 44 DAFTAR PUSTAKA... 45 LAMPIRAN.... 46 v

DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1 Perubahan lahan hutan di sekitar tambang Newmont Nusa Tenggara Barat.... 7 Gambar 2 Perubahan kondisi hutan alami menjadi hutan terdegradasi di Kabupaten Sintang periode tahun 2002 2012 8 Gambar 3 Sebaran asap dan hotspot di Propinsi Riau.. 9 Gambar 4 Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau.. 10 Gambar 5 Fase pertumbuhan padi sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret 2013-06 April 2013.. 11 Gambar 6 Survey lapangan untuk validasi fase pertumbuhan padi 11 Gambar 7 Tingkat rawan banjir lahan sawah di Pulau Jawa Bali, periode 30 Maret 2013-06 April 2013... 12 Gambar 8 Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa Bali, Periode 21-28 September 2012 13 Gambar 9 Contoh foto udara yang menampilkan lokasi pembuangan drum dan potensial tercemar limbah B3. 15 Gambar 10 Deteksi daerah tercemar dengan data IKONOS dengan menggunakan klasifikasi maximum likelihood.. 15 Gambar 11 Perbedaan nilai reflectance (pantulan) daerah rerumputan yang tercemar arsenic 3498 pp dan yang tidak tercemar... 16 Gambar 12 Hasil perhitungan land subsidence di Pekalongan.... 17 Gambar 13 Metode validasi hotspot dan hasilnya. 19 Gambar 14 Indeks pemantauan kekeringan lahan 20 Gambar 15 Zonasi daerah bahaya banjir di Kabupaten Sampang.. 21 Gambar 16 Zonasi daerah resiko kerentanan banjir di Kabupaten Sampang. 21 Gambar 17 Zonasi daerah bahaya Merapi.... 22 Gambar 18 Ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana banjir.. 23 Gambar 19 Informasi daerah potensi banjir yang disajikan dalam website SIMBA... 24 Gambar 20 Informasi peringkat bahaya kebakaran.... 25 Gambar 21 Sistem Indofire untuk pemantauan hotspot kerjasama Lapan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Landgate Australia... 26 Gambar 22 Diagram alir SOP sistem tanggap darurat bencana... 27 Gambar 23 Contoh tanggap darurat bencana banjir bandang Wasior Papua. 28 Gambar 24 Contoh aplikasi teknologi UAV untuk pemetaan cepat bencana. 29 Gambar 25 Tampilan website SIMBA terkini. 30 vi

Gambar 26 Website Sentinel Asia sebagai sarana penyebaran informasi. 31 Gambar 27 Desain sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh (SIMBA CENTER)... 34 Gambar 28 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Tengah 36 Gambar 29 Foto bersama peserta pertemuan pemangku kepentingan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pengurangan resiko bencana... 37 Gambar 30 Hasil analisa banjir di Philipina, kontribusi sebagai DAN 38 Gambar 31 Antena dan peralatan yang digunakan untuk transfer data penginderaan jauh. 39 Gambar 32 Foto bersama peserta pertemuan SAFE Project di Singapore... 40 Gambar 33 Foto bersama peserta pertemuan regional workshop se-asean... 41 Gambar 34 Jaringan RSO UN-SPIDER di berbagai Negara..... 42 Gambar 35 UN ESCAP Meeting pada tahun 2011..... 43 Gambar 36 Foto peserta kegiatan Training Course APSCO di Dhaka Bangladesh... 44 Hal vii

DAFTAR TABEL Hal Tabel 1 Karakteristik data satelit penginderaan jauh... 3 Tabel 2 Institusi penerima informasi langsung hasil pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasis penginderaan jauh... 32 viii

DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran Personil Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 46 ix

KATA PENGANTAR Salah satu tugas dan fungsi Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan (Pusfatja) adalah menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Dalam pelaksanaannya tugas dan fungsi tersebut dijalankan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Hasil-hasil kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut berupa model-model pemanfaatan untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana, juga berupa informasi kondisi lingkungan dan kebencanaan yang disampaikan kepada berbagai kalangan pengguna baik pemerintah maupun masyarakat umum. Informasi berbasiskan data penginderaan jauh yang dimaksud terdiri dari informasi daerah potensi banjir dan longsor, titik-titik panas (hotspots) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan/lahan, kondisi vegetasi sawah, degardasi hutan, dan lain-lain, yang didiseminasikan kepada pengguna melalui website www.lapan.go.id dan www.lapanrs.com, maupun dikirim langsung ke alamat pengguna. Buku ini berisikan rangkuman kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung pemantauan lingkungan dan manajemen bencana di Indonesia. Disamping itu sesuai dengan keterlibatan Pusfatja dalam Sentinel Asia, kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana juga dilakukan untuk membantu negaranegara di kawasan ASEAN yang sedang mengalami bencana. Tujuan penulisan buku ini selain sebagai bentuk pertanggungjawaban Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga sebagai bahan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan bagi upaya penyempurnaan penulisan buku ini. Semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. M. Rokhis Khomarudin x

SAMBUTAN Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang rawan terhadap persoalan lingkungan dan berbagai jenis bencana. Berbagai kejadian kerusakan lingkungan maupun bencana memaksa kita untuk secara terus menerus meningkatkan kepedulian terhadap persoalan lingkungan dan kejadian bencana. Salah satu bentuk kepedulian dari pemerintah c.q. Lapan adalah membentuk Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja), yang mempunyai tugas dan fungsi antara lain menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Kehadiran teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan informasi yang realtime dengan cakupan yang cukup luas (tergantung resolusi spasialnya), memungkinkan kita untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Indonesia. Dalam kaitan itu Pusfatja, telah mencanangkan pembangunan Pusat Pemantauan Bumi Nasional dimana salah satu unsur utamanya adalah pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasiskan data penginderaan jauh (SIMBA Center). Berbagai hasil kegiatan terkait dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana yang telah dan sedang dilaksanakan, diuraikan secara singkat dalam buku ini. Hadirnya buku ini kehadapan para pembaca, bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada publik mengenai kiprah Pusfatja Lapan dalam mendukung pembangunan di Indonesia khususnya dalam pemantauan kondisi lingkungan dan mitigasi bencana berbasiskan data penginderaan jauh. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan tidak hanya bagi upaya penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang, tetapi juga bagi penetuan arah kebijakan Pusfatja untuk tahun berikutnya. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan kepada semua pihak, khususnya rekan-rekan dari Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, yang telah berupaya keras untuk menyusun dan menerbitkan buku ini. Jakarta, 20 April 2013 Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat, M.Sc. xi

PENDAHULUAN Tsunami Aceh 2004, Tsunami Pangandaran 2006, Gempa Bumi Yogyakarta 2006, Gempa Bumi Padang 2009, Letusan Merapi 2010, Banjir Bandang Wasior 2010, dan Tsunami Mentawai 2010 merupakan kejadian-kejadian bencana dahsyat yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar. Selain bencana-bencana tersebut, tercatat juga bencana-bencana rutin yang terjadi pada saat musim hujan dan musim kemarau. Pada saat musim hujan, banyak wilayah mengalami banjir dan pada saat musim kemarau beberapa wilayah mengalami kekeringan dan kebakaran hutan/lahan. Gempa merupakan bencana yang sering dirasakan oleh penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap bencana. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengatasi bencana baik dari sisi teknologi, regulasi maupun kesiapan masyarakat. Terbentuknya tsunami early warning system yang sekarang sudah dioperasikan di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika merupakan salah satu contoh dukungan teknologi dalam upaya pengurangan resiko bencana. Dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 merupakan usaha pemerintah untuk mengatur penanggulangan bencana di Indonesia. Pemberian pendidikan, training, dan gladi resik evakuasi bencana di wilayah yang sering terjadi bencana merupakan usaha-usaha dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang juga ikut berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana dengan sumber daya yang dimilikinya. Melalui Peraturan Kepala Lapan No. 2 Tahun 2011, menugaskan Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang berada di bawah Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, untuk melaksanakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Buku ini menyajikan hasil-hasil pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana, baik yang sudah operasional, masih dalam penelitian dan pengembangan, dan tantangan dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di masa mendatang. 1

PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra. Citra penginderaan jauh dapat menggambarkan obyek suatu daerah dan gejala di permukaan bumi dengan: (a) wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, (b) relatif lengkap, (c) meliputi daerah yang luas, dan (d) permanen (Sutanto, 1992). Satelit penginderaan jauh memiliki berbagai karakteristik, sesuai dengan data yang dihasilkan dan pemanfaatannya. Karakteristik tersebut adalah : 1. Sistem sensor; terdapat dua sistem sensor dalam penginderaan yaitu sensor optis dan sensor radar. Hal yang membedakan kedua sensor adalah pada sistem energi yang direkam oleh sensor satelit. Jikalau sensor optis merekam hasil pemantulan objek oleh sinar matahari, sensor radar menerima gelombang elektromagnetik yang diemisikan oleh objek yang dihasilkan dari pancaran energi dari satelit radar. 2. Resolusi; terdapat empat resolusi yang sering digunakan dalam menerangkan data penginderaan jauh. Resolusi spasial, temporal, radiometrik, dan spektral. Resolusi spatial adalah ukuran permukaan bumi yang digambarkan dalam satu pixel citra satelit, resolusi temporal adalah frekuensi satelit untuk memotret suatu wilayah yang sama, dan resolusi radiometrik menentukan seberapa bagus suatu sistem untuk dapat membedakan intensity-nya. Biasanya ditunjukkan dengan satuan bit, seperti 8 bit, 10 bit, dan lain-lain. Resolusi spektral menunjukkan jumlah kanal atau saluran yang 2

dimiliki oleh satelit, yang menunjukkan kisaran spektral tertentu pada setiap kanalnya. Misalnya data SPOT-4 memiliki 4 kanal multi spektral dan 1 kanal pankromatik. 3. Lebar sapuan; lebar permukaan bumi yang dapat direkam oleh satelit, biasanya tergantung dari ketinggian orbit satelit dari permukaan bumi, semakin tinggi letak satelit, semakin lebar permukaan bumi yang dapat direkam. Sebagai contoh, satelit MTSAT terletak pada ketinggian 35.800 km dapat memantau sepertiga luas bumi sedangkan satelit dengan ketinggian 870 km memiliki lebar sapuan 2800 km. 4. Sistem orbit; terdapat beberapa sistem orbit yang dikenal di penginderaan jauh, yaitu orbit polar, orbit equatorial, dan orbit tetap (geostationer). Orbit polar adalah suatu lintasan satelit dari kutub ke kutub yang ada di bumi dan orbit equatorial adalah suatu lintasan satelit yang sejajar dengan garis equator. Orbit geostationer adalah berorbit tetap, biasanya memiliki ketinggian 35.800 km. Seiring dengan perkembangan teknologi, citra satelit berkembang dengan sangat pesat dari resolusi spasial yang sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Aplikasinya juga berkembang dari aplikasi cuaca, pemetaan sumberdaya alam, hingga perencanaan tata ruang perkotaan. Teknik/metode-pun berkembang dengan cepat dari teknik klasifikasi berbasiskan pixel, sub pixel hingga berbasiskan objek. Perkembangan ini juga ditunjang dengan perkembangan teknologi pengolah data yang semakin memudahkan pengguna untuk menganalisa citra satelit yang diperoleh. Sebagai gambaran umum teknologi satelit yang berkembang disajikan pada Tabel 1. Pengetahuan karakteristik data ini dapat membantu dalam perencanaan penggunaan data sesuai dengan kebutuhan pengguna baik untuk keperluan analisa sumberdaya alam maupun pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Indonesia. Tabel 1. Karakteristik data satelit penginderaan jauh Nama Satelit Penginderaan Jauh Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Optis Resolusi: Resolusi spasial 1 km (visible), 4 km (inframerah) Resolusi temporal 1 jam Multifunctional 5 kanal (1 kanal visible, Transport Satellite Resolusi spektral 4 kanal inframerah) (MTSAT) 10 bit (untuk visible Resolusi radiometrik dan inframerah), gradasi 1024 Lebar sapuan Sepertiga luas bumi Sistem orbit Geostationer 3

Nama Satelit Penginderaan Jauh National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA/AVHRR) Terra/Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) LANDSAT ETM +7 SPOT Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Optis 1 km at Nadir 4 kali melintas di wilayah Indonesia 5 kanal 10 bit 2800 Km Near polar Optis 250 m kanal 1-2 500 m kanal 3-7 1 km kanal 8-36 1-2 hari 36 kanal 12 bit 2330 Km Near polar Optis 30 m kanal 1-5 dan 7 60 m kanal 6 15 m kanal pankromatik 16 hari 8 kanal (7 kanal multispektral, 1 kanal pankromatik 8 bit 185 Km Polar Optis 10 m untuk multispektral 2.5 m untuk pankromatik 26 hari 5 kanal, 4 kanal multispektral dan 1 kanal pankromatik 8 bit 60 km Polar 4

Nama Satelit Penginderaan Jauh IKONOS QUICKBIRD Synthetic Aperture Radar (SAR) Terra SAR X Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Optis 1 m kanal pankromatik 4 m kanal multispektral 3 sampai 5 hari 5 kanal, 4 kanal multispektral, dan 1 kanal pankromatik 8 bit 11 km Polar Optis 0.61 m pankromatik, 2.41 m 2.8 m 1-3.5 hari 5 kanal, 4 kanal multispektral, 1 kanal pankromatik 11 bit 16.5 m Polar RADAR HighResolution Spotlight: 1 m Resolusi spasial SpotLight: 2 m StripMap: 3 m ScanSAR: 18 m Resolusi temporal 11 hari Single, dual, dan quad Resolusi spektral polarisation Resolusi radiometrik - HighResolution Spotlight: 10 x 5 km Lebar sapuan SpotLight: 10 x 10 km StripMap: 30 x 50 km ScanSAR: 100 x 150 km Sistem orbit Polar Sistem sensor RADAR 5

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN Pemantauan lingkungan dapat didefinisikan sebagai proses atau kegiatan yang bertujuan mengindentifikasi dan memantau kualitas lingkungan. Lingkungan sendiri dapat diartikan sebagai kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan, bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Inti permasalahan dalam pemantauan lingkungan adalah bagaimana dapat mengidentifikasi dan memantau kualitas dari lingkungan. Tingkatan-tingkatan kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik merupakan komponen penting dalam pemantauan lingkungan. Satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau kondisi lingkungan tersebut, seperti pemantauan kekeringan, banjir, dan hama penyakit di lahan sawah, pemantauan perubahan hutan dan degradasinya, pemantauan kualitas air sungai maupun danau, pemantauan pencemaran air laut, pemantauan pencemaran kondisi tanah, dan lain sebagainya. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana melakukan penelitian dan pengembangan untuk pemantauan lingkungan. Beberapa kegiatan penelitian dan pengembangan yang saat ini dilakukan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana adalah deteksi perubahan lahan hutan, deteksi degradasi hutan, deteksi sebaran asap dan pemetaan daerah bekas terbakar. Deteksi Perubahan Lahan Hutan Secara umum perubahan yang terjadi pada objek dipermukaan bumi akan merubah pantulan gelombang elektromagnetik dari objek tersebut. Hal ini juga akan mempengaruhi citra yang dihasilkan oleh satelit. Menangkap fenomena tersebut, penelitian dan pengembangan ini mengkaji kemampuan data MODIS untuk mendeteksi perubahan penutup lahan terutama areal hutan di sekitar pertambangan. Kegiatan ini menggunakan Enhanced Vegetation Index (EVI) yang diperoleh dari data MODIS. Trend nilai EVI dianalisis, kemudian dapat ditentukan apakah di suatu wilayah terdapat perubahan hutan atau tidak. Analisa visual juga digunakan untuk membantu memastikan terjadinnya perubahan hutan. Gambar 1, merupakan contoh hasil penelitian dan pengembangan deteksi perubahan lahan hutan di tambang Newmont Nusa Tenggara Barat. Tampak terdapat perubahan lahan hutan selama 5 tahun (2005-2010). 6

Gambar 1. Perubahan lahan hutan di sekitar tambang Newmont Nusa Tenggara Barat Deteksi Degradasi Hutan Definisi degradasi berbeda dengan perubahan. Suatu lahan hutan yang mengalami perubahan biasanya sudah berubah menjadi lahan non-hutan. Namun pada definisi degradasi, hutan masih ada, namun sudah mengalami kerusakan baik tingkat ringan, sedang, maupun berat. Tantangan dalam mendeteksi degradasi hutan lebih tinggi dibandingkan dengan deteksi perubahan lahan hutan. Oleh karena itu, dalam mendeteksi degradasi hutan diperlukan teknik khusus dalam identifikasinya. Penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk degradasi hutan dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Spektral Mixture Analisis (SMA) merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi degradasi hutan dengan data satelit LANDSAT dan SPOT-4. Penelitian ini belum selesai, sehingga belum dapat diketahui seberapa efektif SMA dapat mendeteksi degradasi hutan. Gambar 2, merupakan contoh degradasi hutan di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat. 7

Gambar 2. Perubahan kondisi hutan alami menjadi hutan terdegradasi di Kabupaten Sintang periode tahun 2002 2012. Deteksi Sebaran Asap Masalah asap merupakan permasalahan klasik di Indonesia yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan walaupun usaha-usaha pemerintah dan masyarakat sudah banyak dilakukan. Masalah lingkungan ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia, terutama Kalimantan dan Sumatera, namun sudah berimbas ke negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Penelitian dan pengembangan untuk mendeteksi sebaran asap sangat bermanfaat sehingga dapat digunakan untuk pemantauan sebaran asap secara harian. Informasi ini dapat digunakan untuk mengantisipasi sebaran asap agar tidak meluas lagi. Tantangan dalam melakukan penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sebaran asap adalah membedakan antara asap dengan awan secara digital. Gambar 3 8

merupakan contoh pemantauan sebaran asap pada tanggal 12 dan 14 Juni 2012 dengan cara visual. Gambar 3. Sebaran asap dan hotspot di Propinsi Riau Pemetaan Daerah Bekas Terbakar Daerah bekas terbakar akan menyebabkan permasalahan lingkungan jika tidak segera dikelola dan diberdayakan wilayah yang terbakar. Penurunan kualitas lahan dan degradasi hutan merupakan masalah yang timbul setelahnya. Pemetaan daerah bekas terbakar dapat membantu dalam perencanaan rehabilitasi lahan dan juga untuk penegakan hukum kepada perusahaan-perusahaan yang membakar lahannya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data SPOT-4 dengan menggunakan Normalized Band Ratio (NBR) sebagai Indeks yang digunakan untuk mendeteksi daerah bekas terbakar. Penelitian ini juga dapat membedakan antara pembukaan lahan dengan membakar dan tidak membakar. Gambar 4, Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau 9

Gambar 4. Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau OPERASIONAL PEMANTAUAN LINGKUNGAN Saat ini Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan telah mengembangkan suatu sistem pemantauan lingkungan yang sudah beroperasional antara lain; pemantauan fase pertumbuhan padi, pemantauan tingkat kekeringan dan banjir di lahan sawah. Fase Pertumbuhan Padi Pemantauan fase pertumbuhan padi dilakukan untuk mengetahui, kapan waktu tanam dan juga waktu panen di Pulau Jawa dan Bali (Gambar 5). Data yang digunakan adalah MODIS 8 harian dan secara sederhana metode pemantauan menggunakan indeks vegetasi EVI untuk memantau kondisi pertumbuhan padi. Informasi ini sangat penting bagi pemerintah dalam rangka perencanaan panen dan juga perkiraan produksi padi di Pulau Jawa. Secara berkala (setahun 3 kali), informasi ini disampaikan ke Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rapat koordinasi Angka Ramalan produksi padi (ARAM) bersamasama dengan Kementerian Pertanian, BULOG, dan instansi lainnya. Model fase pertumbuhan padi yang telah dioperasionalkan ini telah melalui tahapan penelitian yang panjang dan memiliki akurasi yang baik. Gambar 6, merupakan hasil survey lapangan dibeberapa wilayah di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan bahwa fase 10

pertumbuhan padi yang dipantau dari data satelit penginderaan jauh sama dengan fase pertumbuhan padi di lapangan. Dapat dikatakan bahwa akurasi pemantauan fase pertumbuhan padi sudah mencapai lebih dari 80%. Hasil ini dapat digunakan oleh Kementerian Pertanian sebagai rujukan dalam pengelolaan lahan sawah khususnya pada tanaman padi dan perkiraan waktu tanam dan padi di Pulau Jawa dan Bali. Gambar 5. Fase pertumbuhan padi sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret 2013-06 April 2013 Gambar 6. Survey lapangan untuk validasi fase pertumbuhan padi 11

Pemantauan Kekeringan dan Banjir Lahan Sawah Untuk melakukan pemantauan kekeringan di lahan sawah, parameter yang digunakan adalah indeks vegetasi EVI dari satelit Terra/Aqua MODIS, curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), evapotranspirasi yang di-estimasi dari Land Surface Temperature (LST), sedangkan untuk pemantauan lahan sawah berpotensi banjir digunakan data indeks vegetasi EVI dan curah hujan dari TRMM. Pada Gambar 7, terlihat wilayah yang berwarna merah adalah lahan sawah yang berpotensi banjir dengan tingkat rawan yang sangat berat, sedangkan yang berwarna hijau merupakan lahan sawah yang tidak mengalami banjir. Informasi ini berguna untuk perkiraan produksi padi akibat adanya gangguan lingkungan yang dialami oleh lahan sawah. Gambar 8, menunjukkan Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali. Bagi Kementerian Pertanian, informasi ini menjadi penting dalam memperkirakan ketersediaan pangan di suatu wilayah. Gambar 7. Tingkat rawan banjir lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret 2013-06 April 2013 12

Gambar 8. Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali, Periode 21-28 September 2012 TANTANGAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN Tantangan lebih lanjut dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan adalah bagaimana menyediakan informasi yang akurat mengenai kondisi lingkungan di Indonesia. Pusat-pusat pemantauan bumi (Earth Observation Center) di dunia telah banyak berkembang untuk memantau kondisi permukaan bumi, baik status maupun perubahannya. Otomatisasi dari sistem pemantauan bumi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh merupakan tantangan ke depan yang harus ditindaklanjuti. Perubahan lingkungan, perubahan penutup lahan, pencemaran air, tanah, udara, perubahan suhu udara, dan perubahan-perubahan lainnya yang diakibatkan pertambahan jumlah penduduk dan industri merupakan trend tantangan ke depan dalam kegiatan pemantauan lingkungan. Perkembangan teknologi penginderaan jauh merupakan tantangan dalam pemantauan lingkungan dalam membuat model-model baru pemanfaatan data penginderaan jauh. 13

Isu-isu perubahan lingkungan tersebut, akhirnya juga dihubungkan dengan kejadiankejadian bencana yang melanda di Indonesia. Hal ini juga merupakan tantangan lain dari kegiatan pemantauan lingkungan yang dihubungkan dengan kegiatan mitigasi bencana. Salah satu contoh tantangan pemantauan lingkungan yang sangat menarik adalah pemantauan lahan yang tercemar oleh limbah B3. Meningkatnya industrialisasi di Indonesia akan menyebabkan peningkatan pencemaran lahan oleh limbah B3. Pengamatan dan uji laboratorium biasanya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Teknologi penginderaan jauh merupakan suatu yang dimungkinkan dapat membantu pemantauan pencemaran limbah B3. Beberapa penelitian terdahulu dalam memanfaatkan data penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 telah dikaji oleh Slonecker et al. (2010). Hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa aplikasi dengan data penginderaan jauh yang berbeda untuk memantau lahan tercemar limbah B3. Dalam kajian disebutkan bahwa kebanyakan data satelit penginderaan jauh digunakan untuk mendeteksi limbah B3 dengan analisa visual dengan menginterpretasikan morfologi lahan tercemar dari karakteristik produksi, simpanan, pembuangan, dan efeknya terhadap lingkungan. Foto udara merupakan data yang sering digunakan untuk memantau kondisi. Data historik dari foto udara yang baik merupakan keunggulan data ini untuk dapat memantau lahan sebelum, saat, dan setelah tercemar. Namun, data ini sangat mahal, sehingga untuk wilayah yang luas memerlukan biaya yang sangat mahal dalam kegiatan pemantauannya. Gambar 9, merupakan contoh daerah pembuangan drum yang memungkinkan tercemar limbah B3 di Amerika Serikat (Sumber: The EPA/Environmental Photographic Interpretation Center (EPIC)). Pada kajian tersebut, juga menunjukkan bahwa data penginderaan jauh multispektral dapat digunakan untuk memantau pencemaran limbah B3 di suatu wilayah. Data seperti landsat TM dengan resolusi menengah dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan lahan tercemar. Demikian juga satelit multispektral yang lebih tinggi seperti IKONOS juga dapat digunakan untuk memantau lahan tercemar dengan analisis spektral. 14

Gambar 9. Contoh foto udara yang menampilkan lokasi pembuangan drum dan potensial tercemar limbah B3 (Sumber: Slonecker et al.,2010) Gambar 10, merupakan contoh hasil deteksi daerah tercemar dengan satelit IKONOS. Potensi lain yang telah dilakukan oleh para peneliti dengan memanfaatkan data penginderaan jauh thermal inframerah. Data thermal inframerah ini memungkinkan untuk melihat daerah tercemar berdasarkan suhu permukaan tanah. Walaupun berpotensi, namun untuk data thermal inframerah perlu dilakukan penelitian yang komprehensif lebih lanjut. Gambar 10. Deteksi daerah tercemar dengan Data IKONOS dengan menggunakan klasifikasi maximum likelihood (Sumber : Slonecker et al. (2010)) Potensi aplikasi penginderaan jauh untuk pemantauan lahan yang tercemar oleh limbah B3 dapat diperlihatkan oleh perbedaan pantulan panjang gelombang tertentu antara 15

wilayah rerumputan dengan 0 ppm arsenic dan wilayah dengan 3498 ppm arsenic. Grafik tersebut ditunjukkan pada Gambar 11 berikut. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 adalah cukup tinggi. Gambar 11. Perbedaan nilai reflectance (pantulan) daerah rerumputan yang tercemar arsenic 3498 pp dan yang tidak tercemar Tantangan lainnya dari pemantauan lingkungan adalah kejadian deformasi permukaan tanah (land deformation) merupakan perubahan posisi permukaan tanah dalam arah vertikal dan horizontal yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu aktifitas seismik, penggunaan air tanah yang intensif, aktivitas pertambangan, perubahan penggunaan lahan dan pertambahan jumlah bangunan dan aktifitas termal pada lapisan litosfer. Indonesia yang pada posisinya berada pada pertemuan lempeng tektonik sangat berpotensi terhadap gempa yang merupakan salah satu faktor terjadinya land deformation. Efek dari deformasi permukaan tanah ini adalah kenaikan permukaan tanah (uplift) ataupun penurunan muka tanah (landsubsidence). Oleh sebab itu studi karakteristik deformasi permukaan tanah ini sangat diperlukan dalam penentuan pola dan laju dari deformasi tersebut. Hal ini diperlukan untuk perencanaan dan penataan lokasi pembangunan dan pusat aktifitas. Teknik pemetaan spasial dan temporal yang mampu mengamati deformasi permukaan tanah sangat diperlukan untuk pemetaan tesebut. Teknologi penginderaan jauh memiliki kemampuan untuk memetakan deformasi permukaan tanah dalam skala besar. Dengan kondisi Indonesia yang berada di daerah tropis yang memiliki intensitas hujan yang tinggi dan cakupan awan yang cukup banyak 16

sehingga sangat tepat jika pemetaan deformasi tanah ini dilakukan dengan menggunakan data RADAR dan akan lebih baik jika didukung dengan adanya pengamatan lapangan pada lokasi deformasi untuk akurasi hasil. Fokus penelitian yang sedang dilakukan Lapan terkait kerja sama dengan BPPT dan JAXA AIT yaitu keterkaitan penurunan muka tanah (land subsidence) dengan sebaran banjir rob yang terjadi di daerah Pekalongan Jawa Tengah, yang dalam hal ini akan dilihat hubungan antara luas sebaran banjir dan efek dari penurunan muka tanah tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ALOS PALSAR level 1.0 tahun 2006-2010 dengan menggunakan metode Synthetic Aperture Radar (InSAR). Dalam metode InSAR ini digunakan single polarimetric yaitu dengan menggunakan polarisasi HH, dimana digunakan dua kombinasi citra dengan daerah yang sama pada waktu yang berbeda untuk mengukur perubahan permukaan tanah. Teknik yang digunakan adalah dengan mengukur perbedaan fase sinyal backscatter dari dua akuisisi tersebut. Pada proses ini digunakan kombinasi citra dengan nilai per-pendicular baseline yang kecil dan temporal baseline yang relatif singkat untuk meminimalisir dekorelasi spasial dan temporal dari interferogram tersebut. Hasil akhir dari pengolahan data InSAR merupakan nilai perubahan permukaan tanah (displacement), dimana dari hasil ini dapat dilihat dengan nilai kenaikan dan penurunan permukaan tanah pada daerah kajian tersebut. Gambar 12 merupakan contoh pengolahan land subsidence di Kabupaten Pekalongan. Gambar 12. Hasil perhitungan land subsidence di Pekalongan 17

PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA Seperti halnya dalam kegiatan pemantauan lingkungan, kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana terbagi menjadi dua; kegiatan operasional dan kegiatan penelitian dan pengembangan dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MITIGASI BENCANA Hasil-hasil kegiatan pemantauan yang telah beroperasional selalu dikaji kembali dengan informasi/feedback dari pengguna tentang akurasi maupun kelemahan dari informasi yang disajikan. Kegiatan-kegiatan untuk memperbaiki informasi yang telah dihasilkan adalah validasi daerah potensi banjir dan validasi hotspot. Selain validasi, penelitian dan pengembangan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang saat ini terus dilakukan adalah pengembangan potensi daerah kekeringan, zonasi daerah resiko banjir, zonasi daerah resiko merapi, dan ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana. Kegiatan penelitian yang terakhir disebutkan adalah dalam rangka pemetaan cepat daerah bencana dengan data penginderaan jauh. Validasi Hotspot Informasi hotspot bukanlah sepenuhnya informasi kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah. Hotspot merupakan suatu suatu titik dimana memiliki panas/suhu yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya yang dideteksi oleh satelit. Suatu tambang batubara atau lahan terbuka berpasir dapat dideteksi sebagai hotspot dalam citra satelit. Untuk mengetahui secara pasti berapa persen hotspot yang benar-benar kebakaran lahan/hutan atau bukan perlu dilakukan validasi. Metode dan hasil validasi yang dilakukan disajikan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut diperlihatkan bahwa dengan metode survey pengecekan langsung di lapangan, analisa visual, dan juga analisa radius hotspot hingga 2 km dihasilkan bahwa hotspot yang benar-benar kebakaran hutan/lahan adalah sekitar 43%. Commision error sebesar 53% menunjukkan bahwa lebih dari 50% hotspot bukan benar-benar kebakaran hutan/lahan. Hasil ini merupakan tantangan dalam riset untuk mendeteksi titik panas yang benarbenar terjadi kebakaran. 18

Gambar 13. Metode validasi hotspot dan hasilnya Kekeringan Lahan Kegiatan pemantauan kekeringan lahan dengan data penginderaan jauh sudah banyak dilakukan dan memiliki perkembangan yang sangat baik. Beberapa metode dengan menggunakan Indeks vegetasi seperti NDVI, SAVI, dan Indeks lainnya. Indeks vegetasi memang cukup efektif dalam memantau kekeringan lahan, namun masih dalam sebatas kekeringan agronomis, perlu suatu pengembangan dalam penelitian untuk deteksi lahan kekeringan. Dalam Space Applications for Environment (SAFE) Project yang digagas oleh APRSAF, Lapan mengembangkan prototype untuk pemantauan kekeringan lahan dengan menggunakan beberapa Indeks untuk memantau kekeringan. Indek yang digunakan adalah Standardized Precipitation Indeks (SPI) yang menggunakan parameter curah hujan dalam menentukan tingkat kekeringan. Data yang digunakan dalam perhitungan SPI adalah data TRMM. Vegetation Health Indeks (VHI) juga digunakan untuk memantau tingkat kekeringan pada suatu lahan sawah dengan menggunakan data MODIS dan Keetch Byram Drought Indeks (KBDI) untuk memantau kekeringan pada suatu lahan. Gambar 14 merupakan hasil indek pemantauan kekeringan dengan SPI, VHI dan KBDI dihubungan dengan kejadian El Nino. Kegiatan ini masih memerlukan validasi untuk pengembangan model. 19

Gambar 14. Indeks pemantauan kekeringan lahan Zonasi Daerah Resiko Banjir Pemetaan atau zonasi daerah resiko bencana merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam upaya mitigasi bencana dan perencanaan tata ruang suatu wilayah. Diketahuinya daerah resiko bencana suatu wilayah memudahkan dalam pengaturan evakuasi, perijinan pembangunan rumah, dan pengelolaan sumberdaya lahan lainnya. Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia dan menempati rangking pertama dalam jumlah kejadian di Indonesia. Penggunaan data penginderaan jauh dapat membantu dalam zonasi daerah resiko banjir di suatu wilayah. Penelitian dilakukan untuk memberikan suatu rekomendasi di wilayah dalam penanganannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana adalah zonasi daerah resiko banjir di Kabupaten Sampang. Gambar 15 dan gambar 16, merupakan contoh hasil zonasi daerah bahaya dan resiko banjir di Kabupaten Sampang. Pada gambar tersebut terlihat bahwa daerah bahaya tidak beresiko pada suatu wilayah yang tidak ada pemukiman, infrastruktur penting, dan wilayah ekonomi strategis lainnya. Penelitian masih terus dilanjutkan sehingga didapatkan rekomendasi penanganan banjir secara komprehensif di Kabupaten Sampang. 20

Gambar 15. Zonasi daerah bahaya banjir di Kabupaten Sampang Gambar 16. Zonasi daerah resiko kerentanan banjir di Kabupaten Sampang 21

Zonasi Daerah Resiko Merapi Seperti halnya dengan penelitian zonasi resiko banjir, zonasi resiko bahaya gunung api juga dapat dibuat dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Simulasi aliran material erupsi dapat dilakukan dengan baik dengan menggunakan data DEM SRTM. Hasil beberapa simulasi yang dilakukan dapat digunakan untuk memetakan daerah bahaya letusan gunung berapi. Kegiatan penelitian saat ini difokuskan pada zonasi daerah resiko merapi untuk melihat potensi aliran material erupsi dan piroclastik. Gambar 17 merupakan hasil zonasi daerah resiko Merapi yang diperoleh dan pemodelan arah aliran material erupsi. Pada gambar tersebut terlihat daerah yang memiliki peluang terkena aliran material erupsi tinggi dengan warna merah. Gambar 17. Zonasi daerah bahaya Merapi Ekstraksi Paramater Fisis Penginderaan Jauh untuk Bencana Data penginderaan jauh memiliki parameter fisis yang dapat digunakan untuk mendeteksi daerah yang terkena bencana dengan cepat. Namun, penentuan parameter fisis yang tepat merupakan suatu kunci dalam pemetaan cepat daerah yang terkena bencana. Oleh karena itu, penelitian untuk hal tersebut perlu dilakukan baik dengan menggunakan data optis maupun radar. 22

Gambar 18 merupakan contoh hasil ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk mendeteksi daerah terkena banjir di Karawang. Pada gambar terdeteksi daerah terkena air maupun tidak terkena air. Gambar 18. Ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana banjir KEGIATAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA Beberapa kegiatan yang sudah beroperasional untuk tujuan mitigasi bencana adalah pemantauan potensi banjir, Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK), Pemantauan hotspot, dan sistem tanggap darurat bencana. Semua informasi hasil pemantauan disajikan dalam website SIMBA (Sistem Informasi Mitigasi Bencana) dengan alamat website, www.lapanrs.com/simba. Pemantauan Potensi Banjir Pemantauan potensi banjir merupakan kegiatan harian yang memanfaatkan data penginderaan jauh untuk memantau potensi banjir di seluruh wilayah Indonesia. Data satelit yang digunakan adalah data MTSAT yang dapat diterima setiap jam sekali. Inti dari kegiatan ini adalah memantau potensi awan yang berpotensi menghasilkan hujan lebat, dan jika tiga hari berturut-turut berada di atas suatu wilayah yang sering terjadi banjir atau daerah genangan, maka daerah tersebut diberikan warna merah yang berarti berpotensi banjir. Peta daerah genangan diperoleh dari analisa kombinasi data genangan yang diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum dengan data DEM SRTM dan Landsat 23

TM beserta dengan data historical banjir yang dikumpulkan dari berbagai media. Peta ini kemudian disebut sebagai peta daerah genangan atau daerah yang sering terkena banjir secara historis. Hasil dari informasi potensi hujan ini telah dilakukan validasi dengan data kejadian banjir yang disampaikan media. Metode yang digunakan untuk pemantauan potensi banjir ini memiliki akurasi antara 60-80% tergantung dari wilayah validasinya. Informasi disajikan dalam bentuk gambar dan tabel yang terbagi menjadi 9 zona pemantauan, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua (Gambar 19). Gambar 19. Informasi daerah potensi banjir yang disajikan dalam website SIMBA Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Sistem peringkat bahaya kebakaran yang dioperasionalisasikan mengadopsi metode dari Canadian Forest Fires Danger Rating System yang beberapa parameternya sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sistem ini dapat memberikan suatu peringatan kepada masyarakat tentang bahaya kebakaran. Terdapat beberapa Indeks yang menyatakan bahwa suatu bahan bakar halus mudah terbakar jika suatu Indeks mencapai nilai tertentu, demikian juga ada suatu Indeks yang menyatakan bahwa kebakaran akan cepat menyebar jika mencapai suatu Indeks tertentu. 24

Parameter yang digunakan dalam membuat sistem ini adalah unsur-unsur cuaca yaitu, curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Di Lapan unsur-unsur cuaca tersebut diturunkan dari data penginderaan jauh resolusi spasial rendah seperti NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS. Seperti halnya pemantauan potensi banjir, informasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran disajikan dalam dua tipe informasi, yaitu gambar dan tabel. Gambar 20 merupakan contoh informasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran. Gambar 20. Informasi Peringkat Bahaya Kebakaran Pemantauan Hotspot Sejak tahun 1990-an, Lapan telah aktif menyampaikan informasi titik panas (hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah. Informasi ini sangat berguna bagi masyarakat maupun pemerintah daerah dalam upaya pemadaman kebakaran secepat mungkin. Data yang digunakan dalam pemantauan ini adalah NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS yang memiliki resolusi temporal tinggi, sehingga pemantauan dapat dilakukan tiap hari. Pada tahun tahun 2008, Lapan bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan, Universitas Bina Nusantara, dan Landgate Australia mengembangkan sistem pemantauan kebakaran hutan/lahan 25

secara automatis dengan nama INDOFIRE. Pada sistem ini terdapat 3 webserver yang dapat secara langsung menampilkan informasi hotspot. Webserver tersebut terletak di Lapan, Kementerian Kehutanan, dan Landgate Australia. Harapannya, jika salah satu webserver tidak hidup, di tempat lain masih hidup dan pemantauan hotspot terus beroperasi. Gambar 21, merupakan contoh tampilan web Indofire untuk Pemantauan hotspot. Gambar 21. Sistem Indofire untuk pemantauan hotspot Kerjasama Lapan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Landgate Australia Sistem Tanggap Darurat Bencana Pelaksanaan sistem tanggap darurat sejak berlangsung hampir 8 tahun belakangan ini sejak terjadinya Tsunami Aceh 2004 yang memandang data penginderaan jauh sangat penting dalam dalam penanggulangan bencana. Informasi suatu lokasi bencana, dimana terjadinya bencana dan berapa luasan area yang terkena bencana merupakan informasi yang penting dalam kegiatan tanggap darurat bencana. Data ini dapat digunakan untuk reaksi cepat dan pemberian bantuan kepada orang yang tertimpa bencana. 26

Standard Operasional Prosedur (SOP) Lapan dalam tanggap darurat terjadi pada saat terjadi bencana telah disepakati seperti disajikan pada Gambar 22. Pada gambar tersebut, diungkapkan bahwa jika terjadi bencana, Tim tanggap darurat bencana melakukan koordinasi internal, kemudian melakukan pencarian data sebelum dan sesudah bencana, dan kemudian dianalisis, dipetakan dan disampaikan dalam website. Jika data dalam database Lapan tidak ada, maka Tim akan berkoordinasi dengan Sentinel Asia untuk mendapatkan data yang diperlukan. Jika tidak ada juga, maka melalui Sentinel Asia, tim dapat mengaktifkan International Charter untuk mendapatkan bantuan internasional. Gambar 22. Diagram Alir SOP sistem tanggap darurat bencana Salah satu contoh analisa tanggap darurat yang telah dilakukan adalah pada saat bencana banjir bandang Wasior Papua (Gambar 23). Pada gambar tersebut terlihat data sebelum dan sesudah terjadi bencana banjir bandang, dan dapat disimpulkan tidak terdapat perubahan penutup lahan yang cukup signifikan di daerah hulu di Wasior Papua. Tampak curah hujan pada gambar merupakan penyebab utama dari kejadian banjir tersebut. 27

Gambar 23. Contoh tanggap darurat bencana banjir bandang Wasior Papua TANTANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA Tantangan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana yang paling utama adalah bagaimana menyampaikan informasi kebencanaan secara efektif, efisien, akurat dan cepat, sehingga masyarakat di zona bahaya bencana dapat mengantisipasi bencana yang terjadi. Kegiatan operasionalisasi dan kegiatan penelitian pengembangan yang telah dilakukan merupakan salah satu upaya agar informasi kebencanaan yang disampaikan cepat dan akurat. Pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemetaan cepat bencana, dilakukan dalam memberikan solusi meminimalisir resiko yang terjadi dalam bencana alam. Fase sebelum terjadi bencana merupakan fase yang sangat penting bahkan paling penting dalam mengurangi resiko bencana. Salah satu upaya pencegahan yang penting adalah analisa resiko kebencanaan. Dalam analisa resiko terdapat dua komponen penting yaitu bahaya dan kerentanan. Untuk menentukan dua komponen tersebut, peranan data penginderaan jauh sangat penting. 28

Dalam penentuan daerah bahaya bencana diperlukan data Digital Elevation Model (DEM) terutama untuk bahaya banjir, tsunami, dan bahaya aliran lava gunung berapi. Semakin detail data DEM semakin detail juga daerah bahaya dapat dipetakan. Daerah bahaya ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui kondisi wilayahnya terhadap bencana. Kegiatan penting lainnya yang dapat digunakan untuk pencegahan adalah sistem peringatan dini (early warning system). Sistem ini akan memberikan informasi secepat mungkin tentang datangnya bencana. Sistem telemetri banjir, Indonesian Tsunami Warning System (INATEWS), sistem pemantauan gunung berapi, dan sistem peringatan bahaya kebakaran hutan merupakan berbagai cara manusia untuk memberikan peringatan akan datangnya suatu bencana. Data penginderaan jauh dapat berperan dalam penyampaian informasi peringatan dini. Contoh kegiatan yang sudah ada di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan adalah sistem peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan, sistem pemantauan potensi banjir, prediksi cuaca bulanan, prediksi bahaya kekeringan bulanan, dan pemantauan kekeringan di lahan sawah. Pengembangan masih perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari informasi. Pemanfaatan teknologi radar, Unmanned Aerial Vehicle (UAV), dan satelit masa depan merupakan suatu tantangan dalam kegiatan pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Lapan. Model-model pemanfaatan penginderaan jauh secara automatis merupakan tantangan lebih lanjut. Gambar 24 merupakan contoh aplikasi teknologi UAV dalam pemetaan cepat bencana. Gambar 24. Contoh aplikasi teknologi UAV untuk pemetaan cepat bencana 29

DISEMINASI INFORMASI Semua informasi yang telah dihasilkan dari kegiatan operasional baik pemantauan lingkungan maupun hasil peneltian dan pengembangan untuk mitigasi bencana didiseminasikan melalui website Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam (SIMBA) yang dapat diakses melalui www.lapan.go.id dan www.lapanrs.com/simba. Selain itu diseminasi dilakukan melalui website Sentinel Asia (http://dmss.tksc.jaxa.jp/sentinel/), dan diberikan langsung kepada 33 instansi pengguna, seperti: BNPB, BPBD, dan UKP4. Website SIMBA Website SIMBA mulai dibangun sejak tahun 2003 dalam sistem yang sangat sederhana. Informasi yang disampaikan dalam website tersebut adalah pemantauan hotspot, NDVI, pemantauan fase pertumbuhan padi, pemantauan potensi banjir, dan pemantauan lingkungan lainnya. Seiring dengan waktu, beberapa kegiatan yang dulunya dikerjakan secara manual sudah berkembang menjadi pengolahan otomatisasi. Harapannya, semua informasi yang sudah operasional dapat diautomatisasi sehingga dapat menghemat tenaga kerja manusia. Gambar 25, merupakan tampilan website SIMBA. Gambar 25. Tampilan website SIMBA terkini 30

Sentinel Asia Diseminasi informasi kebencanaan berbasis data penginderaan jauh dapat disampaikan melalui website Sentinel Asia https://sentinel.tksc.jaxa.jp/sentinel2/topcontrol.action (Gambar 26). Pada tahun 2004, Sentinel Asia dibentuk secara inisiasi sukarela (voluntary) yang dikoordinasi oleh APRSAF (Asia-Pasific Regional Space Agency Forum) untuk mendukung kegiatan manajemen kebencanaan di wilayah Asia Pasifik berbasiskan data satelit penginderaan jauh. Pada dasarnya lingkup kegiatan Sentinel Asia adalah menghubungkan antara komunitas antariksa (Space Community) misalnya APRSAF dengan komunitas pengurangan bencana (Disaster Reduction Community) misalnya ADRC (Asian Disaster Reduction Center) dan Negara anggota, serta komunitas Internasional misalnya UNESCAP, UNOOSA, ASEAN, AIT. Gambar 26. Website Sentinel Asia sebagai sarana penyebaran informasi Diseminasi Langsung Saat ini terdapat sekitar 33 instansi yang dikirim langsung informasi pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana setiap bulan. Informasi yang disampaikan adalah perkembangan hasil pemantauan lingkungan dan informasi kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Daftar 33 instansi tersebut adalah sebagai Tabel 2 berikut: 31

Tabel 2. Institusi Penerima Informasi langsung hasil pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasis penginderaan jauh NO. NAMA INSTITUSI 1. Kepala Badan Meteorologi Klimatollogi Geofisika 2. Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum 3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian 4. Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian 5. Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi 6. Deputi Bidang Statistik Ekonomi, Badan Pusat Statistik 7. Deputi Survei Dasar Sumberdaya Alam, Badan Informasi Geospasial 8. Deputi I Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial, Kemenkokesra 9. Direktur Pengelolaan Lahan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian 10. Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan 11. Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian 12. Kepala Biro Data dan Informasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana 13. Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan dan Lahan, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup 14. Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 15. Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Barat 16. Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Selatan 17. Kepala BMKG Kenten, Sumatera Selatan 18. Kepala BAPEDAL Provinsi Riau 19. Kepala BAPEDALDA Provinsi Kalimantan Barat 20. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah 21. Kepala BPPLHD Provinsi Kalimantan Tengah 22. Kepala Subdin Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 23. Kepala Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Palangkaraya 24. Head of VAM and M&E Unit, UN World Food Programme 25. Head of Environment and Disaster Management, Bureau for Resources Development, ASEAN Secretariat 26. Kepala UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan Sumatera Selatan 27. P. T. Garuda Food, Jakarta 28. Ban V Straops Sopsal, MABES TNI-AL, Cilangkap, Jakarta 29. Kepala Balai Taman Nasional Sebangau, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kalimantan Tengah 30. Kepala Divisi R&D BULOG, Jakarta 31. Direktur Pengelolaan Air Irigasi, Jl. Taman Margasatwa No.3 Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 32. Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, UP. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, d.a. Jl. Williem AS. No. 8 Palangka Raya. 33. Kepala Dinas Perkebunan, Up. Kepala Bidang Perlindungan, Jl. Jend. Sudirman No. 18 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 73112 32

TANTANGAN DISEMINASI INFORMASI Tantangan diseminasi informasi pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana adalah masalah kecepatan dan keakuratan dari informasi yang disampaikan. Terkait dengan hal tersebut, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana sedang membangun suatu sistem yang akan menjawab tantangan tersebut. Sistem tersebut dinamai dengan SIMBA Center. Dalam sistem informasi kebencanaan yang akan dikembangkan, terdapat 4 sub-sistem yang penting yang menyusun keseluruhan sehingga dari proses mendapatkan informasi hingga menyampaikan informasi dapat dilaksanakan secepat mungkin. Sub sistem tersebut adalah : 1. Sistem Penerimaan Informasi Kebencanaan Sistem ini dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan informasi bencana di wilayah Indonesia secara cepat, sehingga proses pengolahan data akan dilakukan dengan cepat begitu mendapatkan informasi bencana. Sistem ini akan menggunakan sistem komunikasi dengan radio kebencanaan yang dimiliki oleh BNPB. Data geospasial dapat disediakan dalam waktu 24 jam jika terjadi bencana di suatu wilayah. Selain komunikasi dengan radio BNPB, siaran televisi dan radio yang terupdate juga akan dikombinasikan dalam sistem ini. 2. Sistem Koneksi ke Data Center Sistem ini dibuat untuk mendapatkan data remote sensing secara cepat, sehingga diperlukan sistem koneksi data center yang dikelola oleh pusat lain di Lapan. Data remote sensing yang diperlukan untuk pengolahan data secara cepat akan diperoleh dalam sistem ini. Saat ini yang telah berjalan dengan baik adalah sistem indofire yang telah langsung koneksi ke data center, pengolahan otomatis, dan informasi langsung disampaikan dalam website. 3. Sistem Pengolahan Data Sistem itu merupakan rangkaian dari sistem sebelumnya, sehingga dapat diolah baik secara manual maupun otomatis. Harapan untuk ke depannya sistem pengolahan data ini dapat berlangsung secara otomatis, namun penguatan riset pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi daerah bencana sangat perlu dilakukan. 4. Sistem Penyampaian Informasi Sistem Penyampaian Informasi merupakan ujung tombak dari keseluruhan sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh. Website SIMBA, geospatial BNPB, 33

Sentinel Asia, dan website lain merupakan target penyampaian informasi dari sistem ini. Secara keseluruhan, skema sistem informasi kebencanaan (SIMBA Center) disajikan pada Gambar 27. Gambar 27. Desain sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh (SIMBA Center) 34

KERJASAMA Posisi Lapan dalam bidang kebencanaan baik dalam maupun luar negeri sangat berkembang hingga awal tahun 2013. Kerjasama nasional yang dilakukan adalah dalam rangka mendukung program nasional dalam bidang kebencanaan, terutama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Potensi riset bidang kebencanaan sangat besar mengingat bahwa Indonesia memiliki sumberdaya bencana yang lengkap dibandingkan dengan negara lain. Banjir, kekeringan, tanah longsor, gempa, tsunami, letusan gunung berapi, angin puting beliung, dan bencana lainnya merupakan sumberdaya riset yang perlu digali lebih lanjut. Jika sumberdaya riset ini terus digali, maka Indonesia dapat menjadi negara yang unggul dalam bidang riset kebencanaan. Oleh karena itu, kerjasama nasional antara kementerian lembaga sangat penting untuk dilakukan. Berikut adalah kerjasama nasional, regional, dan internasional yang dilakukan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan. Kerjasama Nasional Sampai dengan awal tahun 2013, peran Lapan untuk masalah kebencanaan di tingkat nasional, adalah sebagai berikut: Bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Institusi lainnya, Lapan berperan aktif dalam Technical Working Groups (TWG) on Transboundary Haze Polution ASEAN. Berperan aktif dalam INATEWS (Indonesian Tsunami Early Warning System) yang dikoordinasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi Berperan aktif dalam Rencana Nasional (Renas) PB 2010 2014 yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana (RANPB) 2010-2012 yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Rencana Aksi Terpadu (RAT) Penanggulangan Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Working Group Pemetaan Kebencanaan yang di koordinasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Berperan aktif dalam perumusan angka ramalan produksi padi dengan Badan Pusat Statistik Berperan aktif dalam perumusan prakiraan musim kemarau dan hujan dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Berperan aktif dalam kegiatan Menuju Indonesia Hijau yang dikoordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup. 35

Selain dengan institusi nasional, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana bekerjasama dengan beberapa pemerintah daerah seperti Bapeda Kabupaten Sampang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Barat, BPBD DKI Jakarta, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Pusat Pengelolaan Ekoregion Kalimantan. Salah satu produk hasil kerjasama adalah pembuatan peta rawan bencana kebakaran hutan/lahan dengan BKSDA Kalimantan Tengah, tersaji dalam Gambar 28. Gambar 28. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Tengah Untuk memperkuat jalinan kerjasama dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk kebencanaan, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh mengadakan Pertemuan Pemangku Kepentingan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pengurangan Resiko Bencana, pada tanggal 31 Mei 2012, bertempat di IPB International Convention Center, dengan tema Pemanfaaatan data/informasi penginderaan jauh untuk mendukung kegiatan penanggulangan bencana. Gambar 29, merupakan foto bersama para peserta pertemuan Pemangku Kepentingan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pengurangan Resiko Bencana. 36

Gambar 29. Foto bersama peserta pertemuan pemangku kepentingan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pengurangan resiko bencana Dalam kegiatan tersebut tercapai kesepakatan nasional dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk kebencanaan sebagai berikut: - Merekomendasikan dibentuknya tim kerja untuk merumuskan dan menginventarisir apa yang dimiliki oleh masing-masing instansi. - Mendukung BNPB sebagai Ketua tim kerja, dengan LAPAN, BPPT, BIG sebagai anggota. - Semua Kementerian/Lembaga punya kepentingan dengan informasi kebencanaan, sehingga akan lebih baik jika informasi kebencanaan dikeluarkan lewat satu pintu yang dikoordinasikan oleh BNPB. - Jejaring dibentuk untuk meminimalisir tumpang tindih informasi kebencanaan. Dari berbagai kerjasama nasional yang telah dilaksanakan, Lapan akan terus mendukung manajemen bencana melalui penyediaan data dan informasi berbasis penginderaan jauh, siap bekerjasama dengan pihak lain, dan terus melakukan penelitian dan pengembangan pemanfaatan penginderaan jauh untuk untuk meningkatkan kualitas informasi yang diberikan terkait kebencanaan bagi stakeholder. Kerjasama Regional dan Internasional Untuk memperkuat posisi, menambah wawasan, dan peningkatan kapasitas Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan dalam dunia internasional, maka kerjasama regional dan internasional dilakukan. Salah satu keberhasilan yang telah dicapai adalah kesepakatan antara United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) dengan Lapan tentang pelaksanaan Regional Support Office UN SPIDER yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2013. Berikut adalah beberapa contoh kerjasama regional dan internasional yang telah dilaksanakan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 37

Sentinel Asia Dalam bidang kebencanaan, Asia Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF) menginisiasi pembentukan Sentinel Asia dalam rangka menghubungkan informasi kebencanaan dari data kedirgantaraan. Kegiatan ini bersifat voluntary dan mengemban misi kemanusiaan secara regional. Secara operasional Sentinel Asia terbagi menjadi dalam 2 Nodes (Data Provider Node/DPN, dan Data Analysis Node/DAN), dan 3 Working Group (Wildfire WG, Flood WG, Glacier Lake Outburst Flood WG). Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja-LAPAN) sejak tahun 2006 telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan Sentinel Asia menjadi anggota JPT dan melakukan kegiatan emergency quick response kebencanaan melalui Sentinel Asia System. Pada 10 Februari 2010 secara resmi Lapan menjadi anggota DAN (Data Analysis Node) di Sentinel Asia System. Sebagai DAN, Lapan telah banyak menghasilkan informasi spasial kebencanaan yang terjadi di wilayah Indonesia, bahkan pernah melakukan aktivasi international charter for disaster melalui Sentinel Asia System pada saat bencana tsunami di Kepulauan Mentawai tahun 2010. Gambar 30 merupakan contoh hasil pengolahan data penginderaan jauh untuk analisa banjir di Pulau Luzon Philipina. Gambar 30. Hasil analisa banjir di Philipina, kontribusi sebagai DAN 38

Dalam rangkaian kerjasama Sentinel Asia, terbangun stasiun satelit komunikasi WINDS pada tahun 2011 yang dapat digunakan untuk transfer data satelit penginderaan jauh dengan cepat. Gambar 31 merupakan antena dan peralatan transfer data penginderaan jauh dari JAXA ke Lapan. Transfer data satelit digunakan jika ada bencana yang besar dan permintaan yang dilakukan oleh Lapan. Gambar 31. Antena dan peralatan yang digunakan untuk transfer data penginderaan jauh Selain kegiatan DAN dan peralatan antena WINDS, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana juga aktif dalam kegiatan Technical Supporter pada Space Applications for Enviroment (SAFE) Project tahun 2010 2011 dengan topik Drought Monitoring over Agriculture Area in Java Island, bekerjasama dengan Universitas Tokyo, GIC-AIT, dan JAXA. Final Report dilakukan pada saat acara APRSAF-18 di Singapore, November 2011. Gambar 32, merupakan foto bersama foto bersama peserta pertemuan SAFE Project dalam rangkaian kegiatan Sentinel Asia. Pada tahun 2013, dalam rangkaian kegiatan SAFE Project, proposal pusfatja dengan judul The assessment of Mangrove Forest Carbon Stock Monitoring of Indonesia using Remote Sensing Approach disetujui untuk dilaksanakan. 39

Gambar 32. Foto bersama peserta pertemuan SAFE Project di Singapore Kerjasama dengan GIC-AIT dan ADRC Pada tahun 2011, Pusfatja melakukan kerjasama dengan GIC-AIT (Geoinformatic Center Asian Institute of Technology) dan ADRC (Asian Disaster Reduction Center) berupa seminar dan pelatihan pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kebencanaan. Pelatihan ini melibatkan sekitar 30 instansi nasional dan daerah. Kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 2012 dalam bentuk workshop dengan The 2 nd Regional Workshop of ASEAN Cooperation Project on Utilization of Space Based Technologies for Disaster Risk Management. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama ADRC, Lapan, ASEAN Secretariat, dan JAIF dan berlangsung di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 26-27 Juni 2012. Workshop ini dihadiri oleh perwakilan Lembaga Keantariksaan (Space Agency) dan Lembaga Manajemen Kebencanaan (Disaster Management Agency) dari negara Thailand, Cambodia, Myanmar, Lao PDR, Brunei, Vietnam, dan Indonesia. Organisasi/Institusi internasional yang berpartisipasi adalah ADRC, Asian Institute of Technology (AIT), Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), ASEAN United Nations International Strategy for Disaster Reduction (ASEAN-UNISDR), WORLD BANK, ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center), ASEAN Sub-Committee on Space technology and Applications (ASEAN-SCOSA), ASEAN Committee on Science and Technology (ASEAN-COST), dan ASEAN Secretariat. Institusi nasional yang hadir adalah Lapan, BNPB, ESDM, BMKG, BPPT, BIG, LIPI, KLH, BPBD Bogor, dan BPBD Jakarta. Gambar 33, merupakan foto bersama para peserta pertemuan regional tersebut. 40

Gambar 33. Foto bersama peserta pertemuan regional workshop se-asean Kerjasama dengan organisasi PBB (Regional Supporting Office UN SPIDER, UN ESCAP, dan UN WFP) Dalam kerangka kerja PBB, Pusfatja ditunjuk menjadi pelaksana RSO UNSPIDER (Regional Supporting Office United Nation Platform for Disaster Emergency Response). Hal ini merupakan peran penting Pusfatja di dalam pergaulan international dalam memanfaatkan data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana. United Nation Platform for Space-Based Information for Disaster Management and Emergency Response (UN-SPIDER) dibentuk berdasarkan Resolusi PBB no 31/110 tanggal 14 Desember 2006 sebagai salah satu program PBB dengan misi untuk menjamin semua negara dan organisasi internasional/regional untuk dapat memiliki akses dan mengembangkan kemampuan menggunakan semua jenis informasi berbasis keantariksaan dalam rangka mendukung siklus pengelolaan bencana. Program UN-SPIDER ditujukan untuk menjadi pintu gerbang informasi kebencanaan berbasis keantariksaan dengan cara menjadi jembatan penghubung antara institusi pengelola kebencanaan dan komunitas keantariksaan, serta menjadi fasilitator pengembangan kapasitas untuk memperkuat kelembagaan terutama di negara berkembang. Kantor pusat UN-SPIDER berada di Wina (Austria), Bonn (Jerman), dan Beijing (China). Dalam mendukung kegiatan-kegiatan UN-SPIDER maka dibentuk kantor pendukung wilayah atau Reginal Support Office (RSO) yang tersebar di berbagai negara, termasuk salah satunya di Indonesia (Gambar 34). RSO dapat diselenggarakan oleh lembaga keantariksaan, pusat penelitian, universitas, atau institusi pengelolaan bencana. RSO melakukan komunikasi dan koordinasi dengan UN-SPIDER secara teratur dalam kegiatan pencapaian dan peningkatan kapasitas, serta melakukan kerjasama dan kegiatan dukungan teknis. Pada tanggal 19 Februari 2013, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menjadi RSO UN-SPIDER yang ke-15 dengan ditandatanganinya naskah kerjasama 41

(Memorandum of Understanding/MoU) antara Lapan dengan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada acara sidang ke-50 The Scientific and Technical Subcommittee of the Committee on the Peaceful Uses of Outer Space di Wina, Austria. Sebagai institusi pemerintah, Lapan mempunyai wewenang hukum dari Presiden Republik Indonesia sebagai lembaga antariksa nasional yang tercantum dalam INPRES 6/2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Quality Control, Pengolahan dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi. Dalam rangka mendukung informasi bencana berbasis data satelit Penginderaan Jauh, Lapan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) yang merupakan national focal point dalam hal pengelolaan kebencanaan di Indonesia. Implementasi kegiatan yang telah dilakukan oleh Lapan dalam mendukung pengelolaan bencana dan tanggap darurat bencana adalah dalam bentuk kegiatan penelitian, pelatihan, dan penyedia informasi spasial kebencanaan berdasarkan data penginderaan jauh untuk bencana, seperti: banjir, kekeringan, kebakaran hutan/lahan, tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung api. Sebagai RSO, Lapan akan terus berupaya mendukung kegiatan UN-SPIDER baik sebagai penasehat teknis maupun berkontribusi dalam pengembangan kapasitas bagi negara-negara anggota UNSPIDER. Gambar 34. Jaringan RSO UN-SPIDER di berbagai Negara 42

Selain itu, Pusfatja juga bekerjasama dengan UN ESCAP (United Nation Economic and Social Commitee for Asia and the Pacific) dalam misi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan kekeringan. Masih dalam koridor PBB, Pusfatja secara periodik menyediakan informasi kebencanaan ke UN WFP (United Nation World Food Programme). Gambar 35 merupakan foto kegiatan saat pertemuan dengan UN ESCAP pada tahun 2011 di Colombo, Srilanka. Gambar 35. UN ESCAP Meeting pada tahun 2011 Kerjasama dengan APSCO Lapan juga berperan aktif dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APSCO) sebagai peserta dan narasumber pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring Through Space Technology di Dhaka Bangladesh (22 November 1 Desember 2011). Peran peneliti Lapan sebagai narasumber dalam kegiatan ini menandakan bahwa kemampuan peneliti Lapan sejajar dengan penelitipeneliti lainnya di Asia. Berikut Gambar 36, merupakan foto bersama peserta kegiatan Training Course APSCO tersebut. 43

Gambar 36. Foto peserta kegiatan Training Course APSCO di Dhaka Bangladesh. PENUTUP Sebagai penutup dalam buku ringkas kegiatan Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana ini, kami mengungkapkan bahwa pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana sangat diperlukan dalam upaya kesiapsiagaan dan pencegahan terhadap bencana. Namun penelitian dan pengembangan terus dilaksanakan dalam upaya menjalankan tupoksi dan menjawab tantangantantangan kedepan. Kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat. 44

DAFTAR PUSTAKA Center for International Forestry Research, Penginderaan jauh. https://www.cifor.org/publications/pdf_files/books/sigeografis/sig-part-4.pdf. Akses terakhir 22 Nopember 2012 Laporan Kegiatan Pemantauan dan Penelitian Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Periode Bulanan, 2012. Lillesand,T.M. and R.W. Kiefer, 1979., Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons, New York dalam Sugandi, Dede. Dasar-dasar Penginderaan Jauh. http://file.upi.edu/direktori/fpips/jur._pend._geografi/195805261986031- DEDE_SUGANDI/Bah-pem-PJ.pdf. Akses terakhir 13 sepetember 2012 Lindgren,D.T, 1985., Land Use Planning and Remote Sensing, Martinus Nijhoff Publishers, Doldrecht dalam Sugandi, Dede. Dasar-dasar Penginderaan Jauh. http://file.upi.edu/direktori/fpips/jur._pend._geografi/195805261986031- DEDE_SUGANDI/Bah-pem-PJ.pdf. Akses terakhir 13 sepetember 2012 Sutanto, 1992. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Website Kedeputian Penginderaan Jauh, Lapan, www.lapanrs.com/simba, Akses terakhir 10 April 2013 45

LAMPIRAN PERSONIL BIDANG LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA DR. Muhammad Rokhis Khomarudin Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Wiweka Peneliti Utama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Hidayat, M.T. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dra. Any Zubaidah, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Totok Suprapto, M.T. Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Ir. Indah Prasasti, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 46

Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Parwati, S.Si., M.Sc. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Yenni Vetrita, S.Hut, M.Sc. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Jalu Tejo Nugroho, S.Si. M.T. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fajar Yulianto, S.Si. Peneliti Pertama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Nur Febriyanti, S.Si. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Junita Monika Pasaribu, S.Si. Peneliti Pertama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Kusumaning Ayu Diah Sukowati, Amd. Pranata Komputer Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 47

Sri Lestari Fungsional Umum Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dini Oktavia Ambarwati, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lintang Pindha Maharani, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Widya Ningrum, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Ernawati, S.P. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Uji Astrono Pribadi, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Firdani Asri, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 48

Tri Arso Sunugroho, S.Kom. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Nur Satrio Wibowo, Amd Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Widia Putri K.U., A.Md. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 49

PRODUK INFORMASI SPASIAL KEBENCANAAN DI INDONESIA 50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60